Sabtu, 14 Agustus 2010

Menyematkan NILAI DASAR Pada PENDIDIK

Berapa banyak sudah pembinaan yang disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua upaya tersebut difokuskan untuk pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000 terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi. Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai vital, adalahnilai yang meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik, apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong jaman.

Penerapan ROMADHON Terhadap MORALITAS KITA

Keterpurukan multidimensional yang melanda sebuah masyarakat di belahan bumi manapun tentunya akrab dengan “fitur masyarakat yang meradang”, lantaran sebuah kekecewaan yang menghinggapi kehidupan masyarakat tersebut. Dinamika fenomena tersebut memang wajar lantaran disebabkan fluktuasi berbagai sisi sosiologis suatu masyarakat dalam upaya mencapai tujuan hidup bersama. Sisi inilah yang meng-grassrote berbagai tindak amoralitas bangsa ini, seperti maraknya kasus bunuh diri, korupsi yang membudaya, pembunuhan dan penjualan bayi/anak-anak, miras oplosan yang membawa maut, serta pesta huru-hara kala tim kesebelasannya main baik kalah atau menang.

Apabila kita tidak sigap dalam membumikan penyebab utama pergeseran sikap mental masyarakat kita, tentu akan menggulirkan bentuk jadi diri baru yang berbeda dengan jati diri bangsa yang disematkan oleh leluhur kita selama berabad-abad.

Namun sebuah kontroversi telah merebak ke permukaan public tentang banyaknya oknum petinggi Negara, baik didaerah maupun di pusat telah sibuk membenahi diri sendiri dengan label “hedonisme” yang tak kunjung padam. Padahal harapan kita bahwa mereka mampui menjadi sentral figur dalam aspek pembinaan, tetapi kenyataan telah mengesan jauh panggang dari api. Bahkan perilaku mereka barangkali saja lebih jauh ,mampu merefleksikan merosotnya rasa nasionalisme lapisan grassrote.

Fenomena inilah yang direkomendasikan tidak membuat pergeseran karakter kita semua. Lantas apa yang mampu kita perbuat untuk memberikan kontribusi pada penyejukan masyarakat dan Negara. Bagi saudara kita yang beragama Islam tentu telah mengenal konsep aqidah, jauh sebelum masyarakat Indonesia meradang mengumbar angkara, tepatnya sejak 143i tahun lalu, yaitu turunya perintah wajib Ibadah Puasa, sebagai suatu bentuk “cooling sistym” ( sistim pendingin/penyejuk) bagi jiwa yang liar, tanpa air dingin pelepas dahaga.

Hal ini karena secara mendasar bahwa Puasa dalam agama Islam (ᚢaum) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan perilaku yang merupakan cerminan dari hasil kekotoran jiwa setiap insan termasuk hal yang membatalkan piuasa . Dengan demikian pasa adalah “training sistym” bagi jiwa sehingga mampu menahan berbagai bentuk nafsu .
Dalam keadaan yang menghamba lahir batin itu, kita diperintahkan untuk memberikan kepedulian yang lebih kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan, seperti kaum papa, anak yatim dan bentuk kepedulian social lainnya. Akankah kita biarkan saja bila menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun 2010 ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Diketahui pula bahwa sebanyak 155,965 anak kitya sekarang telah berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta anak kita menjadi pekerja di bawah umur yang menjadisasaran empuk perdagangan anak. Fenomena ini sangat menyayat hati bila kita mencermatikenyataan bahwa berdasarkan data Depdiknas tahun ajaran 2007 yang lalu, terdapat 1.039.067 anak usia sekolah harus meninggalkan bangku sekolah, ini sangat memprihatinkan. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah mengingat kita belum berhasil bangkit dari keterpurukan.



Kepeduilian kita bersama terhadap esama telah berfungsi sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat madani, yang hingga kini hanya merupakan cita-cita kita bersama tanpa mengetahui kapan akan terealisir. Bukankah perintah pusa turun di Kota Madinah., yang kala itu terkondisikan ummat islam baru saja hijrah dari Mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan”.. Dengan tempaan ibadah puasa terlihatlah sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah.

Dari contoh di atas kita telah menemukan suatu “prototype masyarakat” yang dahulunya bermoral biadab kemudian berangsur menjadi masyarakat yang bersosiologis indah, hingga kini kita belum mampu melihat prototype lainnya dari jaman ke jaman.

Dengan hikmah puasa inilah kita mampu menghindari dari berbagai konflik yang sekarang menjadi sarapan ke dua Masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan kesejukan jiwa yang terkipasi pengamalan puasa yang inten dalam benak hati setiap insane yang berpuasa, merefleksikan hasrat untuk menyelesaikan tiap konflik yang menggelora pada diri insane/masyarakat yang berpuasa, dengan penyelesaian yang sejuk, adil dan transparan.

Menurut Riri Satria dalam Tingkat Penyelesaian Konflik ( 2008 ) penyelesaian konflik yang paling rendah adalah dengan kekerasan. Siapa yang memiliki kekuatan akan memenangkan konflik. Ini terjadi di semua strata sosial masyarakat. Pihak yang kalah akan mundur dari gelanggang pusat konflik. Pada bentuk penyelesaian ini, hukum, peraturan, regulasi, atau apapun namanya, sudah tidak diperhatikan lagi, dan yang menjadi acuan utama adalah kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Pada strata sosial yang kelas bawah, misalnya, gerombolan preman yang memperebutkan lahan parkir. Strata sosial yang lebih tinggi adalah penggunaan kekerasan oleh debt collector untuk menagih hutang. Tingkatan yang paling tinggi untuk hal seperti ini tentu adalah konflik bersenjata yang melibatkan militer antar negara. Konflik seperti ini akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang sedikit lebih tinggi, sudah memperhatikan hukum, peraturan, atau regulasi (apapun lah namanya). Tetapi penyelesaian konflik dilakukan dengan “memperdebatkan” aturan main yang ada dalam hukum, peraturan, atau regulasi tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan melibatkan institusi formal, misalnya pengadilan, lembaga arbitrase, dan sejenisnya. Intinya adalah, hukum, peraturan, regulasi, menjadi acuan dan sangat diperhatikan, tetapi terjadi “perdebatan” dan mungkin bahkan “mensiasati”-nya. Nah, mereka yang memang dalam konflik tentu mereka yang “pintar mensiasati” hukum. Ini juga akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang lebih tinggi adalah dengan musyawarah, negosiasi, atau apapun namanya, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara semua pihak. Kesepakatan itu bisa berbentuk perjanjian, dan pada tingkat yang lebih tinggi, kesepakatan itu bisa berupa suatu bentuk regulasi baru dalam suatu negara, atau perjanjian antar negara, atau resolusi PBB (pada tingkat internasional). Tetapi ini belum tentu membawa kepada situasi win-win solution. Kalau kesepakatan dibuat secara musyawarah mufakat dan disetujui oleh semua pihak, maka situasinya kemungkinan adalah win-win solution (dengan syarat semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam musyawarah tersebut, jika tidak bakal ada yang kena loose). Tetapi jika diputuskan melalui voting, maka situasinya pasti akan berakhir dengan win-loose.
Inilah salah satu hikmah Ibadah Puasa yang mampu mensyiratkan pembentukan karakter suatu ,masyarakat apabila kita melakukan ibdah tersebut dengan tuntutan yang baik menurut Aqidah Agama Islam ( Dari berbagai sumber).