Entah mulai
kapan para penentu kebijakan pendidikan atau otoritas pendidikan di negeri ini
mampu merancangbangun setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) sebagai
tempat “membongkar pasang” karakter peserta didik sedemikian rupa. Sehingga
satuan pendidikan tersebut mampu mencetak “out come” yang mengusung sebuah
tampilan karakter yang terpuji. Sebab itikad
kita semua dewasa ini adalah pencanangan “Indonesia Zero Corruption atau rekontruksi bangsa
santun dan berbudi luhur ”. Semua pemerhati multidisiplin tentunya berpendapat
bahwa kiat tersebut pada essensinya bukanlah hanya dengan menginstal perangkat
berbagai regulasi atau pencerahan moralitas serta penerapan kiat lainnya.
Namun justru menstimulir
pembentukan pribadi peserta didik akan efektif bila diberlangsungkan sedini mungkin, saat mereka masih berada di
bangku sekolah, atau disaat mereka mendapatkan pembelajaran dari pendidik yang
berganti fungsinya, dari pemberi bahan ajar hingga sebagai fasilitator bahan
ajar. Selama di bumi ini masih terdapat pembelajaran dari sumber bahan ajar
kepada pihak yang membutuhkan pembelajaran tersebut, maka disitulah terjadi
peluang pembentukan moralitas peserta
didik. Hanya masalahnya pembelajaran tersebut berjalan secara proporsional dan professional atau tidak.
Disinilah
essensi sebuah pembelajaran dalam pendidikan, yang berperan sebagai salah satu nilai dasar masyarakat
sosial. Sehingga pembelajaran inilah yang dianggap vital dalam pendidikan. Pembelajaran
itu sendiri menurut Corey
(1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondidi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar
menurut William H Burton adalah upaya
memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar.
·
Budaya Malu
Pernahkah
terbayang di angan kita tentang ketertiban masyarakat kita dalam berlalu-lintas
tanpa diawasi oleh petugas lantas, atau masyarakat yang tertib dalam antrian
panjang, tidak membuang sampah/merokok/meludah di sembarang tempat, tanpa
adanya regulasi yang mengawalnya. Seperti kebiasaan kebiasaan positif dari
bangsa bangsa lainnya yang telah maju atau bangsa yang telah tertanam kuat
dalam hatinya perasaan malu, yang telah sedini mungkin diinternalkan melalui
pembelajaran sedini mungkin.
Sebegitu
vitalnya budaya malu sehingga Mantan
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyatakan bahwa perasaan
malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki
kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi
orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai
hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.
Menindaklanjuti
pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek
“character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa
sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam
mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam
laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua
murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar
pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran
hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta
didiknya.
Sebuah karakter
yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna
mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang
melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan
individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal
inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.
Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang
individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang
kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh
karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di
peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar
karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang
dan pendiam (quiet and calm).
Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila
terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun
karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran
nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
·
Aplikasi Intensif
Setiap peserta
didik yang terlibat dalam pembelajaran mampu mengoptimalkan pembentukan
pribadinya bila mereka terus dipusari dengan pendidik yang luwes dalam
pemberlakuan asih, asah dan asuh secara perlahan-lahan namun intensif, sejak
mereka duduk di bangku SD. Sehingga dalam pembelajaran modern yang menempatkan
pendidik hanya sebagai fasilitator, maka jarak antara mereka dengan pendidikpun
harus akrab secara
proporsional. Disinilah pendidik mampu mengeksplorasi semua daya dukung peserta
didik yang ada, lengkap dengan karakter baik dan buruknya. Dengan demikian
pembentukan budaya malu dapat diusung sedini mungkin***