Kamis, 16 September 2010

KE MANA SETELAH LULUS UN 2010

Sudah pasti dengan mengerahkan segenap upaya, sebagian besar siswa SMA / SMSLB / MA / SMK bisa berhasil lulus UN Th 2010. Mereka bisa berbangga diri, lantaran dengan penuh kejujuran ( harapan kita bersama ) mereka mampu menyelesaikan ujian tersebut hingga mencapai nilai rata-rata 5,50 untuk enam bidang ajar SMA./ MA/ SMK/ SMALB. Sebuah perjuangan berat untuk menggapai masa depan telah berhasil mereka lampaui.

Bagi perserta UN SMP ./ SMP/ MTS, SMPLB dan SD / MI di UUSBN Th 2010 yang telah lulus tidak banyak mengalami tantangan serumit kakak-kakanya, untuk men-handling tantangan sebuah realitas., antara melanjutkan studi ke jenjang perguruan tringgi atau berhenti dengan mengantongi ijazah SLTA untuk modal kerja.
Kerja atau Kuliah

Yang jelas mereka semua belum siap untuk memasuki dunia kerja meski mereka berasal dari sebuah SMK. Kita masih ingat betul pendapat mantan Mendiknas Fuad Hasan, yang mengemukakan sebuah teori pendidikan, yaitu bahwa pendidikan di Indonesia tidak seperti membuat kue roti, yang produknya siap dikonsumsi karena telah masak. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan dengan pencapaian 5,50 untuk lulus sebuah ujian nasional, belum merupaka jaminan bagi mereka untuk mengenyam jenjang pendidikan selanjutnya. Maka kiat Kementrian Pendidikan Nasionalpun harus setidak-tidaknya mengkonsep sebuah koridor baru bagi mereka yang telah lulus.

Apabila prestasi mereka masih belum mendapatkan prioritas lebih untuk jenjang berikutnya, maka ujian nasional di tahun tahun mendatangpun akan banyak menuai badai., Selain itu pula guna pencetakan generasi yang handal dan kompeten di bidangnya masing-masing, sebuah instrument barupun harus segera dikonsep. Semoga saja kalangan perguruan tinggi terlebih-lebih PTN segera mengantisipasi masalah ini. Sehingga tidak ada lagi kontradiktif antara kejujuran sebuah UN dengan hasil sebuah kejujuran.

Lepas dari permasalahan di atas, sebuah tantangan lain masih menghadang, justru merupakan tantangan yang lebih realistis untuk bisa dilewati. Kalau toh masih ada tindak kecurangan dalam UN Th 2010 ini, hingga membuat mereka mampu melewatinya dengan gampang. Namun siapa yang akan membantu mereka dalam berbuat kecurangan untuk menghadapi sebuah realitas hidup.

Betapa tidak, benang kusut masih menghadang mereka dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran di bangku perguruan tinggi. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Milik Negara untuk sebuah perguruan tinggi, sehingga PTN pun harus mendapatkan sumber dana, maka tidak ada jalan lain bagi mereka untuk merogoh kocek lebih dalam untuk mengenyam bangku kuliah. Kalau toh mereka memiliki dana yang cukup, merekapun harus lulus dalam SNMPTN yang memerlukan persiapan lebih cermat dibanding dengan hanya lulus sebuah ujian nasional.. Merekapun harus saling bersaing satu dengan lainnya untuk bisa kuliah di PTN, bila yang mengikuti SNMPTN dipredikisi sejumlah alumni SMA / MA/SMK kurang lebih 2.5 juta calon mahasiswa, tentunya hal inipun merupakan sebuah tantangan bagi mereka,

Kendala masuk PTN

Namun disisi lain maraknya jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di luar jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB)., sebagai konsekuensi semua PTN yang beralih status menjadi badan hukum milik negara (BHMN), memaksa PTN memasang pemberlakuan biaya masuk yang hampir sama dengan biaya PTS. Hal ini disebabkan kewajiban PTN sebagai BHMN yang harus menyetor dana ke kas negara, yang merupakan kebijakan pemerintah dalam menyedot penerimaan negara bukan pajak (PNBP ) pada sebagian besar perguruan tinggi negeri atau PTN.

Bukankah hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi siswa yang lulus UN tersebut. Kitapun menjadi prihatin lantaran perrmasalahan ini bukan lagi menyangkut kompetensi bahan ajar yang mereka tekuni selama di bangku sekolah. Namun hal ini sudah menyangkut kemampuan ekonomi orang tua mereka masing. Sehingga hak mereka untuk menempuh jenjang kuliah di PTN menjadi sirna. Sesuatu fenomena ironis bakal mereka temui karena terbentur sistim.

Alternatif lain dari para lulusan ini, adalah memasuki dunia kerja yang masih asing bagi mereka. Karena ketidak siapan mereka untuk mendapatkan skillfull, maka jadilah mereka pengangguran atau tuna karya. Tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya.

Sehingga mereka akhirnya bergabung dengan angkatan kerja usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Tentunya hal ini menimbulkan masalah yang serius. Terlebih lebih menjadi sebuah masalah dan tantangan bagi negara kita, yang belum mampu mengatasi pengangguran menapaki Tahun 2010 ini, Tercatan bahwa angkan pengangguran di negara kita telah mencapai 10 % pada Tahun 2010 ini. Jumlah pengangguran di Indonesia akan terus menjadi masalah dari tahun ke tahun, lantaran bertambahnya usia produktif per tahun, yang tidak tertampung di lapangan pekerjaan atau melanjutkan studi yang lebih tinggi.

Sebuah terobosan yang barangkali bisa menjadi jalan tengah bagi mereka yang berhak mendapatkan pendidikan di bangku perguruan tinggi setelah lulus ujian nasional, yaitu dengan memberi beasiswa kepada top skor 10 besar dari capaian nilai ujian nasional tiap satuan pendidikan. Sehingga janji manis “ Anak supir angkot bisa menjadi pilot”, akan mereka rasakan. Bukankah kampanye tersebut telah didengar oleh hampir semua Rakyat Indonesia. Sebab apabila hali ini tidak direalisir maka sebuah pembohongan publik telah ditorehkan oleh autoritas.
Program beasiswa negara

Bila jumlah seluruh peserta UN SMA/ MA / SMK / SMALB di Indonesia yang telah lulus adalah rata-rata sebanyak ± 2,5 juta per tahun ( Data BSNP , peserta UN Tahun 2008 / 2009 sebanyak 2.207.805 dan 2007 / 2008 sebanyak 3.357.457.472 siswa ). Maka Kementrian Pendidikan Nasional disarankan memberi beasiswa kepada 200 – 300 ribu siswa agar mampu mengenyam bangku kuliah PTN, hingga mereka mampu mengantongi gelar kesarjanaanya. Kiat ini pula bisa mencetak generasi mendatang yang lebih tangguh, inovatif dan adapif terhadap globalisasi.

Meski upaya pencerdasan tersebut memerlukan biaya yang tinggi, namun dengan alokasi 20 % dari APBN Th 2009, atau sebesar 224 trilyun Rupiah diharapkan mampu merealisasi program tanggung jawab kita terhadap masa depan bangsa. Dengan latar belakang keterpurukan sistim pendidikan kita dewasa ini, tentunya langkah ke arah inipun bukan hanya sebatas wacana saja. Karena genderang revolusi pendidikan telah bergema, maka tiap langkah autoritas untuk mengentaskan keterpurukan inipun harus dengan sepenuh hati.

Perjuangan mencerdaskan anak bangsa sepertinya akan putus di tengah jalan, apabila kita menghhadapi suatu kenyataan kinerja yang tidak tuntas.. Di lain pihak Kementrian Pendidikan Nasional dan BSNP telah bertindak tegas dalam mengantisipasi kecurangan pelaksanaan UN setiap tahun, namun output yang mereka perjuangkan tidak mereka benahi untuk pembelajaran selanjutnya.

INDONESIA DI TENGAH DINAMIKA POLITIK

Letak geografis indonesia yang berada persis di tengah - tengah dua samudra di sebelah Barat dan Timur serta dua benua di sebelah Tenggara dan Barat Laut, memberikan specifikasi tersendiri sebagai negara yang harus diperhitungkan oleh bangsa lain, terutama dalam aspek geostrategi dan geopolitik.
Disamping itu Indonesia memiliki kekayaan alam yang tiada bandingnnya yang tersimpan di 17. 504 pulau ( Wikipedia, 2004 ). Sebagian dari pulau yang kita miliki tersebut sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang tidak berpenghuni, dan sudah semestinya masih mengandung kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya Semua pulau-pulau tersebut terhampar menyebar di sekitar katulistiwa dan memberikan cuaca tropis. Tercatat pula bahwa disamping kekayaan alam yang tiada bandinmgnya, Indonesia juga memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif, sebagian dari gunung berapi tersebut terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan. Yang lebih memikat para cendikiawan dunia guna pengembangan sains dan teknologi bahwa Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif .
Sudah brang tentu kondisi daya dukung alamiah yang kaya tersebut, jelas-jelas menarik minat bangsa penjajah untuk mengeksploitir kekayaan alam milik kita. Terbukti sejak Tahun 1602 Bangsa Belanda, disusul kemudian Bangsa Inggris dan Portugis serta Bangsa Jepang telah berhasil menkmati kekayaan alam kita. Disamping merampas kekayaan alam kita yang tak ternilai harganya, khusus Bangsa Belanda juga telah mengeksploitir tenaga / kehidupan / hak azasi anak bangsa guna kemakmuran mereka, selama 3, 5 abad lamanya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dengan kondisi geografis alam yang melingkungi negara kita, menyebabkan terbentuknya ± 316 suku bangsa dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Wilayah Indonesia, masing –masing dengan corak budaya yang berbeda. Hal ini tentunya membawa berkah tersendiri bagi kita , yang secara dialektis menempatkan keberagaman ini bukan sebagai faktor penghalang dalam upaya pencapaian hidup bersama. Tetapi justru malah mampu melatarbelakangi upaya pencarian instrumen yang mampu menjembatani perbedaan tersebut . Hingga lahirlah suatu Instrurnen pemersatu yang mampu diterima semua komponen penyusun bangsa dan negara ini, yang tak lain adalah Idiologi Pancasila, yang telah terpenetrasi jauh ke kalbu setiap anak bangsa ini.
Namun demikian dalam perjalanan hidup bangsa ini yang terus bergulir menuruti roda waktu, silih bergantinya perseteruan / goncangan / perbedaan pendapat terhadap sesama anak bangsa turut memperkaya perjalanan Bangsa Indonesia di tengah pergaulan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Namun kita tetap berbangga diri lantaran kita berhasil membangun monumen politik Indonesia beruapa even politik bersejarah, yaitu berupa deklarasi bersama tentang itikad bernegara pada Tanggal 17 Agustus 1945 yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta.
Sebagai negara yang baru saja memperoleh prestis politik yang monumental, beragam langkahpun telah diderapkan oleh putra-putra bangsa guna membangun negara ini dalam kerangka ekonom, politik, pendidikan kesehatan dan semua sendi kehidupan Rakyat Indonesia . Dinamika inipun tak luput dari perbedaan politik / pandangan umum tentang negara, yang meliputi sistim politik, ideologi, arah pembangunan dan lain sebagainya. Tercatat dalam sejarah idelogi komunis , liberalisme, pendirian NII oleh kelompok agamis pernah aktif ,mewarnai wajah perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru lahir ini. Sudah barang tentu perbedaan pola pandang tentang berbangsa dan bernegara ini membuat Rakyat Indonesia menjadi terpolarisasi dan mengkristal ke dalam ranah politik masing – masing pada dekade sebelum Tahun 1965.
Selama dekade tersebut munculah Idiologi Komunis yang berkembang pesat melalui instrumen politik Partai Komunis Indonesia ( PKI ), yang merencanakan mengadopsi komunis di Indonesia dengan paksa. Rakyat Indonesiapun saat itu menyambut antusias terbentuknya partai ini yang menjanjikan kesejahteraan rakyat yang masih berada di strata terbawah karena kemiskinanya. Slogan untuk penghapusan kelas, yang dikenal dengan nama slogan sama rata sama rasa begitu bergaungnya. Sehingga pada Pemilu Tahun 1955 PKI berhasl mendapatkan 6 juta suara ( Saat itu jumlah Rakya Indonesia baru berjumlah ± 50 juta jiwa ). Hal ini meruapakan pertanda bahwa PKI kala itu banyak diterima di hati Rakyat Indonesia.
Namun sejarah mencatat sesuatu yang berbeda dengan yang diharapkan oleh hati rakyat, ketika pada Bulan September 1965, PKI berusaha mengambih alih negara ini dengan melakukan kudeta berdarah di bawah scenario DN Aidit, yang bertujuan hendak memaksakan kehendak rakyat banyak dalam menerapkan idiologi Komunis. Kenyataan itu berhasil membukakan mata dan hati Rakyat Indonesia yang sebelum itu menaruh simpatik., Kenyataan ini akhirnya menyebabkan air mata Ibu Pertiwi kembali menetes, karena di persadanya telah terjadi banjir darah karena perseteruan antara anggota partai komunis dan kontra komunis Pada Tahun 1966, yang berlangsung sebagian besar di P, Jawa dan Bali.
Bencana yang berujud tragedi kemanusiaan begitu memilukan hingga jatuh korban jiwa untuk para pendukung / simpatisan PKI, tercatat sebanyak 2 juta pendukung / simpatisan PKI dieksekusi dan 200,000 lainnya di penjara tanpa diadili menurut norma hukum. Kita sambut dengan tangan terbuka bila terdapat anasir baik dari dalam maupun luar negeri yang ingin melakukan pencerahan kepa Rakyat Indonesia yang seharusnya mendapatkan statement mengenai tragedi ini sebenarnya. Namun demikian alangkah lebih baiknya bila tragedy tersebut dijadikan pelajaran berhaga untuk masa – masa mendatang dalam naungan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Dengan aksi pembersihan massal terhadap setiap unsure yang berbau komunis / PKI, yang dilancarkan Soeharto maka berakhir sudah wajah politik Orde Lama dan tertancaplah tonggak kekuasaan Orde Baru.
Selama berlangsungnya rezim Orde Baru tercapailah pembangunan di segala bidang, dengan konsep pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang pada finalnya pemerintah era Orde Baru berniat membawa Rakyat Indonesia ke era tinggal landas menuju Masyarakat Adil Makmur berdasarkan Pancasila, setelah semua kerangka landasan dan setiap sendi kebutuhan Masyarakat Indonesia disiapkan terlebih dahulu pada Pelita sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada Tahun 1966 berada pada titik paling rendah. Setelah itu upaya pembangunan yang sistematis mulai dilaksanakan melalui serangkaian pembangunan lima tahunan dan berjangka dua puluh lima tahun berdasarkan arahan-arahan GBHN.
Repelita I dalam PJP I dimulai pada tahun 1969/70. Agar pencapaian sasaran pembangunan dapat terwujud secara optimal dan sesuai dengan yang digariskan, maka sasaran-sasaran pembangunandipilah dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan. Seluruh kebijaksanaan dirancang dandilaksanakan dalam kerangka Trilogi Pembangunan. Selama PJP I, laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di bawah 2 persen per tahun, pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali (dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800.
Dalam dua tahun Repelita VI, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dalam tahun1994 dan 8,1 persen dalam tahun 1995. Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran (baru) yangditargetkan dalam Repelita VI yaitu sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun.Dalam Repelita VII, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk ditargetkan di atas 7persen dan 1,4 persen rata-rata per tahun. Dengan kedua sasaran ini, pendapatan per kapita padaakhir Repelita VII diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 1.400 (berdasarkan US$ 1993), atau sekitar US$ 2.000 pada harga yang berlaku. Pada saat itu ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan kedalam negara industri baru ( Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Ketua Bapenas, 1996 ).
Kita akui bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada setiap sektor, seperti pendidikan, Keluarga Berencana, kesehatan , keamanan dan stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia.. Namun semakin lama Soeharto memerintah negeri ini, semakin banyak pula tokoh politik yang mengkritik , apalagi memasuki Tahun 1977 bertepatan dengan krisis yang melanda dunia ( Asia khususnya ). Indonesia hingga kini belum mampu untuk mengatasi krisis tersebut. Bahkan cebderung melebar menjadi krisis multidimensional. Terdapatnya kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang diidap oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian terperosoknya Indonesia dalam badai krisis .
Dan Soehartolah yang pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga pada Tahun 1977 terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Meski Soeharto mencoba mendirikan Komisi Reformasi untuk menyurutkan aksi demo, namun niatan ini sama sekali tidakmempengaruhi idealisme mahasiswa dan Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada jalan lainnya kecuali mengundurkan diri 21 Mei 1998.
Setelah pengunduran diri Soeharto, maka panggung politik Indonesia berganti dengan Sistim Politik Reformasi, yang bersendikan kebebasan berpolitik, mengeluarkan pendapat dan Supremasi Hukum. Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006 ( Wikisource, 2010 ).

Selama berkibarnya Sistim Politik Reformasi, kehidupan politik berjalan monoton meski telah tiga kali Bangsa Indonesia mengamanatkan empat putra bangsa menjadi Presiden RI, masing – masing adalah BJ Habibi, KH Abdurahman Wakhid, Megawati Soekarnoputri dan SBY. Selama kurun waktu dari Tahun 1977 – 2009, hanya kita temui padatnya aksi demo, manuver politik para elit poltik guna mendapatkan dukungan publik, kasus PHK dan dinamka politik lannya yang justru membosankan Rakyat Indonesia.
Dinamika politik kembali menggelora di akhir Tahun 2009 mengawali masa jabatan ke – II SBY sebagai Presiden RI hingga kini, lantaran telah terjadinya kemelut bercampur dengan carut- marut pengucuran bailout sebesar 6 ,7 trilyun rupiah kepada Bang Century yang dianggap sebagai bang kolaps yang akan menyipkan pengaruh sistemik perbangkan di Indonesia. Namu karena pengucuran tersebut tanpa melalui mekanisme yang telah baku. Maka publikpun berteriak dan yang paling banyak mendapat tudingan tersebut adalah Wapres Boediono Menkeu Sri Mulyani.
Gegap gempitanya publik dalam mengomentari hal tersebut akhirnya sampai ke telinga Anggota DPR, yang segera membentuk Pansus Bang Century. Hingga kini masalah inipun belum mampu memberi wacana yang terang benderang, yang sebenarnya dibutuhkan publik agar mendapat pencerahan.
Akankah kekisruhan tersebut terus akan berdampak menggoyang kursi keprisedenan. Nampaknya memang bakal mengarah ke sana, apalagi dengan dilakukannnya manuver politik dari komunitas elit politik nasional yang gerah dengan penyimpangan dana negara tersebut. Sayangnya rakyat sementara ini masih menyangsikan manuver tersebut meski dalam kemasan kemanusiawian dalam bentuk apapun, label untuk perjuangan demi pencerahan untuk rakyat akan sia-sia saja, apalagi bagi mereka para petinggi / mantan petinggi nasional yang berkiprah politik. Seperti even tanggal 1 Pebruari 2010 yang lalu, ketika sebuah Manifesto dibacakan oleh Anies Bawesdan Rektor Universitas Paramadina Jakarta., tentang penataan demokrasi.
Tidak tanggung – tanggung lagi manuver politik itu dihadiri oleh Jusuf Kalla, Surya Paloh, Wiranto, Megawati dan Taufik Kiemas, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi. Benarkah manuver politik itu mengatas namakan rakyat dan lebih jauh lagi hendak mensejahtarakan rakyat. Yang jelas mereka hanya memiliki niatan untuk meraih kursi kepresiden, saat SBY telah ditinggalkan pendukungnya, karena konspiracy Bang Century.
Sementara itu SBY yang memenangkan Pemilu 2009 dengan mendapat perolehan suara 60 %, pada awalnya membentuk koalisis besar, yang disusun dari dukungan koalisi yang terdiri atas Partai Demokrat, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) , PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Koalisi itu juga sudah menguasai mayoritas parlemen karena mereka sudah menguasai 56 persen kursi. Tolal, 314 kursi yang mereka kuasai, dengan rincian kionstituen Demokrat 148, PKS 59, PAN 42, PPP 39 dan PKB 26 ( lamade@jawapos. co.id ), Saat inipun mulai menapaki babak perpecahan internal dalam koalisi yang dibangunnya.
Golkar lebih memilih untuk konsisten dalam memberi pencerahan obyektif kepada Rakyat Indonesia tentang Bang Century demi eksistensi nama besarnya pada Pemilu Tahun 2014 nanti. Sementara PPP mulai menjauhi koalisi akibat kasus Petinggi PPP yang pada KIB I menjabat sebagai Mentri Sosial, yaitu Bachtiar Chamzah yang terjerat kasus korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit untuk keluarga pra sejahtera. Dengan demikian kekuatan koalisi akan melemah dan kedudukan SBY pun akan terancam.
Demikian Dinamika Politik Indonesia hingga awal Tahun 2010 ini. Tentunya dinamika ini terus mengalami pasang surut, sebagai sarat keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Bu Guruku Yang Cantik

sumber: SMA Al Irsyad Tegal
Tantangan dunia pendidikan kita sungguh berat dalam upaya untuk pengentasan dari keterpurukan selama ini. Namun demi kemajuan segala aspek yang melingkungi faktor-faktor penentu kemajuan suatu bangsa, maka kemajuan yang pesat terhadap pendidikan kita, haruslah suatu harga mati yang ditorehkan oleh kita bersama. Sebagai konsekuensi logis pemerintah dalam hal ini Depdiknas haruslah memulai megurrai benang yang mengusuti keterpurukan ini.

Peranan wanita sebagai tenaga pendidik adalah sungguh sesuatu yang tidak kita pungkiri, yang memiliki hubungan setali tiga uang. Hal ini kita ketahui sejak kiprahnya RA Kartini dan Dewi Sartika yang tel;ah mendahului menggulirkan pendidikan terhadap anak bangsa, ketimbang para tokoh lainnya. Kedua Pahlawan Wanita Putra Bangsa tersebut lebih mengedepankan perasaan kewanitaan terlebih dahulu ketimbang aspek nasionalisme dan aspek lainnya, maka lahirlah perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.

Wanita memilik karakter ynng secara specific mengungguli ketimbang karakter pria, terutama dalam koridor proses pembelajaran. Meski belum banyak penelitrian imiah yang meng-groundedkan specifikasi ini. Berdasarkan pengalaman empiris diketahui bahwa seorang wanita memiliki potensi yang lebih kuat ketimbang pria untuk berfigur sebagai seorang pendidik

Lebih Rajin dan Teliti

Figur pendidik di era profesionalisasi guru, ternyata lebih banyak menghabiskan
energi dan waktudalam penyiapan instrumen pembelajaran yang njlimet , yang meliputi pembuatan RPP, Analisis dan lain sebagainya, yang hanya bisa dipenuhi oleh figur yang teliti, rajin dan bertanggung jawab terhadap profesionalnya. Tentu saja hal ini lebih mampu di laksanakan oleh seorang wanita yang berdiri di depan peserta didiknya sebagai seoprang fasilitator..

Diakui oleh sejumlah pendidik bahwa untuk mengaplikasikan semua instrumen pembelajaran yang cermat adalah hal yang pelik. Sebagian dari pendidik memilih untuk memberikan pembelajaran menurut sistimatis yang ada di buku paket atau sarana lainnya. Hal ini tentunya membutuhkan ketelitian yang memadai yang harus dimiliki seorang pendidik. Dan sifat ini lebih tepat dimiliki oleh pendidk wanita secara kodrati dibanding pria.

Figur Penuh Kasih Sayang

Sering lihat di laporan berbagai media tentang tindakan fisik seorang pendidik terhadap peserta didiknya, yang tidak dibenarkan dalam etika pendidikan. Sebagian besar pendidik yang terlibat dalam masalah ini adalah pendidik pria. Hal ini adalah suatu bukti empiris bahwa pendidik wanita lebih mampu mencurahkan kasih sayang terhadap peserta didik ketimbang pria, Apalagi di era kehidupan modern, dimana peserta didik lebih banyak menerima budaya asing ketimbang budaya unggah-ungguh, sopan santun, budi pekerti ataupun nilai dan norma sosial ketimuran, yang minim diadopsinya.

Mungkin kita juga masih ingat perjuangan Mother Theresia yang melegenda di masyarakat India dan dunia, ketika beliau dengan tulus mengulkurkan tangan kemanusiaannya di tengam masyarakat India yang terserang penyakit lepra, tanpa memikirkan bahaya dirinya sendiri. Hal ini juga bisa dijadikan bukti empiris tewntang fighur seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada yang membutuhkannya.

Adalah hal yang sering dilupakan oleh pendidik bahwa memfasilitasi peserta didik degan materi pembelajaran pada prinsipnya adalah suatu tampilan kasih sayang kita kepada putra kita sendiri. Bukankah curahan kasih sayang seorang ibu lebih menginternal ketimbang seorang bapak. Bukankah pula seorang anak lebih merasa aman curhat kepada ibunya.

Figure Pemaaf

Kontroversi revolusi pendidikan hingga dewasa ini masih menghinggapi dunipendidikan. Di satu
pihak segala aspek pendidikan diupayakan berperan optimal, tapi di sisi lain tawuran antar pelajar masih saja kita lihat sehari-hari. Apakah ini pertanda telah terjadinya erosi moral remaja kita. Apabila seorang pendidik berada di tengah kenakalan mereka tentunya memerlukan kesabaran yang tinggi. Sebab penanganan yang mengedapankan hukuman fisik tentunya mengakibatkan peserta didik akan lebih skeptis dalam belajar. Oleh karena itu penanganan yang persuasif dan pedagogis merupakan tindakan yang paling bijaksana.

Dalam fenomena tersebut di atas tentu saja serang pendidik wanita lebih tepat untuk mengadakan persuasif pedagogis, yang memiliki sifat kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Namun demikian wanita bukan sesuatu figur yang tanpa kelemahan dalam peranannya sebagai pendidik. Kelemahan yang umum terdapat pada pendidik wanita adalah lemahnya sifat tegas terhadap siswa. Tetapi tentu saja sifaat ini tidak begitu dominan harus dilakukan bagi pendidik wanita, apabila telah mengenal sosok pribadi peserta didik secara cermat. Hingga jadlah Bu Guru yang mampu membimbing peserta didiknya menuju kompetensi mereka.

Minggu, 15 Agustus 2010

Mendambakan Lahirnya "THE SMART GENERATION"

Tidak ada jalan lain bagai kita dalam menempatkan bangsa yang sedang dalam buaian “social and political conflict”, untuk bersanding dengan bangsa lain kecuali dengan langkah sepenuh hati merehab sistim pendidikan yang terpuruk. Barangkali saja kita pernah menanyakan pada sanubari kita sendiri tentang keberlangsungan bangsa dan negara ini dalam koridor kompetisi aspek apapun dengan negara-negara lainnya, saat kita tahu bahwa kita telah terjerambab dalam keterpurukan berbagai aspek, Apalagi dari as[ek moralitas kita bertambah tahu kegamblangan ini,setelah mencuatnya “Gayus dengan pusaran anginya”,
Setiap bangsa di muka bumi ini selalu mampu meraih kemakmuran (wallfare) dan ketangguhan dalam aspek ekonomi dan aspek lainnya di abad ke-21 ini, adalah berkat keseriusannya membangun daya dukungnya selama bertahun-tahun. Daya dukung yang paling dominan sebagai modal dasar adalah “ Pendidikan” bagi rakyatnya (Public Education), yang mampu menjadi asset berharga kelak dikemudian hari. Secara gamblang asset yang berharga tersebut adalah sebuah generasi yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Sejarah telah mencatat bahwa pada pertengahan abad ke -20. Beberapa negara telah mengalami porak poranda akibat ambisi politik mereka melibatkan diri pada PD ke-II. Negara-negara tersebut adalah Jerman, Jepang, Italia AS dan masih banyak lainnya. Namun kenyataan apakah mereka kini terbelit dengan konflik multidimensional di ambang abad ke 21 ini?. Justru mereka sekarang telah menjadi negara yang terdepan dalam segala hal. Mengapa kita sebagai negara yang berlimpah sumber daya alam, posisi strategis yang vital dan budaya “humaniora” yang lebih lengkap, tidak mampu seperti mereka. Bukankah kita sama dengan mereka, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, memiliki anatomi, fisiologi dan fenomena biologis lainnya yang sama, Tetapi mengapa dalam berbagai bidang kita menjadi terbelakang.
Apalagi dengan munculnya indikasi hilangnya generasi yang berkompeten di masa mendatang dapat kita cermati dengan adanya refleksi prestasi yang memprihatinkan. Sering kita saksikan tindakan amoral yang banyak dilakukan oleh remaja, sebagai generasi penerus, contohnya demo anarkis, amuk bonek simpatisan klub bola, tawuran antar pelajar, timbulnya geng motor dan lain sebagainya. Bahkan tindakan kecurangan pada UN 2010 ini, yang justru diintriki oleh oknum pendidilkpun di berbagai tempat dan satuan pendidikanpun tambah membuat kita prihatin
Setelah kalah pada Perang Dunia ke II, tepatnya mulai Tahun 1952 Jepang mulai memodifikasii sistim pendidikan nasionalnya ke arah sistim yang dikonsep matang dan ideal. Modifikasi tersebut direalisasi secara bertahap dimulai dengan menggodog perundang-undangan guna keperluan kontrol terhadap perguruan tinggi, yang berperan sebagai puslitbang modernisasii masyarakatnya, Upaya tersebut ternyata membuahkan hasil hingga pada wal tahun 1970 mulailah terjadi reformasi pendidikan yang signifikan. Terbukti dengan peran lembaga pendidikan swasta yang menerima sistim pendidikan publik yang dicanangkan autoritas. Lebih jauh lagi ternyata langkah ini menghasilkan sistim standardisasi yang luwes, yang diterapkan pada sistim evaluasi tiap perguruan tinggi. Sistim yang kondusif tersebut mampu tercipta, lantaran telah terjadi jalinan mesra antara autoritas dengan organisasi guru yang eksis di Negara Sakura tersebut.
Garis besar perubahan sisdiknas di Jepang tersebut, terletak pada perubahan sistim edukasi yang dibungkus dengan pendekatan kultur dan nilai filosofi yang telah diubah haluannnya menjadi sistim yang dicanangkan dengan sistim pedagogis yang menyeluruh. Atau sistim meritokratic yang diciptakan pada perioda Meiji telah diubah menjadi pendekatan sistim moral dan pengembangan sikap mental menyeluruh secara pedagogis. Sehingga Jepang hingga kini telah dipoles oleh anak bangsanya sebagai generasi yang serba berkompeten.
Telah terjadi kondisi menyeluruh yang kontradiktif dengan ukiran prestasi kita dibanding dengan Jepang. Bukan hanya dalam penguasaan iptek saja kita kalah dengan mereka, namun dari aspek moralitas saja kita jauh di bawah mereka. Temuan ini berdasarkan pada survey beberapa LSM asing yang memposisikan kita sebagai bangsa yang terkorup di Asia. Kadang kita menjadi tidak percaya kepada kita sendiri, mengapa sebuah bangsa yang memiliki corak sosial agamis, santun, terbuka dan kondusif mampu terjerambab dala posisi seperti ini.
Jelaslah fakta yang menghadang kita adalah benang kusut dan rapuh yang membelit sikap mental yang jauh terinternal dalam benak setiap anak bangsa, untuk menggapai realitas suatu kemajuan kita bersama. Benang kusut tersebut mampu kita urai secara sistimatik dan terintegrasi bila kita menancapkan sistim pendidikan yang tepat, Namun lagi-lagi kita sendiri yang tidak terapresiasikan dengan upaya peluncuran roket penorehkan sistim pendidikan yaqng representatif.
Sehingga dengan demikian harapan kita untuk membentuk generasi yang siap menantang jaman telah sirna, atau kita akan kehilangan sebuah generasi pada dekade Tahun 2020-an [prediksi generasi sekarang yang masih dibangku SLTA / perguruan tinggi telah mulai terlibat dalam interasksi sosial setelah lulus). Pada tahun 2020 Indonesia sudah merdeka 75 tahun. Dalam usia itu bangsa Indonesia sudah kukuh kuat ketahanan nasionalnya. Penghayatan ideologi Pancasila sudah meresap, membudaya dan tidak tergoyahkan. Kehidupan nasional telah berjalan di atas landasan konstitusi dengan mantap. Persatuan dan kesatuan bangsa telah terjalin dengan kukuh sehingga kemajemukan telah sungguh-sungguh menjadi modal dan kekuatan bangsa, dan bukan menjadi penyebab perpecahan. Dengan demikian nilai-nilai yang dikandung dalam Wawasan Nusantara telah mewujud dalam budaya bangsa (Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Peluncuran Buku “Peran Pemuda Menuju Indonesia Sesuai Cita-cita Proklamasi 1945” Jakarta, 3 Maret 1997).
Jelas sudah generasi yang memanisi gerbong Masyarakat Indonesia yang madani adalah generasi yang kompeten, yang akan membawa negara kita menjadi The New Young Tiger akibat kesalahan kita sendiri. Akibat kita tidak membekali dalam penanaman sikap anak didik kita untuk mandiri. Harsyah Bachtiar (2003) dalam Zaenal Aqib ( 2009) menyatakann bahwa sebuah generasi mampu mengadaptasi jaman ultramodern, bila telah memiliki 13 karakter, salah satu diantara karakter tersebut adalah kemandirian. Dengan kemandirian dan moralitas inilah kita menaruh sebuah harapan besar, agar generasi ”Bergayus-gayus Ria” tidak lagi terulang.
Namun kita masih memiliki beribu alternatif guna penorehan generasi yang kita idamkan tersebut. Asalkan kita mampu mempondasiakan sebuah motivasi yang terefleksikan dari ketertinggalan tersebut sebagai garis start. Oleh karena itu kita hendaknya mampu terbuka untuk mengadopsi sistim yang diterapkan beberapa negara maju, meski konsep ini belum menjamin sebuah keberhasilan. Sebab faktor pendukung utama pencapaian sistim ini adalah motivasi yang menggelora pada tiap anak bangsa yang berkompeten terhadap pendidikan nasional.
Apalagi bila aspek moralitas mendapatkan imbangan yang proposional,maka pembentukan The Smart Generation bakal tidak lagi kedodoran, terutama dalam koridor pedagogis. Kita tahu bahwa pada prinsipnya muatan pedagogis adalah peletakan nilai moral yang mendasar pada peserta didik dan akan tertanam kuat dalam memori peserta didik. Sehingga apabila kita berlaku sembrono dalam hal ini, maka akan lenyaplah The Future Smart Generation

Kompetensi Yang KOMPETEN

Sering kita berpikir, betapa tersiksanya peserta didik yang belajar di sekolah Indonesia dari dulu hingga sekarang. Betapa tidak, kita sering terjebak dengan penerapan metoda klasikal yang pasif untuk memberlangsungkan sebuah pembelajaran. S
ehingga peserta didikpun seperti individu yang terpidana dan disekap mulai jam 7 pagi hingga jam 1 siang. Mereka setiap hari harus menerima informasi searah dari pendidik untuk 4 – 5 bahan ajar.

Sementara dengan alasan penanaman sikap mental , merekapun akan segera mendapat teguran keras bila mereka sedikit berulah. Peserta didik secara sepihak hanya mengandalkan indera pendengaran, penglihatan serta sering kali tidak menulis visualisasi informasi pada papan tulis atau dari lisan guru.

Mereka sama sekali tidak memiliki dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkan searah dari sang pendidik. Inilah gambaran sekolah dengan metode yang nonkontemporer.
Metoda kuno ini pernah diterapkan pada “Terakoya” , nama sebuah sekolah setingkat sekolah dasar di Jaman Kaisar Edo di Jepang, yang dilaksanakan di kuil-kuil, dengan pengajar para biksu dan Shogun. Kala itu tercatat lebih dari 10.000 terakoya yang tersebar di seluruh daratan Jepang. Bahan ajar yang diberikan hanya baca tulis Huruf Kanji, aritmatik, geografi, kaligrafi dan pengetahuan agama Shinto.

Meskipun bernaung di bawah metode yang klasik dan sederhana namun, karena dominasi dari kultur yang tajam dengan diinteraksikan dengan pendidikan religi. Ditambah lagi niatan semua komponen pendukung pendidikan yang “intent”. Fitur sekolah demikian berhasil membawa Rakyat Jepang menjadi masyarakat terpelajar, terbukti pada abad ke XVIII 70 % Rakyat Jepang sudah melek huruf dan pengetahuan. Dengan potensi seperti inilah mereka mampu mengabsorbsi teknologi dari negara barat hingga kini.

Fenomena pedagogis seperti di atas pernah juga di terapkan di Indonesia, tepatnya saat berdirinya Taman Siswa yang dibidani Ki Hajar Dewantara. Disamping mengutamakan pembelajaran publik yang sedang meradang terinjak kolonialisasi, Ki Hajar Dewantara berusaha semaksimal mungkin membangkitkan persepsi sosial masyarakat pribumi, tentang klas sosial. Merka yang disebut dengan ‘Inlander” pada struktur sosial koloni berada di lapisan terbawah. Oleh karena itu melalui pembelajaran di sekolah, Ki Hajar Dewantara mencoba untuk menanamkan pemikiran publik agar para Inlander ini bukanlah klas sosial yang hina, atau di bawah klas sosial penjajah.

Hal inilah yang menjadi dasar visi perjuangan Taman Siswa yang ikut berkonstribusi terhadap martabat bangsa, yang telah terkoyak oleh nafsu tamak bangsa penjajah. Dengan konsep pendidikan demikianlah meski setahap demi setahap Taman Siswa berhasil berhasil menciptakan generasi yang cerdas, trampil dan taqwa.
Setelah kemerdekaan dicapai Bangsa Indinesia, hinggi kini kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum, dari Kurikulum 1968 diganti Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA kemudian dilanjutkan lagi dengan Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 masih disempurnakan lagi menjadi Suplemen Kurikulum 1994. Pembenahan dan penyempurnaan kurikulum sistim pendidikan kita terus saja melaju tiada henti, hingga kita terperangah setelah melihat realitas bahwa kompetensi out-come kita sangat tertinggal dari Negara lain. Sehingga kita menjadi bosan mendengar laporan penelitian LSM dalam/luar negeri tentang keterpurukan ini.

Mulailah kita merangkak menuju pengentasa keterpurukan dengan memberlakukan KBK, yang mendasarkan sistim pendidikan pada kompetensi peserta didik. Kompetensi yang diharapkan diabsorbsi setiap peserta didik adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus akan memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. KBK merupakan pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education).

Dengan pendekatan standard kompetensi inilah seorang peserta didik mampu mewadahi semua bahan ajar secara tuntas hingga terefleksi pada triangulasi komponen pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dengan cara mengoptimalkan daya dukung yang dimilikinya. Hal ini karena peran sang pendidik bukan lagi sebagai sumber bahan ajar, tetapi lebih berhasil guna hanya sebagai fasilitator.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Menyematkan NILAI DASAR Pada PENDIDIK

Berapa banyak sudah pembinaan yang disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua upaya tersebut difokuskan untuk pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000 terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi. Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai vital, adalahnilai yang meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik, apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong jaman.

Penerapan ROMADHON Terhadap MORALITAS KITA

Keterpurukan multidimensional yang melanda sebuah masyarakat di belahan bumi manapun tentunya akrab dengan “fitur masyarakat yang meradang”, lantaran sebuah kekecewaan yang menghinggapi kehidupan masyarakat tersebut. Dinamika fenomena tersebut memang wajar lantaran disebabkan fluktuasi berbagai sisi sosiologis suatu masyarakat dalam upaya mencapai tujuan hidup bersama. Sisi inilah yang meng-grassrote berbagai tindak amoralitas bangsa ini, seperti maraknya kasus bunuh diri, korupsi yang membudaya, pembunuhan dan penjualan bayi/anak-anak, miras oplosan yang membawa maut, serta pesta huru-hara kala tim kesebelasannya main baik kalah atau menang.

Apabila kita tidak sigap dalam membumikan penyebab utama pergeseran sikap mental masyarakat kita, tentu akan menggulirkan bentuk jadi diri baru yang berbeda dengan jati diri bangsa yang disematkan oleh leluhur kita selama berabad-abad.

Namun sebuah kontroversi telah merebak ke permukaan public tentang banyaknya oknum petinggi Negara, baik didaerah maupun di pusat telah sibuk membenahi diri sendiri dengan label “hedonisme” yang tak kunjung padam. Padahal harapan kita bahwa mereka mampui menjadi sentral figur dalam aspek pembinaan, tetapi kenyataan telah mengesan jauh panggang dari api. Bahkan perilaku mereka barangkali saja lebih jauh ,mampu merefleksikan merosotnya rasa nasionalisme lapisan grassrote.

Fenomena inilah yang direkomendasikan tidak membuat pergeseran karakter kita semua. Lantas apa yang mampu kita perbuat untuk memberikan kontribusi pada penyejukan masyarakat dan Negara. Bagi saudara kita yang beragama Islam tentu telah mengenal konsep aqidah, jauh sebelum masyarakat Indonesia meradang mengumbar angkara, tepatnya sejak 143i tahun lalu, yaitu turunya perintah wajib Ibadah Puasa, sebagai suatu bentuk “cooling sistym” ( sistim pendingin/penyejuk) bagi jiwa yang liar, tanpa air dingin pelepas dahaga.

Hal ini karena secara mendasar bahwa Puasa dalam agama Islam (á¹¢aum) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan perilaku yang merupakan cerminan dari hasil kekotoran jiwa setiap insan termasuk hal yang membatalkan piuasa . Dengan demikian pasa adalah “training sistym” bagi jiwa sehingga mampu menahan berbagai bentuk nafsu .
Dalam keadaan yang menghamba lahir batin itu, kita diperintahkan untuk memberikan kepedulian yang lebih kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan, seperti kaum papa, anak yatim dan bentuk kepedulian social lainnya. Akankah kita biarkan saja bila menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun 2010 ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Diketahui pula bahwa sebanyak 155,965 anak kitya sekarang telah berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta anak kita menjadi pekerja di bawah umur yang menjadisasaran empuk perdagangan anak. Fenomena ini sangat menyayat hati bila kita mencermatikenyataan bahwa berdasarkan data Depdiknas tahun ajaran 2007 yang lalu, terdapat 1.039.067 anak usia sekolah harus meninggalkan bangku sekolah, ini sangat memprihatinkan. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah mengingat kita belum berhasil bangkit dari keterpurukan.



Kepeduilian kita bersama terhadap esama telah berfungsi sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat madani, yang hingga kini hanya merupakan cita-cita kita bersama tanpa mengetahui kapan akan terealisir. Bukankah perintah pusa turun di Kota Madinah., yang kala itu terkondisikan ummat islam baru saja hijrah dari Mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan”.. Dengan tempaan ibadah puasa terlihatlah sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah.

Dari contoh di atas kita telah menemukan suatu “prototype masyarakat” yang dahulunya bermoral biadab kemudian berangsur menjadi masyarakat yang bersosiologis indah, hingga kini kita belum mampu melihat prototype lainnya dari jaman ke jaman.

Dengan hikmah puasa inilah kita mampu menghindari dari berbagai konflik yang sekarang menjadi sarapan ke dua Masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan kesejukan jiwa yang terkipasi pengamalan puasa yang inten dalam benak hati setiap insane yang berpuasa, merefleksikan hasrat untuk menyelesaikan tiap konflik yang menggelora pada diri insane/masyarakat yang berpuasa, dengan penyelesaian yang sejuk, adil dan transparan.

Menurut Riri Satria dalam Tingkat Penyelesaian Konflik ( 2008 ) penyelesaian konflik yang paling rendah adalah dengan kekerasan. Siapa yang memiliki kekuatan akan memenangkan konflik. Ini terjadi di semua strata sosial masyarakat. Pihak yang kalah akan mundur dari gelanggang pusat konflik. Pada bentuk penyelesaian ini, hukum, peraturan, regulasi, atau apapun namanya, sudah tidak diperhatikan lagi, dan yang menjadi acuan utama adalah kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Pada strata sosial yang kelas bawah, misalnya, gerombolan preman yang memperebutkan lahan parkir. Strata sosial yang lebih tinggi adalah penggunaan kekerasan oleh debt collector untuk menagih hutang. Tingkatan yang paling tinggi untuk hal seperti ini tentu adalah konflik bersenjata yang melibatkan militer antar negara. Konflik seperti ini akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang sedikit lebih tinggi, sudah memperhatikan hukum, peraturan, atau regulasi (apapun lah namanya). Tetapi penyelesaian konflik dilakukan dengan “memperdebatkan” aturan main yang ada dalam hukum, peraturan, atau regulasi tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan melibatkan institusi formal, misalnya pengadilan, lembaga arbitrase, dan sejenisnya. Intinya adalah, hukum, peraturan, regulasi, menjadi acuan dan sangat diperhatikan, tetapi terjadi “perdebatan” dan mungkin bahkan “mensiasati”-nya. Nah, mereka yang memang dalam konflik tentu mereka yang “pintar mensiasati” hukum. Ini juga akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang lebih tinggi adalah dengan musyawarah, negosiasi, atau apapun namanya, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara semua pihak. Kesepakatan itu bisa berbentuk perjanjian, dan pada tingkat yang lebih tinggi, kesepakatan itu bisa berupa suatu bentuk regulasi baru dalam suatu negara, atau perjanjian antar negara, atau resolusi PBB (pada tingkat internasional). Tetapi ini belum tentu membawa kepada situasi win-win solution. Kalau kesepakatan dibuat secara musyawarah mufakat dan disetujui oleh semua pihak, maka situasinya kemungkinan adalah win-win solution (dengan syarat semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam musyawarah tersebut, jika tidak bakal ada yang kena loose). Tetapi jika diputuskan melalui voting, maka situasinya pasti akan berakhir dengan win-loose.
Inilah salah satu hikmah Ibadah Puasa yang mampu mensyiratkan pembentukan karakter suatu ,masyarakat apabila kita melakukan ibdah tersebut dengan tuntutan yang baik menurut Aqidah Agama Islam ( Dari berbagai sumber).

Kamis, 12 Agustus 2010

PELIKNYA MEMBIDIK Sekolah Bermutu

Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 ini tentunya akan berbangga hati, sementara orang tua mereka bahkan bertambah pusing tujuh keliling, karena harus bersaing dengan ortu lainnya dalam membidik bangku sekolah yang ideal. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya yang diimpikan.
Tentunya pada bulan Juli tahun ini mereka akan disibukan dengan memilih sekolah SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA untuk meneruskan jenjang pendidikan. Betapa tidak mereka yang lulus UASBN harus memperebutkan sejumlah 43.666 SMP/MTS yang tersebar seluruh tanah air. Begitu juga bagi yang lulus jenjang pendidikan dasar (SMP/MTS) harus bersaing mendapatkan kursi di sejumlah 16.647 SMA/SMK/MA se-Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tidak ada ortu yang menghendaki putranya gagal dalam belajar, maka ortu tersebutpun berusaha semaksimal mungkin dalam mencarikan sekolah favourit untuk putranya, salah satu diantaranya membidik sekolah RSBI, yang sekarang marak berdiri di kota-kota seluruh Indonesia. Namun benarkah RSBI mampu menjamin kompetensi unuk peserta didiknya. Sebuah pertanyaan menyeruak di tengah keraguan publik akan kredibititas sekolah tersebut.
Pada dasarnya RSBI dicanangkan untuk menjemput bola mutu pendidikan yang maksimal, dengan penerapan “pengantar bahasa inggris”, meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Mencermati “nilai plus” sekolah RSBI tersebut, sebenarnya kita sering “salah kaprah”. Karena sekolah tersebut hanya menerapkan pengantar pembelajaran dalan bahasa inggris, namun kurikulum yang digunakan sama dengan sekolah lainnya. Maka dari itu, sebenarnya sekolah ini hanya cocok untuk peserta didik asing yang tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, sebenarnya sekolah-sekolah tertentu tidak perlu memasang label RSBI bila peserta didiknya sebagian besar dari kalangan lokal. Tetapi jauh lebih penting adalah kompetensi peserta didik dikedepankan. Karena dikhawatirkan label tersebut bisa dimanfaakan oleh oknum yang mengeruk pungli yang merugikan orang tua/wali peserta didik.
Wacana tersebut bukan hanya isapan jempol saja, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi A Shomad di Jambi, yang mengatakan bahwa sekolah berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga menjadi peluang bagi pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungli..
Jimly Asshiddiqie Mantan Ketua MA dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ikut berkomentar tentang RSBI yang dianggapnya hanya label berlebihan dari sekolah negeri tersebut, sehingga pada praktiknya menjadi ajang diskriminatif bagi peserta didik yang berduit dan tidak, bahkan yang lebih memprihatinkan terdapat sejumlah sekolah negeri RSBI yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Dengan demikian masihkah kita sebagai orang tua calon peserta didik masih menempatkan pilihan utama pada RSBI.
Adalah tindakan ortu yang bijaksana, bila membidik sekolah negeri selain RSBI untuk pendidikan putranya. Keputusan tersebut memang masuk akal, bila kita menyorot tentang fasilitas factor pendukung pembelajaran di sekolah negeri, tentunya lebih memadai di banding sekolah swasta, meski terdapat sejumlah sekolah swasta favourite yang mengimbangi sekolah negeri. Disamping itu juga jumlah kelas sekolah negeri masih ideal untuik menampung peserta didik baru.
Hingga akhir tahun 2009, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTS, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta.
Namun institusi sekolah negeripun bukan serta merta sebagai sekolah publik yang nota bene milik negara, karena berbeda dengan sekolah negeri pada dekade tahun 80-an, yang justru menjadi dambaan peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu. Karena rendahnya SPP dibanding dengan sekolah swasta, dan tanpa pungutan “uang gedung” atau Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) seperti sekolah negeri dewasa ini, yang terkadang tidak terjangkau oleh peserta didik yang kompeten tapi dari kalangan keluarga tidak mampu. Sehingga apa mau dikata bagi peserta didik yang tidak mampupun harus rela belajar di bangku sekolah swasta.
Namun tidak selama sekolah swasta dianggap sebagai institusi “underdog”, terbukti dari hasil prestasi kelulusan UN 2009 lalu, bahwa nilai rata-rata sekolah swasta lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri. Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo dalam acara jumpa pers 'Hasil Ujian nasional 2008/2009' di Jakarta, Senin (22/6). Untuk tingkat SMA jumlah peserta UN dari sekolah swasta mencapai 905.570 dengan jumlah peserta lulus mencapai 861.539 siswa. Sementara itu, peserta UN dari sekolah negeri mencapai 614.164 siswa, sedangkan yang lulus UN sebanyak 561.089 siswa. Di tingkat SMP peserta UN dari sekolah negeri berjumlah 1.224.661 siswa. Jumlah peserta yang lulus mencapai 1.159.260 siswa. Sebaliknya, dari sekolah swasta berjumlah 2.216.192 peserta, dan yang lulus UN mencapai 2.112.391 siswa.
Meskipun data yang teranalisa diatas hanya data untuk prestasi UN 2009, namun setidak-tidaknya bisa merefleksikan bahwa sistim pembelajaran yang memadai bukan hanya mutlak milik sekolah negeri. Hanya saja memang ortu calon peserta didikpun harus hati-hati dalam memilih sekolah swasta, terutama dari “status sekolah” swasta tersebut berdasar penilaian tim akreditasi Disdikpora atau Kementrian Agama yang membina sekolah tersebut, proses kontinyuitas Kegiatan Belajar Mengajar dan ketahanan sekolah. Sebab tidak menutup kemungkinan masih adanya sejumlah sekolah swasta yang mengabaikan masalah tersebut, seperti yang berlangsung di
sejumlah sekolah menengah atas (SMA) swasta di wilayah DKI yang terancam ditutup karena 100% siswanya tidak lulus ujian nasional (UN).
Sekolah yang bermasalah tersebut, terdiri dari 10 SMA, dan tiga SMK. Total peserta yang tidak lulus dalam sekolah tersebut adalah 138 orang.

PEMBELAJARAN BUDI PEKERTI Jangan Pernah Ditinggalkan

Tiap kali kita berbicara tentang sekolah, yang menopang berbagai pembelajaran, pastilah kita akan berpikir tentang nilai-nilai sosial, budaya dan pedagogis. Terutama bagi kalangan orang tua yang akan menelisik dan menyekolahkan di satuan pendidikan tersebut. Pandangan kitapun langsung menuju suatu pepatah “ Pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya bermula dari pendidikan”. Kitapun langsung memahami urgensi suatu lembaga sekolah.
Adalah suatu kemajuan bangsa yang sering kita cermati di dunia ini yang bermula dari sistim pendidikan yang mapan dan berkontinyuitas, tak lekang di makan zaman. Pandanglah Bangsa Jepang yang melekatkan nilai-nilai budaya yang luhur pada satuan pendidikan yang disebut dengan Terakoya, yang diberlangsungkan pada abad ke-18, pada jaman Kekaisaran Edu. Sistim pendidikan yang cukup sederhana namun sarat dengan nilai budi pekerti (Morale Force Dealectict ) yang hidup di tengah kultur masyarakat Jepang.
Lain halnya dengan sistim pendidikan yang dicanangkan Taman Siswa di bawah asuhan Ki Hajar Dewantara, yang hidup di tengah kultur Masyarakat Indonesia yang sedang didholomi Bangsa Belanda yang mengungkung kita semua. Dalam hal ini, Ki Hajar menyelipkan pemahaman bahwa “Persamaan Derajat antara Sesama Manusia”. Oleh karena itu derajat masyarakat “inlander” tidak berada di bahwa orang Belanda. Misi Ki Hajar tersebut terus didengungkan melului Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pandangan Ki Hajar tentang persamaan hak dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Artikel tersebut di tayangkan Koran de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Oleh karena itu aspek keteladanan yang direfleksikan melalui budi pekerti perlu dikedepankan oleh semua peserta didiknya. Salah satu nasehat Ki Hajar Dewantara melalui Pendidikan Taman Siswa kepada masyarakat Indonesia, adalah ungkapan “Milo Budi ingkang Utami” (Maka Budi Pekerti perlu diutamakan). Sehingga upaya pencapaian aspek kognitif untuk peserta didik kita bukanlah satu-satunya kebijakan pedagogis yang bijaksana, guna mengejar ketertinggalan sistim pendidikan kita dengan negara lain. Kadang dengan ketertinggalan tersebut kita menjadi kebakaran jenggot, lantas merancang upaya mengkonstruksikan kurikulum yang dianggapnya representative. Upaya tersebutpun menjadi hambar tanpa mengintensifkan pembentukan sikap menta (afektif) peserta didik.
Sebagai bukti akan hal ini , dewasa ini terjadilah ketimpangan pencetakan peserta didik yang kita harapkan bersama. Sebagai bukti adalah maraknya laku anarkis yang banyak dilakukan oleh generasi muda di berbagai perhelatan olahraga, konser, pesta narkoba dan miras serta perilaku sex-bebas diantara remaja. Bahkan fitur generasi muda kita adalah timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Suatu perangkat sosial perlu terus tersemat dalam diri manusia Indonesia dari mulai bangku sekolah hingga dewasa, lepas dari kapasitas yang melekatnya, baik sebagai figure publik, pemimpin institusi atau apa saja. Perangkat ini disebut dengan “Budi Pekerti” yang memenuhi ruang sanubara tiap individu melalui saluran pembelajaran di sekolah, agama, informasi dari berbagai media ataupun tata-pergaulan dalam masyarakat. Semua saluran tersebut jelaslah di jaman modern ini bukan suatu bentuk yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Asal kredibilitas saluran serta substansi pembelajaran harus kita cermati bersama.
Masa depan suatu bangsa, baik masa depan prestasi ekonomi, sosial, teknologi dan lain sebagainya sangatlah bergantung pada intensitas sistim pendidikan yang disematkan pada generasi muda pemikul kekayaan budaya para leluhurnya. Warisan budaya kita sungguh mampu membuat bangsa-bangsa lainnya berdecak kagum, Namun kadang kala kita menjadi bertanya mengapa mediasi untuk transfer ke generasi penerus mengalami kegagalan. Padahal pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Kita tidak usah menuduh siapa gerangan yang paling patut kita salahkan dalam hal kegagalan “Penyematan Generasi yang Berbudi Pekerti”. Lantaran budi pekerti adalah sesuatu yang hanya bisa terinternalisasi hanya dengan kinerja yang.mengambil andil bersama dari seluruh komponen bangsa ini. Sepintas memang pembelajaran agama di satuan pendidikan mendapat tudingan tajam. Namun hal inipun tidak serta merta dapat kita terima, karena pembelajaran agama di satuan pendidikan hanya berlangsung 3 jam per minggu. Padahal aktifitas setiap peserta didik di sekolah hanya berlangsung 6 jam, selebihnya mereka larut dalam kehidupan sosial di luar sekolah. Sebanyak 90, 7 % ahli pendidikan menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti didapatkan dari lingkungan keluarga.. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Ngalim Purwanto M.P (1987 :148)
Maka opinipun dewasa ini banyak memenuhi multi media yang isinya menghimbau agar kita segera mengformat kembali pembelajaran budi pekerti di sekolah dan mengarahkan amoralitas pemuda kita di tengah masyarakat, ke ranah binaan yang memadai. Sehingga akan lahirlah “The Smart Young Generation” dan masyarakat Indonesia yang bermoral dan berbudi pekerti yang baik.(Dari berbagai sumber).

Senin, 07 Juni 2010

GURU

Berapa banyak sudah pembinaan yang disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua upaya tersebut difokuskan untuk pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000 terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi. Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai vital, adalahnilai yang meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik, apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong jaman.

Minggu, 07 Februari 2010

REVOLUSI PENDIDIKAN



Revolusi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang disusun Boediono MA ( 2005 ) berarti suatu perubahan dalam waktu singkat untuk hal - hal yang mendasar. Perubahan tersebut tidak serta merta berlangsung secara gradually tetapi berlangsung cepat dan stimultan karena dilahirkan oleh simpatisan yang bersikap radiikal, pragmatis sekaligus revolusioner dan sudah barang tentu sesuatu yang diusung dalam revolusi tersebut telah diterima di tengah masyarakat umum. Yang pada gilirannya nanti revolusi tersebut berhasl memberikan pencerahan terhadap[ masyarakat yang mendownloadnya.  
Revolusi biasanya lebih tepat diterapkan untuk ideologi suatu bangsa dengan didukung oleh situasi dan kondisi yang memungkinkan. Sehingga tentu saja masyarakat akan mudah menerima tatanan yang baru dan tanpa ekses apapun meninggalkan tatanan yang telah dianggap usang. Namun demikian revolusi juga bisa berlangsung di bidang selain sebuah ideologi negara, contoh Revolusi Tehnologi Informatika dan Komputer ( T I K ) yang menelikung semua aspek kehidupan umat manusia dari aspek informasi. Barang siapa yang tidak mematuhi revolusi di bidang computer ini akan hanyut didera ketertinggalan. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan moral bila semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu berusaha mengantisipasi inovasi yang diusung sebuah revolusi.Sebagai contoh revolusi di bidang T I K yang melanda Korea Selatan sebagai negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996..

Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB(2005).

Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadikan Korea Selatan sebagai negara yang memiliki perekonomian yang jauh lebih kuat di banding masa sebelumnya. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Dunia Pendidikan Indonesia dewasa ini seperti yang dilansir oleh banyak media telah banyak mendapat sorotan pemerhati dari luar negeri perihal kemerosotannya. Hal ini pun telah diakui oleh segenap pakar pedagogis kita dan masyarakat umum.

Sorotan tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara.

Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah.

Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, dan Thailand ( Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 )/

Tentu saja hal ini harus dicermati dengan sigap dan sistimatis guna mengentaskan kembali sistim yang terpuruk ini, dengan mengacu pada pembenahan nilai-nilai fundamental dunia pendidikan, yang meliputi peran pendidik, kurikulum dan bahan ajar yang memadai.

Perubahan yang diharapkan agar tercapai perubahan yang stimultan , terintegrasi dan mengenai sasaran, tentunya bukan perubahan yang tersegmentasi hanya pada satu konstituen. Apalagi dengan tuntutan jaman yang tidak memungkinkan dipertahankannya Sistim Pendidikan Nasional yang terdahulu, maka perubahan yang mendasar dan emergensi inilah yang kita harapkan.

Memandang urgensi yang vital tersebut, maka perubahan di bidang pendidikan di Indonesia ini haruslah dilakukan dalam naungan sebuah revolusi pendidikan, sebagai jawaban yang final. Guna menghandling pesatnya perubahan segala bidang yang mendera masyarakat Indonesia yang menapaki era modernisasi. Apabila perubahan yang kita niatkan tidak secepatnya dikonsep dan direalisasikan, maka dikhawatirkan semakin lebarnya ketertinggalan sistim pendidikan dalam kaitanya dengan pembekalan peserta didik dan modernisasi multidimensional pada masyarakat tersebut Tentu saja revolusi ini dilakukan dengan totalitas , konsep yang matang dan alokasi dana dari APBN yang besar.

 Tantangan Berat untuk Sebuah Revolusi

Sebuah tugas yang berat rupanya menghadang para penyelenggara / pengambil kebijakan sistim pendidikan nasional karena beberapa kendala prinsip, yaitu masih banyaknya sekolah yang masih harus mendapatkan perhatian serius, sebagai contoh adalah keadaan madrasah di Jawa Tengah sesuai dengan pernyataan Staf Ahli Pusat Penjamin Mutu Pendidikan IAIN Walisingo Dr. Muhyar Fanani MAg, pada even Seminar Menghi8dupkan Sistem Penjamin Mutu Internal Madrasah yang digelar oleh M P3 A Jateng, mengungkapkan bahwa sebanyak 5.156 dari sejumlah 5,445 madrasah di Jawa Tengah ( 94 , 6 9 % ) yang berstatus swasta yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ditambah lagi sejumlah 57.639 guru ( 83,37 % ) memperoleh kesejahteraan yang minim.

Apalagi adanya sebuah fakta yang harus kita terima berhubungan dengan pendidikan formal para pendidik yang masih belum memenuhi ketemtuam Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran adalah guru profesional dan harus memiliki standar akademik minimal S1 atau D IV . Fakta tersebut terungkap sesuai dengan pernyataan

Kasubid Penghargaan dan Perlindungan Guru Ditjen PMPTK , Dian Mahsunah yang mengatakan bahwa saat ini, total ada 2 .374.722 jumlah guru yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, baru 930.804 guru yang berpendidikan S 1, 16.196 bergelar S 2 dan hanya 55 yang memegang ijazah S3.. Sisanya belum bergelar sarjana. Yang memprihatinkan, jumlah guru lulusan SPG atau SMA cukup banyak, yaitu sejumlah 477.039 guru.

Dengan mengkaji sebreg kendala tersebut ditas, bilakah sebuah revolusi bisa digulirkan. Pertanyaan ini tentunya bukan untuk dijawab sekarang, tapi segenap kinerja yang tertata apik, sistematis, intensif dan dengan selalu menibatkan pemberdayaan institusi yang berkompeten di revolusi tersebut. Apabila kita masih intend dengan niatan itu , tentu saja revolusi mampu bergulir terarah dan mampu sampai ke tujuan.

 Revolusi mulai Digulirkan 
Bergulirnya Revolusi Pendidikan diawali dengan diterapkannya KBK / KTSP 2007, sebagai suatu kurikulum yang lebih fleksibel diterapkan secara kondisional di masing – masing satuan pendidikan. Sehingga seorang pendidik yang professional akan menyodorkan bahan ajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didiknya, kondisi sekolah dan lingkungannya. Untuk itu peserta didik diberi kewenangan yang luas untuk menyusun silabus sebagai salah satu instrument pembelajarannya. Dengan penyusunan silabus yang kondisional tersebut, diharapkan seoran pendidik mampu mendayagunakan lingkungan sekolahnya sebagai media pembelajarannya.

Perubahan besar – besaran dan mendasar di bidang pendidikan memang nampaknya sudah tidak man-main lagi bila kita proyeksikan terhadap hasil guna generasi mendatang. Terbukti dengan dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2003, yang telah mengamanatkan untuk mengalokasikan 20 % dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20 % ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6 %. Tahun 2005,jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29 % dan tahun 2006, rencananya akan dialokasikan 12,01 %, 14,60 %untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sector pendidikan akan menjadi 17,40 % dan 20,10

Salah satu pengalokasian dana pendidikan seperti tersebut diatas adalah realisasi program sertifikasi guru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifkasi Guru dalam Jabatan, yang mengatur lebih lanjut tentang upaya profesionalisasi guru.

Dengan demikian Revolusi Pendidikan yang dilakukan Bangsa Indonesia diharapkan akan terwujud. Sehingga upaya pencetakan generasi anak bangsa di masa mendatang yang kompeten di bdangnya akan sanggup memajukan negara dan bangsa ini.

Selasa, 02 Februari 2010

URGENSI ETIKA MORAL UNTUK MASYARAKAT KITA


      Belum hilang betul  dari ingatan kita  tentang ulah Bonek  pendukung   Persebaya  yang  merepotkan semua pihak  di atas Kereta Pasundan Jurusan Bandung – Surabaya  pp ,  di Bulan  Januari  tahun ini. Kini kembali potret  sosial yang berupa  sebuah erosi moral yang melanda  masyarakat umum  terjadi  di Semarang .
       Seperti diketahui bahwa  baru saja  beberapa hari yang lalu  sebuah tragedi  yang  memprihatinkan  kembali menggugah  hati  kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita.  Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita,  pertanda  munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak,  lantaran dendam kesumat Th 2005  lalu, ketika supporter  PSIS Semarang diserang oleh Suporter Persijap  Jepara  kini dendam  itu  dilampiaskan  dengan  brutal di Semarang  Sabtu  30 Januari 2010.
     Tak pelak lagi sebanyak  18 Suporter Laskar Kalinyamatpun  menjadi korban luka cukup serius,  lantaran bus yang mereka  tumpangi di cegat di  Jalan Siliwangi  oleh rausan Suporter PSIS,  bahkan pada kejadian tersebut banyak pula yang dirugikan secara material akibat penjarahan barang berharga.  Bukankah ini bisa dijadikan tolak ukur bahwa  konflik antara simpatisan tersebut  sudah bukan lagi sebuah fanatisme apalagi sebuah sportifitas.  Lantas  apa yang dapat kita perbuat, apabila konflik ini terus akan menimbulkan korban, atau lebih jauh lagi meresahkan masyarakat.
      Konflik  antar simpatisan tersebut sebaiknya secara  bijak   kita urai  mulai dari  struktur  suporter yang terlibat, guna mengetahui segmentasi mana yang paling mendominasi  perusuh tersebut.  Hal ini disebabkan karena  kita belum pernah melakukan penelitian mengenai komposisi para  bonek yang berada di setiap kota yang menjadi potensi konflik supporter  tersebut. Secara sepintas  berdasarkan pengamatan  dari berbagai media terlihat jelas bahwa  kelompok yang mendominasi   simpatisan klub bola, adalah  remaja.  Bahkan beberapa diantaranya atau bahkan  paling banyak adalah dari kalangan pelajar.
      Dengan  demikian  dapat  kita dapatkan solusi komprehensif  khusus untuk  segmen pelajar . Solusi  tersebut adalah  pembinaan  sikap mental yangh lebih intensif  di masing – masing satuan pendidikan (  sekolah ).  Sebab salah satu fungsi  satuan pendidikan  bagi peserta didik  adalah  penanaman sikap mental yang utuh.  Sikap mental tersebut tentu saja akan  terbina  dengan sendirinya ,  apabila peserta didik  aktif dalam bersosialisasi dengan teman, guru , orang  tua  serta  masyarakat di luar jam sekolah.
      Apabila  seorang pelajar  melakukan konflik yang  tak terpuji maka  penetrasi sikap mental, baik  penetrasi dari  sekolah,  orang tua maupun masyarakat  pergaulannya  tetal gagal. Namun alangkah baiknya  bila kita secara bijak tidak menyalahkan peran mereka satu persatu. Hanya saja  penanaman sikap mental peserta didik di lembaga sekolah, adalah yang  paling formal dengan kemasan pedogogik yang ilmiah.  Sehingga agar terjadi pembinaan yang menyeluruh terhadap perkembangan  jiwa seorang peserta didik, sekolahlah yang  paling dahulu   dituding.
      Namun masalah in menjadi lebih pelik lagi bila para supporter  yang  mengalami konflik ini  adalah berasal dari kalangan  umum,   tentulah harus dilakukan  pencerahan moralitas yang lebih kompleks.  Hal ini bisa dimengerti lantaran  apabila seorang suporter sejati yang menaruh simpatik  terhadap kesebelasannya tentulah  akan bersifat sportif. Karena  apapun alasannya, sehebat apaun sebuah kesebelasan pastilah  pernah mengalami kegagalan, dan sudah barang  tentu  bagi seorang suporter yang sejati sikap sportifitaslah yang harus dikedepankan.
     Dengan demikian tabiat  menyerang suporter  lawan tanding kesebelasan pujaannya, adalah bukan sikap seorang suporter yang sebenarnya. Sikap tersebut lebih kentara  dapat dilihat dari aspek pelampiasan  aspek-aspek  yang menjadi potensi laten  ketimbang sebuah sikap fanatisme. Dengan alasan seperti ini, maka sudah barang tentu bagi  instisitusi yang berkepentingan dengan  masalah tersebut  haruslah segera dengan sigap menentukan metodologi penyelesaian sosial untuk merampungkan masalah ini  agar tidak terulang lagi.
      Masalah  kenakalan remaja ataupun konflik seperti tersebut di atas adalah hal yang memang harus dituntaskan. Sebab masalah ini   bisa menjalar ke bentuk lainnya, yang bisa merusak  kererasian anak bangsa dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara,  karena sebenarnya masalah in adalah masalah yang sudah menyentuh moralitas sebuah  masyarakat. Apabila moralitas yang  dari jaman nenek moyang kita  telah dipelihara  dan disakralkan,   bisa mengalami  degradesi  menjadi sesuatu yang tidak berharga  dan pada gilirannya nanti akan hancurlah sebuah tatanan sosial.
     Ataukah memang  telah  terjadi  di tengah  kita  sebuah generasi yang tersisih dari  perubahan sosial masyarakat Indonesia  yang sangat  pesat di  era globalisasi  ini,  sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia.  Karena pada era  sekarang  tidak  ada satupun masyarakat   yang mampu  menghindar  dari  globalisasi  multidimentional,   Namun dengan mahalnya  pendidikan baik negeri maupun swasta,  maka  baringkali saja masih banyak  anak bangsa  ini  yang  tidak mampu mengenyam  pendidikan yang memadai,  atau  menjadi  generasi  yang  tidak memiliki ketrampilan  dan kesempatan kerja
     Apabila kondisi telah mencapai demikian maka  terjadilah pelapisan sosial   yang dilengkpi dengan menumpuknya  jumlah pemuda / remaja  yang  tidak memiliki strata pendidkan   memadai sekaligus  tidak memiliki keahlian khusus,  yang menumpuk di  lapisan  paling bawah.  Kelompok sosial  inilah  yang  rentan terhadap potensial konflik.
     Apalagi di  era reformasi  ini,   saat masyarakat banyak  diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin  nasional  yang banyak menyelewerngkan jabatan demi  kepuasan pribadi. Maka  secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa kita, bahkan  dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik  di  atas sana  menambah  penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.  Padahal  moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan  memberikan kontribusi nyata  dalam membentuk  jati diri bangsa.
     Bukankah jati diri inilah yang  berhasil menyatukan semua budaya , suku  bangsa dan etnis dalam satu  susunan  Negara Kesatuan  Republik Indonesia  yang  termasuk bangsa yang   multiculture   dan  terkenal sebagai bangsa  yang   santun.

Senin, 01 Februari 2010

MEMBANGUN OPINI PUBLIK TANPA BURUK SANGKA

Barangkali saja masih belum cukup usia sistim politik Reformasi yang melengkapi kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia ini. Reformasi sebagai sebuah sistim politik tentunya selalu dijadikan alat komunikasi antara rakyat dan autoritas melalui instrumen-instrumen yang ada, apabila sistim reformasi ini telah kita adobsi secara aklamasi, Namu pada kenyataanya sistim Reformasi ini nampaknya hanya lipstik pemanis bibir saja, terbukti apapun even politik yang yang bergulir di tengah eksistensi negara yang kita cintai ini, akan mengakibatkn letupan sosial dan menjadi gejala sosal yang mengkhawatirkan semua pihak.

Kekhawatiran ini tentu saja bukan tanpa alasan, karena hampir setiap bentuk ketidakpuasan dari sebuah kelompok/ komunitas / pihak tertentu selalu saja diselesaikan dengan tindakan turun ke jalan, yang tidak menutup kemungkinan berujung pada tindakan anarkis, ataukah memang rakyat kita telah memiliki sistim politik selain Reformasi. Ataukah juga telah terjadinya apa yang sekarang telah melegenda di tiap benak rakyat kecil, yang menyikapi pergeseran nilai ini sebagai reformasi kebablasan. Hingga tidak mengenal lagi rambu – rambu kesantunan, seperti yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita sebagai bangsa yang ramah, terbuka, toleran seklaligus mudah menerima pendapat orang lain.

Sangat beruntung sekali bahwa demo besar – besaran Hari Kamis Tgl 28 Januari kemarin berlangsung tertib seperti yang dilansir banyak media massa, meski demo yang melibatkan kurang lebih 10,000 pendemo memadati beberapa area strategis di Jakarta, yaitu Istana Merdeka, Kantor Wakil Presiden, Gedung MPR / DPR / DPDM , Mahkamah Konstitusi, Kantor Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menko Kesra dan Bundaran HI, yang mengusung muatan politik berupa mosi tidak percaya atas Kepemimpinan SBY – Boediyono setelah 100 hari duet pemimpinm nasional itu menjabat, dibantu oleh para menteri / pejabat setingkat menteri yang berlabel Kabinet Indonesia Bersatu II ( K I B II ).

Kinerja sebuah institusi tentunya belum mampu kita nilai secara optimal hanya dalam waktu 100 hari , kebijakan apapun tentunya belum mampu menyentuh hingga rakyat kecil. Meski etos kerja bagi sang presiden dan para pembantunya berada pada tahap yang puncak , sebagai kompensasi logis pihak yang memenangkan pemilu. Namun dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta , dengan level education yang rata – rata belum memadai dan sebagian besar masih tergolong keluarga prasejahtera, maka tentu saja kita harus lebih bijak dalam memberikan evaluasi.

Disamping itu pula instrumen evaluasi 100 hari kerja bagi kinerja presiden terplih adalah sistim yang diadopsi dari Amerika Serikat ( Diterapkan mu;ai Tahn 1933, untuk Presiden terpilih Roosevelt ). Secara bijak seharusnya evaluasi dengan mereapkan sistim demikian lebih dikonotasikan pada struktur sosioekonomi masyarakatnya, ketimbang kita latah meniru suatu sistim yang belum tentu bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah kabinet.

Susunan KIB II yang telah dikonsep sebelumnya, diumumkan dan disampaikan sendiri oleh Presiden SBY dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2009) pukul 22.00 WIB. Kabinet Indonesia Baru II berkekuatan 37 mentri dengan
rincian 4 menko, 20 Mentri Departemen, 10 Mentri Negara dan 3 Pejabat setingkat mentri ( Detiknews ). Berbeda dengan kinerja KIB I sebelumnya, baru 100 hari masa bakti KIB II telah diwarnai beberapa kasus politik nasional yang melibatkan beberapa institusi dan tokoh nasional, mulai dari kriminalisasi KPK dengan ditahannya Bibit – Chandra, tuduhan pembunuhan atas diri mantan ketua KPK Antasari Azhar dan yang hingga saat ini bertahan di opini publik dengan kuatnya adalah kasus Bang Centuri yang melibatkan Menteri Keuangan Prof. Dr. Sri Mulyani dan Wapres Boediyono.

Memang telah menjadi resiko semua pejabat negara, apalagi pejabat tingkat nasional yang harus mengheluarkan suatu kebijakan yang sifatnya emergency demi menyelamatkan keterpurukan sistemik suatu sistim yang menjai tanggung jawabnya. Sebut saja Sri Mulyani yang mengeluarkan kebijakan pengucuran bailout sebesar 6 , 7
trilyun rupiah kepada Bang Century sebagai sinking bank. Bersalahkan dia dengan kebijakan tersebut, pendapat yang paling bijak dalam menyikapi masalah ini adalah opini yang obyektif tanpa buruk sangka terhadap sosok Sri Mulyani namun tetap dalam konstruksi penyelesaian secara hukum yang berlaku.

Agar opini yang ada di sudut hati kita tetap obyektif maka marilah kita tilik prestasi Sri Mulyani saat menjabat Menkeu di KBI I. Prof. DR. Sri Mulyani dengan prestasi terbaik berhasil melunasi utang negara kita ke IMF. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengutang ke World Bank & lembaga keuangan dunia lainnya sebesar 465 Triyun dengan bunga komersial 12%-13%. Disamping itu Prof Dr Sri Mulyani (menteri Perekonomian) berhasil juga menumbuhkan perekonomian Indonesia di atas 4 % meskipun saat itu krisis ekonomi melanda dunia ( Yahoo Menjawab Pertanyaan )

Selain keberhasilan Prof. Dr Sri Mulyani, Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta berhasil menyelesaikan kerangka makro ekonomi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Banyak sekali hal positif yang dirasakan selama dia memimpin Menurut Paskah, tugas ini seperti dalam amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang salah satunya menyusun RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) selama 20 tahun.

Awal karirnya di Bappenas, Paskah juga mengaku telah menyelesiakan RPJMN ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ) 2004-2009. Ini agenda pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla yang merupakan, awal dari sasaran pembangunan jangka panjang nasional.Selanjutnya ada tiga agenda penting yang berkaitan dengan program tersebut, yaitu pencanangan kondisi aman dan damai, adil dan demokratis, serta mensejahterakan rakyat, yang kesemuanya telah disusun dalam RKP ( Rencana Kerja Pembangunan ) sebagai penjabaran RPJMN.

Dalam RKP 2005-2009, Paskah meprogramkan pembangunan dengan anggaran terus meningkat. Pada 2005, anggaran belanja pemerintah untuk pembangunan Rp 125 triliun. Angka ini meningkat tajam pada 2009 menjadi lebih dari Rp 300 triliun, sebagai pagu indikatif yang disusun Bappenas. Selain itu, Paskah juga mengaku telah menyelesaikan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 sekaliguis merampungkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 20 Tahun, sehingga dalam 20 tahun ke depan arah pembangunan negara ini tetap dalam koridor yang sudah ditata apik ( Vivanews.com).

Wacana tersebut semoga saja mampu menyelipkan persepsi yang obyektif untuk semua publik, dalam hal ini Rakyat Indonesia yang mencermati perjalanan konflik sosial politik yang mendera bangsa kita. Sehingga diharapkan mampu menumbuhkan sikap yang lebih
dewasa dalam berpolitik. Hal ini memang perlu diketengahkan demi mambangun opini publik yang sehat, tanpa adanya buruk sangka yang berlebihan. Wacana ini sama sekali tidak berniat ingin menumbuhkan sikap apriori terhadap publik di tengah perseteruan elit politik, Namun sebaliknya sikap yang interaktif dan kondusif inilah yang penulis prioritaskan, dengan indikator munculnya karakter publik yang obyektif tanpa buruk sangka. Sebaliknya apabila sikap tidak simpatik terhadap semua penyelenggara negara / kepemimpinan suatu figur, lantaran pengaruh bombatis media / pernyataan petualang politik yang mencecar kekisruhan ini, maka dikhawatirkan akan timbulnya power people yang tidak kita harapkan bersama.

Oleh karena itu ada baiknya apabila kita berkenan untuk bersikap konsekuen terhadap reformasi, transparansi dan demokrasi langsung yang sekarang menjadi sistem politik kita. Hal ini tentunya menumbuhkan kosekuensi logis pula kepada kita semua sebagai anak bangsa yang mengaku mencintai Negara Merah Putih ini. Sebagai implikasi dari pernyataan tersebut di atas sebuah permohonan perlu dikemukakan ke tengah publik, agar mekanisme aspirasi yang dilakukan berbagai institusi, mampu menjaring setiap sendi kesengsaraan rakyat kita yang sedang kembang-kempis dengan menggunakana penelitian ilmiah yang representatif. Sehingga tidak ada lagi pelampiasan kekecewaan rakyat dengan cara memblokir jalan, membakar kantor instansi pemerintah dan bentuk lain dari aksi demo.

Meskipun kita ketahu bersama bahwa power people yang sering menjadi parlemen jalanan belum mapu untuk menumbuhkan sebuah revolusi ( Fakta gagalnya Revolusi 21 Desember 2009 bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia ), namun setidak – tidaknya aksi-aksi tersebut akan mengganggu ketertiban umum dan sikap apriori segenap anak bangsa terhadap pemimpin nasional / pejabat penyelenggara negara, yang lebih jauh lagi mampu menggembosi dinamika bangsa ini untuk meraih masa depan yang kita dambakan bersama.

Penulis : Ir. Bambang Sukmadji. Guru MA Futuhiyyah – 1. Mranggen Demak