Minggu, 15 Agustus 2010

Kompetensi Yang KOMPETEN

Sering kita berpikir, betapa tersiksanya peserta didik yang belajar di sekolah Indonesia dari dulu hingga sekarang. Betapa tidak, kita sering terjebak dengan penerapan metoda klasikal yang pasif untuk memberlangsungkan sebuah pembelajaran. S
ehingga peserta didikpun seperti individu yang terpidana dan disekap mulai jam 7 pagi hingga jam 1 siang. Mereka setiap hari harus menerima informasi searah dari pendidik untuk 4 – 5 bahan ajar.

Sementara dengan alasan penanaman sikap mental , merekapun akan segera mendapat teguran keras bila mereka sedikit berulah. Peserta didik secara sepihak hanya mengandalkan indera pendengaran, penglihatan serta sering kali tidak menulis visualisasi informasi pada papan tulis atau dari lisan guru.

Mereka sama sekali tidak memiliki dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkan searah dari sang pendidik. Inilah gambaran sekolah dengan metode yang nonkontemporer.
Metoda kuno ini pernah diterapkan pada “Terakoya” , nama sebuah sekolah setingkat sekolah dasar di Jaman Kaisar Edo di Jepang, yang dilaksanakan di kuil-kuil, dengan pengajar para biksu dan Shogun. Kala itu tercatat lebih dari 10.000 terakoya yang tersebar di seluruh daratan Jepang. Bahan ajar yang diberikan hanya baca tulis Huruf Kanji, aritmatik, geografi, kaligrafi dan pengetahuan agama Shinto.

Meskipun bernaung di bawah metode yang klasik dan sederhana namun, karena dominasi dari kultur yang tajam dengan diinteraksikan dengan pendidikan religi. Ditambah lagi niatan semua komponen pendukung pendidikan yang “intent”. Fitur sekolah demikian berhasil membawa Rakyat Jepang menjadi masyarakat terpelajar, terbukti pada abad ke XVIII 70 % Rakyat Jepang sudah melek huruf dan pengetahuan. Dengan potensi seperti inilah mereka mampu mengabsorbsi teknologi dari negara barat hingga kini.

Fenomena pedagogis seperti di atas pernah juga di terapkan di Indonesia, tepatnya saat berdirinya Taman Siswa yang dibidani Ki Hajar Dewantara. Disamping mengutamakan pembelajaran publik yang sedang meradang terinjak kolonialisasi, Ki Hajar Dewantara berusaha semaksimal mungkin membangkitkan persepsi sosial masyarakat pribumi, tentang klas sosial. Merka yang disebut dengan ‘Inlander” pada struktur sosial koloni berada di lapisan terbawah. Oleh karena itu melalui pembelajaran di sekolah, Ki Hajar Dewantara mencoba untuk menanamkan pemikiran publik agar para Inlander ini bukanlah klas sosial yang hina, atau di bawah klas sosial penjajah.

Hal inilah yang menjadi dasar visi perjuangan Taman Siswa yang ikut berkonstribusi terhadap martabat bangsa, yang telah terkoyak oleh nafsu tamak bangsa penjajah. Dengan konsep pendidikan demikianlah meski setahap demi setahap Taman Siswa berhasil berhasil menciptakan generasi yang cerdas, trampil dan taqwa.
Setelah kemerdekaan dicapai Bangsa Indinesia, hinggi kini kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum, dari Kurikulum 1968 diganti Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA kemudian dilanjutkan lagi dengan Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 masih disempurnakan lagi menjadi Suplemen Kurikulum 1994. Pembenahan dan penyempurnaan kurikulum sistim pendidikan kita terus saja melaju tiada henti, hingga kita terperangah setelah melihat realitas bahwa kompetensi out-come kita sangat tertinggal dari Negara lain. Sehingga kita menjadi bosan mendengar laporan penelitian LSM dalam/luar negeri tentang keterpurukan ini.

Mulailah kita merangkak menuju pengentasa keterpurukan dengan memberlakukan KBK, yang mendasarkan sistim pendidikan pada kompetensi peserta didik. Kompetensi yang diharapkan diabsorbsi setiap peserta didik adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus akan memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. KBK merupakan pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education).

Dengan pendekatan standard kompetensi inilah seorang peserta didik mampu mewadahi semua bahan ajar secara tuntas hingga terefleksi pada triangulasi komponen pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dengan cara mengoptimalkan daya dukung yang dimilikinya. Hal ini karena peran sang pendidik bukan lagi sebagai sumber bahan ajar, tetapi lebih berhasil guna hanya sebagai fasilitator.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Menyematkan NILAI DASAR Pada PENDIDIK

Berapa banyak sudah pembinaan yang disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua upaya tersebut difokuskan untuk pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000 terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi. Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai vital, adalahnilai yang meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik, apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong jaman.