Jumat, 25 Februari 2011

Jangan Paksa Anak Kita

Dewasa ini merebak di seluruh pelososk tanah air, terutama di kota kota besar tentang sistim pembelajaran “full day school” dari mulai peserta didik jenjang SD, SMP dan SMA sederajat. Sistim ini terutama diusung oleh sekolah yang ber-trsde mark sekolah favoutir atau sekolah yang sedang menggapai label ini. Sehingga praktis peserta didik aktif dalam pembelajaran setiap hari hingga 9 – 10 jam. Dan untuk sistim pembelajaran seperti ini banyak orang tua/Sali peserta didik yang menyambut baik, meski harus membayar SPP yang relative lebih tinggi dari sekolah lainnya.

Memang betul alasan utama orang tua yang menitipkan putranya di sekolah ini, adalah untuk mengalihkan waktu bermain dengan waktu waktu yang bermanfaat atau sebagian lainnya beralasan demi mencetak putranya sebagai “outcome” yang berkrebilitas sebagai “smart generation” nantinya.

Namun tindakan yang bijaksana dalam menyikapi sistim pembelajaran ini perlu dikedepankan justru demi perkembangan putra putra kita. Hal yang pertama menjadi bahan pertimbangan kita adal;ah ketahanan fisik putra putra kita yang sebenarnya masih dalam taraf anak hingga remaja. Bayangkan saja putra kita harus terlibat dalam aktifitas pembelajaran selama lebih dari 7 jam x 60 menit, yang harus mengerahkan kemampuan kognitifnya secara maksimal. Padahal ruang kognitif yang ada di otak manusia adalah sangat terbatas, dalam artian apabila ruang kognitif ini telah lelah maka tentu saja putra putri kita tidak akan mampu l;agi menggunakan memorinya.

Berdasarkan pengalaman empiris dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik hanya mampu mengoptimalkan seluruh inderanya hany 6 jam ( 60 menit), diluar batas tersebut secara variatif peserta didik sudah sulit untuk mengembangkan kemampuan memahami bahan ajar. Sehingga 3 -4 jam sisanya, akan sia sia untuk mengusung pembelajaran. Kecuali untuk kegiatan ekstrakurikuler, yang banyak menerapkan “learning by doing”, seperti pramuka, music, olah-raga ringan dan green-outbonding.

Padahal konsep pendidikan yang benar, adalah putra kita difasilitasi waktu yang cukup guna menggunakan psikomotorik dalam pemahanan bahan ajar. Aspek ini bisa diperoleh dengan merespon PR atau portofolio yang diberikan oleh pendidik. Disamping itu seoran anak yang sedang aktif mengalami perkembangan pribadinya, harus pula aktif berinteraksi dengan teman lainya terutama dengan teman yang sebaya. Asal orang tua pandai untuk menyisihkan waktunya untuk pengawasi proses interaksi social ini, tentunya seorang anak akan berkembang secara normal dalam aspek affektinya.

Memang dewsa ini sedang terjadi pencerahan secara intensif terhadap sistim pendidikan yang telah lama terpuruk. Sehingga setiap aspek yang terlibat dalam pendidikan anak bangsa sedang dibenahi secara maksimal oleh kementrian pendidikan nasional. Terutama dari aspek pendidik, pembelajaran inovatif, kesejahteraan pendidik dan yang penting lainnya adalah penerapan kurikulum Standar Isi yang ditetapkan mulai dari tahun 2006. Justru dengan model kurikulum tersebut sistim satuan pendidikan diberi keleluasaan dalam pencapaia kompetensi peserta didik. Bukankah dengan penerapan seperti ini kita diharapkan lebih bertindak bijak terhadap peserta didik.

Dengan sistim pembelajaran yang berkemas menyenangkan bagi siswa, tentunya menjadi pilihan alternative yang lebih manjur ketimbang komersialisasi sistim Full Day School, apalagi bila instrument pembelajaran guru mampu dipatok dengan cermat dan sungguh sungguh tentu kita akan mampu untuk mencerdaskan anak bangsa ini.

Sistim Full Day School hendaknya secara bijak hanya diterapkan kepada peserta didik yang akan mengikuti UASBN (evaluasi bahan ajar bukan UN) dan UN itu sendiri. Memang pada even ini peserta didik harus banyak menjalani drill guna kompetensi dan pada giliranya akan berhasil lulus dalam UN. Dalm kondisi seperti ini tentunya setiap peserta didik akan siap lahir batin untuk mengikuti program Full Day School.

Sebagai bahan perbandingan mari kita cermati sistim pendidikan di Inggris yang mulai menerapkan sistim pembelajaran 4 hari dalam satu minggu dan tiap hari hanya menerapkan pembejaran selama 6 jam per hari. Dalam menerapkan sistim tersebut tentunya mereka mengoptimalkan sistim pembelajaran seefektif mungkin, ketimbang memaksa kemampuan alami peserta didik.

Full Day Schol akan terasa lebih berat lagi bila peserta didik dibebani dengan bahan ajar yang jumlahnya relative banyak, contohnya untuk tingkat SMA putra kita harus menempuh rata rata 16 bahan ajar, baik kejuruan maupun umum. Bahkan untuk sekolah ekslusif keagamaan ditambah dengan muatan local bisa mencapai 21 bahan ajar. Batasan batasan tersebut di atas tentunya hanya mengedepankan aspek peserta didik hanya mampu menyerap bahan ajar yang memprihatinkan.

Oleh karena itu sebaiknya otoritas pendidikan di Indonesia lebih bersifat arif dalam mmenyikapi maraknya sekolah yang berambisi mengejar favoritas/bonafisitas dengan menerapkan sistim yang latah. Sebaiknya pemerintah lebih baik membina sekolah seperti tersebut di atas dengan mengedepankan sistim pembelajaran yang efektif, padat dan cermat dalam batas batas kemampuan fisik, psikhologis dan biaya yang dikeluarkan orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar