Kamis, 16 September 2010

ADAKAH KEPRIHATINAN DI ANTARA KITA ?

Belum hilang betul dari ingatan kita tentang nyanyian Susno yang menyeret Gayus dan mengelindingkan Syrus Sinaga, Edmund Ilyas, Syarif Johan dan petinggi /pemimpin publik lainnya menjadi pesakitan hukum. Kita kembali tercengang dan menarik nafas dalam dalam setelah mendengar laporan Internationmal Coruption Watch tentang “Sang Dalang” pendoliman hutan negara yang ternyata juga oknum petinggi negara. Oleh karena itu hingga kinipun kita tak tahu kapan Indonesia terentaskan dari sematan Negara terkorup se Asia Pasifik.

Sebuah keprihatinan

Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa pekan yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita., seperti belum lama ini terjadi pertikaian antara Satpol PP dengan Masyarakat Koja Jakarta Utara. Perseteruan etnis di Batam yang berakhir dengan amuk masa. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, pada enam bulan pertama tahun 2008 lalu, Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai1.850 aksi.

Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang nonkompromis ( tidak menerima lagi nilai lama ) dari perubahan sosial masyarakat Indonesia, yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Sebuah generasi bertipe “life-style hedonisme “ dan menyingkirkan jauh jauh sebuah amanat luhur, karena sebuah konsekuensi logis menjadi pemimpin/pejabat/ tokoh sental figur salah kaprah. Atau mungkin sebuah generasi yang telah kehilangan etika moralnya.

Maka yang menjadi nyanyian sumbang pada segmen grassrote, adalah pada era reformasi ini mereka diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.

Makna sebuah moralitas

Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa. Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.

Moralitas itu sendiri adalah penyertaan secara bareng semua nilai essensial yang ada di masyarakat social, yang digunakan sebagai patokan manusia yang bermartabat. Dan dengan moralitas itulah seorang individu mampu mengejawantahkan semua pandangan ke depannya.

Moralitas juga bisa dinyatakan sebagai sistim aplikasi publik untuk pembentukan semua nalar manusia, Sehingga dengan perangkat moralitas ( morality ) individu mampu memilah baik dan buruknya sesuatu niatan. Apabila moralitas ini diemban dengan kuat maka jadilah individu tersebut sebagai insan mulia. Istilah moralitas pada akhirnya dapat digunakan sebagai faktor pembeda, perilaku bermoral atau tidak. Pada akhirnya moralitas dapat digunakan sebagai pengejawantahan nilai normatif. Jadilah moralitas sebagai sesuatu yang wajib diembang oleh para petinggi kita.

Bila kita hadapkan moralitas pada para oknum petinggi kita, tentunya kita akan merasakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, salah satu moralitas yang wajib diemban oleh mereka adalah kejujuran, rela berkorban, peduli terhadap orang kecil yang lagi kelimpungan, Namun sebuah realita menyatakan jauh panggang dari api. Justru perseteruanlah yang ditampilkan antar mereka. Sejak dari mencuatnya kasus Antasari di akhir tahun 2009, bailout Bank Century di awal tahun 2010. Disusul kemudian nyanyian Susno dan terus menggelinding tak berarah.

Dikhawatirkan apabila konflik interpersonal / institusi ini terus bergulir, maka keterpurukan kita menjadi tambah dalam dan tak satupun persepsi anak bangsa yang menilai mahalnya sebuah persatuan dan kesatuan. Dengan terkoyaknya moralitas ini maka terbenam pula nasionalisme yang secara fitroh telah kokoh bercokol di tiap dada anak bangsa ini. Bila stadium penyakit sosiologis kita telah sampai pada tahan ini, maka tidak ada resep yang mujarab, pakar yang piawai ataupun bentuk “miracle: lainnya. Yang ada hanyalah rekonstruksi moralitas di dada kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar