Kamis, 12 Januari 2012

Optimalisasi Peran Aktif Orang Tua


Dipastikan bahwa sesuai dengan kebutuhan kita bersama dalam memikul tugas pembentukan “The Smart Generation of Indonesia” yang berkarakter akan  semakin pelik. Meski berbagai factor pendukung pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah, dengan dana sebesar Rp 200 Trilyun, guna menggenapi sarana pendidikan (pendukung pembelajaran multimedia ), Bantuan Siswa Miskin (BSM ), Bantuan Operasional Sekolah / Madrasah (BOS/BOM),  bantuan untuk kesejahteraan guru (Honor Daerah dan Tunjangan Fungsional ), program sertifikasi guru dan lain sebagainya.
Peliknya masalah yang merintangi capaian prestasi pendidikan yang kita tekadi bersama, sebagian besar bertumpu pada “faktor kultur” dari semua pihak yang melangsungkan pembelajaran di setiap lini pendidikan.  Kultur yang melatarbelakangi pendidik agar bersinergi  figure pendidik yang profesioanal, siswa yang  penuh  antusias menuntaskan bahan ajar,  mengantisipasi UN dengan moralitas tinggi serta capaian lainnya nampaknya belum tumbuh dengan signifikan. Bahkan suatu tindakan tak terpuji dari siswa yang terlibat tawuran masih sering kita saksikan di media.  
·         Pergeseran Moralitas Peserta Didik
Apakah tawuran yang dewasa ini telah menjadi “symbol superiortas” peserta didik ketimbang menguasui bahan ajar, adalah karena    perkembangan karakter seorang  peserta didik yang tidak bisa lepas dari kulture sosial yang melingkunginya, yang kemudian menjadi nilai hidup baru yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Padahal fenomena perkembangan karakter peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini telah bergeser menjadi bentuk lain karena terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya atau bahkan karakter amoralias oknum petinggi negara yang mereka saksikan di tayangan multimedia.
Sehingga sering kita bertanya pada hati kita sendiri, apakah semua kiat Kementrian Pendidikan Nasional telah percuma begitu saja atau memang factor waktu saja yang akan menentukan.
·         Peran Aktif Orang Tua
Salah satu kiat handal yang masih terlupakan para penyelenggara pendidikan, adalah kiat optimalisasi orang tua siswa dalam peran mereka pada pembelajaran belaka, bukan hanya peran orang tua dalam wadah komite yang hanya bersifat kebutuhan institusional belakan. Tapi lebih berarah pada monitoring peserta didik di jam sekolah. Hal ini disebabkan karena peserta didik mampu berbuat tak terpuji justru pada saat mereka di luar sekolah.  Kedekatan orang tua dengan sekolah perlu lebih dekat lagi dengan jalinan kerja sama yang formal, terintegrasi dan berkesinambungan. Sebagai contoh aplikasi ini adalah kunjungan orang tua ke sekolah secara aktif. Peran aktif tersebut lebih berdampak  signifikan apabila pertemuan orang tua dengan wali kelas/guru kelas dilakukan secara berkala, intensif dan berkelanjutan yang didasarkan pada regulasi dari autoritas pendidikan.
Dengan demikian akan terciptalah triangulasi pola kerja sama antara peserta didik, sekolah dan orang tua, yang dilengkap dengan instrumen laporan aktifitas belajar dari orang tua/wali tentang segala aktifitas putra kesayanganya. Hal ini semua akan mendukung pembentukan dimensi kognitif, psikomotorik  dan affektif peserta didik sesuai dengan makna pembelajaran menurut Corey (1986:195) yang mendefinisikan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan peran orang tuapun identik dengan peran pendidik di sekolah, meski hanya membimbing dalam belajar, mengerjakan tagihan. Tentunya akan lebih handal lagi bila yang berfungsi sebagai pendidik di rumah adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar
Memang kiat seperti tersebut telah dirintis sebagian sekolah, namun  belum tersibergis dengan cermat, tepadu dan antusias secara nasional.  Sudah semestinya kita menggeliatkan kiat yang handal ini demi tujuan pendidikan kita bersama, yang apabila dilakukan dengan kebersamaan antara kita semua, kepelikan yang  menggayuti kemajuan pendidikan kita mampu kita tepis bersama.

Sabtu, 31 Desember 2011

Dari Play Station hingga Tawuran


pelajar SMP sudah mengenal tawuran
Baru saja kita meninggalkan tahun 2011, bila kita ibaratkan  suatu buku harian maka kita baru saja menutup lembaran lama. Namun karena jarum detik terus berputar maka kita tidak mungkin menutup pula lembaran baru, terutama bila menyangkut nasib 32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta. Lantas bagaimana kita mempertanggungjawabkan tugas multidimensional tentang nasib mereka di lembaran baru tahun 2012 ini.

Tugas moral ini tentunya tetap  kita langsungan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan essensi yang diperlukan mereka, yaitu kebutuhan dan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini perlu mendapatkan fokus perhatian, karena pada perioda 20 – 25 tahun mendatang, mereka akan mendapat giliran pemegang tongkat estafet pergantian generasi ke generasi. Apabila kita gagal dalam membentuk karakter, kecerdasan serta ketaqwaan mereka melalui ranah pendidikan, maka bukan tidak mungkin kita akan gagal dalam pembentukan generasi “penjemput bola” Bangsa Indonesia di perioda tahun tersebut.

Langkah awal dari upaya maksimal kita adalah langkah “manis” berupa pengucuran Bantuan Siswa Miskin pada 5, 8 juta siswa miskin, dengan besar anggaran Kemdiknas sebesar Rp 3, 7 Trilyun. Langkah ini dipandang oleh sebagian besar praktikan pendidikan sebagai langkah yang taktis demi penyelamatan siswa yang tidak mampu bersekolah karena faktor biaya. Tentunya dengan mekanisma penyaluran yang “lebih manis” pula, yaitu dengan mekanisma penyaluran yang mampu langsung ke tangan peserta didik, guna menghindari pungutan pihak sekolah atau manipulasi data jumlah siswa miskin di masing-msing sekolah.

Aspek positip yang paling kita harapkan dari BSM tersebut, adalah aspek pengadaan buku bahan ajar bagi siswa miskin. Terlebih lagi bila pihak pendidik ikut terlibat melakukan himbauan agar para siswa miskin ini menyisihkan sebagian dana bantuan tersebut untuk pengadaan buku bahan ajar yang representatif. 

Hal ini disebabkan karena masih adanya realita bahwa peserta didik masih belum memiliki kesadaran untuk menggali informasi bahan ajar dari buku ajar. Sekaligus untuk menindaklanjuti aspek pembiasaan “membaca” bagi peserta didik kita yang sebagian besar masih malas belajar. Bahkan untuk mengikis budaya malas membaca/belajar ini, sebaiknya perlu adanya gerakan nasioanal yang disodorkan oleh Kemendiknas untuk program wajib membaca bahan ajar tertentu pada masing-masing jenjang sekolah dan ditindaklanjuti dengan program  refleksi/evaluasi formal terhadap kegiatan membaca tersebut.

  • Langkah Seimbang dan Totalitas
Kita mungkin telah jenuh membaca tayangan media cetak/elektronik/dunia maya tentang ketertinggalan peserta didik kita terhadap siswa dari negara lain. Namun kita juga harus mengerucutkan parameter ketertinggalan tersebut. Pada umumnya ketertinggalan yang diungkap oleh media tersebut adalah  ketertinggaan dalam aspek kognitip saja. Tanpa menyertakan parameter yang komprehensif, seperti misalnya aspek kesantunan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu,langkah maju yang perlu kita tekadi di tahun 2012 ini adalah langkah totalitas dalam menggapai peserta didik kita yang berpengetahuan tidak kalah dengan siswa asing, tetapi memiliki karakter yang kuat, yang mampu memasinisi kapasitasnya menuju generasi bangsa yang handal. Sehingga terbentuklah wujud pembelajaran yang seimbang antara pembentukan karakter yang sesuai nilai luhur Bangsa Indonesia dan pencetakan generasi yang pandai (The Indonesian Smart Generation).

Namun sungguh disayang, disalah satu sisi kita mulai serius menerapkan pembelajaran plus karakter, di lain sisi masih banyak kita saksikan tawuran pelajar yang semakin beringas dan menjurus ke tindak kriminal. Sebuah langkah maju di tahun 2012 ini bakal kita raih dengan gemilang apabila kita berhasil mengikis habis perbuatan brutal siswa tersebut. Namun andaikata kita gagal dalam menepis tindak amoral ini, maka sebuah langkah surutpun bakal menyertai kita.

  • Signifikasi Sekolah Berbasis Masyarakat
Suatu realita lainnya masih banyak kita jumpai dalam kontek pendidikan, yaitu masih banyaknya warung play station yang buka di saat jam sekolah. Meski warung tersebut telah memiliki ijin yang sah, yang tidak mungkin kita bubarkan secara sepihak Namun setidak-tidaknya para pengelola warung Play Station (PS)atau warnet bersedia melakukan filter terhadap pengunjung secara serius. 

Langkah yang lembut untuk mengatasi masalah ini semua adalah dengan melibatkan masyarakat pada perencanaan, pengelelolaan, penggalian dana, rasa memiliki sekolah dan pengawasan terhadap anak anak kita sendiri. Apabila kita mampu melakukan pemberdayaan ini semua, maka kitapun akan mendapatkan prestasi yang diharapkan dari kemajuan pendidikan kita.

Apalagi bila kita mengamati salah satu karakter tentang spesifikasi dari masyarakat modern, yang bertendensi tidak hanya dalam kapasitas yang mereka minati dan tekuni, tetapi suatu tendensi kemampuan dalam pembelajaran sosial demi kepentinganya. Maka apabila tendensi karakter masyarakat tersebut kita optimalkan dalam pengasuhan sekolah yang ada di sekitarnya, maka genap sudah kemajuan pendidikan bakal kita raih***