Jumat, 03 Februari 2012

Monev Guru Profesional


monev di MA Futuhiyyah 1 Mranggen DEMAK



Istilah profesional dalam kapasitas apa saja tidak saja suatu beban moral bagi yang menyandangnya, tetapi juga membutuhkan suatu pengakuan profesionalisasinya oleh masyarakat sosial di sekitarnya. Entah yang berkapasitas tersebut memiliki sertifikasi dari lembaga formal yang berkompeten atau tidak. Sertifikasi tersebut bisa diabaikan oleh lingkungan sosial, bila mereka hanya menuntut kecakapan tenaga professional tersebut sekedar mampu memberikan solusi permasalahan yang ada di lingkungan sosial saja. Hal ini biasanya hanya untuk sector non formal yang banyak tersebar di masyarakat luas.

Namun untuk menunjukan professional pada bidang/ketrampilan formal (contoh tenaga medis, tehnisi, pilot , pendidik dan lain sebagainya). Maka pengakuan formal dari institusi yang berkompeten harus disertakan melalui regulasi yang cermat, akurat dan terintegrasi antara factor kecakapan dan karakter “man behind the gun” sebagai factor yang paling dominan, yang juga harus dipandang secara normatif.

Tidak tanggung tanggung bagi pendidik bidang studi apapun yang telah disertifikasi profesional, adalah pendidik yang minimal berpengalaman mengajar minimal 4 tahun dengan pembekalan Pendidikan dan Latihan Profesional Guru untuk mengusung sebuah pandangan moral guru untuk berkarakter pendidik professional.

Namun terdapat spesifikasi bagi pendidik yang professional, untuk menggapai  pengakuan keabsahan profesonalnya. Hal ini karena pendidik harus berhadapan dengan sosok peserta didik,  dengan harus mengerahkan kemampuan tehnis pedagogi dan penguasaan bahan ajar yang mumpuni. Apalagi bila kita menggaris bawahi, bahwa pembentukan karakter peserta didik yang perlahan dan bertahap, penanaman nilai hidup yang cermat dan vital serta pencetakan sebuah generasi yang siap menyongsong jaman. Maka dalam menghadapi tantangan vital tersebut, aspek porfesional bagi peserta didik sungguh sangat berat.

Oleh karena itu, aspek professional bagi sang pendidik bukan barang gampang yang di dapat dengan membalikan tangan. Hal ini menyirtkan suatu pemahaman bahwa setumpul apapun peserta didik yang diasuhnya, harus mampu menerima bahan ajar diatas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sehingga menimbulkan sebuah konsekuensi logis bahwa setiap tindakan “learning” bagi pendidik haruslah dilengkapi dengan “track record” yang cermat berupa “instrument pembelajaran” yang menyangkut perencanaan semester, tahunan, efektifitas waktu dan lain sebagainya, seprti seorang dokter yang menyembuhkan pasienya dengan catatan medis yang memadai.

Kriteria seperti di atas memang pada umumnya sering dilupakan oleh sang pendidik, namun bagi sang pendidik yang professional, criteria tersebut dijadikan senjata tajam demi mendapatkan penetrasi bahan ajar yang memuaskan. Oleh karena pentingnya criteria tersebut, maka sudah selayaknya apabila otoritas pendidikan di Indonesia (Disdikpora dan Kemenag) untuk rajin melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) secara periodik dan cermat.

Namun sungguh disayangkan bahwa di lapangan sering kita mengetahui masih banyaknya pendidik yang men-“download” instrument instrument pembelajaran dari dunia maya atau menggunakan jasa pihak tertentu yang menawarkan CD yang berisi instrument lengkap, tanpa mampu difilter dan ditepis otoritas tersebut (pengawas sekolah/madrasah). Upaya pendidik tersebut di atas sebenarnya dapat mematikan kreatifitasnya pendidik sendiri dalam merancang ‘learning” yang nyaman dan memuaskan serta aspek kondisional di satuan pendidikanmasing-masing. Lantaran dengan mengisi form ama guru dan sekolah, mereka sudah mampu mendapatkan instrument yang lengkap dan mengganggap kegiatan monev hanyalah semata pada aspek formalitas saja.

Apabila Monev yang bertujuan essensi untuk meng-up grade pendidikan di Indonesia masih banyak menemukan factor kendala yang konyol, maka sebuah isaratpun mampu kita dapatkan, yaitu masih belum siapnya banyak pendidik yang mengusung sebuah professional. Langkah apa lagi yang mampu kita rencanakan ?.

Kamis, 12 Januari 2012

Optimalisasi Peran Aktif Orang Tua


Dipastikan bahwa sesuai dengan kebutuhan kita bersama dalam memikul tugas pembentukan “The Smart Generation of Indonesia” yang berkarakter akan  semakin pelik. Meski berbagai factor pendukung pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah, dengan dana sebesar Rp 200 Trilyun, guna menggenapi sarana pendidikan (pendukung pembelajaran multimedia ), Bantuan Siswa Miskin (BSM ), Bantuan Operasional Sekolah / Madrasah (BOS/BOM),  bantuan untuk kesejahteraan guru (Honor Daerah dan Tunjangan Fungsional ), program sertifikasi guru dan lain sebagainya.
Peliknya masalah yang merintangi capaian prestasi pendidikan yang kita tekadi bersama, sebagian besar bertumpu pada “faktor kultur” dari semua pihak yang melangsungkan pembelajaran di setiap lini pendidikan.  Kultur yang melatarbelakangi pendidik agar bersinergi  figure pendidik yang profesioanal, siswa yang  penuh  antusias menuntaskan bahan ajar,  mengantisipasi UN dengan moralitas tinggi serta capaian lainnya nampaknya belum tumbuh dengan signifikan. Bahkan suatu tindakan tak terpuji dari siswa yang terlibat tawuran masih sering kita saksikan di media.  
·         Pergeseran Moralitas Peserta Didik
Apakah tawuran yang dewasa ini telah menjadi “symbol superiortas” peserta didik ketimbang menguasui bahan ajar, adalah karena    perkembangan karakter seorang  peserta didik yang tidak bisa lepas dari kulture sosial yang melingkunginya, yang kemudian menjadi nilai hidup baru yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Padahal fenomena perkembangan karakter peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini telah bergeser menjadi bentuk lain karena terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya atau bahkan karakter amoralias oknum petinggi negara yang mereka saksikan di tayangan multimedia.
Sehingga sering kita bertanya pada hati kita sendiri, apakah semua kiat Kementrian Pendidikan Nasional telah percuma begitu saja atau memang factor waktu saja yang akan menentukan.
·         Peran Aktif Orang Tua
Salah satu kiat handal yang masih terlupakan para penyelenggara pendidikan, adalah kiat optimalisasi orang tua siswa dalam peran mereka pada pembelajaran belaka, bukan hanya peran orang tua dalam wadah komite yang hanya bersifat kebutuhan institusional belakan. Tapi lebih berarah pada monitoring peserta didik di jam sekolah. Hal ini disebabkan karena peserta didik mampu berbuat tak terpuji justru pada saat mereka di luar sekolah.  Kedekatan orang tua dengan sekolah perlu lebih dekat lagi dengan jalinan kerja sama yang formal, terintegrasi dan berkesinambungan. Sebagai contoh aplikasi ini adalah kunjungan orang tua ke sekolah secara aktif. Peran aktif tersebut lebih berdampak  signifikan apabila pertemuan orang tua dengan wali kelas/guru kelas dilakukan secara berkala, intensif dan berkelanjutan yang didasarkan pada regulasi dari autoritas pendidikan.
Dengan demikian akan terciptalah triangulasi pola kerja sama antara peserta didik, sekolah dan orang tua, yang dilengkap dengan instrumen laporan aktifitas belajar dari orang tua/wali tentang segala aktifitas putra kesayanganya. Hal ini semua akan mendukung pembentukan dimensi kognitif, psikomotorik  dan affektif peserta didik sesuai dengan makna pembelajaran menurut Corey (1986:195) yang mendefinisikan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan peran orang tuapun identik dengan peran pendidik di sekolah, meski hanya membimbing dalam belajar, mengerjakan tagihan. Tentunya akan lebih handal lagi bila yang berfungsi sebagai pendidik di rumah adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar
Memang kiat seperti tersebut telah dirintis sebagian sekolah, namun  belum tersibergis dengan cermat, tepadu dan antusias secara nasional.  Sudah semestinya kita menggeliatkan kiat yang handal ini demi tujuan pendidikan kita bersama, yang apabila dilakukan dengan kebersamaan antara kita semua, kepelikan yang  menggayuti kemajuan pendidikan kita mampu kita tepis bersama.