Jumat, 21 Oktober 2011

SINDROM INFERIOR KOMPLEKS


Amin Rais pada Seminar Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin (17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara kita sering kali bersikap bahwa  produk luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek “beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain sebagainya.
Tentunya revitalisasi prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan prestasi”  perlu kita torehkan. Untuk itu kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan dasar dalam pencapaian prestasi tersebut. 
·         Keprihatinan Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara  tetangga (Singapira, Malaysia,  Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius  harus kita kukuhkan untuk pengentasan rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut  laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat baca  anak-anak didera anak anak  Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra  yang menjadi ”best seller”, antara lain adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku sastra lainnya yang banyak peminat bacanya. 
Mengulang kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang, adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·         Optimalisasi Pendidikan  Berbasis Masyarakat

Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah pendidikan  dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan  Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat. 
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif  masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya mengusung aspek ”cerdas” saja,  tanpa memperdulikan  ”pembelajaran sosial ” yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan .
Maka apabila kita tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh  DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,  c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar. 
Dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek tersebuy di atas, maka cukuplah kiranya sekolah mampu menepis ”Sindrom Inferior Komplek”, sehingga jadilah generasi kita sebagai generasi yang bermartabat,”smart”, inovatif sekaligus santun.Oleh karena itu marilah kita tidak setengah setengah dalam membentuk peserta didik kita untuk menggapai masa depanya dengan penuh pecaya diri (dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar