Sedangkan
telah kau kaitkan pita berwarna tanpa makna
pada sisi
puncak gunung Mount Everest dan melintas
mengembalikan
nafas yang hilang, kembali ke Mahameru
Anaku, kala
ayah menghamparkan kuning tanaman padi
Berdesah liuk angin gunung
yang menyepi dari erotis kemunafikan jaman
Jangkaulah tepianya hingga kau menjenguk
untaian anggrek dan selaksa kembang,
yang dapat menyejukan
relung jiwa dan hatimu agar tetap kokoh diselip tulang iga yang rapuh
Anaku, jaman ini begitu menyeret
Semua pelangi telah memudarkan warna
Dilahap lentingan ego yang menghentak semua sendi ilalang,
Yang berumpun pasrah dan bersandar pada untaian detik dan waktu
Kita hanya mampu perlahan menapak jalan tebing
Yang curam, tapi berkait pada jendela langit
Capailah semua yang ada di atmosfer
Yang berisi tentang catatan harian, yang menyelinap dalam
sejuta sayap malaikat. Dengan nafas seloroh berharum bunga
Kita genap memiliki hiasan warna dari merah hingga biru
Sehingga kau mampu mencibirkan bibir pada pelangi
Berenda fatamorgana dan bersimpul pada kenisbian
Tak ada yang perlu kau takuti
Bila roda roda bumi masih berkait pada Sang Empu Kehidupan
Peluklah dan genggam, sehingga pagi yang kau miliki
Tetap berselingkuh pada sudut jantungmu
Pernahkah kau menyayat sang waktu
Yang hanya mampu melangkah ke depan
Sedangkan jauh dalam rongga dadamu
Terdapat bilik bambu tempat sang waktu
bersemayam.
(Semarang 1 Januari 2012, “pesan untuk anak-anaku"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar