Kamis, 16 September 2010

WANITA SONGSONGLAH GLOBALISASI

Hingga kini belum diketahui secara pasti dalam sejarah, sejak kapan wanita mulai berperan dalam dinamika sebuah masyarakat dari jaman ke jaman. Yang jelas kita hanya mampu mengdiskripsikan peranan urgensi wanita dalam dinamika suatu masyarakat, yang mengalami pergesaran. Dalam tatanan social masyarakat klasik, wanita hanya disimbolkan sebagai pelayan suami, symbol social, symbol reproduksi belaka, yang dalam budaya jawa disebut sebagai “ tiang wingking” (peranan hanya didapur melayani kebutuhan suami). Sebelum abad ke 20 semua peradaban di bumi menempatkan wanita hanya dalam symbol seperti tersebut di atas.

Namun justru di balik kelemahan figure seorang wanita, ternyata banyak memiliki kelebihan ketimbang seoarang pria. Namun hal ini belum bisa dieksploitir oleh banyak peradaban. Apalagi pada abad sebelum memasuki abad ke-20, yang masih belum terjamahkan isu tentang gender, maka peran urgensi wanita belum mendapat tempat pada dinamika social. Hal ini wajar saja sebab sebagian besar masyarakat primordial masih belum menginternalisasikan ideologi pemersatunya dalam wadah sebuah bangsa dan kedaulatn negara. Terbukti pada masa itu masih sedikit wanita yang tampil menjadi sosok negarawan.

Dalam dinamika sosial seperti itulah, konflik sosial banyak dituangkan dalam bentuk senjata, yang mutlak didominasi kaum adam, sehingga di berbagai peradaban lahirlah legenda seperti Knight, Robinhood, Musketeer, Shogun, Satria, Jawara dan lain sebagainya. Meski di beberapa belahan bumi kala abad ke-19 mulai lahir pendidikan untuk kaum hawa. Tercatat dalam sejarah, pada Masa Restorasi Meiji, di pertengahan abad ke-19, dikota-kota besar kekaisaran Jepang telah tercatat sebanyak 70 % wanita sudah berstatus pelajar ( mampu membaca, menulkis dan aritmatika). Demikian juga di Eropa dan Amerika. Namun di kawasan Asia dan Afrika, yang sebagian besar masih hidu terjajah bangsa eropa, yang terjadi justru sebaliknya.

Kondisi semacam tersebut tidak mungkin bagi wanita untuk berperan penting dalam dinamika suatu masyarakat sosial. Mulai memasuki abad modern, tepatnya pada awal abad ke 20, semakin beragamnya sistim nilai pada suatu masyarakat social, atau mulailah bergulirnya perkembangan segala macam perkembangan berbagai disiplin ilmu, maka semakin beragam pula manusia mengejawantahkan karya, karsa dan cipta maka dominasi priapun mulai menurun. Sebab man behind the gun yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama sebuah masyarakat social, tidak harus figure seorang pria. Namun figure yang memliki seabreg karakter yang mampu mencakupi, seperti kesabaran, ketangguhan, kecerdasan, ketelitian dan lain sebaginya yang tidak mutlak hanya dimiliki seorang pria

Dari fenomena social seperti inilah lahir peluang bagi wanita untuk tampil menggantikan peran pria. Kondisi semacam itu pulalah yang mengkondusifkan di Indonesia lahir perjuangan Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Selang beberapa dekade sesudahnya tampilah nnegarawan-negarawan wanita yang cukup karismatik di dunia, seperti Anita Peron (Presiden Argentina), Elisabeth Domitien PM Afrika Tengah, Sylvie Kinigi PM Burundi, Ruth Perry Presiden Liberia ( 1996 – 1997), Ellen JS Presiden Liberia ( 2006 s/ d sekarang), Reneta Indzhova - Pejabat Perdana Menteri Bulgaria (17 Oktober 1994 - 25 Januari 1995), Margaret Thatcher - Perdana Menteri (4 Mei 1979 – 28 November 1990) dan Megawati Soekarnoputri - Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) serta masih banyak figure lainnya.

Hal ini membuktikan bahwa wanita dilahirkan di dunia bukan semata-mata hanya untuk dieksploitir oleh kaum pria saja. Justru semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia modern semakin pula membutuhkan spesialisasi di bidang yang menuntut kompetensi yang mengembanya. Dari wacana tersebut timbulah profesi-profesi yang direkomendasikan diemban oleh wanita, seperti pendidik, tenaga para medis, psikolog, public relation, kasir, dokter personal shopper. Profesi wanita yang belakangan ini tampak masih merupakan profesi baru untuk wanita Indonesia serta profesi lainnya yang pada decade sebelumnya hanya didominasi kaum adam. Bahkan di arena politikpun bukan halangan bagi wanita modern untuk berkiprah di dalamnya.

Ternyata di Indonesia kiprah wanita di politikpun mampu merefleksikan tiada lagi perbedaan hak pada wanita, terbukti jumlah anggota DPR periode 1999 – 2004 berjumlah 52 orang Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dan laki-laki sebanyak 459 orang (81,6 persen).
Namun demikian menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari mengakui bahwa peranan wanita di bidang eksekutif dan yudikatif belum begitu menggembirakan. Hal ini tentunya bukan hanya tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja , tetapi menjadi kewajiban kaum hawa sendiri yang menekadi peran urgebsinya di masyarakat, yang hingga kini masih memandang sebelah mata.

ADAKAH KEPRIHATINAN DI ANTARA KITA ?

Belum hilang betul dari ingatan kita tentang nyanyian Susno yang menyeret Gayus dan mengelindingkan Syrus Sinaga, Edmund Ilyas, Syarif Johan dan petinggi /pemimpin publik lainnya menjadi pesakitan hukum. Kita kembali tercengang dan menarik nafas dalam dalam setelah mendengar laporan Internationmal Coruption Watch tentang “Sang Dalang” pendoliman hutan negara yang ternyata juga oknum petinggi negara. Oleh karena itu hingga kinipun kita tak tahu kapan Indonesia terentaskan dari sematan Negara terkorup se Asia Pasifik.

Sebuah keprihatinan

Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa pekan yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita., seperti belum lama ini terjadi pertikaian antara Satpol PP dengan Masyarakat Koja Jakarta Utara. Perseteruan etnis di Batam yang berakhir dengan amuk masa. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, pada enam bulan pertama tahun 2008 lalu, Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai1.850 aksi.

Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang nonkompromis ( tidak menerima lagi nilai lama ) dari perubahan sosial masyarakat Indonesia, yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Sebuah generasi bertipe “life-style hedonisme “ dan menyingkirkan jauh jauh sebuah amanat luhur, karena sebuah konsekuensi logis menjadi pemimpin/pejabat/ tokoh sental figur salah kaprah. Atau mungkin sebuah generasi yang telah kehilangan etika moralnya.

Maka yang menjadi nyanyian sumbang pada segmen grassrote, adalah pada era reformasi ini mereka diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.

Makna sebuah moralitas

Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa. Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.

Moralitas itu sendiri adalah penyertaan secara bareng semua nilai essensial yang ada di masyarakat social, yang digunakan sebagai patokan manusia yang bermartabat. Dan dengan moralitas itulah seorang individu mampu mengejawantahkan semua pandangan ke depannya.

Moralitas juga bisa dinyatakan sebagai sistim aplikasi publik untuk pembentukan semua nalar manusia, Sehingga dengan perangkat moralitas ( morality ) individu mampu memilah baik dan buruknya sesuatu niatan. Apabila moralitas ini diemban dengan kuat maka jadilah individu tersebut sebagai insan mulia. Istilah moralitas pada akhirnya dapat digunakan sebagai faktor pembeda, perilaku bermoral atau tidak. Pada akhirnya moralitas dapat digunakan sebagai pengejawantahan nilai normatif. Jadilah moralitas sebagai sesuatu yang wajib diembang oleh para petinggi kita.

Bila kita hadapkan moralitas pada para oknum petinggi kita, tentunya kita akan merasakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, salah satu moralitas yang wajib diemban oleh mereka adalah kejujuran, rela berkorban, peduli terhadap orang kecil yang lagi kelimpungan, Namun sebuah realita menyatakan jauh panggang dari api. Justru perseteruanlah yang ditampilkan antar mereka. Sejak dari mencuatnya kasus Antasari di akhir tahun 2009, bailout Bank Century di awal tahun 2010. Disusul kemudian nyanyian Susno dan terus menggelinding tak berarah.

Dikhawatirkan apabila konflik interpersonal / institusi ini terus bergulir, maka keterpurukan kita menjadi tambah dalam dan tak satupun persepsi anak bangsa yang menilai mahalnya sebuah persatuan dan kesatuan. Dengan terkoyaknya moralitas ini maka terbenam pula nasionalisme yang secara fitroh telah kokoh bercokol di tiap dada anak bangsa ini. Bila stadium penyakit sosiologis kita telah sampai pada tahan ini, maka tidak ada resep yang mujarab, pakar yang piawai ataupun bentuk “miracle: lainnya. Yang ada hanyalah rekonstruksi moralitas di dada kita masing-masing.