Selasa, 13 Maret 2012

Pembelajaran Malu


Entah mulai kapan para penentu kebijakan pendidikan atau otoritas pendidikan di negeri ini mampu merancangbangun setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) sebagai tempat “membongkar pasang” karakter peserta didik sedemikian rupa. Sehingga satuan pendidikan tersebut mampu mencetak “out come” yang mengusung sebuah tampilan karakter yang terpuji.  Sebab itikad kita semua dewasa ini adalah pencanangan  “Indonesia Zero Corruption atau rekontruksi bangsa santun dan berbudi luhur ”. Semua pemerhati multidisiplin tentunya berpendapat bahwa kiat tersebut pada essensinya bukanlah hanya dengan menginstal perangkat berbagai regulasi atau pencerahan moralitas serta penerapan kiat lainnya.

Namun justru menstimulir pembentukan pribadi peserta didik akan efektif bila  diberlangsungkan  sedini mungkin, saat mereka masih berada di bangku sekolah, atau disaat mereka mendapatkan pembelajaran dari pendidik yang berganti fungsinya, dari pemberi bahan ajar hingga sebagai fasilitator bahan ajar. Selama di bumi ini masih terdapat pembelajaran dari sumber bahan ajar kepada pihak yang membutuhkan pembelajaran tersebut, maka disitulah terjadi peluang pembentukan  moralitas peserta didik. Hanya masalahnya pembelajaran tersebut berjalan secara proporsional dan  professional atau tidak.

Disinilah essensi sebuah pembelajaran dalam pendidikan, yang berperan  sebagai salah satu nilai dasar masyarakat sosial. Sehingga pembelajaran inilah yang dianggap vital dalam pendidikan. Pembelajaran itu sendiri  menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

·         Budaya Malu

Pernahkah terbayang di angan kita tentang ketertiban masyarakat kita dalam berlalu-lintas tanpa diawasi oleh petugas lantas, atau masyarakat yang tertib dalam antrian panjang, tidak membuang sampah/merokok/meludah di sembarang tempat, tanpa adanya regulasi yang mengawalnya. Seperti kebiasaan kebiasaan positif dari bangsa bangsa lainnya yang telah maju atau bangsa yang telah tertanam kuat dalam hatinya perasaan malu, yang telah sedini mungkin diinternalkan melalui pembelajaran sedini mungkin.


Sebegitu vitalnya  budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008   silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.

·         Aplikasi Intensif

Setiap peserta didik yang terlibat dalam pembelajaran mampu mengoptimalkan pembentukan pribadinya bila mereka terus dipusari dengan pendidik yang luwes dalam pemberlakuan asih, asah dan asuh secara perlahan-lahan namun intensif, sejak mereka duduk di bangku SD. Sehingga dalam pembelajaran modern yang menempatkan pendidik hanya sebagai fasilitator, maka jarak antara mereka dengan pendidikpun harus akrab secara proporsional. Disinilah pendidik mampu mengeksplorasi semua daya dukung peserta didik yang ada, lengkap dengan karakter baik dan buruknya. Dengan demikian pembentukan budaya malu dapat diusung sedini mungkin***

Jumat, 03 Februari 2012

Monev Guru Profesional


monev di MA Futuhiyyah 1 Mranggen DEMAK



Istilah profesional dalam kapasitas apa saja tidak saja suatu beban moral bagi yang menyandangnya, tetapi juga membutuhkan suatu pengakuan profesionalisasinya oleh masyarakat sosial di sekitarnya. Entah yang berkapasitas tersebut memiliki sertifikasi dari lembaga formal yang berkompeten atau tidak. Sertifikasi tersebut bisa diabaikan oleh lingkungan sosial, bila mereka hanya menuntut kecakapan tenaga professional tersebut sekedar mampu memberikan solusi permasalahan yang ada di lingkungan sosial saja. Hal ini biasanya hanya untuk sector non formal yang banyak tersebar di masyarakat luas.

Namun untuk menunjukan professional pada bidang/ketrampilan formal (contoh tenaga medis, tehnisi, pilot , pendidik dan lain sebagainya). Maka pengakuan formal dari institusi yang berkompeten harus disertakan melalui regulasi yang cermat, akurat dan terintegrasi antara factor kecakapan dan karakter “man behind the gun” sebagai factor yang paling dominan, yang juga harus dipandang secara normatif.

Tidak tanggung tanggung bagi pendidik bidang studi apapun yang telah disertifikasi profesional, adalah pendidik yang minimal berpengalaman mengajar minimal 4 tahun dengan pembekalan Pendidikan dan Latihan Profesional Guru untuk mengusung sebuah pandangan moral guru untuk berkarakter pendidik professional.

Namun terdapat spesifikasi bagi pendidik yang professional, untuk menggapai  pengakuan keabsahan profesonalnya. Hal ini karena pendidik harus berhadapan dengan sosok peserta didik,  dengan harus mengerahkan kemampuan tehnis pedagogi dan penguasaan bahan ajar yang mumpuni. Apalagi bila kita menggaris bawahi, bahwa pembentukan karakter peserta didik yang perlahan dan bertahap, penanaman nilai hidup yang cermat dan vital serta pencetakan sebuah generasi yang siap menyongsong jaman. Maka dalam menghadapi tantangan vital tersebut, aspek porfesional bagi peserta didik sungguh sangat berat.

Oleh karena itu, aspek professional bagi sang pendidik bukan barang gampang yang di dapat dengan membalikan tangan. Hal ini menyirtkan suatu pemahaman bahwa setumpul apapun peserta didik yang diasuhnya, harus mampu menerima bahan ajar diatas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sehingga menimbulkan sebuah konsekuensi logis bahwa setiap tindakan “learning” bagi pendidik haruslah dilengkapi dengan “track record” yang cermat berupa “instrument pembelajaran” yang menyangkut perencanaan semester, tahunan, efektifitas waktu dan lain sebagainya, seprti seorang dokter yang menyembuhkan pasienya dengan catatan medis yang memadai.

Kriteria seperti di atas memang pada umumnya sering dilupakan oleh sang pendidik, namun bagi sang pendidik yang professional, criteria tersebut dijadikan senjata tajam demi mendapatkan penetrasi bahan ajar yang memuaskan. Oleh karena pentingnya criteria tersebut, maka sudah selayaknya apabila otoritas pendidikan di Indonesia (Disdikpora dan Kemenag) untuk rajin melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) secara periodik dan cermat.

Namun sungguh disayangkan bahwa di lapangan sering kita mengetahui masih banyaknya pendidik yang men-“download” instrument instrument pembelajaran dari dunia maya atau menggunakan jasa pihak tertentu yang menawarkan CD yang berisi instrument lengkap, tanpa mampu difilter dan ditepis otoritas tersebut (pengawas sekolah/madrasah). Upaya pendidik tersebut di atas sebenarnya dapat mematikan kreatifitasnya pendidik sendiri dalam merancang ‘learning” yang nyaman dan memuaskan serta aspek kondisional di satuan pendidikanmasing-masing. Lantaran dengan mengisi form ama guru dan sekolah, mereka sudah mampu mendapatkan instrument yang lengkap dan mengganggap kegiatan monev hanyalah semata pada aspek formalitas saja.

Apabila Monev yang bertujuan essensi untuk meng-up grade pendidikan di Indonesia masih banyak menemukan factor kendala yang konyol, maka sebuah isaratpun mampu kita dapatkan, yaitu masih belum siapnya banyak pendidik yang mengusung sebuah professional. Langkah apa lagi yang mampu kita rencanakan ?.