Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 13 Oktober 2012
Kupu Kupu Maya
“Tapi never mind Step !, aku akan tetap engajak kamu gabung bareng kalau aku punya acara lainnya.
Senin, 28 Mei 2012
Menggapai Hari Esok
Dunia memang pengap, tak menentu dan menyimpan beribu misteri. Demikian
artian hidup bagi insan yang tiap hari, harus
bermandi peluh untuk mendapatkan sebersit kehidupan. Ataukah memang, insan itu senfiri yang tidak tahu makna hidup yang sebenarnya.
Seringkali yang namanya manusia selalu mengartikan hidup ini, hanya dari sebelah kemewahan materi saja. Namun demikian tidak bagi sebagian lainnya, warna kehidupan ditorehkan melalui manfaat
bagi manusia lainnya. Sehingga warna kanvas
kehidupan apapun tiada pernah mereka perdulikan.
Hamidun menapak kehidupanya langkah demi langkah, detik, menit, jam dan
bergulir seterusnya, dilalui dengan
langkah gontai tak berpijak selembar keyakinan. Hanya kesulitan hidupnya
sajalah yang mengokokohkan arti kehidupannya.Selain emak dan bapaknya yang renta, miskin, diapun belum siap
mematangkan diri di tengah masyarakat yang supermodern. Selembar ijazah aliyyah yang kumal dan kusut
belum secuilpun ia manfaatkan. Sudah tiga tahun, hanya disimpan di lemari
pribadinya. Apakah tiada guna sama
sekali ilmu yang digeluti selama 3 tahun ?,
pertanyaan demikian selalu saja hadir di dalam benaknya yang paling dalam. Jangankan masyarakat, dia sendiripun belum mampu
menjawabnya..
Tapi berkat asuhan emak dan bapaknya, tentang tawakal dan sabar,
Hamidun tiada pernah sedikitpun
memvonis kehidupan ini dari sisi keadilan . Yang ada hanya pembelajaran
kehidupan yang tabah, karena Hamidun dibesarkan ditengah kemiskinan, ketabahan
sekaligus ketangguhan menghadapi hidup ini.
Entah ada angin apa, ditengah
terik matahari yang menmbakar kulitnya yang legam. Dia tiba tiba saja, mencoba
untuk menyongsong hidup ini dengan lebih percaya diri. Diambilnya tas gaul yang
sudah kumuh, tas kesayangan sejak dia
masih di bangku aliyyah. Kemudian dipasang pada punggungnya, barangkali bisa menjadi
saksi, niatan hatinya untuk bertualang mencari pekerjaan di Semarang yang
gerah,
Sontak emak dan bapaknya menjadi terheran setengan senang, melihat anak
lajangnya berniat mencari pekerjaan entah kemana letaknya keberuntungan anak
yang diharapkan mereka. Kedua orang tuanya masih memandangi, walau jarak mereka
sudah cukup jauh, setelah tadi putranya berpamitan
“Ya Allah ……… semoga engkau
berkenan membimbing anaku dan selalu
membesarkan hati anaku, Anaku maafkan emakmu yang tidak bias membantu apa-apa,
hanya doa saja yang emak panjatkan “ demikain
suara hati emaknya, setelah cukup lama berdiri di halaman mengawasi kepergian
putranya, meski orang yang dicintai sudah tidak tampak lagi.
Matahari sudah mulai menelan
separo wajah bumi, pertanda sebentar lagi akan bersembunyi di balik malam. Bulanlah
yang akan menggantikan tugas matahari. Namun harapan yang selalu hadir di kalbu
Hamidun belum juga menjadi kenyataan.
Sudah
sekian banyak pabrik, bengkel, toko hingga depo isi ulang air mineral ia
datangi, untuk menawarkan jasa tenaganya. Namun semuanya tidak memberikan jawaban yang ia harapkan.
“Ternyata untuk mendapat secercah kehidupan, yang harus
aku miliki tidak semudah yang kubayangkan,……entahlah aku tidak tahu, harus
dengan cara bagaimana harus mendapatkan, biarlah penat sekujur tubuhku, namun
yang mampui menolong diriku adalah hanya diriku sendiri “ guman Hamidun di
tengah Kota Semarang, yang sudah mulai redup. Sementara lampu jalanan sudah
mulai menyala, tatkala dia sudah mulai tiba di jalan kampong menuju rumahnya.
“ Cepatlah
mandi dan sholat maghrib, anaku …! , emak sudah menyiapkan makanmu “ suara emak
yang tulus sempat ia dengarkan ,
ketika ia mencium keriput tangan
emaknya yang sudah dari tadi menunungu
kedatangannya di tengah regol pekarangan rumahnya. Kehangatan dan kasih sayang
emaknya masih ia rasakan, bukankah hal
ini cukup bagi dia untuk terus tidak putus asa dalam mendapatkan Rammat dari Allah swt.
Maka
Hamidunpun segera menunaikan Sholat Maghrib, agar dirinya selalu mendapatkan kekuatan di tengah keluarganya yang tidak memiliki
pengharapan. Tapi apalah artinya modal duniawi, sesuatu yang ia yakini mampu ia
dapatkan, dengan kedua bahunya sendiri. Waktu nantilah yang akan membuktikan.
Semangat itu tiada hentinya menjadi lokomotif hidupnya.
Matahari
masih setia menebarkan kehangatan di muka bumi ini, sehingga wajah bumi menjadi
terang, pertanda Allah swt, masih berkenan menebarkan RahmatNYA kepada
hambanya yang masih mwenyandarkan pengharapanya. Hamidun segera bergegas
menyongsong hari-harintya dengan segenggam harapan.
Masih
seperti hari-hari kemarin, tantangan dan kehidupan yang tidak bersahabat masih saja menghadang
Hamidun, anak lajang yang sedang belajar mengukir kehidupannya. Terkadang
terlintas di kalbunya, apakah masih ada hari indah yang dapat aku miliki, namun
terkadang pula perasaan itu hilang,
berganti dengan ajaran para guru-guru yang dahuluIa dapatkan di bangku aliyyah,, bahwa manusia mesti akan
mmendapatkan kemudahan dari Sang Pencipta, setelah manusia itu sendiri telah
menyisakan kesabaran dan pasrah.
“Sekarang,
sampeyan mau ke mana, kang ? “ seru
Rosid teman melepas lelah Hamidun di tepi Jalan Pemuda Semarang, tempat biasa
Hamidun dan teman-teman senasib mangkal melepas lelah, di siang udara panas
kota Semarang.
“Entahlah, kang………….aku sendiri tidak tahu, biar kering dulu keringatku, Wah belum lagi Sholat Duhur, nanti saja setelah istirahat tak lanjutkan
entah kemana aku akan berjalan mencari kerjaan “ jawab Hamidun dengan muka terbakar sinar
matahari.
“Baiklah kang, aku sendiri
hari ini sedang kena sakit perut, setelah Sholat Duhur nanti aku mau pulang
dulu, biar sampeyan yang lanjutin dagangan saya kang…! ”.
“ Lho sampeyan piye to…kang, inikan hari baik,
udara panas seperti ini kan baik untuk jualan es cendol to…? Apa sampeyan nggak rugi…? “ sela Hamidun,
setengah protes mendengar keluhan teman senasibnya.
“Ah,
kalaumasalah untung, manusia ndak ada
cukupnya, kang, entah tidak seperti biasanya hari ini aku merasa badan nggak
enak, masalah rugi itu gampang, etung-etung
sampeyan bisa belajar mendapatkan uang halal, tapi ingat lho
kang…hasilnya nggak seberapa “ jawab Rosyid dengan sorot mata meyakinkan,
sehingga membuat sikap Hamidun menjadi tidak banyak protes lagi. Keduanya
sejenak terdiam, karena Adzan Sholat Duhur memanggil mereka, untuk segera
menunaikan kewajiban.
“Kang ! ,
lantas bagaimana jadinya, dagangan sampeyan tak terusin, akau nggak mau kalau
sampeyan rugi, kang !. “ kembali Hamidun menegaskan maksud baik temanya tadi.
“Sudahlah,..nggak
usah kamu pikirkan, yang aku butuhkan hanya aku ingin istirahat dulu, nanti
setelah dagangan ini habis, kembalikan gerobagku di pangkalan biasa. Gitu saja Mid, aku tak pulang dulu. Assalamu΄alaikum
“ . Rosid memberikan jawaban terakhir, seraya membalikan badannya, dan terus
pulang.
Tinggalah
Hamidun yang sedang menguatkan percaya dirinya, untuk mencoba menapak awal
kehidupannya dengan berjualan es cendol. Toh untuk mendapatkan rejeki dari Sang Chalik bisa didapatkan dengan beribu cara. Tinggal
kita sendiri bagaimana menafsirkan makna hidup ini, demikian hati kecil
Hamidun, yang selalu melekat kuat di hatinya.
Yang jelas bagi pemuda lajang
ini, motivasi seperti ini telah terpatri jauh di hati yang paling dalam.
Masa lalu
tinggalah masa lalu, kini secercah kehidupan mulai Hamidun miliki, apalagi ia
baru saja mendapat kepercayaan dari juragannya Rosid, untuk
bergabung bersama Rosid menjadi buruh penjaja jualan miliknya. Hingga hari itu, ia mampu pulang ke rumah bertemu emaknya
dengan wajah berseri-seri, sedikit ia
memiliki pengharapan untuk mampu membantu emaknya dalam mencukupi
kebutuhan hidupnya..
Meski hanya
penjaja es cendol, namun tiada mengapa bila ini yang dapat Hamidun lakukan,
daripa menjadi penjaja kemaksiatan, toh
penjaja es cendol jauh lebih bermanfaat. Sebuah potret sosial, yang
dapat mengharu-birukan bagi yang tidak kuasa melakukan. Namun bagi Hamidup
selangkah lebih maju dalam mengarungi kehidupan ini.
“Ya Allah semoga engkau selalu berkenan
mencurahkan RahmatMU, pada hambaumu ini, berilah kesehatan dan kebaran pada
bapak dan emak yang telah banyak menyayangiku,
walau selama ini diriku belum mampu membalas budi baik mereka “ doa Hamidun selalu ia ucapkan setelah tiap
habis sholat. Bukankah ini sebagai
pertanda bahwa Hamidun, tidak lain adalah anak sholeh yang sabar, tabah dan
bertanggung jawab pada dirinya.
Sabtu, 21 April 2012
Pak Guru Andreas
Siapa bilang
hanya para pahlawan bersimbah darah yang tersungkur tubuhnya di tanah tercinta
ini, karena di terjang peluru anjing NICA adalah sosok paling berjasa terhadap berdirinya negara dan bangsa ini. Atau sang maestro perancang gedung
pencangkar langit, berangka baja dan berlantai pualam yang mahal harganya disebut
sebagai pahlawan negara. Bukankah pengendara sepeda motor yang melengkapi
kendaraanya dan keselamatan dirinya, yang juga patuh pada rambu lalu lintas
juga disebut sebagai pahlawan. Bahkan seorang figur yang tak pernah mengaku
dirinya phlawan, padahal sekeping hidup yang dimiliki, berajut menit demi menit
untuk mengasuh tunas tunas muda yang bukan anak kandungnya sendiri adalah
sebenarnya seorang pahlawan.
Pagi ini dia berdandan
Pakaian Dinas Harian, tanah liat yang menjadi jalan desa yang dilalui masih basah dengan
tetesan hujan semalam. Terasa berat langkah
kaki lelaki separoh baya itu berjalan di atas jalan yang belum kering benar.
Sepatu hitam model perlente, terpaksa harus menjadi kusam warnanya karena dia
harus menyibak genangan air di sepanjang jalan itu. Namun keluh kesah yang kadang
terlontar begitu saja dari mulutnya, sama sekali tak dihiraukan tebing tebing berimbun
ilalang dan pohon pinus di kanan kiri jalan itu.
Meski dia harus
menyibak embun pagi yang masih terasa menggigit kulitnya, namun kedua kakinya
terus saja diayunkan. Entah sampai kapan kaki ini masih setia menuruti kehendaknya,
meski kadang kadang penyakit reumatik yang dideritanya usil menggelitik hatinya
agar rebah saja di kamar tidurnya. Namun pagi yang datang menyapanya kali ini,
adalah pagi yang masih bersahabat denganya. Meski setelah Sholat Subuh dia harus menyisir jalan berkelok, naik
turun dan memutari kaki Gunung Ungaran
untuk sampai ke sekolahanya.
Jalan yang
dilalui sudah mulai agar terang, karena satu dua berkas sinar matahari mampu
menyelinap di balik rerimbunan pohon pinus. Satu dua kali dia mulai bertemu
dengan penduduk desa yang bergegas menyambung hidup dengan membawa keranjang
sayur untuk dijual ke pasar.
“Istirahat dulu
!, Pak Andreas !. Tidak usah terburu-buru, kan hari masih pagi !” sebuah
permintaan dari Kartono , pedagang sayur
yang hampir tiap hari berpapasan dengan dia di jalan desa tanah liat yang licin
itu. Andreaspun menghentikan langkahnya sambil mengatur nafasnya kembali.
Sementara Kartonopun merasa mendapatkan teman ngobrol di tengah hutan pinus
itu, lantas dia menurunkan dua keranjangnya yang berisi sayuran.
2
“Sampai kapan kita
harus begini, Pak Karto ?” seru guru yang sudah memucat wajahnya karena
kecapaian. Perjalanan yang harus dilalui memang cukup berat, karena jalan
setapak yang memutari bukit itu cukup jauh. Semenjak putusnya jembatan utama
karena diterjang derasnya kali Sumowono, Januari silam.
“Iya Pak, gimana
lagi !, kita tunggu pemerintah untuk menyambung jembatan itu lagi. Selama ini
kami rugi besar P ak !, karena
tidak bisa menjual sayur ke Semarang”
“Aku juga
kasihan pada anak anaku yang harus berjalan menyisir jalan memutar ini. Mereka
kini setiap hari kesiangan, kadang tidak ke sekolah. Meski pelajaran dimulai
jam 8 pagi “. Kartono sudah mulai mampu
mengatur nafasnya, maka diapun bergegas untuk melanjutkan menjemput matahari,
menjemput pembelajaran anak anaknya yang lugu, jauh dari kehidupan seperti anak
kota yang serba tercukupi. Namun keterbatasan segalanya, tidak mampu membungkam
degup jantung Andreas yang bergurat
kemanusiaan. Mereka adalah anak anak manusia, yang harus mendapatkan kasih
sayang.
***
Jarum kecil jam
dinding sekolah yang lusuh menunjukan angka 7 lewat sedikit, namun dinding
sekolah dasar itu masih kelihatan samar tertutup kabut pagi. Beberapa anak desa
berpakaian putih kumal sudah mulai datang di sekolah, mereka menyeringai
senyuman sambil mengucapkan salam kepada guru separo baya itu.
“Lho, yang lain
mana ?, yang datang cuma ini ?” sapa Pak Andreas.
“Kami tidak tahu
pak !, hanya tadi teman teman banyak yang pergi bersama ibunya ke puskesmas ?”
“Sakit apa
mereka ?”
“Kata ibuku,
semalam banyak anak tetangga yang batuk pilek dan badanya panas”
Meski dengan
getir, Andreas mencoba tetap mengusung senyum pada mereka. Meski tembok tembok
kusam dan banyak yang retak, kaca kaca jendela yang berdebu tebal telah
mencibirkan senyumanya itu. Apalagi ternit atap kelas yang sudah mulai banyak
yang retak bahkan koyak di sana sini, seakan mengusir Andreas agar meninggalkan
sekolahan ini. Tapi semua hipnotis yang menyelinap di sisi lain jantungnya dia
tepiskan kuat-kuat. Andreaspun segera mengambil tongkat besi dan dipukulkan
pada potongan rel baja kereta
3
api yang
menggelantung di depan kantornya, sebagai pertanda waktunya bagi anak anak
untuk mulai belajar. Meski pandangan mata kosongnya dia arahkan pada sederetan
ruang kelas yang hanya berisi tidak lebih dari sepuluh. Sementara sejak Bulan
Januari silam, sebagian guru lainnya sering datang terlambat dan kadang pula
tidak hadir, lantaran halangan alam yang demekian kencangnya merenggut mereka dan anak anaknya.
Terbesit dalam hatinya, terkadang diapun berniat ingin sama seperti mereka. Namun
sebuah pembelajaran yang pernah dia sodorkan suatu hari kepada anak anaknya
mampu demikian kuatnya terpatri dalam lubuk hatinya.
“Inilah badai
matahari yang menerjang bumi kita !” Andreas memegang peraga bumi di tangan
kananya, yang didekatkan pada peraga matahari pada tangan kirinya, untuk member
pelajaran IPA pada mereka.
“Mengapa bumi
tidak terbang melayang, pak guru ?, padahal terkena badai. Apa kalau bumi
terkena badai matahari kita semua akan mati, pak guru ?” tanya Susianti dengan
polosnya.
“Itulah hebatnya
bumi, Susi !, Bumi tidak pernah berhenti berputar, apalagi kabur karena badai
matahari. Sebab kalau bumi berhenti atau terbang melayang, kita semua akan mati
!” jawab Andreas dengan derai tawa menghiasi wajahnya.
“Beruntung
sekali, kita hidup di atas bumi yang
berhati baik. Aku ingin seperti bumi, pak guru !”. Tanya Hendrawan.
“Oh bagus sekali
cita citamu Hendrawan !, sifat bumi itu
bisa kita tiru. Kita sebaiknya tetap berbuat baik kepada orang lain, meskipun kita
sedang berhadapan dengan penderitaan, sama seperti bumi. Bumi tetap berputar,
memberikan kita siang dan malam, menumbuhkan padi dan sayuran meskipun dia
diserang badai matahari. Nah kalau kita bisa meniru bumi, maka kamu nantinya
bisa menjadi manusia yang baik “.
Solar Fire tidak
hanya menyerang bumi saja tapi kini menyerang sekolahnya, dengan banyaknya
tebing di seputar wilayah Sumowono yang longsor, apalagi dengan putusnya jembatan
utama. Namun bukan berarti pembelajaran pada anak anak desa yang lugu dan
kebanyakan putra petani miskin itu, menjadi terhenti menerima pembelajaran.
Bumilah yang mengilhami Andreas agar dia mampu bersifat seperti itu. Mengapa
dia harus kalah dengan cita cita murni Hendrawan anaknya.
***
4
Sayup terdengar
suara beberapa orang mendekati ruang kelas VI, Andreaspun bergegas menyambut
mereka yang datang bertiga dengan setelan kemeja PSH. Peluh membasahi wajah dan
tangan ke tiga tamu itu yang kelelahan.
“Bapak dari mana
?”
“Oh ya !, Bapak
yang bernama Pak Andreas ?” jawab salah seorang dari mereka.
“Betul, pak !,
ada yang bisa saya bantu ?”
“Kami tim survey
dari pemkot, kami hanya berniat survey di wilayah ini. Terutama laporan
beberapa media tentang lumpuhnya pendidikan di sini karena hujan deras kemarin.
Setelah selesai kami survey, secepatnya kami akan membantu mengatasi lumpuhnya
wilayah Sumowono”
Andreas saat ini
mampu berperan sebagai nara sumber dari masalah kemanusian. Bukan hanya nasib
sekolah anak-anaknya, tapi juga kebutuhan kelancaran transportasi bagi petani
sayur di wilayah itu.
“Lantas apa ide
bapak ?” pinta ketua tim survey, setelah mereka melihat dengan mata kepala
mereka sendiri tentang penderitaan hidup warga Sumowono.
“Saran kami,
dahulukan tersambungnya Jembatan Sumowono, lantas bersihkan longsoran tebing
yang banyak menutupi jalan itu. Misalkan pemerintah daerah belum mampu
menyambung Jembatan Sumowono, gunakan dahulu jembatan darurat militer !”
Wajah wajah
optimis kini menghiasi meeka semua. Andreas melepas kepergian mereka semua
dengan harapan yang bulat, agar pembelajaran kepada anak anaknya tidak pernah
retak apalagi patah***
Langganan:
Postingan (Atom)