Sabtu, 14 Agustus 2010

Penerapan ROMADHON Terhadap MORALITAS KITA

Keterpurukan multidimensional yang melanda sebuah masyarakat di belahan bumi manapun tentunya akrab dengan “fitur masyarakat yang meradang”, lantaran sebuah kekecewaan yang menghinggapi kehidupan masyarakat tersebut. Dinamika fenomena tersebut memang wajar lantaran disebabkan fluktuasi berbagai sisi sosiologis suatu masyarakat dalam upaya mencapai tujuan hidup bersama. Sisi inilah yang meng-grassrote berbagai tindak amoralitas bangsa ini, seperti maraknya kasus bunuh diri, korupsi yang membudaya, pembunuhan dan penjualan bayi/anak-anak, miras oplosan yang membawa maut, serta pesta huru-hara kala tim kesebelasannya main baik kalah atau menang.

Apabila kita tidak sigap dalam membumikan penyebab utama pergeseran sikap mental masyarakat kita, tentu akan menggulirkan bentuk jadi diri baru yang berbeda dengan jati diri bangsa yang disematkan oleh leluhur kita selama berabad-abad.

Namun sebuah kontroversi telah merebak ke permukaan public tentang banyaknya oknum petinggi Negara, baik didaerah maupun di pusat telah sibuk membenahi diri sendiri dengan label “hedonisme” yang tak kunjung padam. Padahal harapan kita bahwa mereka mampui menjadi sentral figur dalam aspek pembinaan, tetapi kenyataan telah mengesan jauh panggang dari api. Bahkan perilaku mereka barangkali saja lebih jauh ,mampu merefleksikan merosotnya rasa nasionalisme lapisan grassrote.

Fenomena inilah yang direkomendasikan tidak membuat pergeseran karakter kita semua. Lantas apa yang mampu kita perbuat untuk memberikan kontribusi pada penyejukan masyarakat dan Negara. Bagi saudara kita yang beragama Islam tentu telah mengenal konsep aqidah, jauh sebelum masyarakat Indonesia meradang mengumbar angkara, tepatnya sejak 143i tahun lalu, yaitu turunya perintah wajib Ibadah Puasa, sebagai suatu bentuk “cooling sistym” ( sistim pendingin/penyejuk) bagi jiwa yang liar, tanpa air dingin pelepas dahaga.

Hal ini karena secara mendasar bahwa Puasa dalam agama Islam (ᚢaum) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan perilaku yang merupakan cerminan dari hasil kekotoran jiwa setiap insan termasuk hal yang membatalkan piuasa . Dengan demikian pasa adalah “training sistym” bagi jiwa sehingga mampu menahan berbagai bentuk nafsu .
Dalam keadaan yang menghamba lahir batin itu, kita diperintahkan untuk memberikan kepedulian yang lebih kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan, seperti kaum papa, anak yatim dan bentuk kepedulian social lainnya. Akankah kita biarkan saja bila menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun 2010 ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Diketahui pula bahwa sebanyak 155,965 anak kitya sekarang telah berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta anak kita menjadi pekerja di bawah umur yang menjadisasaran empuk perdagangan anak. Fenomena ini sangat menyayat hati bila kita mencermatikenyataan bahwa berdasarkan data Depdiknas tahun ajaran 2007 yang lalu, terdapat 1.039.067 anak usia sekolah harus meninggalkan bangku sekolah, ini sangat memprihatinkan. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah mengingat kita belum berhasil bangkit dari keterpurukan.



Kepeduilian kita bersama terhadap esama telah berfungsi sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat madani, yang hingga kini hanya merupakan cita-cita kita bersama tanpa mengetahui kapan akan terealisir. Bukankah perintah pusa turun di Kota Madinah., yang kala itu terkondisikan ummat islam baru saja hijrah dari Mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan”.. Dengan tempaan ibadah puasa terlihatlah sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah.

Dari contoh di atas kita telah menemukan suatu “prototype masyarakat” yang dahulunya bermoral biadab kemudian berangsur menjadi masyarakat yang bersosiologis indah, hingga kini kita belum mampu melihat prototype lainnya dari jaman ke jaman.

Dengan hikmah puasa inilah kita mampu menghindari dari berbagai konflik yang sekarang menjadi sarapan ke dua Masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan kesejukan jiwa yang terkipasi pengamalan puasa yang inten dalam benak hati setiap insane yang berpuasa, merefleksikan hasrat untuk menyelesaikan tiap konflik yang menggelora pada diri insane/masyarakat yang berpuasa, dengan penyelesaian yang sejuk, adil dan transparan.

Menurut Riri Satria dalam Tingkat Penyelesaian Konflik ( 2008 ) penyelesaian konflik yang paling rendah adalah dengan kekerasan. Siapa yang memiliki kekuatan akan memenangkan konflik. Ini terjadi di semua strata sosial masyarakat. Pihak yang kalah akan mundur dari gelanggang pusat konflik. Pada bentuk penyelesaian ini, hukum, peraturan, regulasi, atau apapun namanya, sudah tidak diperhatikan lagi, dan yang menjadi acuan utama adalah kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Pada strata sosial yang kelas bawah, misalnya, gerombolan preman yang memperebutkan lahan parkir. Strata sosial yang lebih tinggi adalah penggunaan kekerasan oleh debt collector untuk menagih hutang. Tingkatan yang paling tinggi untuk hal seperti ini tentu adalah konflik bersenjata yang melibatkan militer antar negara. Konflik seperti ini akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang sedikit lebih tinggi, sudah memperhatikan hukum, peraturan, atau regulasi (apapun lah namanya). Tetapi penyelesaian konflik dilakukan dengan “memperdebatkan” aturan main yang ada dalam hukum, peraturan, atau regulasi tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan melibatkan institusi formal, misalnya pengadilan, lembaga arbitrase, dan sejenisnya. Intinya adalah, hukum, peraturan, regulasi, menjadi acuan dan sangat diperhatikan, tetapi terjadi “perdebatan” dan mungkin bahkan “mensiasati”-nya. Nah, mereka yang memang dalam konflik tentu mereka yang “pintar mensiasati” hukum. Ini juga akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang lebih tinggi adalah dengan musyawarah, negosiasi, atau apapun namanya, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara semua pihak. Kesepakatan itu bisa berbentuk perjanjian, dan pada tingkat yang lebih tinggi, kesepakatan itu bisa berupa suatu bentuk regulasi baru dalam suatu negara, atau perjanjian antar negara, atau resolusi PBB (pada tingkat internasional). Tetapi ini belum tentu membawa kepada situasi win-win solution. Kalau kesepakatan dibuat secara musyawarah mufakat dan disetujui oleh semua pihak, maka situasinya kemungkinan adalah win-win solution (dengan syarat semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam musyawarah tersebut, jika tidak bakal ada yang kena loose). Tetapi jika diputuskan melalui voting, maka situasinya pasti akan berakhir dengan win-loose.
Inilah salah satu hikmah Ibadah Puasa yang mampu mensyiratkan pembentukan karakter suatu ,masyarakat apabila kita melakukan ibdah tersebut dengan tuntutan yang baik menurut Aqidah Agama Islam ( Dari berbagai sumber).

Kamis, 12 Agustus 2010

PELIKNYA MEMBIDIK Sekolah Bermutu

Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 ini tentunya akan berbangga hati, sementara orang tua mereka bahkan bertambah pusing tujuh keliling, karena harus bersaing dengan ortu lainnya dalam membidik bangku sekolah yang ideal. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya yang diimpikan.
Tentunya pada bulan Juli tahun ini mereka akan disibukan dengan memilih sekolah SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA untuk meneruskan jenjang pendidikan. Betapa tidak mereka yang lulus UASBN harus memperebutkan sejumlah 43.666 SMP/MTS yang tersebar seluruh tanah air. Begitu juga bagi yang lulus jenjang pendidikan dasar (SMP/MTS) harus bersaing mendapatkan kursi di sejumlah 16.647 SMA/SMK/MA se-Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tidak ada ortu yang menghendaki putranya gagal dalam belajar, maka ortu tersebutpun berusaha semaksimal mungkin dalam mencarikan sekolah favourit untuk putranya, salah satu diantaranya membidik sekolah RSBI, yang sekarang marak berdiri di kota-kota seluruh Indonesia. Namun benarkah RSBI mampu menjamin kompetensi unuk peserta didiknya. Sebuah pertanyaan menyeruak di tengah keraguan publik akan kredibititas sekolah tersebut.
Pada dasarnya RSBI dicanangkan untuk menjemput bola mutu pendidikan yang maksimal, dengan penerapan “pengantar bahasa inggris”, meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Mencermati “nilai plus” sekolah RSBI tersebut, sebenarnya kita sering “salah kaprah”. Karena sekolah tersebut hanya menerapkan pengantar pembelajaran dalan bahasa inggris, namun kurikulum yang digunakan sama dengan sekolah lainnya. Maka dari itu, sebenarnya sekolah ini hanya cocok untuk peserta didik asing yang tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, sebenarnya sekolah-sekolah tertentu tidak perlu memasang label RSBI bila peserta didiknya sebagian besar dari kalangan lokal. Tetapi jauh lebih penting adalah kompetensi peserta didik dikedepankan. Karena dikhawatirkan label tersebut bisa dimanfaakan oleh oknum yang mengeruk pungli yang merugikan orang tua/wali peserta didik.
Wacana tersebut bukan hanya isapan jempol saja, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi A Shomad di Jambi, yang mengatakan bahwa sekolah berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga menjadi peluang bagi pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungli..
Jimly Asshiddiqie Mantan Ketua MA dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ikut berkomentar tentang RSBI yang dianggapnya hanya label berlebihan dari sekolah negeri tersebut, sehingga pada praktiknya menjadi ajang diskriminatif bagi peserta didik yang berduit dan tidak, bahkan yang lebih memprihatinkan terdapat sejumlah sekolah negeri RSBI yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Dengan demikian masihkah kita sebagai orang tua calon peserta didik masih menempatkan pilihan utama pada RSBI.
Adalah tindakan ortu yang bijaksana, bila membidik sekolah negeri selain RSBI untuk pendidikan putranya. Keputusan tersebut memang masuk akal, bila kita menyorot tentang fasilitas factor pendukung pembelajaran di sekolah negeri, tentunya lebih memadai di banding sekolah swasta, meski terdapat sejumlah sekolah swasta favourite yang mengimbangi sekolah negeri. Disamping itu juga jumlah kelas sekolah negeri masih ideal untuik menampung peserta didik baru.
Hingga akhir tahun 2009, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTS, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta.
Namun institusi sekolah negeripun bukan serta merta sebagai sekolah publik yang nota bene milik negara, karena berbeda dengan sekolah negeri pada dekade tahun 80-an, yang justru menjadi dambaan peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu. Karena rendahnya SPP dibanding dengan sekolah swasta, dan tanpa pungutan “uang gedung” atau Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) seperti sekolah negeri dewasa ini, yang terkadang tidak terjangkau oleh peserta didik yang kompeten tapi dari kalangan keluarga tidak mampu. Sehingga apa mau dikata bagi peserta didik yang tidak mampupun harus rela belajar di bangku sekolah swasta.
Namun tidak selama sekolah swasta dianggap sebagai institusi “underdog”, terbukti dari hasil prestasi kelulusan UN 2009 lalu, bahwa nilai rata-rata sekolah swasta lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri. Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo dalam acara jumpa pers 'Hasil Ujian nasional 2008/2009' di Jakarta, Senin (22/6). Untuk tingkat SMA jumlah peserta UN dari sekolah swasta mencapai 905.570 dengan jumlah peserta lulus mencapai 861.539 siswa. Sementara itu, peserta UN dari sekolah negeri mencapai 614.164 siswa, sedangkan yang lulus UN sebanyak 561.089 siswa. Di tingkat SMP peserta UN dari sekolah negeri berjumlah 1.224.661 siswa. Jumlah peserta yang lulus mencapai 1.159.260 siswa. Sebaliknya, dari sekolah swasta berjumlah 2.216.192 peserta, dan yang lulus UN mencapai 2.112.391 siswa.
Meskipun data yang teranalisa diatas hanya data untuk prestasi UN 2009, namun setidak-tidaknya bisa merefleksikan bahwa sistim pembelajaran yang memadai bukan hanya mutlak milik sekolah negeri. Hanya saja memang ortu calon peserta didikpun harus hati-hati dalam memilih sekolah swasta, terutama dari “status sekolah” swasta tersebut berdasar penilaian tim akreditasi Disdikpora atau Kementrian Agama yang membina sekolah tersebut, proses kontinyuitas Kegiatan Belajar Mengajar dan ketahanan sekolah. Sebab tidak menutup kemungkinan masih adanya sejumlah sekolah swasta yang mengabaikan masalah tersebut, seperti yang berlangsung di
sejumlah sekolah menengah atas (SMA) swasta di wilayah DKI yang terancam ditutup karena 100% siswanya tidak lulus ujian nasional (UN).
Sekolah yang bermasalah tersebut, terdiri dari 10 SMA, dan tiga SMK. Total peserta yang tidak lulus dalam sekolah tersebut adalah 138 orang.