Belum hilang betul dari ingatan kita tentang ulah Bonek pendukung Persebaya yang merepotkan semua pihak di atas Kereta Pasundan Jurusan Bandung – Surabaya pp , di Bulan Januari tahun ini. Kini kembali potret sosial yang berupa sebuah erosi moral yang melanda masyarakat umum terjadi di Semarang .
Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa hari yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, lantaran dendam kesumat Th 2005 lalu, ketika supporter PSIS Semarang diserang oleh Suporter Persijap Jepara kini dendam itu dilampiaskan dengan brutal di Semarang Sabtu 30 Januari 2010.
Tak pelak lagi sebanyak 18 Suporter Laskar Kalinyamatpun menjadi korban luka cukup serius, lantaran bus yang mereka tumpangi di cegat di Jalan Siliwangi oleh rausan Suporter PSIS, bahkan pada kejadian tersebut banyak pula yang dirugikan secara material akibat penjarahan barang berharga. Bukankah ini bisa dijadikan tolak ukur bahwa konflik antara simpatisan tersebut sudah bukan lagi sebuah fanatisme apalagi sebuah sportifitas. Lantas apa yang dapat kita perbuat, apabila konflik ini terus akan menimbulkan korban, atau lebih jauh lagi meresahkan masyarakat.
Konflik antar simpatisan tersebut sebaiknya secara bijak kita urai mulai dari struktur suporter yang terlibat, guna mengetahui segmentasi mana yang paling mendominasi perusuh tersebut. Hal ini disebabkan karena kita belum pernah melakukan penelitian mengenai komposisi para bonek yang berada di setiap kota yang menjadi potensi konflik supporter tersebut. Secara sepintas berdasarkan pengamatan dari berbagai media terlihat jelas bahwa kelompok yang mendominasi simpatisan klub bola, adalah remaja. Bahkan beberapa diantaranya atau bahkan paling banyak adalah dari kalangan pelajar.
Dengan demikian dapat kita dapatkan solusi komprehensif khusus untuk segmen pelajar . Solusi tersebut adalah pembinaan sikap mental yangh lebih intensif di masing – masing satuan pendidikan ( sekolah ). Sebab salah satu fungsi satuan pendidikan bagi peserta didik adalah penanaman sikap mental yang utuh. Sikap mental tersebut tentu saja akan terbina dengan sendirinya , apabila peserta didik aktif dalam bersosialisasi dengan teman, guru , orang tua serta masyarakat di luar jam sekolah.
Apabila seorang pelajar melakukan konflik yang tak terpuji maka penetrasi sikap mental, baik penetrasi dari sekolah, orang tua maupun masyarakat pergaulannya tetal gagal. Namun alangkah baiknya bila kita secara bijak tidak menyalahkan peran mereka satu persatu. Hanya saja penanaman sikap mental peserta didik di lembaga sekolah, adalah yang paling formal dengan kemasan pedogogik yang ilmiah. Sehingga agar terjadi pembinaan yang menyeluruh terhadap perkembangan jiwa seorang peserta didik, sekolahlah yang paling dahulu dituding.
Namun masalah in menjadi lebih pelik lagi bila para supporter yang mengalami konflik ini adalah berasal dari kalangan umum, tentulah harus dilakukan pencerahan moralitas yang lebih kompleks. Hal ini bisa dimengerti lantaran apabila seorang suporter sejati yang menaruh simpatik terhadap kesebelasannya tentulah akan bersifat sportif. Karena apapun alasannya, sehebat apaun sebuah kesebelasan pastilah pernah mengalami kegagalan, dan sudah barang tentu bagi seorang suporter yang sejati sikap sportifitaslah yang harus dikedepankan.
Dengan demikian tabiat menyerang suporter lawan tanding kesebelasan pujaannya, adalah bukan sikap seorang suporter yang sebenarnya. Sikap tersebut lebih kentara dapat dilihat dari aspek pelampiasan aspek-aspek yang menjadi potensi laten ketimbang sebuah sikap fanatisme. Dengan alasan seperti ini, maka sudah barang tentu bagi instisitusi yang berkepentingan dengan masalah tersebut haruslah segera dengan sigap menentukan metodologi penyelesaian sosial untuk merampungkan masalah ini agar tidak terulang lagi.
Masalah kenakalan remaja ataupun konflik seperti tersebut di atas adalah hal yang memang harus dituntaskan. Sebab masalah ini bisa menjalar ke bentuk lainnya, yang bisa merusak kererasian anak bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sebenarnya masalah in adalah masalah yang sudah menyentuh moralitas sebuah masyarakat. Apabila moralitas yang dari jaman nenek moyang kita telah dipelihara dan disakralkan, bisa mengalami degradesi menjadi sesuatu yang tidak berharga dan pada gilirannya nanti akan hancurlah sebuah tatanan sosial.
Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang tersisih dari perubahan sosial masyarakat Indonesia yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Karena pada era sekarang tidak ada satupun masyarakat yang mampu menghindar dari globalisasi multidimentional, Namun dengan mahalnya pendidikan baik negeri maupun swasta, maka baringkali saja masih banyak anak bangsa ini yang tidak mampu mengenyam pendidikan yang memadai, atau menjadi generasi yang tidak memiliki ketrampilan dan kesempatan kerja
Apabila kondisi telah mencapai demikian maka terjadilah pelapisan sosial yang dilengkpi dengan menumpuknya jumlah pemuda / remaja yang tidak memiliki strata pendidkan memadai sekaligus tidak memiliki keahlian khusus, yang menumpuk di lapisan paling bawah. Kelompok sosial inilah yang rentan terhadap potensial konflik.
Apalagi di era reformasi ini, saat masyarakat banyak diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa kita, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur. Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa.
Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar