Kamis, 16 September 2010

Ke Mana MENCONGAKU

Telah menjadi kesepakatan kita bersama bahwa dewasa ini Depiknas dan seluruh jajaran institusi yang terkait dengan sistem pendidikan nasional telah berupaya seoptimal mungkin dalam menggulirkan perubahan besar – besar terhadap pendidikan yang terintegrasi, sis
tematis dan terarah. Terdapat urgensi yang terselip di balik itu semua, yaitu tentang masa depan generasi kita yang harus tangguh dalam menghadapi kompleksitas di tengah Masyarakat Indonesia yang pesat mengalami social changes, karena pengaruh globalisasi. Maka keterpurukan sistim pendidikan yang telah kita akui bersama dan bila dihadapkan pada coincide penyiapan kemajuan bangsa, maka perubahan sistim pendidikan nasional haruslah dalam naungan suatu revolusi.

Betapa tidak , sebuah negara yang pada Tahun 1975 masih mengalami konflik politik sehingga telah kehilangan segala-galanya. Namun diluar dugaan lantaran keseriusan dalam menggarap sistim pendidikan nasionalnya, maka prestasinya sekarang bread di atas kita. Sebut saja negara tersebut adalah Vietman. Menurut survey yang dilakukan oleh International Education Achievment ( I E A ), indeks pengembangan manusia ( Human Development Index ) kita masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108 (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 ).

Padahal pada kurun waktu Tahun 1970 - 1975 kita telah memulai pembangunan dengan menapaki PELITA I I. Bangsa Indonesia telah membenahi bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan ( Harian Online Damandari, 2003 ).

Melihat kenyataan tersebut maka wajar saja apabila kita bersikap prihatin, namun tindakan kita yang paling bijak sebagai pendidik adalah menaruh perhatian yang serius. Bukankah sitim pendidikan nasional adalah asset prestis kita semua. Sehingga apabila terjadi keterpurukan terhadapnya, maka kita sebagai pendidik adalah yang paling depan dalam memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bertindak skeptis dalam menyikapi fakta tersebut. Minimal harus terbesit dalam hati kita untuk memulai langkah moral dalam mengejar ketertinggalan kita. Kita harus sigap dalam memulai bergulirnya sebuah revolusi pendidikan. Hanya dengan semangat yang tinggilah semua tugas moral kita untuk mengentaskan sistim pendidikan nasional kita menjadi ringan. Salah satu cara untuk mempercepat laju perubahan prestasi pendidikan adalah menggali metoda pembelajaran dalam ranah evaluasi, yang malah dewasa ini banyak diabaikan oleh kalangan pendidik.

Suatu metoda evaluasi pembelajaran klasik yang pernah diterapkan di sekolah oleh Diknas adalah mencongak / dikte / imla. Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar generasi sekarang tercetak dari sistem evaluasi mencongak tiap bidang ajar, apakah hal ini mesti kita pungkiri bersama. Bila manfaat dari sistim evaluasi tersebut terbukti memang dapat dihandalkan.

Sebuah evaluasi baik yang formal maupun non formal bisa sah – sah saja dilakukan, asal saja melalui alat penilaian yang sesuai dengan indicator yang akan dinilai sebagai sarana untuk mengetahui sejauh mana kompetensi siswa dapat terpenuhi dan yang lebih penting bagi sang pendidik harus benar jitu dalam menerapkan model evaluasi sesuai karakter peserta didik masing-masing.

Mencongak adalah salah satu jenis penilaian kelas tertulis pada ranah kognitif yang mengkondusifkan peserta didik untuk betul – betul mempersiapkan diri, mengurangi peluang antar peserta didik yang salng bekerja sama, membiasakan peserta didik untuk lebih cermat dalam mengerjakan evaluasi. Karena mencongan termasuk evaluasi pembelajaran , bukan sebagai evaluasi proses maka selayaknya mencongak diberikan pada akhir satu kompetensi diberikan . Apalagi bila kompetensi yang diberikan kepada peserta didik tergolong kompetensi yang padat. Untuk yang satu ini, disarankan agar mencongak sebagai bentuk evaluasi non formal dipadukan dengan evaluasi tertulis ( pencil and paper )

Namun demikian akan berpengaruh baik bila mencongak diberikan kepada peserta didik yang meliputi semua indikator pada satu kompetensi. Dari tagihan yang diperoleh, sistim mencongak biasanya akan memberikan nilai prestasi yang lebih heterogen dibanding dengan bentuk evaluasi lainnya. Sehingga kita akan lebih mampu mengetahui potensi dasar peserta didik. Dengan jumlah soal evaluasi yang lebih sedikit dibanding evaluasi lainnya tentu saja kita dapat langsung mengetahui nilai tagihan yang didapat dari peserta didik. Walaupun demikian tidak disarankan bagi peserta didik untuk membandingkan satu peserta didik dengan lainnya, karena akan menyebabkan rasa rendah diri bagi peserta didik yangh bersangkutan.

Meskipun mencongak tidak dibakukan sebagai metoda evaluasi yang disarankan, namun tetap saja mencongak masih memenuhi prinsip – prinsip penilaian kelas, yaitu prinsip valditas, realibilitas, menyeluruh, berkesinambungan, obyektif dan mendidik ( Tim IKIP P GRI Semarang , 2009 ). Validitas dapat kita wujudkan apabila mencongak mampu mewujudkan unsur – unsur / indikator yang memang harus dinilai dan diujikan kepada peserta didik. Selain itu, mencongak adalah sebuah metoda evaluasi yang menyimpan aspek realibilitas dengan dicirikan dengan kemampuan mencongak, yang mampu memberikan hasil unjuk kerja siswa yang konsisten, meski dilakukan berulang asalkan evaluasi tersebut dikondisikan sama. Terlebih – lebih bila mencongak dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan cakupan kompetens i dasar. Selain aspek aspek – aspek tersebut mencongak juga bisa dikategorikan sebagai metoda evaluasi yang obyektif, yaitu dengan kejelasan pemberian skor . Dengan demikian tidak diragukan lagi bila mencongak kita harapkan untuk diterapkan kembali.

Sebuah fakta nyata barangkali mampu meyakinkan kita, bahwa pada era Tahun 70 – 80 banyak pendidik kita yang diminta Pemerintah Malaysia untuk ikut membangun sistim pendidikan mereka yang tertinggal jauh dengan kita. Karena saat itu keunggulan dan mutu pendidikan kita telah terdengar mereka. Meski bukan penyebab utama maju sistim pendidikan saat itu, namun mencongak saat itu telah diterapkan sebagai evaluasi pembelajaran

KE MANA SETELAH LULUS UN 2010

Sudah pasti dengan mengerahkan segenap upaya, sebagian besar siswa SMA / SMSLB / MA / SMK bisa berhasil lulus UN Th 2010. Mereka bisa berbangga diri, lantaran dengan penuh kejujuran ( harapan kita bersama ) mereka mampu menyelesaikan ujian tersebut hingga mencapai nilai rata-rata 5,50 untuk enam bidang ajar SMA./ MA/ SMK/ SMALB. Sebuah perjuangan berat untuk menggapai masa depan telah berhasil mereka lampaui.

Bagi perserta UN SMP ./ SMP/ MTS, SMPLB dan SD / MI di UUSBN Th 2010 yang telah lulus tidak banyak mengalami tantangan serumit kakak-kakanya, untuk men-handling tantangan sebuah realitas., antara melanjutkan studi ke jenjang perguruan tringgi atau berhenti dengan mengantongi ijazah SLTA untuk modal kerja.
Kerja atau Kuliah

Yang jelas mereka semua belum siap untuk memasuki dunia kerja meski mereka berasal dari sebuah SMK. Kita masih ingat betul pendapat mantan Mendiknas Fuad Hasan, yang mengemukakan sebuah teori pendidikan, yaitu bahwa pendidikan di Indonesia tidak seperti membuat kue roti, yang produknya siap dikonsumsi karena telah masak. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan dengan pencapaian 5,50 untuk lulus sebuah ujian nasional, belum merupaka jaminan bagi mereka untuk mengenyam jenjang pendidikan selanjutnya. Maka kiat Kementrian Pendidikan Nasionalpun harus setidak-tidaknya mengkonsep sebuah koridor baru bagi mereka yang telah lulus.

Apabila prestasi mereka masih belum mendapatkan prioritas lebih untuk jenjang berikutnya, maka ujian nasional di tahun tahun mendatangpun akan banyak menuai badai., Selain itu pula guna pencetakan generasi yang handal dan kompeten di bidangnya masing-masing, sebuah instrument barupun harus segera dikonsep. Semoga saja kalangan perguruan tinggi terlebih-lebih PTN segera mengantisipasi masalah ini. Sehingga tidak ada lagi kontradiktif antara kejujuran sebuah UN dengan hasil sebuah kejujuran.

Lepas dari permasalahan di atas, sebuah tantangan lain masih menghadang, justru merupakan tantangan yang lebih realistis untuk bisa dilewati. Kalau toh masih ada tindak kecurangan dalam UN Th 2010 ini, hingga membuat mereka mampu melewatinya dengan gampang. Namun siapa yang akan membantu mereka dalam berbuat kecurangan untuk menghadapi sebuah realitas hidup.

Betapa tidak, benang kusut masih menghadang mereka dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran di bangku perguruan tinggi. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Milik Negara untuk sebuah perguruan tinggi, sehingga PTN pun harus mendapatkan sumber dana, maka tidak ada jalan lain bagi mereka untuk merogoh kocek lebih dalam untuk mengenyam bangku kuliah. Kalau toh mereka memiliki dana yang cukup, merekapun harus lulus dalam SNMPTN yang memerlukan persiapan lebih cermat dibanding dengan hanya lulus sebuah ujian nasional.. Merekapun harus saling bersaing satu dengan lainnya untuk bisa kuliah di PTN, bila yang mengikuti SNMPTN dipredikisi sejumlah alumni SMA / MA/SMK kurang lebih 2.5 juta calon mahasiswa, tentunya hal inipun merupakan sebuah tantangan bagi mereka,

Kendala masuk PTN

Namun disisi lain maraknya jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di luar jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB)., sebagai konsekuensi semua PTN yang beralih status menjadi badan hukum milik negara (BHMN), memaksa PTN memasang pemberlakuan biaya masuk yang hampir sama dengan biaya PTS. Hal ini disebabkan kewajiban PTN sebagai BHMN yang harus menyetor dana ke kas negara, yang merupakan kebijakan pemerintah dalam menyedot penerimaan negara bukan pajak (PNBP ) pada sebagian besar perguruan tinggi negeri atau PTN.

Bukankah hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi siswa yang lulus UN tersebut. Kitapun menjadi prihatin lantaran perrmasalahan ini bukan lagi menyangkut kompetensi bahan ajar yang mereka tekuni selama di bangku sekolah. Namun hal ini sudah menyangkut kemampuan ekonomi orang tua mereka masing. Sehingga hak mereka untuk menempuh jenjang kuliah di PTN menjadi sirna. Sesuatu fenomena ironis bakal mereka temui karena terbentur sistim.

Alternatif lain dari para lulusan ini, adalah memasuki dunia kerja yang masih asing bagi mereka. Karena ketidak siapan mereka untuk mendapatkan skillfull, maka jadilah mereka pengangguran atau tuna karya. Tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya.

Sehingga mereka akhirnya bergabung dengan angkatan kerja usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Tentunya hal ini menimbulkan masalah yang serius. Terlebih lebih menjadi sebuah masalah dan tantangan bagi negara kita, yang belum mampu mengatasi pengangguran menapaki Tahun 2010 ini, Tercatan bahwa angkan pengangguran di negara kita telah mencapai 10 % pada Tahun 2010 ini. Jumlah pengangguran di Indonesia akan terus menjadi masalah dari tahun ke tahun, lantaran bertambahnya usia produktif per tahun, yang tidak tertampung di lapangan pekerjaan atau melanjutkan studi yang lebih tinggi.

Sebuah terobosan yang barangkali bisa menjadi jalan tengah bagi mereka yang berhak mendapatkan pendidikan di bangku perguruan tinggi setelah lulus ujian nasional, yaitu dengan memberi beasiswa kepada top skor 10 besar dari capaian nilai ujian nasional tiap satuan pendidikan. Sehingga janji manis “ Anak supir angkot bisa menjadi pilot”, akan mereka rasakan. Bukankah kampanye tersebut telah didengar oleh hampir semua Rakyat Indonesia. Sebab apabila hali ini tidak direalisir maka sebuah pembohongan publik telah ditorehkan oleh autoritas.
Program beasiswa negara

Bila jumlah seluruh peserta UN SMA/ MA / SMK / SMALB di Indonesia yang telah lulus adalah rata-rata sebanyak ± 2,5 juta per tahun ( Data BSNP , peserta UN Tahun 2008 / 2009 sebanyak 2.207.805 dan 2007 / 2008 sebanyak 3.357.457.472 siswa ). Maka Kementrian Pendidikan Nasional disarankan memberi beasiswa kepada 200 – 300 ribu siswa agar mampu mengenyam bangku kuliah PTN, hingga mereka mampu mengantongi gelar kesarjanaanya. Kiat ini pula bisa mencetak generasi mendatang yang lebih tangguh, inovatif dan adapif terhadap globalisasi.

Meski upaya pencerdasan tersebut memerlukan biaya yang tinggi, namun dengan alokasi 20 % dari APBN Th 2009, atau sebesar 224 trilyun Rupiah diharapkan mampu merealisasi program tanggung jawab kita terhadap masa depan bangsa. Dengan latar belakang keterpurukan sistim pendidikan kita dewasa ini, tentunya langkah ke arah inipun bukan hanya sebatas wacana saja. Karena genderang revolusi pendidikan telah bergema, maka tiap langkah autoritas untuk mengentaskan keterpurukan inipun harus dengan sepenuh hati.

Perjuangan mencerdaskan anak bangsa sepertinya akan putus di tengah jalan, apabila kita menghhadapi suatu kenyataan kinerja yang tidak tuntas.. Di lain pihak Kementrian Pendidikan Nasional dan BSNP telah bertindak tegas dalam mengantisipasi kecurangan pelaksanaan UN setiap tahun, namun output yang mereka perjuangkan tidak mereka benahi untuk pembelajaran selanjutnya.