Jumat, 18 Desember 2009

EKSISTENSI MADRASAH

Sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari, bahwa Madrasah baik tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah yang bernaung di yayasan swasta ataupun negara, sebagai institusi pendidikan harus mampu terbawa arus globalisasi pada era sekarang. Hal ini memang suatu harga mati bagi madrasah yang harus memiliki konsekuensi logis perihal penyiapan mutu kualitas peserta didik, yang nantinya mampu mencetak individu yang tangguh bersaing dengan lulusan dari sekolah –sekolah umum, yang sama-sama menerapkan KTSP Th 2007.

Guna memberi gambaran tentang eksistensi madrasah sebagai institusi pendidikan, maka marilah kita sejenak mengamati perjalanan eksistensi madrasah, yang dahulu hanya mengajarkan para santri-santri dengan ilmu-ilmu agama salafi hingga jenjang Aliyyah. Fenomena seperti ini memang sungguh menarik perhatian kita semua. Sebab bagaimana nantinya kualitas santri lulusan madrasah tersebut mampu bersaing dengan ketat di tengah masyarakat, yang sedang berkecamuk menggelindingkan roda globalisasi di semua bidang.

Pada akhirnya atas keprihatinan semua pihak maka pada tahun 1975 keluarlah Surat Keptusan Bersama Tiga Mentri, yaitu Mentri Agama dengan SK No. 06 tahun 1975, Mentri P & K ( sekarang Mendiknas ) mengeluarkan SK No. 37 / UU / 1975 dan Mentri Dalam Negeri mengeluarkan SK No. 36 Tahun 1975 tentang pembenahan kurikulum Madrasah tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiya dan Aliyah.

Dengan adanya kesepakatan tiga mentri tersebut, maka target dan beban kurikulum yang harus diberikan kepada santri madrasah sama dengan pembelajaran di tingkat sekolah umum. Sehingga kita mampu berbangga hati bila sekarang kita mampu melihat sebuah fakta bahwa kualtitas lulusan sebuah madrasah akan relatif sama dengan sekolah umum.

Apabila kita memandang lebih jauh lagi tentang realita bahwa generasi yang mampu membawa identitas bangsa ke taraf bangsa yang maju dan sejahtera, adalah generasi yang seharusnya telah memperoleh pendidikan sikap mental yang memadai dan ilmu pengetahuan yang berdaya guna. Tentunya apabila proporsi dari dua sisi out put pendidikan telah tercapai, maka bangsa kita akan menjadi bangsa mampu mengukir prestasi yang kita harapkan bersama.

Hal ini mengandung pengertian yang lebih specifik bahwa apabila kita menanggalkan salah satu sisi saja, maka tentunya kitab dihadapkan pada dua alternatif gambaran generasi suatu bangsa. Salah satu sisi akan kita temukan generasi yang buta ( tanpa memiliki sikap mental yang terinternalisasi ) dan pada sisi lain akan kita dapatkan sisi generasi yang buta terhadap inovatif, knowledge serta penguasaan hasl iptek sebagai suatu peradaban.

Berdasarkan realisasi diatas maka jelaslah sudah eksistensi madrasah di tengah ranah pendidikan yang universal tidak dapat kita tinggalkan begitu saja.
Meski disana sini masih banyak kita temukan faktor kendala dalam peningkatan peran eksistensi madrasah agar lebih berfungsi optimum.. Namun demikian dengan adanya bantuan dari Depag berupa kucuran dana peningkatan mutu kualtias sebuah madrasah ( dana kontrak prestasi ), kita menjadi berharap banyak bisa terbentuknya madrasah-madrasah bertaraf internasional di tanah air kita.

Apalagi dengan tersebarnya berbagai bentuk media informasi hingga ke desa – desa terpencil, maka peluang sebuah madrasah untuk mengikuti gelombang globalisasi akan lebih terbuka lebar. Bahkan nilai tambah sebuah madrasah itu sendiri akan mampu mewarnai mekanisme perubahan sosial masyarakat kita. Hal ini bisa kita analisis bersama, bahwa komposisi berimbang antara pembelajaran agamis dengan pembelajaran umum diharapkan mampu mencetak man behind the gun yang baik, yang nantinya diharapkan setiap lulusan sebuah madrasah mampu memberi kontribusi terhadap masyarakat sekelilingnya.

Sehingga apabila kita amati sekarang, dalam dekade hampir 4 dasawarsa telah terbentuk dinamika yang positif dalam ruang lingkup sebuah eksistensi madrasah. Betapa tidak telah kita ketahui bersama bahwa telah banyak pemimpin nasional yang tercetak dengan sistem pembelajaran sistim madrasah ini. Tentunya hal ini tidak bisa kita pungkiri bersama bahwa eksistensi madrasah dewasa ini turut menempati tempat yang strategis dalam pembenahan sistim pendidikan nasional sebagai aset yang kita miliki bersama.

Selasa, 08 Desember 2009

REVITALISASI MENTALITAS PAHLAWAN NASIONAL

Apabila kita bersedia lebih teliti lagi untuk menyimak pesan moral para Pahlawan Nasional kita, baik dari buku sejarah di bangku sekolah, maupun melalui informasi publik baik formal maupun informal, sejenak kita pasti akan berpikir untuk sekedar mengevaluasi. Mengapa terjadi perbedaan yang signifikan perihal tanggung jawab moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, antara kita dengan para Pahlawan Nasional, yang telah meletakan dasar - dasar berbangsa dan bernegara.

Kita mungkin menyadari sepenuhnya, bahwa koridor lifespand kita dengan m,asa perjuangan bela negara para Pahlawan Nasional sungguh berbeda jauh, secara rinci perbedaan tersebut adalah didomonir karena perubahan sosial, politik, ekonomi dan faktor penyebab lain. Yang secara perlahan tapi pasti merubah mentalitas ini, hingga mencapai fase yang sangat memprihatinkan.

Memang harus kita garis bawahi juga, bahwa virus need of achievment , sebagai virus yang terus mereplikasikan diri, secara berkesinambungan dan cenderung menguat dengan bertambahnya variable waktu. Virus ini sungguh merajalela dan menghinggapi social culture di masyarakat belahan bumi manapun.

Virus ini telah diidentifikasi di klinik sosial, adalah virus yang menimbulkan gejala yang mewabahi masyarakat dunia untuk berlomba-lomba mencapai kesenangan dan ketentraman hidup, yang cenderung menggunakan tolak ukur dengan aspek pemenuhan materi belaka. Sehingga telah menjadi konsekuensi logis di masyarakat belahan bumi manapun, mereka cenderung mengalami perubahan sosial yang meningkat tajam. Sejalan dengan semakin menipisnya sumber daya alam yang menopang gaya hidup kita.

Secara linear tentunya terjadi hubungan berbanding terbalik antara menguatnya pemenuhan kebutuhan materi, yang dibumbui segala faktor pembatas yang semakin menelikung kehidupan manusia, dengan kepedulian terhadap sesama manusia
Terutama sikap sense of belonging pada negara dan bangsa ini, yang paling awal mengalami degradasi.

Apalagi pada masa – masa awal abad ke – 20 , gejala kehidupan materialistis semakin menggelora, karena dikondisikan demikian oleh fungsi strategis energi yang mengalami instabitas harga, globalisasi semua aspek kehidupan manusia, semakin terbatasnya sumber daya alam,, masalah demografis dan yang lebih signifikan lagi adalah peningkatan intelektualitas masyarakat kita,

Lantaran semakin besarnya tuntutan materi dan semua faktor yang menjadi pembatas tersebut di atas, maka sudah barang tentu masyarakat kita tentunya akan segera meninggalkan sikap hidup yang dilandaskan pada kepedulian sosial di lingkungannya. Dan anehnya sikap ini telah menggejala secara luas di lingkungan dan kultur manapun, yang lebih memprihatinkan lagi sikap seperti telah membudaya dengan kuatnya.

Memang bukan jamanya lagi kita untuk bahu – membahu memanggul senjata guna mengusir penjajah, namun perlu kita ingat. Setelah tercapainya national building yang telah disepakati, baik wilayah geostrateginya, konstitusi, sistem politik, serta cita – cita yang ingin diwujudkan bersama di masa mendatang. Tentunya kita harus bahu - membahu pula dalam mewujudkan cita – cita luhur dari bangsa kita.

Namun yang terjadi sekarang justru jauh panggang dari api, lantaran yang mengalir deras di tubuh masyarakat ini adalah pemenuhan kebutuhan pribadi, oleh oknum – oknum birokrasi, yang menyedot kekayaan negara kita, tanpa memiliki rasa malu. Sehingga akhir akhir ini, telah kita ketahui bersama adanya tindakan yang tak terpuji dari oknum – oknum pejabat, yang menggemparkan publik.

Dan tidak tanggung- tanggung lagi oknum pejabat yang terlibat dalam hal ini, adalah oknum penegak hukum, yang sebenarnya sangat diharapkan oleh masyarakat dengan kinerjanya yang diharapkan tajam, solid, independen dan berkinerja dengan landasan supremasi hukum. Lepas dari tuduhan publik pada oknum – oknum tersebut terbukti secara hukum atau tidak , namun pada kenyataan hal itu telah melahirkan krisis ketidakpercayaan oleh arus bawah. Yang pada gilirannya nanti dapat mengakibatkan neo multidimentional crisis, yang dikhatirkan melahirkan power people yang bisa merusak tatanan yang sudah mapan.

Oleh karena itu, hendaknya semua unsur daya-dukung, cendekiawaan, politisi dan seabreg lainnya, yang mampu memberikan kontribusi yang langsung atau tidak langsung terhadap eksistensi negara ini, hendaknya memulai mencanangkan luncuran program kerja yang taktis, transparan dan berdaya guna tinggi, untuk memperbaiki distorsi moral yang sekarang sedang berlangsung.

Tentunya langkah ini sangat berat dan penuh tantangan, karena maklum saja. Kita disodorkan pada pembentukan konsep social carakter, yang menelibatkan lebih dari 200 juta Penduduk Indonesia, yang sedang dilanda sakit parah berupa krisis ekonomi berkepanjangan.
Akan tetapi bila kita bersedia mengurai benang kusut, mulai dari merefleksikan mentalitas para Pahlawan Nasional kita kepada diri kita masing-masing, yang mengorbankan apa saja yang bisa ditebus demi kemerdekaan dan kejayaan Negara Indonesia yang kita cintai. Maka perjuangan untuk meraih prestasi kita yang luhur, adalah bukan isapan jempol belaka.

Perjuangan semacam itu, bukankah jauh lebih ringan dibanding dengan bangsa ini harus menerima konsekuensi logis yang fatal, akibat krisis ketidakpercayaan rakyat terhadap para pejabat dan pemimpin kita, atau bisa juga dalam kasus yang lebih ringan rakyat akan merasa skeptis terhadap segala kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, hendaklah kita mampu berpikir bijak, dalam artian langkah apapun untuk menggapai stabilitas nasional, harus tetap merujuk pada pola pengorbanan para Pahlawan Nasional dalam bersikap ikhlas, mau berkorban, mengutamakan kepentingan negara dibanding dengan kepentingan pribadi. Sehingga dapat kita katakan, bahwa bagi mereka yang tergolong Pahlawan Nasional menempatkan harga diri bangsa dan negara diatas semuanya.

Untuk sementara apabila kita belum mampu merealisasikan rembug nasional yang mulia ini, alangkah baiknya bila diantara kita semua yang sama-sama terlibat dalam cita-cita Negara Proklamasi ini hendaknya mampu menahan diri dan berhati sejuk. Mengutamakan ketentraman dan kedamaian kehidupan kita semua, seperti yang dirintis oleh para Pahlawan Nasional kita. Karena sikap mental positif yang tertanam pada diri kita masing-masing, sesuai dengan peran sosial kita, adalah tidak berbeda jauh denga pengorbanan para Pahlawan Nasioanal kita.