Kamis, 11 November 2010

Pembelajaran Sosial Menggapai Masyarakat Anti Miras

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambit Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras di Salatiga telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memilioki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “operasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras.

Jumat, 05 November 2010

Evaluasi Komprehensif Untuk Program Block Grant

Adalah tidak mungkin begitu saja setelah menjadi institusi pendidikan yang dimarginalkan selama 32 tahun oleh Orde Baru, sejumlah 40.848 madrasah yang menyodorkan pembelajaran untuk siswa sekitar 6 juta anak akan menuai prestasi yang memadai. Dengan jumlah siswa sebesar tersebut di atas sudah barang tentu akan mengakibatkan rendahnya kinerja pendidikan. Hal ini diakui oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang membeberkan sebuah kesan, bahwa selama ini madrasah telah dianak tirikan dalam sistim pendidikan nasional. Bila kondisi madrasah yang dianaktirikan tersebut tetap berlangsung dari waktu ke waktu, bukankah ini sama saja dengan praktek diskriminasi pendidikan yang diusung oleh sistem kolonial oleh kita terhadap bangsa kita sendiri.

Sebuah langkah sigap dari Kementrian Agama dalam memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan madrasah dengan pembelajaran yang dikemas sebagai program unggulan segera perlu dikedepankan, untuk menggapai azas berkeadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama untuk setiap warga Negara, termasuk peserta didik yang belajar pada sebuah madrasah. Langkah ini telah ditempuh oleh Depag dengan program pengucuran dana Block Grant untuk 500 madrasah yang tersebar di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah dana bervariasi dari Rp 100 juta hingga Rp 1 milyar, pada tahun pembelajaran 2009/2010 silam. Dana bantuan tersebut tentu saja harus memotivasi semua penyelenggara pendidikan di madrasah tersebut dalam bentuk kontrak prestasi, guna meraih prestasi madrasah unggulan.

Namun masalah lainyapun timbul bila inefisiensi dana tersebut terjadi di madrasah penerima dana tersebut, terutama dalam hal penentuan skala prioritas program pemacu kemauan madrasahnya. Lantaran dalam waktu yang relatif pendek, yaitu hanya satu tahun pembelajaran sebuah raihan madrasah berprestasi harus sudah diusung. Padahal kemajuan sebuah satuan pendidikan dapat diraih, bila semua komponen yang berperan dalam pembelajaran harus mampu secara stimultan mengusungnya, beberapa diantaranya adalah kompetensi pendidik terhadap bahan ajar, model pembelajaran, disiplin dan sikap mental pendidik lainnya yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didik.

Bahkan aktifitas peserta didikpun harus pula dibidik dengan jeli, termasuk kemauan belajar, motivasi belajar, kehadiran dan positif altitude lainnya yang harus dimiliki peserta didik guna memperoleh kompetensi yang memadai, disamping pengadaan fasilitas penunjang lainya (laboratorium multimedia, laboratorium IPA, peraga dan lain sebagainya).

Sebagian besar madrasah menyematkan majunya pembelajaran hanya dengan komputerisasi sebagai simbol modernisasi, yang penggunaanya belum menyentuh kebutuhan peserta didik yang mendasar. Sehingga penerapan TIK (tehnologi komputer dan informatika) hanyalah sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya apabila TIK difungsikan secara proposional dalam fungsinya sebagai media peraga, sumber bahan ajar (internet), maka tentu saja mutu kualitas peserta didik yang handal bakal diraih. Namun fungsi ini belum maksimal diberdayakan. Terbukti masih banyaknya tenaga pendidik yang belum memiliki lap top, masih enggan membuka internet untuk menggali bahan ajar. Dengan masih banyaknya kasus kasus tersebut, maka sebaiknya madrasah yang telah dikucuri dana Block Grant tersebut haruslah sigap dalam mendayakan fungsi TIK tersebut, sehingga mampu menyihir peserta didik untuik getol meraih kompetensi.

Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementrian Agama melakukan evaluasi yang mendasar dan komprehensif tentang efisiensi penggunaan dana tersebut, menyangkut penerapan skala prioritas, proporsi pelatihan antara peserta didik dan pendidik yang seringkali berat sebelah lebih mengutamakan pelatihan pendidik, serta penyelidikan mengenai penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga hasil evaluasi Kementrian Agama tersebut dapat dijadikan acuan bagi madrasah madrasah lainya yang belum menerima giliran terkucuri dana Block Grant. Secara praktis apabila peserta didik belum bergairah dalam menggapai kompetensi bahan ajar, tingkat ketidakhadiran peserta didik belum berubah secara signifikan, kedisiplinan semua penyelenggara pendidikan masih dibawah standar, maka dana Block Grant tersebut belum diberdayakan dengan baik.