Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Maret 2011

28 Miliar Dollar Dana Pendidikan Dunia Yang Terhambat


Adanya peperanga di dunia mengakibatkan dana pendidikan sebesar 28 Milyar US Dollar dari United Nation (PBB) untuk pendidikan menjadi terhenti, hal ini disebabkan sering terjadi kekejian seksual dan penyerangan terhadap sekolahan di dunia.
Laporan ini dikmukakan badan PBB dir EPUBLIK Demokratik Congo, sebagai wilayah yang paling buruk di dunia dalam hal perkosaan. Sepertiga kasus perkosaan dunia terjadi di Kongo, menurut laporan Unesco.

Selanjutnya Unesco melaporkan hingga tahun 2015, Afrika membutuhkan 2 juta guru baru.Di bagian Tenggara "Democratic Republic of Congo” diperkirakan setengah dari anak usia sekolah telah drop-out.

Akibat perkosaan ini banyak meninggalkan korban yang terluka dan menyebabkan ketakutan pada anak anak perempuan

Dana Untuk Militer dan Pendidikan



Banyak milisi milisi yang mengukuhkan symbol kekuasaan dengan menyerang desa dan menghancurkan sekolah dan balai pengobatan

Selanjutnya Unesco melaporkan bahwa penghancuran sekolah di Afganistan telah naik sebesar 77% dari 347 kasus di tahun 2008 menjadi 613 du tahun 2009. Sementara itu di Yaman telah terjadi pengrusakan 220 sekolah. Hal ini menyebabkan seharusnya The International Criminal Court untuk lebuh aktif lagi dalam membrantas kekejian seksual ini dan segera dibentuk Komisi Internasioanal untuk membrantasnya

Dengan demikian permasalahan dana untuk pendidikan seharusnya menjadi topic yang utama. Hal ini disebabkan terdapat 21 negara ternmiskin yang membenjakan dananya untuk militer ketimbang untuk pendidikan. Contohnya Negara Chad membenjalkan dana 4 kali untuk militer ketimbang pendidikan.
Begitu pentingnya dana pendidikan hingga selama 10 tahun pembenahan di Ethiopia, dengan dana sebesar 4 milyar mampu mengurangi signifikan anak sekolah yang drop-out.
BBC, 1 Maret 2011.

Jumat, 25 Februari 2011

Jangan Paksa Anak Kita

Dewasa ini merebak di seluruh pelososk tanah air, terutama di kota kota besar tentang sistim pembelajaran “full day school” dari mulai peserta didik jenjang SD, SMP dan SMA sederajat. Sistim ini terutama diusung oleh sekolah yang ber-trsde mark sekolah favoutir atau sekolah yang sedang menggapai label ini. Sehingga praktis peserta didik aktif dalam pembelajaran setiap hari hingga 9 – 10 jam. Dan untuk sistim pembelajaran seperti ini banyak orang tua/Sali peserta didik yang menyambut baik, meski harus membayar SPP yang relative lebih tinggi dari sekolah lainnya.

Memang betul alasan utama orang tua yang menitipkan putranya di sekolah ini, adalah untuk mengalihkan waktu bermain dengan waktu waktu yang bermanfaat atau sebagian lainnya beralasan demi mencetak putranya sebagai “outcome” yang berkrebilitas sebagai “smart generation” nantinya.

Namun tindakan yang bijaksana dalam menyikapi sistim pembelajaran ini perlu dikedepankan justru demi perkembangan putra putra kita. Hal yang pertama menjadi bahan pertimbangan kita adal;ah ketahanan fisik putra putra kita yang sebenarnya masih dalam taraf anak hingga remaja. Bayangkan saja putra kita harus terlibat dalam aktifitas pembelajaran selama lebih dari 7 jam x 60 menit, yang harus mengerahkan kemampuan kognitifnya secara maksimal. Padahal ruang kognitif yang ada di otak manusia adalah sangat terbatas, dalam artian apabila ruang kognitif ini telah lelah maka tentu saja putra putri kita tidak akan mampu l;agi menggunakan memorinya.

Berdasarkan pengalaman empiris dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik hanya mampu mengoptimalkan seluruh inderanya hany 6 jam ( 60 menit), diluar batas tersebut secara variatif peserta didik sudah sulit untuk mengembangkan kemampuan memahami bahan ajar. Sehingga 3 -4 jam sisanya, akan sia sia untuk mengusung pembelajaran. Kecuali untuk kegiatan ekstrakurikuler, yang banyak menerapkan “learning by doing”, seperti pramuka, music, olah-raga ringan dan green-outbonding.

Padahal konsep pendidikan yang benar, adalah putra kita difasilitasi waktu yang cukup guna menggunakan psikomotorik dalam pemahanan bahan ajar. Aspek ini bisa diperoleh dengan merespon PR atau portofolio yang diberikan oleh pendidik. Disamping itu seoran anak yang sedang aktif mengalami perkembangan pribadinya, harus pula aktif berinteraksi dengan teman lainya terutama dengan teman yang sebaya. Asal orang tua pandai untuk menyisihkan waktunya untuk pengawasi proses interaksi social ini, tentunya seorang anak akan berkembang secara normal dalam aspek affektinya.

Memang dewsa ini sedang terjadi pencerahan secara intensif terhadap sistim pendidikan yang telah lama terpuruk. Sehingga setiap aspek yang terlibat dalam pendidikan anak bangsa sedang dibenahi secara maksimal oleh kementrian pendidikan nasional. Terutama dari aspek pendidik, pembelajaran inovatif, kesejahteraan pendidik dan yang penting lainnya adalah penerapan kurikulum Standar Isi yang ditetapkan mulai dari tahun 2006. Justru dengan model kurikulum tersebut sistim satuan pendidikan diberi keleluasaan dalam pencapaia kompetensi peserta didik. Bukankah dengan penerapan seperti ini kita diharapkan lebih bertindak bijak terhadap peserta didik.

Dengan sistim pembelajaran yang berkemas menyenangkan bagi siswa, tentunya menjadi pilihan alternative yang lebih manjur ketimbang komersialisasi sistim Full Day School, apalagi bila instrument pembelajaran guru mampu dipatok dengan cermat dan sungguh sungguh tentu kita akan mampu untuk mencerdaskan anak bangsa ini.

Sistim Full Day School hendaknya secara bijak hanya diterapkan kepada peserta didik yang akan mengikuti UASBN (evaluasi bahan ajar bukan UN) dan UN itu sendiri. Memang pada even ini peserta didik harus banyak menjalani drill guna kompetensi dan pada giliranya akan berhasil lulus dalam UN. Dalm kondisi seperti ini tentunya setiap peserta didik akan siap lahir batin untuk mengikuti program Full Day School.

Sebagai bahan perbandingan mari kita cermati sistim pendidikan di Inggris yang mulai menerapkan sistim pembelajaran 4 hari dalam satu minggu dan tiap hari hanya menerapkan pembejaran selama 6 jam per hari. Dalam menerapkan sistim tersebut tentunya mereka mengoptimalkan sistim pembelajaran seefektif mungkin, ketimbang memaksa kemampuan alami peserta didik.

Full Day Schol akan terasa lebih berat lagi bila peserta didik dibebani dengan bahan ajar yang jumlahnya relative banyak, contohnya untuk tingkat SMA putra kita harus menempuh rata rata 16 bahan ajar, baik kejuruan maupun umum. Bahkan untuk sekolah ekslusif keagamaan ditambah dengan muatan local bisa mencapai 21 bahan ajar. Batasan batasan tersebut di atas tentunya hanya mengedepankan aspek peserta didik hanya mampu menyerap bahan ajar yang memprihatinkan.

Oleh karena itu sebaiknya otoritas pendidikan di Indonesia lebih bersifat arif dalam mmenyikapi maraknya sekolah yang berambisi mengejar favoritas/bonafisitas dengan menerapkan sistim yang latah. Sebaiknya pemerintah lebih baik membina sekolah seperti tersebut di atas dengan mengedepankan sistim pembelajaran yang efektif, padat dan cermat dalam batas batas kemampuan fisik, psikhologis dan biaya yang dikeluarkan orang tua.

Sabtu, 19 Februari 2011

Pembelajaran Tanpa Kata Kata


Sejumlah kata kata, seperti "koob" atau "zort" dan lain sebagainya, adalah kata yang diprogramkan otoritas pendidikan Inggris untuk diajarkan pada anak usia 6 tahun.

Gagasan ini adalah sebuah upaya pengkritisan dari sejumlah pustakawan Inggris, untuk mencegah anak anak di Negara Inggtis yang sedang aktif belajar membaca. Komunitas pustakawan (The UK Literacy Association) menjelaskan program tersebut ditujukan agar anak anak mengerti arti kata kata yang sulit.

Menanggapi masalah tersebut kementrian pendidikan setempat memberi kebijakan pada upaya pengenalan makna tertentu tanpa pengucapan kata, tetapi dengan pengenalan kata (phonics). Pembelajaran dengan membaca ini, tentunya akan membiasakan anak anak mengucapkan kata kata tertentu daripada menulis.

Metoda Non-words (dengan gambar) ini tentunya akan menyertakan anak anak pada ruang memorinya untuk menyimpan kata kata tersebut. Untuk itu kemetrian pendidikan setempat mencanangkan evaluasi pada anak anak untuk mengenal 40 obyeks yang bervariasi dalam kata atau non kata (gambar). Evaluasi tersebut dilakukan hanya dalam waktu 10 menit.

Menurut President UK Literacy Association David Reedy penerapan metode “non – word “ bertujuan agar anak mampu merespon aktif apa yang mereka baca atau lihat. Dalam hal ini pembelajaran pun perlu duteruskan dengan evaluasi berkelanjutan. Setiap evaluasi hanya berlangsung selama 10 menit, untuk mengenalkan 40 obyek kepada anak. Evaluasi yang dilakukan otoritas tersebut, bertujuan untuk mengontrol variasi variable, seperti “makna kata” yang tidak menghalangi anak anak belajar membaca.
Dalam test tersebut sekaligus pembelajaran kepada anak anak untuk menguasai kata dengan metode “phonic”.

Dengan pembelajaran model ini banyak kata kata yang kita kuasai lantaran menerapkan metoda melihat dan mengucapkan, demikian juga dengan anak anak kita yang mengenal kata 'the' and 'once'. Hal ini disebabkan karena Bahasa Inggris bukan bahasa yang besifat phonically seperti Bahasa Jerman dan Perancis.

Oleh karena itu anak anak sebaiknya memperoleh informasi pendukung sebelum dikenalkan kata itu. Dan disinilah essensi belajar membaca pada anak anak tanpa metoda “kata kata”.(BBC News, 2011).

Kamis, 17 Februari 2011

Guru Dengan Semangat Baru

Telah menjadi kesepakatan kita bersama bahwa dewasa ini Depiknas dan seluruh jajaran institusi yang terkait dengan sistem pendidikan nasional telah berupaya seoptimal mungkin dalam menggulirkan perubahan besar – besar terhadap pendidikan yang terintegrasi, sistematis dan terarah.

Terdapat urgensi yang terselip di balik itu semua, yaitu tentang masa depan generasi kita yang harus tangguh dalam menghadapi kompleksitas di tengah Masyarakat Indonesia yang pesat mengalami social changes, karena pengaruh globalisasi. Maka keterpurukan sistim pendidikan yang telah kita akui bersama dan bila dihadapkan pada coincide penyiapan kemajuan bangsa, maka perubahan sistim pendidikan nasional haruslah dalam naungan suatu revolusi.

Betapa tidak , sebuah negara yang pada Tahun 1975 masih mengalami konflik politik sehingga telah kehilangan segala-galanya. Namun diluar dugaan lantaran keseriusan dalam menggarap sistim pendidikan nasionalnya, maka prestasinya sekarang bread di atas kita. Sebut saja negara tersebut adalah Vietman.
Menurut survey yang dilakukan oleh International Education Achievment ( I E A ), indeks pengembangan manusia ( Human Development Index ) kita masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108 (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 ).

Padahal pada kurun waktu Tahun 1970 - 1975 kita telah memulai pembangunan dengan menapaki PELITA I I. Bangsa Indonesia telah membenahi bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan ( Harian Online Damandari, 2003 ).

Melihat kenyataan tersebut maka wajar saja apabila kita bersikap prihatin, namun tindakan kita yang paling bijak sebagai pendidik adalah menaruh perhatian yang serius. Bukankah sitim pendidikan nasional adalah asset prestis kita semua. Sehingga apabila terjadi keterpurukan terhadapnya, maka kita sebagai pendidik adalah yang paling depan dalam memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bertindak skeptis dalam menyikapi fakta tersebut. Minimal harus terbesit dalam hati kita untuk memulai langkah moral dalam mengejar ketertinggalan kita. Kita harus sigap dalam memulai bergulirnya sebuah revolusi pendidikan. Hanya dengan semangat yang tinggilah semua tugas moral kita untuk mengentaskan sistim pendidikan nasional kita menjadi ringan

Rabu, 09 Februari 2011

Mereka Bersekolah Bila Berlebih Bahan Pangan



Sekolah di daeah kering bagian Barat Data Kenya, dekat dengan Danau Turkana dikenal dengan sekolah yang diikuti peserta didik dari masyarakat yang nomaden, sehingga sekolah mereka tergantung dari persediaan bahan pangan.

Sehingga wajar saja bila jumlah anak peserta didik di SD Lokichare, dekat kota Loswar bertambah sedikit. Karena daerah tersebut mengalami kekeringan.

Peserta didik saat BBC team datang telah menyambut dengan ucapan selamat datang berupa nyanyian local daerah Turkana. Lagu itu berisi syair himbauan untuk mencuci tangan sebelum makan.

Tetapi ironisnya sekolah tersebut tidak memiliki air bersih untuk minum, air yang ada hanya sekedar untuk mencuci tangan mereka.

Palang Merah Kenya telah peduli terhadap lebih dari 2 juta warga dan 20 juta ekor ternak untuk makanan cadangan mereka bila dibutuhkan.

Tindakan Palang Merah Kenya ditindaklanjuti oleh beberapa lembaga kemanusiaan dengan dikoordinasi pemerinyah Kenya, untuk mengupayakan persediaan makanan di wilayah tersebut.Bantuan yang diberikan oleh organisasi itu adalah distribusi makanan hingga ke banyak sekolah, termasuk sekolah di Lokichare. Tetapi anehnya sejak januari tahun 2011 bantuan untuk sekolah tersebut belum juga diterima oleh kepala sekolah.

Meskipun menurut Rose Ogola, humas “UN World Food Programme” menandaskan bahwa bahan pangan sudah dialokasikan ke sekolah tersebut. Sehingga petugas badan dunia tersebut sempat kaget, mengapa bahan pangan yang sudah dialokasikan ke sekolah tersebut belum diterima.

Seperti diketahuio bahwa Lowdar berjarak 700 km dari Nairobi dan memakan waktu 2 hari perjalanan, dengan 300 km jalan dalam keadaan rusak parah. Sudah barang tentu transportasi bahan pangan menemui kendala tehnis.

Jumlah peserta didik pada tahun lalu adalah sebanyak 280 dan kini tinggal 90 peserta didik. Banyak diantara peserta didik yang meninggalkan masyarakatnya, mengikuti orang tuanya untuk berburu makanan dan menetap di Negara tetangga seperti Uganda, Sudan dan Ethiopia.

Terdapat juga penduduk yang berpindah ke pusat perdagangan dengan harapan lebih mudah mendapatkan bahan makanan. Seperti biasanya di bagian Utara Kenya tidak mengalami kekerigan, tetapi dua tahun terakhir ini daerah tersebut mengalami kekeringan yang parah.

Bagi para pemukim baru sebaiknya mereka segera menjual ternak ternaknya sebelum terjadinya kekeringan yang lebih parah dan membelanjakan uang tersebut pada kondisi alam yang lebih baik, daripada membiarkan ternak mereka mati. Guna kepentingan inilah pada tahun 2009 pemerintah Kenya telah menawarkan untuk membeli ternak mereka, tetapi mereka menolak karena mengharapkan datangnya musim hujan.
Mereka lebih memilih menjual ternaknya bila keadaan ternaknya kurus dan mati di tengah perjalanan menuju pembantaian ternak.

Danau Turkana dewasa ini hanya tinggal pasir dan semak akasia, di sekitar danau tersebut hanya terdapat beberapa ternak yang tinggal tulangnya saja. Sementara itu banyak anak muda yang berjalan mencari makanan dan air minum di jalan berdebu yang panasnya telah mencapai 40 C.

Leah Lokala, 27 th tinggal di Kalotum – 15 km ke Utara Lowdar satu satunya warga yang bisa diajak berbicara dan menjelaskan bahwa dia kini hanya memiliki beberapa ekor kuda. Untuk kebutuhan hidup dia dan ternaknya dia harus menggali tanah untuk mendapatkan air minum.

Dn terlihatlah 3 ekor kambing yang terpaksa makan semak yang berduri di sekeliling rumahnya. Kekeringan yang dialami telah membunuh semua sapinya dan kini hanya tinggal 3 kambing tersebut, dan dia harus berjalan 15 km untuk mendapatkan air untuk memberi minum kambingnya.
(BBC News, Pebruari 2011).

Selasa, 08 Februari 2011

Pembelajaran Jarak Jauh di Gunung Es

BBC News

Para orang tua murid di Kota Sun Peaks, British Columbia, mendirikan sekolah berdikari di puncak bukit untuk arena bermain ski, karena mereka harus berjalan selama dua jam ke sekolah yang terdekat. Semikian laporan wartawan . Brandy Yanchyk reports dari Sun Peaks.



Sejak tanggal 19 Swptwmbwe tahun 2010, sebanyak 19 peserta didik dari umur 5 – 10 tahun memanfaatkan puncak bukit di Sun Peaks untuk membuat kelas sekolah sendiri. Tiap pagi mereka menggunakan ski untuk pergi ke sekolah dan kembali setelah matahari hampir tenggelam.

Sekolah yang mereka dirikan diberi nama Discovery Centre, di puncak bukit yang dikelilingi bukit bukit lainnya, Tod Mountain, Sundance Mountain dan Mount Morrisey.

Seperti kita ketahui, bahwa tidak semua guru memiliki kemauan untuk mengajar di puncak bukit untuk ski, karena tidak memiliki ketrampilan untuk bermain ski, apalagi harus mengasuh peserta didiknya dengan sistim ” outdoors” ditengah peserta didik mereka, beserta dengan lingkungannya, kecuali guru yang bernama Jillian Schmalz.

• Di Tengah Alam Pedesaan

Desa yang merke dirikan sekolah hanya dihuni oleh 400 warga tetap , tetapi pada saat musim dingin, daerah tersebut banyak dikunjungi p;eh turis dari Canada, AS, Australia dan Inggris untuk bermain ski.

Tetapi tahun kemarin orang tua murid menjadi kalang kabut gara gara sekolah yang terdekat telah ditutup, sehingga mereka harus bersekoah pada jarak yang lebih jauh lagi. Untuk menempuh sekolah yang baru tersebut mereka harus berjalan selama 2 jam.
Sekolah pada Desa British Columbuia tersebut, biasanya akan bertambah menurun jumlah siswanya dari tahun ke tahun, demikian pernyatan Walikota Sun Pwaks, Al Raine.. Mereka biasanya menghentikan sekolah anaknya dan bekerjasama dengan komunitas lainnya untuk membangun sekolah yang lebih besar lagi.

• Lingkungan Yang Indah

Para orang tua bersama sama membentuk komunitas pendidikan Sun Peaks dan keudian pada bulan Juni 2010 mereka bersama sama mendirikan sekolah untuk belajar anak anaknya. Hal ini bukan meruapak kendala bagi anak anak mereka yang telah akrab dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Ketua Masyarakat Pendidikan Sun Peak (Sun Peaks Education Society ), Maria Cannon tujuan masyarakat mendirikan sekolah tersebut, adalah agar anak anak bisa bergaul dengan masyarakat sekitar bisa belajar dari lingkungan pegunungan yang menakjubkan.

Dengan dukungan masyarakat sekitar, mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 75,000 Canadian dollars (US$75,860) dari masyarakat setempat dan pengusaha .
Dengan dana sebesar itu, mereka merehab satu kelas untuk sekolah di District 73 dengan program utama belajar “ distance learning programme “. Tetapi tetap mengacu pada kurikulum “ British Columbia curriculum” , yang dirancang untuk anak anak untuk terlibat dengan model pembelajaran yang cocok untuk anak anak serta mandiri, Orang tua di rumah dihimbau untuk membimbing pembelajaran mandiri dan diharapkan orang tua mampu menelibatkan guru pengasuh.

Untuk peserta didik yang lebih tua mereka diberi saran belajar lewat computer untuk berkomunikasi dengan guru gurunya.

Program ini diterapkan untuk membelajari kemandirian dan kebebasan mereka salam belajar. Menurut salah seorang guru mereka yaitu Mrs Seafoot, program belajar jarak jauh “ distance education” melalui computer bermanfaat untuk membekalai peserta didik untuk masa depan mereka sebagai penduduk desa.
Dengan belajar jarak jauh “The online curriculum” menuntut peran orang tua salam pembelajaran di rumah, untuk membantu putranya menyelesaikan PR yan relative banyak (BBC News, Pebruari, 2011).

Minggu, 06 Februari 2011

Rencana 4 Hari Sekolah per Minggu

Sumber BBC News, 6 Pebruari, 2011

Anggota Parlemen Ayrshire Utara telah mempertimbangkan usia sekolah dasar dimulai pada usia 6 tahun, pada tahun pembelajaran sekarang.

Disamping usia peserta didik tersebut, juga dipertimbangkan adanya 4 hari sekolah dalam 1 minggu untuk sekolah dasar dan menengah.

Penentuan 4 hari sekolah tersebut bertujuan untuk menghemat biaya pendidikan, bila diterapkan 4 hari. Mereka bakal mampu menghemat 2 juta Poundsterling.
.
Parlemen menyetujui penghematan anggaran pendidikan pada tahun pembelajaran 2011 – 12 sebesar 8.9 juta Poundsterling. Sedangkan anggaran yang disetujui secara tyotal hingga 2014 adalah sebesar 38 juta Poundsterling.

Sedangkan serikat buruh telah menyetujui usia awal pendidikan dasar 6 tahun berlaku untuk tahun depan.

Carol Kirk, Ketua Dewan Pendidikan mengatakan bahwa perubahan sistim pendidikan ini haruslah digodog terlebih dahulu oleh pakar pakar pendidikan, meski sistim tersebut telah diterapkan di beberapa Negara Eropa. Juga mencakup jam pembelajaran sebanyak 25 jam per minggu.

Sabtu, 29 Januari 2011

Pembelajaran Inovatif Dan Kemajuan Bangsa

Semakin kita terinspirasi akan urgensi pendidikan bagi kemajuam bangsa ini, semakin konsisten pula kita mengedapankan pentingnya pembelajaran yang inovatif yang disodorkan pada anak didik kita. Meski daya dukung lainnya juga tidak kalah urgensinya, seperti instrument pembelajaran yang harus dipersiapkan dengan cermat dan terintegrasi. Dengan dua hal tersebut di atas maka sudah menjadi konsistensi logis untuk sebuah kemajuan pendidikan yang hanya tinggal menunggu waktu saja.

Nampaknya hal tersebut di atas akan dipandang sebagai wacana yang tidak masuk akal, namun bila sinergi semua pendidik di Indonesia mampu menerapkan dengan serentak, intrensif dan bertanggung jawab, maka pembelajaran inovatif inipun bakalan mampu memajukan prestasi suatu bangsa.

Hal inilah yang menjadi langkah essensi bagi guru guru dio lingkungan Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, Mranggen Demak dalam melangsungkan Workshop Pembelajaran Inovatif, Sabtu 29 Desember 2011 ini, sengan menghadirkan nara sumber Pengawas Pendais Kementrian Agama Kabupaten Demak dan Tim Pengembang Kurikulum Bahasa Arab Kantor Wilayah Kemetrian Agama Jawa Tengah.

Ditilik dari instrument pembelajaran yang selama ini sering disepelekan oleh para pendidik, maka wajar saja bila pendidik sering kali tidak mampu secara cermat melakukan persiapan sebelum mengajar, penyampaian bahan ajar, evaluasi apalaggi penyampaian pengayaan bahan ajar. Sehingga disana sini sering kita temukan pendidik yang mengidap penyakit kronis Kurap ( Kurang Persiapan) dan Kudis ( Kurang Disiplin). Jangankan mempersiapkan model pembelajaran yang akan diusung, membaca literature saja masih belum secara intensif dilakukan pendidik kita. Maka wajar saja bila banyak pendidik yang melakukan bull-lying kepada peserta didik.

Terungkap dalam workshop tersebut, bahwa aspek pembentukan karakter pada peserta didik sama sekali tidak bisa kita sepelekan begitu saja demi pembentukan karakter dan budya santun untuk generasi kita mendatang. Maka sejak awal aspek karakter harus dilengkapkan pada silabus setian bahan ajar . Karena pembentukan karakter tidak hanya semata ditugaskan kepada pelajaran agama di sekolahan (Madrasah: Qur’an Hadits, Aqidah Ahklaq dan Tafsir Qur’an), tapi menjadi beban setiap bidang ajar yang ada di tiap satuan pendidikan, baik sekolah umum maupun madrasah.

Sehingga dengan gagasan didaktik ilmiah dari narasumber maka setiap peserta workshop mampu memahami tugas moral mereka yang mencakup persiapan, pembel;ajaran, evaluasi dan pengayaan materi. Disamping itu juga telah menjadi optimalisasi taktik bagi pendidik untuk “mendayagunakan indera peserta didik” dalam mengikuti pembelajaran.

Hal yang perlu diterapkan dalam hal di atas, adalah aspek psikomotorik peserta didik yang tidak hanya mendengar, membaca tetapi harus berbuat sesuatu (learning by doing) setiap Kompetensi Dasar yang diberlangsungkan.

Maka adalah suatu terobosan yang sangat vital apabila pendidik menerapkan beberapa variasi model yang menyenangkan, termasuk diantaranya adalah penerapan Jigdaw, TAI dan lain sebagainya.

Pendek kata dengan seabreg umpan umpan inovatif yang digulirkan pada workshop tersebut, maka diharapkan peserat didik tidak hanya diperlakukan seperti narapidana dalam ke;as yang tertutup rapat dari mulai pagi hingga siang hari. Tetapi mereka dilibatkan dalam pembelajaran yang mengoptimalkan semua fungsi indera, sehingga mereka mampu menyerap ilmu yang berguna bagi mereka semua. Lebih jauh lagi akan terciptalah “The Smart Generation” yang mampu mendongkrap capaian apapun dari bangsa dan Negara ini nantinya.

Selasa, 18 Januari 2011

Konsistensi Sang Pendidik

Siapapun atau lembaga apapun yang berniat memajukan prestasi pendidikan di Indonesia pastilah akan menelibatkan kinerja pendidik, disamping konstituen lainnya yang memberikan konstribusi nyata terhadap kemajuan sistim ini. Sebab meskipun sistim ini di Negara kita belum dilengkapi ruang kelas yang memadai, bahan ajar yang representatif dan factor lainnya yang masih tertinggal dengan Negara lain, peran sang pendidik dianggap sudah cukup untuk memberikan pembelajaran pada peserta didik, karena peran vital sang pendidik inilah yang dianggap paling dominan.

Akan tetapi ketika sang pendidik dihadapkan pada sesuatu aktifitas yang lebih menghasilkan uang ketimbang hanya bergelut dengan instrument pembelajaran yang menjemukan sepanjang hari harinya yang tak memberinya gambaran masa depan yang jelas, tentu saja sang pendidik itu akan memburunya demi sebuah hidup dia dan keluarganya. Apalagi bagi sang pendidik swasta/non PNS yang mendarmabaktikan profesinya di sekolah sekolah swasta.

Inilah gambaran pendidik swasta yang ada di tanah air kita. Meski tunjangan profesi dari Negara telah diperolehnya, yang besarnya sesuai dengan penyetaraan gaji guru PNS melalui program impassing (tunjangan ini diperoleh bila pendidik telah lulus pelatihan profesionalisasi).

Kekhawatiran dari segenap pemerhati pendidilkan nasional apalagi dari otoritas pendidikan di tanah airpun muncul dalam menyikapi life-style (gaya hidup) pendidik tersebut, yang sudah barang tentu menempatkan tugas moral dalam ranah pencerdasan anak bangsa menjadi tujuan sampingan. Padahal di lain pihak kita telah sepakat bahwa mengusung sebuah kemajuan yang berarti untuk bangsa dan Negara haruslah dimulai dari komponen pembelajaran nasional sedini mungkin. Kita sedang tidak lagi nerniat menjadi penonton kebangkitan bangsa lain, yang kita sendiri sebenarnya mampu melakukan. Namun bila pembelajaran semya anak bangsa dilangsungkan oleh sebagian besar pendidik yang belum intend dengan tugas moralnya. Lantas kapan Bangsa Indonesia akan lagi berkemas dengan kemegahan yang diakui bangsa lain pada masa masa lampau.

Minimal sebuah langkah urgen perlu dicanangkan lebih tajam dan mengena demi sebuah moralitas pendidik yang konsisten. Meski berbagai stimulus dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) telah meluncur ke hadapan pendidik, seperti himbauan menulis bahan ajar atau karya ilmiah, lomba peraga, penelitian ilmiah mengenai pendidikan dan diskusi/seminar/workshop ilmiah. Namun belum banyak program tesebut mampu menggiring sejumlah pendidik untuk benar benar loyal terhadap profesinya atau lebih essensi lagi menyematkan kembali emblem mulia kepada sang pendidik. Sehingga langkah urgent tersebut di atas mampu diantisipasi oleh pendidik seantero Bumi Nusantara untuk lebih bergairah lagi dalam binaan pencerdasan anak bangsa.
Guru atau lebih menantang lagi dengan istilah pendidik, secara etimologi brasal dari Bahasa India yang berarti “berat”, berat dalam hal tugas moral, tahapan yang harus dicapainya atau segala sesuatu yang bertanggung jawab dengan kemajuan muridnya. Apalagi predikat guru/pendidik professional di jaman globalisasi di tengah keterpurukan multidimensional Negara kita yang sarat dengan perkara kemorosotan moral. Tugas seorang pendidik tentunya akan lebih berat lagi. Gairah sang pendidik dalam membekali peserta didik untuk menghadang segala macam persaingan dengan Negara lain di kancah perdagangan, kemajuan iptek, ketergantungan bangsa kita dengan lainnya.

Sudah barang tentu siapa saja yang telah pada awalnya berkecimpung sebagai seorang pendidik, tentunya kendala internal (tehnik pembelajaran) serta eksternal telah bisa diresapi betul betul oleh semua kalangan pendidik di Negara kita, khususnya bagi pendidik non PNS. Hanya yang pasti apapun kendala yang memusari profesionalisasi pendidik, kita sebaiknya tidak perlu untuk menyisihkan aspek ‘penuh gairah” dalam memfasilitasi peserta didik yang kita bimbing.

Wacana tersebut di atas memang terasa sangat berarti bila kita hadapkan pada kepentingan kita semua pada perhelatan pedagogy beberapa bulan mendatang yang berupa Ujian Nasional untuk semua jenjang pendidikan. Konsistensi pendidik di depan kelas sangat memegang kunci keberhasilan anak anak kita.

Semangat untuk tetap bergairah dalam memfasilitasi bahan ajar untuk anak kita adalah bukan hanya untuk kepentingan UN saja namun dalam cakupan yang lebih luas lagi, yang berujung pada pembentukan karakter generasi muda pengusung masa depan bangsa ini. Bila predikat setiap pendidik dihadapkan pada masalah se-urgent ini, maka genaplah sudah tugas moral yang harus selalu disertakan oleh setiap pendidik dimana, siapa dan apapun statusnya.

Oleh karena itu kiat yang dicanangkan oleh Disdikpora dalam meraih kesuksesan optimalisasi tugas moral pendidik seantero Bumi Nusantara ini adalah peletak dasar utama untuk ancang ancang bangsa ini guna melompat beberapa langkah kedepan, tanpa ada lagi pendidik baik yang PNS mauoun non PNS untuk melangkah setengah setengah karena kendala tersebut di atas.

Minggu, 28 November 2010

Kompetisi Untuk Kompetensi

Pembelajaran dengan metoda yang attraktif tentunya dapat mengoptimalkan daya serap siswa terhadap bahan ajar. Nawun wacana ini bisa saja menyita energi kita, bila metoda tersebut masih belum menuai hasil seperti yang kita harapkan bersama. Metoda ini bisa saja gagal, karena terkendala minat baca siswa Indonesia yang memprihatinkan.

Namun meskipun telah hadir tehnologi informatika dalam bentuk internet, tetap saja minat baca siswa kita masih terpuruk. Minat membaca masyarakat untuk menggali informasi melalui internet bisa diukur secara kuantitatif dengan indeks yang disebut dengan NRI ( Network Readiness Inde), sistim indeks ini dikembangkan oleh Centre for International Development (CID) yang bermarkas di Harvard University, yang melaporkan bahwa untuk masyarakat Indonesia minat baca terhadap internet sungguh memprihatinkan, lantaran hanya memiliki nilai sebesar 3, 24 dan menempati urutan ke -59 dari 75 negara yang disurvey (2004).

Budi Hermana dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Negara-Negara Asia-Hubungannya dengan Variabel Ekonomi Makro dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Gunadarma, melaporkan bahwa kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet.

Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama)..

Oleh karena itu kita harus memaksa/mendisiplinkan siswa kita untuk membaca dengan arif dan dalam “kemasan pendidikan yang santun” dengan memberlangsungkan kompetisi bahan ajar secara berkesinambungan, dengan cermat, sungguh sungguh. Hal ini bertujuian untuk mempertajam mereka dalam hal dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkanpendidik melalui kompetisi.

Kompetisi bisa dilakukan dengan membentuk kelompok belajar, yang dilibatkan dalam bentuk evaluasi lisan (cerdas cermat ), portofolio baik di sekolahan langsung atau tugas di rumah. Kiat seoerti ini sangat berhasil guna bila kita mencermati pernyataan Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), yang mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Selanjutnya Erickson menyatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

Dengan karakteristik remaja yang haus akan jati diri itu, maka ealuasi kompetisi ini justru mampu menyalukan kebutuhan psychologis siswa. Mereka berambisi untuk mengalahkan sainganya dan bahkan cenderung berjungkir balik demi sebuah jati diri.

Rabu, 17 November 2010

Pembelajaran Untuk Generasi Facebook

Pendidikan adalah sesuatu yang bersifat fitroh, karena pendidikan adalah kebutuhan essensi yang dibutuhkan oleh menusia di tengah peradaban dari jaman prasejarah hingga jaman modern ini. Sepanjang perkembangan peradaban itu, manusia mengenal pendidikan dengan metoda pembelajaran yang bervariasi, sesuai struktur sosial yang memusarinya. Sistim pendidikan kala itu semata untuk membekali mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi satu dengan lainnya untuk menggapai dinamika kehidupan masyarakat mereka.

Dengan bekal pembelajaran social yang akurat, cermat dan bersinergi tinggi, maka pada jaman apapun akan mampu membentuk masyarakat yang berfitur sosiologis yang baik. Lantas bagaimana dengan pendidikan modern, yang dilangsungan di tengah era tehnologi informasi dan komunikasi yang super canggih, seperti misalnya penggunaan aplikasi facebook untuk sebagian besar masyarakat kita, yang sudah terlanjur menggandrungi facebook tersebut sebagai alat komunikasi.

Khusus untuk penunjang sistim komunikasi ini, semakin canggih, efisien, cepat serta murah, semakin pula banyak “ekses negatip” yang ditimbulkan. . Sistim informasi dan komunikasi tersebut adalah “situs pertemanan facebook”. Sebagai sistim yang banyak menarik kegandrungan masyarakat dunia terlebih-lebih bagi facebooker remaja kita (sebesar 40,1 % dari seluruh facebooker).

Begitu kuatnya facebook berhasil menyihir hati kita semua, terbukti bahwa masyarakat pengguna sistim ini, menurut survey pada tahun 2009 berjumlah mencapai 235 juta penduduk dunia ( hampir menyamai penduduk USA). Bahkan lebih mengejutkan lagi, memasuki tahun 2010 ini,pengguna facebooker telah tembus hingga mencapai setengah milyar masyarakat dunia, dengan jumlah “log in” aktif sebesar 50 % dari keseluruhan facebooker dan 70 % diantaranya adalah facebnooker dari luar Amerika. Jumlah tersebur bervariasi lintas gender, remaja hingga orang dewasa dengan tidak memandang jenis profesi. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa facebook, bakal menjadi sistim komunikasi dan informasi yang membentang menembus tembok budaya, bahasa, geografis, kedaulatan negara serta perdaban social seantero bumi ini.

Dengan jumlah facebooker yang mencapai hamper 23 juta maka diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Memang perlu kita waspadai bahwa semenjak Masyarakat Indonesia mengenal telepon seluler, kemudian internet dan terakhir adalah facebooke, sedikit banyaknya sistim tersebut telah mengubah perilaku mereka. Betapa tidak, mereka ibaratnya telah menjadi bagian masyarakat yang tidak lagi interaktif dan komunikatif dengan lingkungan sosialnya dan pada gilirannya nanti bakalan menjadi masyarakat dengan fitur sosial yang
tanpa kepedulian sesama, pengaruh ini sudah barang tentu akan signifikan terhadap remaja. Karena mereka hanya bersedia berinteraksi dengan komunitasnya yang berada dalam satu sistim.

Masalah lain yang juga patut kita waspadai adalah semakin mudahnya remaja kita mengakses situs porno yang belum relevan dengan perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu kita menjadi prihatin dengan data yang disodorkan Okanegara dalam “Kehidupan Remaja Saat Ini” (2007) bahwa jumlah remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah? Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya?.

Lantas kitapun berpikir, apakah pengaruh aplikasi dunia maya tersebut sangat signifikan terhadap ambruknya moralitas remaja kita. Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan bijak , karena tehnologi aplikasi tersebut semata mata dirancang untuk kesejahteraan umat manusia, begiotu juga dengan tehnologi lainnya. Maka untuk menyematkan dunia remaja dari ekses negatif, maka kita perlu meningkatkan peran faktor pendukung sistim pendidikan, yaitu sekolah, orang tua wali dan masyaakat yang lebih ketat lagi.

Sabtu, 13 November 2010

Pendidik Masa Depan

Bangsa Indonesia yang telah berusia 65 tahun, dewasa ini sudah tidak mampu lagi memungkiri tentang tantangan yang dihadapinya di tengan peradaban dunia yang maju di semua bidang. Tantangan yang paling essensi yang harus dibenahi dalam menjawab tantangan ini, adalah penyiapan generasi muda “peserta didik yang duduk di bangku sekolah” yang penuh inovatif, informatif serta berakhlak baik. Raihan prestasi ini tentu saja melalui proses yang pelik, terencana dan terpadu serta berkesinambungan yang diusung oleh semua pihak yang berkecimpung dalam pendidikan di Indonesia. Terutama fungsi dan peran guru sebagai pendidik professional, tentunya yang paling terdepan dalam perjalanan panjang melahirkan generasi dambaan kita.

Berbicara mengenai pendidik tentu saja focus utama yang kita soroti adalah pembelajaran berbagai hal yang disodorkan kepada peserta didik. Karena aspek inilah yang dapat dijadikan penunjang utama kompetensi siswa dalam berbagai hal. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Lantas bagaimana sinergi pendidik yang handal dalam memberikan pembelajaran di era globalisasi ini. Pertanyaan ini tentunya menyangkut semua aspek yang melekat pada diri pendidik yang harus disiapkan secara matang, menyangkut bahan ajar, model pembelajaran dan pengetahuan umum yang luas yang harus dimilki sang pendidik. Ibarat seorang konsultan berbagai hal, yang siap memberi solusi kepada peserta didik yang dibimbingnya. Peran seperti itulah yang menjadi jawaban tentang peran ideal pendidik.

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah menengah atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat. Selain itu peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah atas sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saja meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu menguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Jumat, 12 November 2010

Guru Dan Konsultan Semua Bidang Ilmu

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah lanjutan atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Mereka sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saka meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu ,enguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Kamis, 11 November 2010

Pembelajaran Sosial Menggapai Masyarakat Anti Miras

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambit Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras di Salatiga telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memilioki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “operasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras.

Jumat, 05 November 2010

Evaluasi Komprehensif Untuk Program Block Grant

Adalah tidak mungkin begitu saja setelah menjadi institusi pendidikan yang dimarginalkan selama 32 tahun oleh Orde Baru, sejumlah 40.848 madrasah yang menyodorkan pembelajaran untuk siswa sekitar 6 juta anak akan menuai prestasi yang memadai. Dengan jumlah siswa sebesar tersebut di atas sudah barang tentu akan mengakibatkan rendahnya kinerja pendidikan. Hal ini diakui oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang membeberkan sebuah kesan, bahwa selama ini madrasah telah dianak tirikan dalam sistim pendidikan nasional. Bila kondisi madrasah yang dianaktirikan tersebut tetap berlangsung dari waktu ke waktu, bukankah ini sama saja dengan praktek diskriminasi pendidikan yang diusung oleh sistem kolonial oleh kita terhadap bangsa kita sendiri.

Sebuah langkah sigap dari Kementrian Agama dalam memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan madrasah dengan pembelajaran yang dikemas sebagai program unggulan segera perlu dikedepankan, untuk menggapai azas berkeadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama untuk setiap warga Negara, termasuk peserta didik yang belajar pada sebuah madrasah. Langkah ini telah ditempuh oleh Depag dengan program pengucuran dana Block Grant untuk 500 madrasah yang tersebar di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah dana bervariasi dari Rp 100 juta hingga Rp 1 milyar, pada tahun pembelajaran 2009/2010 silam. Dana bantuan tersebut tentu saja harus memotivasi semua penyelenggara pendidikan di madrasah tersebut dalam bentuk kontrak prestasi, guna meraih prestasi madrasah unggulan.

Namun masalah lainyapun timbul bila inefisiensi dana tersebut terjadi di madrasah penerima dana tersebut, terutama dalam hal penentuan skala prioritas program pemacu kemauan madrasahnya. Lantaran dalam waktu yang relatif pendek, yaitu hanya satu tahun pembelajaran sebuah raihan madrasah berprestasi harus sudah diusung. Padahal kemajuan sebuah satuan pendidikan dapat diraih, bila semua komponen yang berperan dalam pembelajaran harus mampu secara stimultan mengusungnya, beberapa diantaranya adalah kompetensi pendidik terhadap bahan ajar, model pembelajaran, disiplin dan sikap mental pendidik lainnya yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didik.

Bahkan aktifitas peserta didikpun harus pula dibidik dengan jeli, termasuk kemauan belajar, motivasi belajar, kehadiran dan positif altitude lainnya yang harus dimiliki peserta didik guna memperoleh kompetensi yang memadai, disamping pengadaan fasilitas penunjang lainya (laboratorium multimedia, laboratorium IPA, peraga dan lain sebagainya).

Sebagian besar madrasah menyematkan majunya pembelajaran hanya dengan komputerisasi sebagai simbol modernisasi, yang penggunaanya belum menyentuh kebutuhan peserta didik yang mendasar. Sehingga penerapan TIK (tehnologi komputer dan informatika) hanyalah sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya apabila TIK difungsikan secara proposional dalam fungsinya sebagai media peraga, sumber bahan ajar (internet), maka tentu saja mutu kualitas peserta didik yang handal bakal diraih. Namun fungsi ini belum maksimal diberdayakan. Terbukti masih banyaknya tenaga pendidik yang belum memiliki lap top, masih enggan membuka internet untuk menggali bahan ajar. Dengan masih banyaknya kasus kasus tersebut, maka sebaiknya madrasah yang telah dikucuri dana Block Grant tersebut haruslah sigap dalam mendayakan fungsi TIK tersebut, sehingga mampu menyihir peserta didik untuik getol meraih kompetensi.

Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementrian Agama melakukan evaluasi yang mendasar dan komprehensif tentang efisiensi penggunaan dana tersebut, menyangkut penerapan skala prioritas, proporsi pelatihan antara peserta didik dan pendidik yang seringkali berat sebelah lebih mengutamakan pelatihan pendidik, serta penyelidikan mengenai penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga hasil evaluasi Kementrian Agama tersebut dapat dijadikan acuan bagi madrasah madrasah lainya yang belum menerima giliran terkucuri dana Block Grant. Secara praktis apabila peserta didik belum bergairah dalam menggapai kompetensi bahan ajar, tingkat ketidakhadiran peserta didik belum berubah secara signifikan, kedisiplinan semua penyelenggara pendidikan masih dibawah standar, maka dana Block Grant tersebut belum diberdayakan dengan baik.

Sabtu, 23 Oktober 2010

GERAKAN PRAMUKA Yang Terabaikan

Kedisiplinan, tanggung jawab, kokohnya budaya malu, sikap menghargai waktu dan diri sendiri, patuh terhadap orang tua, guru di sekolah dan orang lain serta rasa cinta tanah air dan sesama, adalah sikap yang harus terinternalisasikan kepada masing masing anak bangsa sedini mungkin bila kita mengharapkan terjadiya perubahan mendasar pada sebuah generasi di masa depan. Sehingga pergeseran nilai sosial yang diusung generasi sekarang tidak serta merta mengalami deviasi lebih parah lagi, yang justru menjadi stimulus negative generasi mendatang.

Apalagi dengan usungan lebih specifik lagi yang menjadi karakterisitk generasi reformasi ini dibanding generasi sebelumnya. Karakteristik ini memang lahir sebagai respon negatif dari peradaban modern yang bercirikan tampilan tehnologi informatika dan computer, dalam specifikasi konsumsi facebook, twitter dan Hp. Deviasi terhadap nilai dasar yang bakal melanda generasi muda memang diambang pintu, bila kita mencermati jumlah facebooker anak muda yang mencapai hampr 23 juta konsumen. Hal ini memang mengagetkan kita bahwa diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan Yovita Maria dari Universitas urabaya menyimpulkan bahwa 61,7 % pengguna facebook bersikap narsis. Meski tahapan narsisme ini masih dalam taraf yang wajar, namun setidak tidaknya sebuah kewaspadaanpun harus kita kokohkan sebelum generasi ini jatuh pada ketidakpedulian terhadap masyarakat dan negaranya. Sehingga munculah kelak generasi yang ego, terpingit dari lingkungannya, hilangnya budaya malu, tidak memiliki kepedulian terhadap Negara dan bangsanya dan tanda tanda itu telah mulai terjangkitkan dewasa ini.

Kita tentu saja banyak disuguhi tayangan semua media mengenai tindak amoralitas yang bertebaran dari waktu ke waktu. Kasus yang merefleksikan hilangnya budaya malu dari oknum para petinggi, sehingga dengan tidak memilik beban psikhologis mengeruk uang Negara demi perutnya sendiri. Oleh karena itu menurut Prof Djoko Suryo, gurubesar UGM Jogjakarta menyatakan bahwa budaya malu justru dapat menjadikan korupsi semakin berkembang biak. Hal ini disebabkan budaya malu lebih mendasarkan pada konvensi-konvensi sosial ketimbang tanggung jawab individual.

Budaya malu yang mengalami metamorfosis tersebut di atas tentunya bukan budaya malu yang primordial, karena mengalami pendangkalan funsi dan peran budaya itu sebagai nilaisosial. Dengan demikian rekonstruiksi budaya malu serta nilai nilai primordial lainnyapun perlu dilakukan melalui satuan pendidikan, sebagai suatu upaya penyelamatan nilai sosial yang tepat.

Salah satu kiat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut di atas adalah mengkurikulumkan kegiatan Pramuka yang selama ini hanya sebagai kegiatan ekstra-kurikuler saja di sekolah berdasarkan payung hokum sebuah undang-undang. Padahal Pramuka adalah sebuah kegiatan yang sarat dengan usungan tanggung jawab, disiplin, rela berkorban, pembentukan sikap diri, nasionalisme, mendahulukan demokrasi da lain sebagainya, yang sangat tepat untuk pembentukan karakter. Peran vital pramuka terbukti telah mampu mendasari pembentukan sikap mental ideal setiap generasi dan telah diakui dunia keberhasilanya.

Menurut sebuah laporan dari Wikipedia (2006) Gerakan Kepanduan/Pramuka adalah sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki pengaruh mendunia. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di lapangan. Saat ini, terdapat lebih dari 38 juta anggota kepanduan dari 217 negara dan teritori.

Indonesia seperti Negara lainnya di dunia juga ikut mencangkan gerakan kepanduan tersebut dan memiliki jumlah anggota terbanyak dengan jumlah 17 juta orang. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pendidikan kepramukaan seperti dimiliki oleh banyak negara lain. Seperti diketahui bahwa Gerakan Pramuka di Indonesia selama 49 tahun praktis dilaksanakan hanya dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961. Sudah waktunya ditingkatkan jadi undang-undang,

Dewasa ini Rancangan Undang Undang Pramuka sedang digodog oleh DPR dan telah mencapai babak perumusan dan semua pihakpun apalagi kalangan pendidik sudah lama menantikan disahkan undang undan tersebut. Tentu saja bagi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia memandang kebutuh Undang-Undang Gerakan Pramuka saat ini sangat penting. Dengan adanya undang undang tersebut Kwarnas mampu mencanangkan model pengelolaan kepramukaan dan aspek aspek yang komprehensif mampu mereka dapatkan

Keterlambatan pengesahan undang undang tersebut banyak menuai protes akibat lambatnya kineja anggota dewan. Salah satu tokoh nasional yang turut prihatin, adalah Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukungan penyelesaian segera pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Gerakan Pramuka. Namun, ia berharap, kelahiran undang-undang tersebut nantinya tidak memicu polemik yang justru membuat gerakan pramuka semakin tidak diperhatikan. Padahal unit unit kegiatan pramuka (gugus depan ) telah merata di seantero Indonesia hingga ke pelosok-pelosok sehingga adanya fasilitas ini lebih mampu dihandalkan untuk pembinaan generasi mendatang. Hal ini terbukti dengan gerakan kepanduan yang digembelengkan pada banyak siswa sekolah jaman revolusi fisik, yang banyak menelorkan pahlawan pahlawan yang tidak diragukan sikap nasionalismenya.

Kamis, 16 September 2010

WANITA SONGSONGLAH GLOBALISASI

Hingga kini belum diketahui secara pasti dalam sejarah, sejak kapan wanita mulai berperan dalam dinamika sebuah masyarakat dari jaman ke jaman. Yang jelas kita hanya mampu mengdiskripsikan peranan urgensi wanita dalam dinamika suatu masyarakat, yang mengalami pergesaran. Dalam tatanan social masyarakat klasik, wanita hanya disimbolkan sebagai pelayan suami, symbol social, symbol reproduksi belaka, yang dalam budaya jawa disebut sebagai “ tiang wingking” (peranan hanya didapur melayani kebutuhan suami). Sebelum abad ke 20 semua peradaban di bumi menempatkan wanita hanya dalam symbol seperti tersebut di atas.

Namun justru di balik kelemahan figure seorang wanita, ternyata banyak memiliki kelebihan ketimbang seoarang pria. Namun hal ini belum bisa dieksploitir oleh banyak peradaban. Apalagi pada abad sebelum memasuki abad ke-20, yang masih belum terjamahkan isu tentang gender, maka peran urgensi wanita belum mendapat tempat pada dinamika social. Hal ini wajar saja sebab sebagian besar masyarakat primordial masih belum menginternalisasikan ideologi pemersatunya dalam wadah sebuah bangsa dan kedaulatn negara. Terbukti pada masa itu masih sedikit wanita yang tampil menjadi sosok negarawan.

Dalam dinamika sosial seperti itulah, konflik sosial banyak dituangkan dalam bentuk senjata, yang mutlak didominasi kaum adam, sehingga di berbagai peradaban lahirlah legenda seperti Knight, Robinhood, Musketeer, Shogun, Satria, Jawara dan lain sebagainya. Meski di beberapa belahan bumi kala abad ke-19 mulai lahir pendidikan untuk kaum hawa. Tercatat dalam sejarah, pada Masa Restorasi Meiji, di pertengahan abad ke-19, dikota-kota besar kekaisaran Jepang telah tercatat sebanyak 70 % wanita sudah berstatus pelajar ( mampu membaca, menulkis dan aritmatika). Demikian juga di Eropa dan Amerika. Namun di kawasan Asia dan Afrika, yang sebagian besar masih hidu terjajah bangsa eropa, yang terjadi justru sebaliknya.

Kondisi semacam tersebut tidak mungkin bagi wanita untuk berperan penting dalam dinamika suatu masyarakat sosial. Mulai memasuki abad modern, tepatnya pada awal abad ke 20, semakin beragamnya sistim nilai pada suatu masyarakat social, atau mulailah bergulirnya perkembangan segala macam perkembangan berbagai disiplin ilmu, maka semakin beragam pula manusia mengejawantahkan karya, karsa dan cipta maka dominasi priapun mulai menurun. Sebab man behind the gun yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama sebuah masyarakat social, tidak harus figure seorang pria. Namun figure yang memliki seabreg karakter yang mampu mencakupi, seperti kesabaran, ketangguhan, kecerdasan, ketelitian dan lain sebaginya yang tidak mutlak hanya dimiliki seorang pria

Dari fenomena social seperti inilah lahir peluang bagi wanita untuk tampil menggantikan peran pria. Kondisi semacam itu pulalah yang mengkondusifkan di Indonesia lahir perjuangan Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Selang beberapa dekade sesudahnya tampilah nnegarawan-negarawan wanita yang cukup karismatik di dunia, seperti Anita Peron (Presiden Argentina), Elisabeth Domitien PM Afrika Tengah, Sylvie Kinigi PM Burundi, Ruth Perry Presiden Liberia ( 1996 – 1997), Ellen JS Presiden Liberia ( 2006 s/ d sekarang), Reneta Indzhova - Pejabat Perdana Menteri Bulgaria (17 Oktober 1994 - 25 Januari 1995), Margaret Thatcher - Perdana Menteri (4 Mei 1979 – 28 November 1990) dan Megawati Soekarnoputri - Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) serta masih banyak figure lainnya.

Hal ini membuktikan bahwa wanita dilahirkan di dunia bukan semata-mata hanya untuk dieksploitir oleh kaum pria saja. Justru semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia modern semakin pula membutuhkan spesialisasi di bidang yang menuntut kompetensi yang mengembanya. Dari wacana tersebut timbulah profesi-profesi yang direkomendasikan diemban oleh wanita, seperti pendidik, tenaga para medis, psikolog, public relation, kasir, dokter personal shopper. Profesi wanita yang belakangan ini tampak masih merupakan profesi baru untuk wanita Indonesia serta profesi lainnya yang pada decade sebelumnya hanya didominasi kaum adam. Bahkan di arena politikpun bukan halangan bagi wanita modern untuk berkiprah di dalamnya.

Ternyata di Indonesia kiprah wanita di politikpun mampu merefleksikan tiada lagi perbedaan hak pada wanita, terbukti jumlah anggota DPR periode 1999 – 2004 berjumlah 52 orang Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dan laki-laki sebanyak 459 orang (81,6 persen).
Namun demikian menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari mengakui bahwa peranan wanita di bidang eksekutif dan yudikatif belum begitu menggembirakan. Hal ini tentunya bukan hanya tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja , tetapi menjadi kewajiban kaum hawa sendiri yang menekadi peran urgebsinya di masyarakat, yang hingga kini masih memandang sebelah mata.

ADAKAH KEPRIHATINAN DI ANTARA KITA ?

Belum hilang betul dari ingatan kita tentang nyanyian Susno yang menyeret Gayus dan mengelindingkan Syrus Sinaga, Edmund Ilyas, Syarif Johan dan petinggi /pemimpin publik lainnya menjadi pesakitan hukum. Kita kembali tercengang dan menarik nafas dalam dalam setelah mendengar laporan Internationmal Coruption Watch tentang “Sang Dalang” pendoliman hutan negara yang ternyata juga oknum petinggi negara. Oleh karena itu hingga kinipun kita tak tahu kapan Indonesia terentaskan dari sematan Negara terkorup se Asia Pasifik.

Sebuah keprihatinan

Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa pekan yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita., seperti belum lama ini terjadi pertikaian antara Satpol PP dengan Masyarakat Koja Jakarta Utara. Perseteruan etnis di Batam yang berakhir dengan amuk masa. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, pada enam bulan pertama tahun 2008 lalu, Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai1.850 aksi.

Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang nonkompromis ( tidak menerima lagi nilai lama ) dari perubahan sosial masyarakat Indonesia, yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Sebuah generasi bertipe “life-style hedonisme “ dan menyingkirkan jauh jauh sebuah amanat luhur, karena sebuah konsekuensi logis menjadi pemimpin/pejabat/ tokoh sental figur salah kaprah. Atau mungkin sebuah generasi yang telah kehilangan etika moralnya.

Maka yang menjadi nyanyian sumbang pada segmen grassrote, adalah pada era reformasi ini mereka diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.

Makna sebuah moralitas

Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa. Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.

Moralitas itu sendiri adalah penyertaan secara bareng semua nilai essensial yang ada di masyarakat social, yang digunakan sebagai patokan manusia yang bermartabat. Dan dengan moralitas itulah seorang individu mampu mengejawantahkan semua pandangan ke depannya.

Moralitas juga bisa dinyatakan sebagai sistim aplikasi publik untuk pembentukan semua nalar manusia, Sehingga dengan perangkat moralitas ( morality ) individu mampu memilah baik dan buruknya sesuatu niatan. Apabila moralitas ini diemban dengan kuat maka jadilah individu tersebut sebagai insan mulia. Istilah moralitas pada akhirnya dapat digunakan sebagai faktor pembeda, perilaku bermoral atau tidak. Pada akhirnya moralitas dapat digunakan sebagai pengejawantahan nilai normatif. Jadilah moralitas sebagai sesuatu yang wajib diembang oleh para petinggi kita.

Bila kita hadapkan moralitas pada para oknum petinggi kita, tentunya kita akan merasakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, salah satu moralitas yang wajib diemban oleh mereka adalah kejujuran, rela berkorban, peduli terhadap orang kecil yang lagi kelimpungan, Namun sebuah realita menyatakan jauh panggang dari api. Justru perseteruanlah yang ditampilkan antar mereka. Sejak dari mencuatnya kasus Antasari di akhir tahun 2009, bailout Bank Century di awal tahun 2010. Disusul kemudian nyanyian Susno dan terus menggelinding tak berarah.

Dikhawatirkan apabila konflik interpersonal / institusi ini terus bergulir, maka keterpurukan kita menjadi tambah dalam dan tak satupun persepsi anak bangsa yang menilai mahalnya sebuah persatuan dan kesatuan. Dengan terkoyaknya moralitas ini maka terbenam pula nasionalisme yang secara fitroh telah kokoh bercokol di tiap dada anak bangsa ini. Bila stadium penyakit sosiologis kita telah sampai pada tahan ini, maka tidak ada resep yang mujarab, pakar yang piawai ataupun bentuk “miracle: lainnya. Yang ada hanyalah rekonstruksi moralitas di dada kita masing-masing.

PERANAN MEDIA ON-LINE DALAM PEMBELAJARAN SOSIAL

Adalah suatu hal yang tabu, bila kita memperhatikan suatu ketimpangan/ketidakserasian bahkan suatu penzoliman yang kita temui di masyarakat sekeliling, institusi tempat kita berperan, namun kita hanya diam berpangku tangan. Sementara memasuki era peradaban baru yang melinkungi masyarakat Indonesia, sejumlah oknum pejabat/pemimpin ataupun suatu figur yang disentralkan oleh publik, bertindak menurut koridor egonya masing-masing. Tanpa suatu jendela hatipun untuk menelisik derita si kecil yang separo bernafas.

Dalam sejarah pembentukan peradaban manusia yang humanis yang dijinjing oleh corak hidup modernis, telah tercatat banyak sudah negarawan yang mengabdikan diri guna membasmi ketidak adilan suatu masyarakat dengan gaya dan kemampuan masing-masing. Sebagian dari mererka adalah Mahatma Gandhi sang Ahimsa. Gandhi menitikberatkan perjuangan Bangsa India dengan nasionalisme sebagai suatu kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagian besar perjuangan Gandhi yang mengedepankan Ahimsa itupun ditulis dalam beberapa media yang eksis kala itu.

Bahkan Soekarno The Founding Father untuk Bangsa Indonesia banyak menyodorkankan ide gagasanya guna membangun struktur berpikir masyarakat, melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Gaungpun bersambut dengan ketajaman dan gaya tulisanya yang specific. Soekarno berhasil menghantarkan Rakyat Indonesia menuju penetrasi ideologi, politik, naluri kebersamaan, patriotisme dan nasionalisme yang mewujud dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.

Sebuah idealisme bukan hanya mutlak milik negarawan kondang saja, bukan pula milik figure kharismatik ataupun figure central lainnya. Namun yang jelas setiap suatu idealisme apapun yang bersemayam kuat di tiap benak manusia, tentunya memiliki naluri agar ide dan gagasannya dibaca/didengar/dipatuhi oleh public. Sehingga individu yang terselip di grassrote-pun berhak pula untuk menyampaikan ide gagasanya dalam suatu tulisan.

Namun ide gagasan yang merasuki jiwa seseorang terkadang hanya menjadi sebuah niatan basi saja, kala ia menemui kendala berupa tehnik penulisan yang jauh dari criteria editorial ditambah dengan senioritas yang belum memadai. Dengan kapasitas seperti ini, jelaslah bahwa tak jarang media cetak untuk mem-publish “spirit to changing” agen perubahan yang awam tadi, karena secara komersial tulisan tersebut bersifat unprofitable. Kendala seperti ini mulai bisa diatasi setelah hadirnya media “on-line”, yang menawarkan wadah citizen journalist.

Hingga decade Tahun 2010 ini, peranan media on-line masih menjadi media kelas dua dibanding dengan media cetak. Hal ini disebabkan karena factor pendukung utama belum seluruhnya mampu diadopsi setiap masyarakat, karena daya beli, minat baca, kultur dan factor lainya. Padahal meski sepintas lebih ribet, namun publikasi media on-line mampu menjangkau masyarakat dunia. Inilah salah satu kelebihan media on-line ketimbang media cetak.

Dengan keunggulan seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan di decade mendatang, Penyelenggaraan UN untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK menggunakan jasa media on-line untuk tampilan soal-soal ujian tersebut, agar lebih mampu menjamin masalah kejujuran UN, karena lebih pendeknya mata rantai pengadaan soalnya. Tidak menutup kemungkinan di decade mendatang Kementrian Pendidikan melibatkan media on-line guna kegiatan pembelajaran di sekolah.

Diharapkan bahwa media on-line ini akan lebih berkiprah dalam hal publikasi dinamika social. Sebagai suatu kiat manusia modern dalam menggapai pemenuhan informasi dalam ranah apa saja. Mengingat keunggulan aspek cakupanya baik dari substansi dan area-publishnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan peluang masyarakat modern Indonesia dalam pencapaian kompetensi yang tidak disodorkan pada satuan pendidikan atau perguruan tinggi atau institusi edukasi lainnya. Bukankah dengan demikian peranan media on-line akan lebih signifikan lagi dalam pencerahan public.

Betapa tidak media on-line yang sekarang bisa kita dapatkan di internet bisa langsung menyodorkan input public secara komprehensif yang mencakup aspek edukasi, featur, kriminal, opini, sosial dan politik, hokum, news and views, sastra, anak anak, remaja dsb.

Ke Mana MENCONGAKU

Telah menjadi kesepakatan kita bersama bahwa dewasa ini Depiknas dan seluruh jajaran institusi yang terkait dengan sistem pendidikan nasional telah berupaya seoptimal mungkin dalam menggulirkan perubahan besar – besar terhadap pendidikan yang terintegrasi, sis
tematis dan terarah. Terdapat urgensi yang terselip di balik itu semua, yaitu tentang masa depan generasi kita yang harus tangguh dalam menghadapi kompleksitas di tengah Masyarakat Indonesia yang pesat mengalami social changes, karena pengaruh globalisasi. Maka keterpurukan sistim pendidikan yang telah kita akui bersama dan bila dihadapkan pada coincide penyiapan kemajuan bangsa, maka perubahan sistim pendidikan nasional haruslah dalam naungan suatu revolusi.

Betapa tidak , sebuah negara yang pada Tahun 1975 masih mengalami konflik politik sehingga telah kehilangan segala-galanya. Namun diluar dugaan lantaran keseriusan dalam menggarap sistim pendidikan nasionalnya, maka prestasinya sekarang bread di atas kita. Sebut saja negara tersebut adalah Vietman. Menurut survey yang dilakukan oleh International Education Achievment ( I E A ), indeks pengembangan manusia ( Human Development Index ) kita masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108 (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 ).

Padahal pada kurun waktu Tahun 1970 - 1975 kita telah memulai pembangunan dengan menapaki PELITA I I. Bangsa Indonesia telah membenahi bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan ( Harian Online Damandari, 2003 ).

Melihat kenyataan tersebut maka wajar saja apabila kita bersikap prihatin, namun tindakan kita yang paling bijak sebagai pendidik adalah menaruh perhatian yang serius. Bukankah sitim pendidikan nasional adalah asset prestis kita semua. Sehingga apabila terjadi keterpurukan terhadapnya, maka kita sebagai pendidik adalah yang paling depan dalam memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bertindak skeptis dalam menyikapi fakta tersebut. Minimal harus terbesit dalam hati kita untuk memulai langkah moral dalam mengejar ketertinggalan kita. Kita harus sigap dalam memulai bergulirnya sebuah revolusi pendidikan. Hanya dengan semangat yang tinggilah semua tugas moral kita untuk mengentaskan sistim pendidikan nasional kita menjadi ringan. Salah satu cara untuk mempercepat laju perubahan prestasi pendidikan adalah menggali metoda pembelajaran dalam ranah evaluasi, yang malah dewasa ini banyak diabaikan oleh kalangan pendidik.

Suatu metoda evaluasi pembelajaran klasik yang pernah diterapkan di sekolah oleh Diknas adalah mencongak / dikte / imla. Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar generasi sekarang tercetak dari sistem evaluasi mencongak tiap bidang ajar, apakah hal ini mesti kita pungkiri bersama. Bila manfaat dari sistim evaluasi tersebut terbukti memang dapat dihandalkan.

Sebuah evaluasi baik yang formal maupun non formal bisa sah – sah saja dilakukan, asal saja melalui alat penilaian yang sesuai dengan indicator yang akan dinilai sebagai sarana untuk mengetahui sejauh mana kompetensi siswa dapat terpenuhi dan yang lebih penting bagi sang pendidik harus benar jitu dalam menerapkan model evaluasi sesuai karakter peserta didik masing-masing.

Mencongak adalah salah satu jenis penilaian kelas tertulis pada ranah kognitif yang mengkondusifkan peserta didik untuk betul – betul mempersiapkan diri, mengurangi peluang antar peserta didik yang salng bekerja sama, membiasakan peserta didik untuk lebih cermat dalam mengerjakan evaluasi. Karena mencongan termasuk evaluasi pembelajaran , bukan sebagai evaluasi proses maka selayaknya mencongak diberikan pada akhir satu kompetensi diberikan . Apalagi bila kompetensi yang diberikan kepada peserta didik tergolong kompetensi yang padat. Untuk yang satu ini, disarankan agar mencongak sebagai bentuk evaluasi non formal dipadukan dengan evaluasi tertulis ( pencil and paper )

Namun demikian akan berpengaruh baik bila mencongak diberikan kepada peserta didik yang meliputi semua indikator pada satu kompetensi. Dari tagihan yang diperoleh, sistim mencongak biasanya akan memberikan nilai prestasi yang lebih heterogen dibanding dengan bentuk evaluasi lainnya. Sehingga kita akan lebih mampu mengetahui potensi dasar peserta didik. Dengan jumlah soal evaluasi yang lebih sedikit dibanding evaluasi lainnya tentu saja kita dapat langsung mengetahui nilai tagihan yang didapat dari peserta didik. Walaupun demikian tidak disarankan bagi peserta didik untuk membandingkan satu peserta didik dengan lainnya, karena akan menyebabkan rasa rendah diri bagi peserta didik yangh bersangkutan.

Meskipun mencongak tidak dibakukan sebagai metoda evaluasi yang disarankan, namun tetap saja mencongak masih memenuhi prinsip – prinsip penilaian kelas, yaitu prinsip valditas, realibilitas, menyeluruh, berkesinambungan, obyektif dan mendidik ( Tim IKIP P GRI Semarang , 2009 ). Validitas dapat kita wujudkan apabila mencongak mampu mewujudkan unsur – unsur / indikator yang memang harus dinilai dan diujikan kepada peserta didik. Selain itu, mencongak adalah sebuah metoda evaluasi yang menyimpan aspek realibilitas dengan dicirikan dengan kemampuan mencongak, yang mampu memberikan hasil unjuk kerja siswa yang konsisten, meski dilakukan berulang asalkan evaluasi tersebut dikondisikan sama. Terlebih – lebih bila mencongak dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan cakupan kompetens i dasar. Selain aspek aspek – aspek tersebut mencongak juga bisa dikategorikan sebagai metoda evaluasi yang obyektif, yaitu dengan kejelasan pemberian skor . Dengan demikian tidak diragukan lagi bila mencongak kita harapkan untuk diterapkan kembali.

Sebuah fakta nyata barangkali mampu meyakinkan kita, bahwa pada era Tahun 70 – 80 banyak pendidik kita yang diminta Pemerintah Malaysia untuk ikut membangun sistim pendidikan mereka yang tertinggal jauh dengan kita. Karena saat itu keunggulan dan mutu pendidikan kita telah terdengar mereka. Meski bukan penyebab utama maju sistim pendidikan saat itu, namun mencongak saat itu telah diterapkan sebagai evaluasi pembelajaran