Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Kamis, 06 Desember 2012
Selasa, 13 Maret 2012
Pembelajaran Malu
Entah mulai
kapan para penentu kebijakan pendidikan atau otoritas pendidikan di negeri ini
mampu merancangbangun setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) sebagai
tempat “membongkar pasang” karakter peserta didik sedemikian rupa. Sehingga
satuan pendidikan tersebut mampu mencetak “out come” yang mengusung sebuah
tampilan karakter yang terpuji. Sebab itikad
kita semua dewasa ini adalah pencanangan “Indonesia Zero Corruption atau rekontruksi bangsa
santun dan berbudi luhur ”. Semua pemerhati multidisiplin tentunya berpendapat
bahwa kiat tersebut pada essensinya bukanlah hanya dengan menginstal perangkat
berbagai regulasi atau pencerahan moralitas serta penerapan kiat lainnya.
Namun justru menstimulir
pembentukan pribadi peserta didik akan efektif bila diberlangsungkan sedini mungkin, saat mereka masih berada di
bangku sekolah, atau disaat mereka mendapatkan pembelajaran dari pendidik yang
berganti fungsinya, dari pemberi bahan ajar hingga sebagai fasilitator bahan
ajar. Selama di bumi ini masih terdapat pembelajaran dari sumber bahan ajar
kepada pihak yang membutuhkan pembelajaran tersebut, maka disitulah terjadi
peluang pembentukan moralitas peserta
didik. Hanya masalahnya pembelajaran tersebut berjalan secara proporsional dan professional atau tidak.
Disinilah
essensi sebuah pembelajaran dalam pendidikan, yang berperan sebagai salah satu nilai dasar masyarakat
sosial. Sehingga pembelajaran inilah yang dianggap vital dalam pendidikan. Pembelajaran
itu sendiri menurut Corey
(1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondidi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar
menurut William H Burton adalah upaya
memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar.
·
Budaya Malu
Pernahkah
terbayang di angan kita tentang ketertiban masyarakat kita dalam berlalu-lintas
tanpa diawasi oleh petugas lantas, atau masyarakat yang tertib dalam antrian
panjang, tidak membuang sampah/merokok/meludah di sembarang tempat, tanpa
adanya regulasi yang mengawalnya. Seperti kebiasaan kebiasaan positif dari
bangsa bangsa lainnya yang telah maju atau bangsa yang telah tertanam kuat
dalam hatinya perasaan malu, yang telah sedini mungkin diinternalkan melalui
pembelajaran sedini mungkin.
Sebegitu
vitalnya budaya malu sehingga Mantan
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyatakan bahwa perasaan
malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki
kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi
orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai
hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.
Menindaklanjuti
pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek
“character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa
sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam
mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam
laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua
murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar
pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran
hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta
didiknya.
Sebuah karakter
yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna
mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang
melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan
individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal
inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.
Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang
individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang
kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh
karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di
peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar
karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang
dan pendiam (quiet and calm).
Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila
terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun
karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran
nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
·
Aplikasi Intensif
Setiap peserta
didik yang terlibat dalam pembelajaran mampu mengoptimalkan pembentukan
pribadinya bila mereka terus dipusari dengan pendidik yang luwes dalam
pemberlakuan asih, asah dan asuh secara perlahan-lahan namun intensif, sejak
mereka duduk di bangku SD. Sehingga dalam pembelajaran modern yang menempatkan
pendidik hanya sebagai fasilitator, maka jarak antara mereka dengan pendidikpun
harus akrab secara
proporsional. Disinilah pendidik mampu mengeksplorasi semua daya dukung peserta
didik yang ada, lengkap dengan karakter baik dan buruknya. Dengan demikian
pembentukan budaya malu dapat diusung sedini mungkin***
Jumat, 03 Februari 2012
Monev Guru Profesional
monev di MA Futuhiyyah 1 Mranggen DEMAK |
Istilah profesional dalam kapasitas apa saja tidak saja suatu beban moral bagi yang menyandangnya, tetapi juga membutuhkan suatu pengakuan profesionalisasinya oleh masyarakat sosial di sekitarnya. Entah yang berkapasitas tersebut memiliki sertifikasi dari lembaga formal yang berkompeten atau tidak. Sertifikasi tersebut bisa diabaikan oleh lingkungan sosial, bila mereka hanya menuntut kecakapan tenaga professional tersebut sekedar mampu memberikan solusi permasalahan yang ada di lingkungan sosial saja. Hal ini biasanya hanya untuk sector non formal yang banyak tersebar di masyarakat luas.
Namun untuk
menunjukan professional pada bidang/ketrampilan formal (contoh tenaga medis,
tehnisi, pilot , pendidik dan lain sebagainya). Maka pengakuan formal dari
institusi yang berkompeten harus disertakan melalui regulasi yang cermat,
akurat dan terintegrasi antara factor kecakapan dan karakter “man behind the
gun” sebagai factor yang paling dominan, yang juga harus dipandang secara
normatif.
Tidak tanggung
tanggung bagi pendidik bidang studi apapun yang telah disertifikasi
profesional, adalah pendidik yang minimal berpengalaman mengajar minimal 4
tahun dengan pembekalan Pendidikan dan Latihan Profesional Guru untuk mengusung
sebuah pandangan moral guru untuk berkarakter pendidik professional.
Namun terdapat
spesifikasi bagi pendidik yang professional, untuk menggapai pengakuan keabsahan profesonalnya. Hal ini
karena pendidik harus berhadapan dengan sosok peserta didik, dengan harus mengerahkan kemampuan tehnis
pedagogi dan penguasaan bahan ajar yang mumpuni. Apalagi bila kita menggaris
bawahi, bahwa pembentukan karakter peserta didik yang perlahan dan bertahap, penanaman
nilai hidup yang cermat dan vital serta pencetakan sebuah generasi yang siap
menyongsong jaman. Maka dalam menghadapi tantangan vital tersebut, aspek
porfesional bagi peserta didik sungguh sangat berat.
Oleh karena itu,
aspek professional bagi sang pendidik bukan barang gampang yang di dapat dengan
membalikan tangan. Hal ini menyirtkan suatu pemahaman bahwa setumpul apapun
peserta didik yang diasuhnya, harus mampu menerima bahan ajar diatas Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Sehingga menimbulkan sebuah konsekuensi logis bahwa
setiap tindakan “learning” bagi pendidik haruslah dilengkapi dengan “track
record” yang cermat berupa “instrument pembelajaran” yang menyangkut perencanaan
semester, tahunan, efektifitas waktu dan lain sebagainya, seprti seorang
dokter yang menyembuhkan pasienya dengan catatan medis yang memadai.
Kriteria seperti
di atas memang pada umumnya sering dilupakan oleh sang pendidik, namun bagi
sang pendidik yang professional, criteria tersebut dijadikan senjata tajam demi
mendapatkan penetrasi bahan ajar yang memuaskan. Oleh karena pentingnya
criteria tersebut, maka sudah selayaknya apabila otoritas pendidikan di
Indonesia (Disdikpora dan Kemenag) untuk rajin melakukan Monitoring dan
Evaluasi (Monev) secara periodik dan cermat.
Namun sungguh
disayangkan bahwa di lapangan sering kita mengetahui masih banyaknya pendidik
yang men-“download” instrument instrument pembelajaran dari dunia maya atau
menggunakan jasa pihak tertentu yang menawarkan CD yang berisi instrument lengkap,
tanpa mampu difilter dan ditepis otoritas tersebut (pengawas sekolah/madrasah).
Upaya pendidik tersebut di atas sebenarnya dapat mematikan kreatifitasnya pendidik
sendiri dalam merancang ‘learning” yang nyaman dan memuaskan serta aspek
kondisional di satuan pendidikanmasing-masing. Lantaran dengan mengisi form ama
guru dan sekolah, mereka sudah mampu mendapatkan instrument yang lengkap dan
mengganggap kegiatan monev hanyalah semata pada aspek formalitas saja.
Apabila Monev
yang bertujuan essensi untuk meng-up grade pendidikan di Indonesia masih banyak
menemukan factor kendala yang konyol, maka sebuah isaratpun mampu kita
dapatkan, yaitu masih belum siapnya banyak pendidik yang mengusung sebuah
professional. Langkah apa lagi yang mampu kita rencanakan ?.
Kamis, 12 Januari 2012
Optimalisasi Peran Aktif Orang Tua
Dipastikan bahwa sesuai
dengan kebutuhan kita bersama dalam memikul tugas pembentukan “The Smart
Generation of Indonesia” yang berkarakter akan semakin pelik. Meski berbagai factor pendukung
pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah, dengan dana sebesar Rp 200
Trilyun, guna menggenapi sarana pendidikan (pendukung pembelajaran multimedia
), Bantuan Siswa Miskin (BSM ), Bantuan Operasional Sekolah / Madrasah
(BOS/BOM), bantuan untuk kesejahteraan
guru (Honor Daerah dan Tunjangan Fungsional ), program sertifikasi guru dan
lain sebagainya.
Peliknya masalah yang
merintangi capaian prestasi pendidikan yang kita tekadi bersama, sebagian besar
bertumpu pada “faktor kultur” dari semua pihak yang melangsungkan pembelajaran
di setiap lini pendidikan. Kultur yang
melatarbelakangi pendidik agar bersinergi
figure pendidik yang profesioanal, siswa yang penuh
antusias menuntaskan bahan ajar, mengantisipasi
UN dengan moralitas tinggi serta capaian lainnya nampaknya belum tumbuh dengan
signifikan. Bahkan suatu tindakan tak terpuji dari siswa yang terlibat tawuran
masih sering kita saksikan di media.
·
Pergeseran Moralitas Peserta Didik
Apakah tawuran yang
dewasa ini telah menjadi “symbol superiortas” peserta didik ketimbang menguasui
bahan ajar, adalah karena perkembangan
karakter seorang peserta didik yang tidak
bisa lepas dari kulture sosial yang melingkunginya, yang kemudian menjadi nilai
hidup baru yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Padahal fenomena perkembangan
karakter peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda
dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu peserta didik
yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet
and calm). Namun
karakter dasar ini telah bergeser menjadi bentuk lain karena terinfiltrasi
nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya atau bahkan karakter
amoralias oknum petinggi negara yang mereka saksikan di tayangan multimedia.
Sehingga sering kita
bertanya pada hati kita sendiri, apakah semua kiat Kementrian Pendidikan
Nasional telah percuma begitu saja atau memang factor waktu saja yang akan menentukan.
·
Peran Aktif
Orang Tua
Salah satu kiat handal
yang masih terlupakan para penyelenggara pendidikan, adalah kiat optimalisasi
orang tua siswa dalam peran mereka pada pembelajaran belaka, bukan hanya peran
orang tua dalam wadah komite yang hanya bersifat kebutuhan institusional
belakan. Tapi lebih berarah pada monitoring peserta didik di jam sekolah. Hal
ini disebabkan karena peserta didik mampu berbuat tak terpuji justru pada saat
mereka di luar sekolah. Kedekatan orang
tua dengan sekolah perlu lebih dekat lagi dengan jalinan kerja sama yang formal,
terintegrasi dan berkesinambungan. Sebagai contoh aplikasi ini adalah kunjungan
orang tua ke sekolah secara aktif. Peran aktif tersebut lebih berdampak signifikan apabila pertemuan orang tua dengan
wali kelas/guru kelas dilakukan secara berkala, intensif dan berkelanjutan yang
didasarkan pada regulasi dari autoritas pendidikan.
Dengan demikian akan
terciptalah triangulasi pola kerja sama antara peserta didik, sekolah dan orang
tua, yang dilengkap dengan instrumen laporan aktifitas belajar dari orang
tua/wali tentang segala aktifitas putra kesayanganya. Hal ini semua akan
mendukung pembentukan dimensi kognitif, psikomotorik dan affektif peserta didik sesuai
dengan makna pembelajaran menurut Corey
(1986:195) yang mendefinisikan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap
situasi tertentu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan peran orang tuapun identik
dengan peran pendidik di sekolah, meski hanya membimbing dalam belajar,
mengerjakan tagihan. Tentunya akan lebih handal lagi bila yang berfungsi
sebagai pendidik di rumah adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena mengajar
menurut William H Burton adalah upaya
memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar
Memang kiat seperti
tersebut telah dirintis sebagian sekolah, namun
belum tersibergis dengan cermat, tepadu dan antusias secara nasional. Sudah semestinya kita menggeliatkan kiat yang
handal ini demi tujuan pendidikan kita bersama, yang apabila dilakukan dengan
kebersamaan antara kita semua, kepelikan yang
menggayuti kemajuan pendidikan kita mampu kita tepis bersama.
Sabtu, 31 Desember 2011
Dari Play Station hingga Tawuran
pelajar SMP sudah mengenal tawuran |
Tugas moral ini tentunya tetap kita langsungan dengan penuh tanggung jawab
sesuai dengan kebutuhan essensi yang diperlukan mereka, yaitu kebutuhan dan hak
untuk memperoleh pendidikan. Hal ini perlu mendapatkan fokus perhatian, karena
pada perioda 20 – 25 tahun mendatang, mereka akan mendapat giliran pemegang
tongkat estafet pergantian generasi ke generasi. Apabila kita gagal dalam
membentuk karakter, kecerdasan serta ketaqwaan mereka melalui ranah pendidikan,
maka bukan tidak mungkin kita akan gagal dalam pembentukan generasi “penjemput
bola” Bangsa Indonesia di perioda tahun tersebut.
Langkah awal dari upaya maksimal kita adalah langkah
“manis” berupa pengucuran Bantuan Siswa Miskin pada 5, 8 juta siswa miskin,
dengan besar anggaran Kemdiknas sebesar Rp 3, 7 Trilyun. Langkah ini dipandang
oleh sebagian besar praktikan pendidikan sebagai langkah yang taktis demi
penyelamatan siswa yang tidak mampu bersekolah karena faktor biaya. Tentunya
dengan mekanisma penyaluran yang “lebih manis” pula, yaitu dengan mekanisma
penyaluran yang mampu langsung ke tangan peserta didik, guna menghindari
pungutan pihak sekolah atau manipulasi data jumlah siswa miskin di masing-msing
sekolah.
Aspek positip yang paling kita harapkan dari BSM
tersebut, adalah aspek pengadaan buku bahan ajar bagi siswa miskin. Terlebih
lagi bila pihak pendidik ikut terlibat melakukan himbauan agar para siswa
miskin ini menyisihkan sebagian dana bantuan tersebut untuk pengadaan buku
bahan ajar yang representatif.
Hal ini disebabkan karena masih adanya realita bahwa
peserta didik masih belum memiliki kesadaran untuk menggali informasi bahan
ajar dari buku ajar. Sekaligus untuk menindaklanjuti aspek pembiasaan “membaca”
bagi peserta didik kita yang sebagian besar masih malas belajar. Bahkan untuk
mengikis budaya malas membaca/belajar ini, sebaiknya perlu adanya gerakan
nasioanal yang disodorkan oleh Kemendiknas untuk program wajib membaca bahan
ajar tertentu pada masing-masing jenjang sekolah dan ditindaklanjuti dengan
program refleksi/evaluasi formal
terhadap kegiatan membaca tersebut.
- Langkah Seimbang dan Totalitas
Kita mungkin telah jenuh membaca tayangan media
cetak/elektronik/dunia maya tentang ketertinggalan peserta didik kita terhadap
siswa dari negara lain. Namun kita juga harus mengerucutkan parameter
ketertinggalan tersebut. Pada umumnya ketertinggalan yang diungkap oleh media
tersebut adalah ketertinggaan dalam
aspek kognitip saja. Tanpa menyertakan parameter yang komprehensif, seperti misalnya
aspek kesantunan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu,langkah maju yang perlu kita tekadi di
tahun 2012 ini adalah langkah totalitas dalam menggapai peserta didik kita yang
berpengetahuan tidak kalah dengan siswa asing, tetapi memiliki karakter yang
kuat, yang mampu memasinisi kapasitasnya menuju generasi bangsa yang handal.
Sehingga terbentuklah wujud pembelajaran yang seimbang antara pembentukan
karakter yang sesuai nilai luhur Bangsa Indonesia dan pencetakan generasi yang
pandai (The Indonesian Smart Generation).
Namun sungguh disayang, disalah satu sisi kita mulai
serius menerapkan pembelajaran plus karakter, di lain sisi masih banyak kita
saksikan tawuran pelajar yang semakin beringas dan menjurus ke tindak kriminal.
Sebuah langkah maju di tahun 2012 ini bakal kita raih dengan gemilang apabila
kita berhasil mengikis habis perbuatan brutal siswa tersebut. Namun andaikata
kita gagal dalam menepis tindak amoral ini, maka sebuah langkah surutpun bakal
menyertai kita.
- Signifikasi Sekolah Berbasis Masyarakat
Suatu realita lainnya masih banyak kita jumpai dalam
kontek pendidikan, yaitu masih banyaknya warung play station yang buka di saat
jam sekolah. Meski warung tersebut telah memiliki ijin yang sah, yang tidak
mungkin kita bubarkan secara sepihak Namun setidak-tidaknya para pengelola
warung Play Station (PS)atau warnet bersedia melakukan filter terhadap
pengunjung secara serius.
Langkah yang lembut untuk mengatasi masalah ini semua
adalah dengan melibatkan masyarakat pada perencanaan, pengelelolaan, penggalian
dana, rasa memiliki sekolah dan pengawasan terhadap anak anak kita sendiri.
Apabila kita mampu melakukan pemberdayaan ini semua, maka kitapun akan mendapatkan
prestasi yang diharapkan dari kemajuan pendidikan kita.
Apalagi bila kita mengamati salah satu karakter
tentang spesifikasi dari masyarakat modern, yang bertendensi tidak hanya dalam
kapasitas yang mereka minati dan tekuni, tetapi suatu tendensi kemampuan dalam
pembelajaran sosial demi kepentinganya. Maka apabila tendensi karakter
masyarakat tersebut kita optimalkan dalam pengasuhan sekolah yang ada di
sekitarnya, maka genap sudah kemajuan pendidikan bakal kita raih***
Minggu, 23 Oktober 2011
Optimalisasi Sekolah Berbasis Masyarakat
Sesuatu yang pelik memang harus
kita hadapi dalam urgensi pengentasan mutu pendidikan kita yang terpuruk ini.
Tentunya setelah kita menggenapi sistim
pendidikan dengan berbagai instrumen yang menjadi faktor pendukung
keberlangsunganya, seperti kurikulum yang representatif, guru yang professional
sebagai media transfer bahan ajar san agen pembentuk jarajter peserta didik, sistim
evaluasi yang komprehensif dan berstandardisasi, kita juga dihadapkan
kompetensi peserta didik terhadap bahan ajar dan konsistensi karakter peserta
didik yang paling essensi. Sekaligus specifikasi tersebut direkomendasikan
mampu menjadi dasar akselerasi pengentasan di bidang pendidikan atau aspek
lainnya.
Mengapa aspek karakter dalam
urusan pendidikan menjadi demikian essensinya, pertanyaan ini tentunya bisa
kita jawab dengan mencermati hubungan antara karakter sebagian besar anak
bangsa dengan karakter suatu bangsa. Kita telah mengetahui bahwa karakter dasar
yang membudaya kokoh dalam masing masing sanubari anak bangsa yang inovatif dan karakter lainya yang menjadi dambaan kita
adalah justru sebuah modal utama sebuah bangsa untuk mengejar ketertinggalan
dengan bangsa lain di muka bumi ini. Wacana ini tentunya akan lebih kita
terima, bila kita mencermati perbandingan karakter dasar kita dengan bangsa lain. Kita mampu
menyimpulkan bahwa terhadap hubungan korelasi positif antara kemajuan berbagai
bidang suatu negara dengan karakter rakyatnya, misalnya tertibnya budaya antri,
budaya santun di jalan, sportifitas , kejujuran, anti korupsi dan lain sebagainya di negara
negara maju tersebut.
Di lain pihak kita sering
menjumpai sikap masyarakat kita yang “sok jagoan” di jalan raya tanpa punya
satu hatipun untuk memperdulikan
kepentingan dan keselamatan orang lain atau anarkis saat antri
bergiliran untuk mendapatkan sesuatu, holiganisme supporter sepakbola dibanyak
even. Dengan latar belakang keprihatinan kita bersama tentunya menumbuhkan
tekad di hati kita semua untuk mengakhiri ini selama lamanya. Dan lebih jauh
lagi kita menekadi untuk realisasi Negara Indonesia yang ditopang oleh anak
bangsa yang santun, piawai di bidangnya, memiliki nasionalisme yang “tak lekang
ditengah panas dan tak lapuk dimakan hujan”, memiliki kepedulian yang
tinggi,jujur dan lain sebagainya.
·
Minat Baca dan Urgensinya
Tinggalah kini kita bersandar
pada ranah pendidikan yang mampu mengusuk pencetakan individu yang berkarakter
dambaan, bahkan demi penyelamatan martabat bangsa kita dituntut untuk
memberlangsungkan laju pembangunan pendidikan yang memadai, meski sebuah
kepelikan akan kita jumpai dalam hal ini. Namun bila kita menilik sejarah
sistim pendidikan kita yang terkoyak akaibat tekanan rezim Soeharto selama 32
tahun, kitapun menjadi tak memperdulikan lagi kompleksitas tersebut demi sebuah
kontribusi rekonstruksi kejayaan Negara kita.
Minat baca masyarakat umum kita
mestinya turut kita soroti, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno
(praktisi pendidikan YLPI Duri), yang menukil laporan Bank Dunia No. 16369-IND
dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education
Achievement ), dalam laporan tersebut,
di Asia Timur tingkat terendah minat baca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia
dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1);
Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak
Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Data lain
juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko (Kompas, 2/7/2003),
disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka
melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia
sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang,
Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Namun kita juga tidak serta
merta menyudutkan masyarakat kita yang memprihatinkan minat bacanya,terutama untuk peserta didik
yang ada di satuan pendidikan yang rata rata miskin ”khasanah pustaka” pada
perpustakaan mereka. Bila pada satuan pendidikan tersebut telah langka akan
pustaka yang up to date, maka bisa kita bayangkan betapa tertinggalnya anak
didik kita lantaran njauh dari jendela dunia. Selain itu rendahnya daya beli
kita semua menyebabkan sebagian dari kita cenderung menepiskan kebutuhan untuk
membeli judul buku terbaru.
·
Pendidik Profesional
Percepatan pengentasan
pendidikan diharapkan akan berhasil guna bila kita telisik peran vital seorang
pendidik yang patut diperhatikan, apalagi bila pendidik tersebut telah mampu
berperan secara profesional dan mampu menyodorkan pembelajaran secara inovatif,
lantaran mereka telah mengalami peningkatan kesejahteraan hidup, setelah
mendapat tunjangan profesi dari negara. Akselerasi akan lebih dapat kita
harapkan bika terdapat kesamaan sikap dan kinerja dari 2.607.311 guru yang tersebar di seluruh
Indonesia dan ditambahkan lagi suatu kiat terobosan untuk meng-up grading satu
juta pendidik yang belum berijazah S1 (dari berbagai sumber).
Jumat, 21 Oktober 2011
SINDROM INFERIOR KOMPLEKS
Amin Rais pada Seminar
Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin
(17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand
launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa
kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan
timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara
kita sering kali bersikap bahwa produk
luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam
negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek
“beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan
Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam
sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir
seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita
dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain
di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain
sebagainya.
Tentunya revitalisasi
prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan
kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan
prestasi” perlu kita torehkan. Untuk itu
kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan
dasar dalam pencapaian prestasi tersebut.
·
Keprihatinan Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa
mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas
kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara tetangga (Singapira, Malaysia, Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah
masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja
dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius harus kita kukuhkan untuk pengentasan
rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut laporan
Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the
Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat
baca anak-anak didera anak anak Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina
(skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan
itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga
rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis
oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report
2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen.
Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti
Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang
serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca
peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki
minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh
karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra yang menjadi ”best seller”, antara lain
adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya
HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku
sastra lainnya yang banyak peminat bacanya.
Mengulang
kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang,
adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan
sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar,
menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi
perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita
harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·
Optimalisasi
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah
pendidikan dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah
satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta
bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan
praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil,
mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai
kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif
masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau
pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari
sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya
mengusung aspek ”cerdas” saja, tanpa
memperdulikan ”pembelajaran sosial ”
yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada
peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau
keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat
diimpelementasikan .
Maka apabila kita
tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah
dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan
atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan
penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran, c) pergeseran fokus pengukuran hasil
pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat
kecerdasan nalar.
Jumat, 07 Oktober 2011
OPTIMALISASI RPP BERKARAKTER
Banyak
anggota masyarakat kita yang telah mulai jenuh dan khawatir saat menyaksikan
tayangan semua stasiun TV swasta ataupun media lainnya tentang tindakan tak
terpuji masyarakat kita yang berbentuk tawuran, korupsi, demo anarkis,
bentrokan berbagai pihak baik perorangan ataupun antar lembaga strategis.
Fenomena tersebut dikhawatirkan mampu menumbuhkan perasaan skeptis masyarakat
kita, yang sebenarnya masih berhajat besar dalam pemenuhan kebutuhan pokok
mereka, bukan lagi hanya menerima informasi tersebut di atas sebagai hasrat
autoritas untuk mengajak kebersamaan dalam memikul tanggung jawab bersama untuk
menuju Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik.
Namun
fenomena yang menyeruak dalam di tengah kita, bagi kalangan dan pemerhati
pendidikan akan berpandangan lain lagi. Munculnya gejala tersebut di atas,
adalah gejala penetrasi karakter yang gagal selama kita mengenyam pembelajaran
dalam wadah pendidikan yang kurang memperhatikan pembentukan karakter (affektif)
peserta didik pada semua jenjang. Selama satu kurun waktu kita hanya mengusung
pembelajaran yang mengoptimalisasikan aspek kognitif belaka, tanpa
menyelaraskan aspek affektif pada peserta didik. Sehingga usungan tersebut
menuai hasil lahirnya generasi yang “miskin dalam sematan nilai dasar yang
diwariskan nenek moyang kita sebagai bangsa yang santun”
Seharusnya
setelah runtuhnya perang dingin antara blok barat dan timur, yang dicirikan
dengan kekhawatiran kedua blok akan ekspansi ideology musuh mereka masing, saat
persaingan antar bangsa diletakan pada landas pacu supremasi sains dan
teknologi, kita tidak terpancing dengan perlombaan tersebut dengan
mengesampingkan aspek pembentukan karakter bangsa melalui pembelajaan. Sebab
dalam jalinan proses pembentukan karakter, peranan yang ikut menjadi faktor
utama pembentukan karakter yang utuh, adalah satuan pendidikan yang mengusung
pembelajaran berkarakter, sebagai agent of changing karakter social.
Dengan
wacana tersebut di atas akan mencairlah kekhawatiran semua pihak terhadap runtuhnya jati diri
Masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang santun, murah senyum, gemar menolong,
terbuka, seka bergotong royong dan seabreg karakter terpuji lainnya. Agar
pencapaian tersebut bukan hanya menjadi isapan jempol belakan, maka setiap
simpul pembelajaran di tanah air kita haruslah terintegrasikan dengan cermat,
dimulai dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibumbui
dengan “item” berkarakter.
Sehingga
setiap Indikator (ukuran keberhasilan pembelajaran) dan Tujuan Pembelajaran dalam
rencana pembelajaran bersendikan pada kejujuran, tanggung jawab, kepedulian
sosial dan lingkungan, percaya diri, berkemauan kuat untuk maju, berbudi luhur
dan tindakan terpuji lainnya yang melekat kuat pada masing masing sanubari
peserta didik kita. Meski proses tersebut tidak mampu kita laksanakan hanya
dengan tempo yang singkat. Namun apabila
“kasih sayang” setiap peserta didik dalam penyertaan “unsur karakter”
tersebut, maka beberapa decade waktu mendatang kita akan mampu menemukan
kembali mahkota sematan bangsa yang santun.
Kiat
strategis pendidikan ini, tentunya harus diusung oleh salah satu diantaranya
adalah pada pendidik yang berada pada garis terdepan. Oleh karena itu kapasitasi
pendidik haruslah dalam kategori “bersertifikasi profesional” dalam cakupan
tiga unsur utama, yaitu penguasaan sains, tehnik pembelajaran yang menggelitik
dan menyenangkan serta peran social pendidik di tengah lingkungan sosialnya.
Dengan peranan social pendidik
2
yang
bersertifikasi professional, maka dengan pengalaman berkehidupan social yang
utuh, mereka mampu menularkan “ tindakan sosial, interaksi social dan
komunikasi social” kepada setiap peserta didiknya. Tindakan untuk transfer dan pembudayaan
karakter social tersebut harus terselip dalam “tiga pilar” utama Rencana
Pembelajaran Pendidikan, yaitu kelihaian pendidik dalam Eksplorasi
(penggalian potensi karakter anak didik), Ellborasi (penyampaian tujuan)
dan Konfirmasi (tagihan)
Dengan
percaya diri dan kemauan yang sungguh sungguh serta sistim perencanaan
pembelajaran yang cermat dan sistimatis, maka cita cita luhur yang ditunggu
capaianya oleh setiap masyarakat Indonesia, tentunya bisa kita harapkan
keberhasilannya. Oleh karena itu setiap perkembangan karakter perorangan
peserta didik harus mampu dimonitor pendidik. Monitoring ini sekaligus menjadi
sebuah evaluasi, yang tidak hanya evaluasi aspek kognitif. Akan tetapi
berujud suatu sistimatika perkembangan karakter perorangan mulai dari tahapan
“Belum Tampak” perubahan karakter, “Mulai Tampak”, “Mulai Berkembang” perubahan
karakter anak didik kita dan terakhir yang kita harapkan adalah “Mulai
Konsisten”peserta didik dalam melekatkan karakter terpuji.
Lantaran
tingginya urgensi pembelajaran berkarakter, maka Prof.M.Satuhu, M.Ed (2002) mengharapkan
menjadi sebuah Sistim Pembelajaran Nasional Visioner yang memilihi roh “kukuh
dalam aqidah, dinamis dalam syariah dan santun dalam kerja pendidikanya.
Langganan:
Postingan (Atom)