Rabu, 09 Februari 2011

Mereka Bersekolah Bila Berlebih Bahan Pangan



Sekolah di daeah kering bagian Barat Data Kenya, dekat dengan Danau Turkana dikenal dengan sekolah yang diikuti peserta didik dari masyarakat yang nomaden, sehingga sekolah mereka tergantung dari persediaan bahan pangan.

Sehingga wajar saja bila jumlah anak peserta didik di SD Lokichare, dekat kota Loswar bertambah sedikit. Karena daerah tersebut mengalami kekeringan.

Peserta didik saat BBC team datang telah menyambut dengan ucapan selamat datang berupa nyanyian local daerah Turkana. Lagu itu berisi syair himbauan untuk mencuci tangan sebelum makan.

Tetapi ironisnya sekolah tersebut tidak memiliki air bersih untuk minum, air yang ada hanya sekedar untuk mencuci tangan mereka.

Palang Merah Kenya telah peduli terhadap lebih dari 2 juta warga dan 20 juta ekor ternak untuk makanan cadangan mereka bila dibutuhkan.

Tindakan Palang Merah Kenya ditindaklanjuti oleh beberapa lembaga kemanusiaan dengan dikoordinasi pemerinyah Kenya, untuk mengupayakan persediaan makanan di wilayah tersebut.Bantuan yang diberikan oleh organisasi itu adalah distribusi makanan hingga ke banyak sekolah, termasuk sekolah di Lokichare. Tetapi anehnya sejak januari tahun 2011 bantuan untuk sekolah tersebut belum juga diterima oleh kepala sekolah.

Meskipun menurut Rose Ogola, humas “UN World Food Programme” menandaskan bahwa bahan pangan sudah dialokasikan ke sekolah tersebut. Sehingga petugas badan dunia tersebut sempat kaget, mengapa bahan pangan yang sudah dialokasikan ke sekolah tersebut belum diterima.

Seperti diketahuio bahwa Lowdar berjarak 700 km dari Nairobi dan memakan waktu 2 hari perjalanan, dengan 300 km jalan dalam keadaan rusak parah. Sudah barang tentu transportasi bahan pangan menemui kendala tehnis.

Jumlah peserta didik pada tahun lalu adalah sebanyak 280 dan kini tinggal 90 peserta didik. Banyak diantara peserta didik yang meninggalkan masyarakatnya, mengikuti orang tuanya untuk berburu makanan dan menetap di Negara tetangga seperti Uganda, Sudan dan Ethiopia.

Terdapat juga penduduk yang berpindah ke pusat perdagangan dengan harapan lebih mudah mendapatkan bahan makanan. Seperti biasanya di bagian Utara Kenya tidak mengalami kekerigan, tetapi dua tahun terakhir ini daerah tersebut mengalami kekeringan yang parah.

Bagi para pemukim baru sebaiknya mereka segera menjual ternak ternaknya sebelum terjadinya kekeringan yang lebih parah dan membelanjakan uang tersebut pada kondisi alam yang lebih baik, daripada membiarkan ternak mereka mati. Guna kepentingan inilah pada tahun 2009 pemerintah Kenya telah menawarkan untuk membeli ternak mereka, tetapi mereka menolak karena mengharapkan datangnya musim hujan.
Mereka lebih memilih menjual ternaknya bila keadaan ternaknya kurus dan mati di tengah perjalanan menuju pembantaian ternak.

Danau Turkana dewasa ini hanya tinggal pasir dan semak akasia, di sekitar danau tersebut hanya terdapat beberapa ternak yang tinggal tulangnya saja. Sementara itu banyak anak muda yang berjalan mencari makanan dan air minum di jalan berdebu yang panasnya telah mencapai 40 C.

Leah Lokala, 27 th tinggal di Kalotum – 15 km ke Utara Lowdar satu satunya warga yang bisa diajak berbicara dan menjelaskan bahwa dia kini hanya memiliki beberapa ekor kuda. Untuk kebutuhan hidup dia dan ternaknya dia harus menggali tanah untuk mendapatkan air minum.

Dn terlihatlah 3 ekor kambing yang terpaksa makan semak yang berduri di sekeliling rumahnya. Kekeringan yang dialami telah membunuh semua sapinya dan kini hanya tinggal 3 kambing tersebut, dan dia harus berjalan 15 km untuk mendapatkan air untuk memberi minum kambingnya.
(BBC News, Pebruari 2011).

Selasa, 08 Februari 2011

Pembelajaran Jarak Jauh di Gunung Es

BBC News

Para orang tua murid di Kota Sun Peaks, British Columbia, mendirikan sekolah berdikari di puncak bukit untuk arena bermain ski, karena mereka harus berjalan selama dua jam ke sekolah yang terdekat. Semikian laporan wartawan . Brandy Yanchyk reports dari Sun Peaks.



Sejak tanggal 19 Swptwmbwe tahun 2010, sebanyak 19 peserta didik dari umur 5 – 10 tahun memanfaatkan puncak bukit di Sun Peaks untuk membuat kelas sekolah sendiri. Tiap pagi mereka menggunakan ski untuk pergi ke sekolah dan kembali setelah matahari hampir tenggelam.

Sekolah yang mereka dirikan diberi nama Discovery Centre, di puncak bukit yang dikelilingi bukit bukit lainnya, Tod Mountain, Sundance Mountain dan Mount Morrisey.

Seperti kita ketahui, bahwa tidak semua guru memiliki kemauan untuk mengajar di puncak bukit untuk ski, karena tidak memiliki ketrampilan untuk bermain ski, apalagi harus mengasuh peserta didiknya dengan sistim ” outdoors” ditengah peserta didik mereka, beserta dengan lingkungannya, kecuali guru yang bernama Jillian Schmalz.

• Di Tengah Alam Pedesaan

Desa yang merke dirikan sekolah hanya dihuni oleh 400 warga tetap , tetapi pada saat musim dingin, daerah tersebut banyak dikunjungi p;eh turis dari Canada, AS, Australia dan Inggris untuk bermain ski.

Tetapi tahun kemarin orang tua murid menjadi kalang kabut gara gara sekolah yang terdekat telah ditutup, sehingga mereka harus bersekoah pada jarak yang lebih jauh lagi. Untuk menempuh sekolah yang baru tersebut mereka harus berjalan selama 2 jam.
Sekolah pada Desa British Columbuia tersebut, biasanya akan bertambah menurun jumlah siswanya dari tahun ke tahun, demikian pernyatan Walikota Sun Pwaks, Al Raine.. Mereka biasanya menghentikan sekolah anaknya dan bekerjasama dengan komunitas lainnya untuk membangun sekolah yang lebih besar lagi.

• Lingkungan Yang Indah

Para orang tua bersama sama membentuk komunitas pendidikan Sun Peaks dan keudian pada bulan Juni 2010 mereka bersama sama mendirikan sekolah untuk belajar anak anaknya. Hal ini bukan meruapak kendala bagi anak anak mereka yang telah akrab dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Ketua Masyarakat Pendidikan Sun Peak (Sun Peaks Education Society ), Maria Cannon tujuan masyarakat mendirikan sekolah tersebut, adalah agar anak anak bisa bergaul dengan masyarakat sekitar bisa belajar dari lingkungan pegunungan yang menakjubkan.

Dengan dukungan masyarakat sekitar, mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 75,000 Canadian dollars (US$75,860) dari masyarakat setempat dan pengusaha .
Dengan dana sebesar itu, mereka merehab satu kelas untuk sekolah di District 73 dengan program utama belajar “ distance learning programme “. Tetapi tetap mengacu pada kurikulum “ British Columbia curriculum” , yang dirancang untuk anak anak untuk terlibat dengan model pembelajaran yang cocok untuk anak anak serta mandiri, Orang tua di rumah dihimbau untuk membimbing pembelajaran mandiri dan diharapkan orang tua mampu menelibatkan guru pengasuh.

Untuk peserta didik yang lebih tua mereka diberi saran belajar lewat computer untuk berkomunikasi dengan guru gurunya.

Program ini diterapkan untuk membelajari kemandirian dan kebebasan mereka salam belajar. Menurut salah seorang guru mereka yaitu Mrs Seafoot, program belajar jarak jauh “ distance education” melalui computer bermanfaat untuk membekalai peserta didik untuk masa depan mereka sebagai penduduk desa.
Dengan belajar jarak jauh “The online curriculum” menuntut peran orang tua salam pembelajaran di rumah, untuk membantu putranya menyelesaikan PR yan relative banyak (BBC News, Pebruari, 2011).

Minggu, 06 Februari 2011

Rencana 4 Hari Sekolah per Minggu

Sumber BBC News, 6 Pebruari, 2011

Anggota Parlemen Ayrshire Utara telah mempertimbangkan usia sekolah dasar dimulai pada usia 6 tahun, pada tahun pembelajaran sekarang.

Disamping usia peserta didik tersebut, juga dipertimbangkan adanya 4 hari sekolah dalam 1 minggu untuk sekolah dasar dan menengah.

Penentuan 4 hari sekolah tersebut bertujuan untuk menghemat biaya pendidikan, bila diterapkan 4 hari. Mereka bakal mampu menghemat 2 juta Poundsterling.
.
Parlemen menyetujui penghematan anggaran pendidikan pada tahun pembelajaran 2011 – 12 sebesar 8.9 juta Poundsterling. Sedangkan anggaran yang disetujui secara tyotal hingga 2014 adalah sebesar 38 juta Poundsterling.

Sedangkan serikat buruh telah menyetujui usia awal pendidikan dasar 6 tahun berlaku untuk tahun depan.

Carol Kirk, Ketua Dewan Pendidikan mengatakan bahwa perubahan sistim pendidikan ini haruslah digodog terlebih dahulu oleh pakar pakar pendidikan, meski sistim tersebut telah diterapkan di beberapa Negara Eropa. Juga mencakup jam pembelajaran sebanyak 25 jam per minggu.

-Sajak Tentang Guru

Bagai angin, tiada pernah kami tahu…kemana kau lelap di sarangmu
Bahkan tiada kami tahu,….. dari mana kau mulai menghitung hari
Hanya saat kau mendulang rajutan mutumanikam
Lantas kau tak segan mulai mewarna hari……
Hingga titian hari, tak lagi kelihatan samar
Bersama dengan tawar senyum dan pedulimu
Yang kau kedepankan …untuk sebuah pagi hari
Dari segenap anak bangsa, yang telah kau hantar
Menuju yang kau siapkan dalam tiap nafas di jantung
Untuk kau buatkan sebuah lagu hati.
Lantas kau tautkan dengan beberapa penjuru langit

Selalu kau senyum…tiap kau jinjing pagi hari
Serasa tiada lagi alam yang menyeloroh dengan bencananya
Lantaran selalu kau usung……..
Dengan usapan tangan yang tulus,
Tiap anakmu hanay mampu menebar sembilu dalam hidupnya
Kau beri sejuta angin berwajah bunga warna warni….
Hingga mataharipun lupa akan peraduanya
Di ufuk timur, meski telah jingga peraduannya di belahan barat

Lagu rindumu mampu mengikatkan kebenaran
Dalam tiap tetesan embun
Jangan ada lagi langkah penjuru langit, yang berhitam awan
Kitapun mampu menyongsong jaman di tangan kiri
Lantaran tangan kanan kita selalu menyertamu
Selamat Pagi Guru

Selamat pagi pula, kala kau semaikan sebuah darma bakti
Kala semua hari, tiada pernah berwajah sejuk
Lantas kau jadikan semuanya menjadi rajutan pelangi
Yang kau tanami dengan aneka harap namun…..
Dari balik cakrawala terus saja menikam hingga ulu hatimu
Sebuah nyanyian jiwa tentang hati yang telanjang
Demi sebuah hari esok yang terang.

Akulah guru….
Sesekali suara itu menembus tebing alam
Saat nyanyi burung bergema melegakan nafas kita
Kitapun tetap berada di tengah mahardika Negara kita

Semarang, 7 Pebruari 2011 (Pondok Sastra HASTI Semarang)

Sabtu, 29 Januari 2011

Pembelajaran Inovatif Dan Kemajuan Bangsa

Semakin kita terinspirasi akan urgensi pendidikan bagi kemajuam bangsa ini, semakin konsisten pula kita mengedapankan pentingnya pembelajaran yang inovatif yang disodorkan pada anak didik kita. Meski daya dukung lainnya juga tidak kalah urgensinya, seperti instrument pembelajaran yang harus dipersiapkan dengan cermat dan terintegrasi. Dengan dua hal tersebut di atas maka sudah menjadi konsistensi logis untuk sebuah kemajuan pendidikan yang hanya tinggal menunggu waktu saja.

Nampaknya hal tersebut di atas akan dipandang sebagai wacana yang tidak masuk akal, namun bila sinergi semua pendidik di Indonesia mampu menerapkan dengan serentak, intrensif dan bertanggung jawab, maka pembelajaran inovatif inipun bakalan mampu memajukan prestasi suatu bangsa.

Hal inilah yang menjadi langkah essensi bagi guru guru dio lingkungan Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, Mranggen Demak dalam melangsungkan Workshop Pembelajaran Inovatif, Sabtu 29 Desember 2011 ini, sengan menghadirkan nara sumber Pengawas Pendais Kementrian Agama Kabupaten Demak dan Tim Pengembang Kurikulum Bahasa Arab Kantor Wilayah Kemetrian Agama Jawa Tengah.

Ditilik dari instrument pembelajaran yang selama ini sering disepelekan oleh para pendidik, maka wajar saja bila pendidik sering kali tidak mampu secara cermat melakukan persiapan sebelum mengajar, penyampaian bahan ajar, evaluasi apalaggi penyampaian pengayaan bahan ajar. Sehingga disana sini sering kita temukan pendidik yang mengidap penyakit kronis Kurap ( Kurang Persiapan) dan Kudis ( Kurang Disiplin). Jangankan mempersiapkan model pembelajaran yang akan diusung, membaca literature saja masih belum secara intensif dilakukan pendidik kita. Maka wajar saja bila banyak pendidik yang melakukan bull-lying kepada peserta didik.

Terungkap dalam workshop tersebut, bahwa aspek pembentukan karakter pada peserta didik sama sekali tidak bisa kita sepelekan begitu saja demi pembentukan karakter dan budya santun untuk generasi kita mendatang. Maka sejak awal aspek karakter harus dilengkapkan pada silabus setian bahan ajar . Karena pembentukan karakter tidak hanya semata ditugaskan kepada pelajaran agama di sekolahan (Madrasah: Qur’an Hadits, Aqidah Ahklaq dan Tafsir Qur’an), tapi menjadi beban setiap bidang ajar yang ada di tiap satuan pendidikan, baik sekolah umum maupun madrasah.

Sehingga dengan gagasan didaktik ilmiah dari narasumber maka setiap peserta workshop mampu memahami tugas moral mereka yang mencakup persiapan, pembel;ajaran, evaluasi dan pengayaan materi. Disamping itu juga telah menjadi optimalisasi taktik bagi pendidik untuk “mendayagunakan indera peserta didik” dalam mengikuti pembelajaran.

Hal yang perlu diterapkan dalam hal di atas, adalah aspek psikomotorik peserta didik yang tidak hanya mendengar, membaca tetapi harus berbuat sesuatu (learning by doing) setiap Kompetensi Dasar yang diberlangsungkan.

Maka adalah suatu terobosan yang sangat vital apabila pendidik menerapkan beberapa variasi model yang menyenangkan, termasuk diantaranya adalah penerapan Jigdaw, TAI dan lain sebagainya.

Pendek kata dengan seabreg umpan umpan inovatif yang digulirkan pada workshop tersebut, maka diharapkan peserat didik tidak hanya diperlakukan seperti narapidana dalam ke;as yang tertutup rapat dari mulai pagi hingga siang hari. Tetapi mereka dilibatkan dalam pembelajaran yang mengoptimalkan semua fungsi indera, sehingga mereka mampu menyerap ilmu yang berguna bagi mereka semua. Lebih jauh lagi akan terciptalah “The Smart Generation” yang mampu mendongkrap capaian apapun dari bangsa dan Negara ini nantinya.

Selasa, 18 Januari 2011

Konsistensi Sang Pendidik

Siapapun atau lembaga apapun yang berniat memajukan prestasi pendidikan di Indonesia pastilah akan menelibatkan kinerja pendidik, disamping konstituen lainnya yang memberikan konstribusi nyata terhadap kemajuan sistim ini. Sebab meskipun sistim ini di Negara kita belum dilengkapi ruang kelas yang memadai, bahan ajar yang representatif dan factor lainnya yang masih tertinggal dengan Negara lain, peran sang pendidik dianggap sudah cukup untuk memberikan pembelajaran pada peserta didik, karena peran vital sang pendidik inilah yang dianggap paling dominan.

Akan tetapi ketika sang pendidik dihadapkan pada sesuatu aktifitas yang lebih menghasilkan uang ketimbang hanya bergelut dengan instrument pembelajaran yang menjemukan sepanjang hari harinya yang tak memberinya gambaran masa depan yang jelas, tentu saja sang pendidik itu akan memburunya demi sebuah hidup dia dan keluarganya. Apalagi bagi sang pendidik swasta/non PNS yang mendarmabaktikan profesinya di sekolah sekolah swasta.

Inilah gambaran pendidik swasta yang ada di tanah air kita. Meski tunjangan profesi dari Negara telah diperolehnya, yang besarnya sesuai dengan penyetaraan gaji guru PNS melalui program impassing (tunjangan ini diperoleh bila pendidik telah lulus pelatihan profesionalisasi).

Kekhawatiran dari segenap pemerhati pendidilkan nasional apalagi dari otoritas pendidikan di tanah airpun muncul dalam menyikapi life-style (gaya hidup) pendidik tersebut, yang sudah barang tentu menempatkan tugas moral dalam ranah pencerdasan anak bangsa menjadi tujuan sampingan. Padahal di lain pihak kita telah sepakat bahwa mengusung sebuah kemajuan yang berarti untuk bangsa dan Negara haruslah dimulai dari komponen pembelajaran nasional sedini mungkin. Kita sedang tidak lagi nerniat menjadi penonton kebangkitan bangsa lain, yang kita sendiri sebenarnya mampu melakukan. Namun bila pembelajaran semya anak bangsa dilangsungkan oleh sebagian besar pendidik yang belum intend dengan tugas moralnya. Lantas kapan Bangsa Indonesia akan lagi berkemas dengan kemegahan yang diakui bangsa lain pada masa masa lampau.

Minimal sebuah langkah urgen perlu dicanangkan lebih tajam dan mengena demi sebuah moralitas pendidik yang konsisten. Meski berbagai stimulus dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) telah meluncur ke hadapan pendidik, seperti himbauan menulis bahan ajar atau karya ilmiah, lomba peraga, penelitian ilmiah mengenai pendidikan dan diskusi/seminar/workshop ilmiah. Namun belum banyak program tesebut mampu menggiring sejumlah pendidik untuk benar benar loyal terhadap profesinya atau lebih essensi lagi menyematkan kembali emblem mulia kepada sang pendidik. Sehingga langkah urgent tersebut di atas mampu diantisipasi oleh pendidik seantero Bumi Nusantara untuk lebih bergairah lagi dalam binaan pencerdasan anak bangsa.
Guru atau lebih menantang lagi dengan istilah pendidik, secara etimologi brasal dari Bahasa India yang berarti “berat”, berat dalam hal tugas moral, tahapan yang harus dicapainya atau segala sesuatu yang bertanggung jawab dengan kemajuan muridnya. Apalagi predikat guru/pendidik professional di jaman globalisasi di tengah keterpurukan multidimensional Negara kita yang sarat dengan perkara kemorosotan moral. Tugas seorang pendidik tentunya akan lebih berat lagi. Gairah sang pendidik dalam membekali peserta didik untuk menghadang segala macam persaingan dengan Negara lain di kancah perdagangan, kemajuan iptek, ketergantungan bangsa kita dengan lainnya.

Sudah barang tentu siapa saja yang telah pada awalnya berkecimpung sebagai seorang pendidik, tentunya kendala internal (tehnik pembelajaran) serta eksternal telah bisa diresapi betul betul oleh semua kalangan pendidik di Negara kita, khususnya bagi pendidik non PNS. Hanya yang pasti apapun kendala yang memusari profesionalisasi pendidik, kita sebaiknya tidak perlu untuk menyisihkan aspek ‘penuh gairah” dalam memfasilitasi peserta didik yang kita bimbing.

Wacana tersebut di atas memang terasa sangat berarti bila kita hadapkan pada kepentingan kita semua pada perhelatan pedagogy beberapa bulan mendatang yang berupa Ujian Nasional untuk semua jenjang pendidikan. Konsistensi pendidik di depan kelas sangat memegang kunci keberhasilan anak anak kita.

Semangat untuk tetap bergairah dalam memfasilitasi bahan ajar untuk anak kita adalah bukan hanya untuk kepentingan UN saja namun dalam cakupan yang lebih luas lagi, yang berujung pada pembentukan karakter generasi muda pengusung masa depan bangsa ini. Bila predikat setiap pendidik dihadapkan pada masalah se-urgent ini, maka genaplah sudah tugas moral yang harus selalu disertakan oleh setiap pendidik dimana, siapa dan apapun statusnya.

Oleh karena itu kiat yang dicanangkan oleh Disdikpora dalam meraih kesuksesan optimalisasi tugas moral pendidik seantero Bumi Nusantara ini adalah peletak dasar utama untuk ancang ancang bangsa ini guna melompat beberapa langkah kedepan, tanpa ada lagi pendidik baik yang PNS mauoun non PNS untuk melangkah setengah setengah karena kendala tersebut di atas.