Siapapun atau lembaga apapun yang berniat memajukan prestasi pendidikan di Indonesia pastilah akan menelibatkan kinerja pendidik, disamping konstituen lainnya yang memberikan konstribusi nyata terhadap kemajuan sistim ini. Sebab meskipun sistim ini di Negara kita belum dilengkapi ruang kelas yang memadai, bahan ajar yang representatif dan factor lainnya yang masih tertinggal dengan Negara lain, peran sang pendidik dianggap sudah cukup untuk memberikan pembelajaran pada peserta didik, karena peran vital sang pendidik inilah yang dianggap paling dominan.
Akan tetapi ketika sang pendidik dihadapkan pada sesuatu aktifitas yang lebih menghasilkan uang ketimbang hanya bergelut dengan instrument pembelajaran yang menjemukan sepanjang hari harinya yang tak memberinya gambaran masa depan yang jelas, tentu saja sang pendidik itu akan memburunya demi sebuah hidup dia dan keluarganya. Apalagi bagi sang pendidik swasta/non PNS yang mendarmabaktikan profesinya di sekolah sekolah swasta.
Inilah gambaran pendidik swasta yang ada di tanah air kita. Meski tunjangan profesi dari Negara telah diperolehnya, yang besarnya sesuai dengan penyetaraan gaji guru PNS melalui program impassing (tunjangan ini diperoleh bila pendidik telah lulus pelatihan profesionalisasi).
Kekhawatiran dari segenap pemerhati pendidilkan nasional apalagi dari otoritas pendidikan di tanah airpun muncul dalam menyikapi life-style (gaya hidup) pendidik tersebut, yang sudah barang tentu menempatkan tugas moral dalam ranah pencerdasan anak bangsa menjadi tujuan sampingan. Padahal di lain pihak kita telah sepakat bahwa mengusung sebuah kemajuan yang berarti untuk bangsa dan Negara haruslah dimulai dari komponen pembelajaran nasional sedini mungkin. Kita sedang tidak lagi nerniat menjadi penonton kebangkitan bangsa lain, yang kita sendiri sebenarnya mampu melakukan. Namun bila pembelajaran semya anak bangsa dilangsungkan oleh sebagian besar pendidik yang belum intend dengan tugas moralnya. Lantas kapan Bangsa Indonesia akan lagi berkemas dengan kemegahan yang diakui bangsa lain pada masa masa lampau.
Minimal sebuah langkah urgen perlu dicanangkan lebih tajam dan mengena demi sebuah moralitas pendidik yang konsisten. Meski berbagai stimulus dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) telah meluncur ke hadapan pendidik, seperti himbauan menulis bahan ajar atau karya ilmiah, lomba peraga, penelitian ilmiah mengenai pendidikan dan diskusi/seminar/workshop ilmiah. Namun belum banyak program tesebut mampu menggiring sejumlah pendidik untuk benar benar loyal terhadap profesinya atau lebih essensi lagi menyematkan kembali emblem mulia kepada sang pendidik. Sehingga langkah urgent tersebut di atas mampu diantisipasi oleh pendidik seantero Bumi Nusantara untuk lebih bergairah lagi dalam binaan pencerdasan anak bangsa.
Guru atau lebih menantang lagi dengan istilah pendidik, secara etimologi brasal dari Bahasa India yang berarti “berat”, berat dalam hal tugas moral, tahapan yang harus dicapainya atau segala sesuatu yang bertanggung jawab dengan kemajuan muridnya. Apalagi predikat guru/pendidik professional di jaman globalisasi di tengah keterpurukan multidimensional Negara kita yang sarat dengan perkara kemorosotan moral. Tugas seorang pendidik tentunya akan lebih berat lagi. Gairah sang pendidik dalam membekali peserta didik untuk menghadang segala macam persaingan dengan Negara lain di kancah perdagangan, kemajuan iptek, ketergantungan bangsa kita dengan lainnya.
Sudah barang tentu siapa saja yang telah pada awalnya berkecimpung sebagai seorang pendidik, tentunya kendala internal (tehnik pembelajaran) serta eksternal telah bisa diresapi betul betul oleh semua kalangan pendidik di Negara kita, khususnya bagi pendidik non PNS. Hanya yang pasti apapun kendala yang memusari profesionalisasi pendidik, kita sebaiknya tidak perlu untuk menyisihkan aspek ‘penuh gairah” dalam memfasilitasi peserta didik yang kita bimbing.
Wacana tersebut di atas memang terasa sangat berarti bila kita hadapkan pada kepentingan kita semua pada perhelatan pedagogy beberapa bulan mendatang yang berupa Ujian Nasional untuk semua jenjang pendidikan. Konsistensi pendidik di depan kelas sangat memegang kunci keberhasilan anak anak kita.
Semangat untuk tetap bergairah dalam memfasilitasi bahan ajar untuk anak kita adalah bukan hanya untuk kepentingan UN saja namun dalam cakupan yang lebih luas lagi, yang berujung pada pembentukan karakter generasi muda pengusung masa depan bangsa ini. Bila predikat setiap pendidik dihadapkan pada masalah se-urgent ini, maka genaplah sudah tugas moral yang harus selalu disertakan oleh setiap pendidik dimana, siapa dan apapun statusnya.
Oleh karena itu kiat yang dicanangkan oleh Disdikpora dalam meraih kesuksesan optimalisasi tugas moral pendidik seantero Bumi Nusantara ini adalah peletak dasar utama untuk ancang ancang bangsa ini guna melompat beberapa langkah kedepan, tanpa ada lagi pendidik baik yang PNS mauoun non PNS untuk melangkah setengah setengah karena kendala tersebut di atas.
Selasa, 18 Januari 2011
Minggu, 28 November 2010
Kompetisi Untuk Kompetensi
Pembelajaran dengan metoda yang attraktif tentunya dapat mengoptimalkan daya serap siswa terhadap bahan ajar. Nawun wacana ini bisa saja menyita energi kita, bila metoda tersebut masih belum menuai hasil seperti yang kita harapkan bersama. Metoda ini bisa saja gagal, karena terkendala minat baca siswa Indonesia yang memprihatinkan.
Namun meskipun telah hadir tehnologi informatika dalam bentuk internet, tetap saja minat baca siswa kita masih terpuruk. Minat membaca masyarakat untuk menggali informasi melalui internet bisa diukur secara kuantitatif dengan indeks yang disebut dengan NRI ( Network Readiness Inde), sistim indeks ini dikembangkan oleh Centre for International Development (CID) yang bermarkas di Harvard University, yang melaporkan bahwa untuk masyarakat Indonesia minat baca terhadap internet sungguh memprihatinkan, lantaran hanya memiliki nilai sebesar 3, 24 dan menempati urutan ke -59 dari 75 negara yang disurvey (2004).
Budi Hermana dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Negara-Negara Asia-Hubungannya dengan Variabel Ekonomi Makro dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Gunadarma, melaporkan bahwa kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet.
Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama)..
Oleh karena itu kita harus memaksa/mendisiplinkan siswa kita untuk membaca dengan arif dan dalam “kemasan pendidikan yang santun” dengan memberlangsungkan kompetisi bahan ajar secara berkesinambungan, dengan cermat, sungguh sungguh. Hal ini bertujuian untuk mempertajam mereka dalam hal dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkanpendidik melalui kompetisi.
Kompetisi bisa dilakukan dengan membentuk kelompok belajar, yang dilibatkan dalam bentuk evaluasi lisan (cerdas cermat ), portofolio baik di sekolahan langsung atau tugas di rumah. Kiat seoerti ini sangat berhasil guna bila kita mencermati pernyataan Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), yang mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Selanjutnya Erickson menyatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Dengan karakteristik remaja yang haus akan jati diri itu, maka ealuasi kompetisi ini justru mampu menyalukan kebutuhan psychologis siswa. Mereka berambisi untuk mengalahkan sainganya dan bahkan cenderung berjungkir balik demi sebuah jati diri.
Namun meskipun telah hadir tehnologi informatika dalam bentuk internet, tetap saja minat baca siswa kita masih terpuruk. Minat membaca masyarakat untuk menggali informasi melalui internet bisa diukur secara kuantitatif dengan indeks yang disebut dengan NRI ( Network Readiness Inde), sistim indeks ini dikembangkan oleh Centre for International Development (CID) yang bermarkas di Harvard University, yang melaporkan bahwa untuk masyarakat Indonesia minat baca terhadap internet sungguh memprihatinkan, lantaran hanya memiliki nilai sebesar 3, 24 dan menempati urutan ke -59 dari 75 negara yang disurvey (2004).
Budi Hermana dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Negara-Negara Asia-Hubungannya dengan Variabel Ekonomi Makro dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Gunadarma, melaporkan bahwa kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet.
Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama)..
Oleh karena itu kita harus memaksa/mendisiplinkan siswa kita untuk membaca dengan arif dan dalam “kemasan pendidikan yang santun” dengan memberlangsungkan kompetisi bahan ajar secara berkesinambungan, dengan cermat, sungguh sungguh. Hal ini bertujuian untuk mempertajam mereka dalam hal dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkanpendidik melalui kompetisi.
Kompetisi bisa dilakukan dengan membentuk kelompok belajar, yang dilibatkan dalam bentuk evaluasi lisan (cerdas cermat ), portofolio baik di sekolahan langsung atau tugas di rumah. Kiat seoerti ini sangat berhasil guna bila kita mencermati pernyataan Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), yang mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Selanjutnya Erickson menyatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Dengan karakteristik remaja yang haus akan jati diri itu, maka ealuasi kompetisi ini justru mampu menyalukan kebutuhan psychologis siswa. Mereka berambisi untuk mengalahkan sainganya dan bahkan cenderung berjungkir balik demi sebuah jati diri.
Langganan:
Postingan (Atom)