Minggu, 07 Februari 2010

REVOLUSI PENDIDIKAN



Revolusi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang disusun Boediono MA ( 2005 ) berarti suatu perubahan dalam waktu singkat untuk hal - hal yang mendasar. Perubahan tersebut tidak serta merta berlangsung secara gradually tetapi berlangsung cepat dan stimultan karena dilahirkan oleh simpatisan yang bersikap radiikal, pragmatis sekaligus revolusioner dan sudah barang tentu sesuatu yang diusung dalam revolusi tersebut telah diterima di tengah masyarakat umum. Yang pada gilirannya nanti revolusi tersebut berhasl memberikan pencerahan terhadap[ masyarakat yang mendownloadnya.  
Revolusi biasanya lebih tepat diterapkan untuk ideologi suatu bangsa dengan didukung oleh situasi dan kondisi yang memungkinkan. Sehingga tentu saja masyarakat akan mudah menerima tatanan yang baru dan tanpa ekses apapun meninggalkan tatanan yang telah dianggap usang. Namun demikian revolusi juga bisa berlangsung di bidang selain sebuah ideologi negara, contoh Revolusi Tehnologi Informatika dan Komputer ( T I K ) yang menelikung semua aspek kehidupan umat manusia dari aspek informasi. Barang siapa yang tidak mematuhi revolusi di bidang computer ini akan hanyut didera ketertinggalan. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan moral bila semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu berusaha mengantisipasi inovasi yang diusung sebuah revolusi.Sebagai contoh revolusi di bidang T I K yang melanda Korea Selatan sebagai negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996..

Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB(2005).

Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadikan Korea Selatan sebagai negara yang memiliki perekonomian yang jauh lebih kuat di banding masa sebelumnya. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Dunia Pendidikan Indonesia dewasa ini seperti yang dilansir oleh banyak media telah banyak mendapat sorotan pemerhati dari luar negeri perihal kemerosotannya. Hal ini pun telah diakui oleh segenap pakar pedagogis kita dan masyarakat umum.

Sorotan tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara.

Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah.

Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, dan Thailand ( Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 )/

Tentu saja hal ini harus dicermati dengan sigap dan sistimatis guna mengentaskan kembali sistim yang terpuruk ini, dengan mengacu pada pembenahan nilai-nilai fundamental dunia pendidikan, yang meliputi peran pendidik, kurikulum dan bahan ajar yang memadai.

Perubahan yang diharapkan agar tercapai perubahan yang stimultan , terintegrasi dan mengenai sasaran, tentunya bukan perubahan yang tersegmentasi hanya pada satu konstituen. Apalagi dengan tuntutan jaman yang tidak memungkinkan dipertahankannya Sistim Pendidikan Nasional yang terdahulu, maka perubahan yang mendasar dan emergensi inilah yang kita harapkan.

Memandang urgensi yang vital tersebut, maka perubahan di bidang pendidikan di Indonesia ini haruslah dilakukan dalam naungan sebuah revolusi pendidikan, sebagai jawaban yang final. Guna menghandling pesatnya perubahan segala bidang yang mendera masyarakat Indonesia yang menapaki era modernisasi. Apabila perubahan yang kita niatkan tidak secepatnya dikonsep dan direalisasikan, maka dikhawatirkan semakin lebarnya ketertinggalan sistim pendidikan dalam kaitanya dengan pembekalan peserta didik dan modernisasi multidimensional pada masyarakat tersebut Tentu saja revolusi ini dilakukan dengan totalitas , konsep yang matang dan alokasi dana dari APBN yang besar.

 Tantangan Berat untuk Sebuah Revolusi

Sebuah tugas yang berat rupanya menghadang para penyelenggara / pengambil kebijakan sistim pendidikan nasional karena beberapa kendala prinsip, yaitu masih banyaknya sekolah yang masih harus mendapatkan perhatian serius, sebagai contoh adalah keadaan madrasah di Jawa Tengah sesuai dengan pernyataan Staf Ahli Pusat Penjamin Mutu Pendidikan IAIN Walisingo Dr. Muhyar Fanani MAg, pada even Seminar Menghi8dupkan Sistem Penjamin Mutu Internal Madrasah yang digelar oleh M P3 A Jateng, mengungkapkan bahwa sebanyak 5.156 dari sejumlah 5,445 madrasah di Jawa Tengah ( 94 , 6 9 % ) yang berstatus swasta yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ditambah lagi sejumlah 57.639 guru ( 83,37 % ) memperoleh kesejahteraan yang minim.

Apalagi adanya sebuah fakta yang harus kita terima berhubungan dengan pendidikan formal para pendidik yang masih belum memenuhi ketemtuam Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran adalah guru profesional dan harus memiliki standar akademik minimal S1 atau D IV . Fakta tersebut terungkap sesuai dengan pernyataan

Kasubid Penghargaan dan Perlindungan Guru Ditjen PMPTK , Dian Mahsunah yang mengatakan bahwa saat ini, total ada 2 .374.722 jumlah guru yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, baru 930.804 guru yang berpendidikan S 1, 16.196 bergelar S 2 dan hanya 55 yang memegang ijazah S3.. Sisanya belum bergelar sarjana. Yang memprihatinkan, jumlah guru lulusan SPG atau SMA cukup banyak, yaitu sejumlah 477.039 guru.

Dengan mengkaji sebreg kendala tersebut ditas, bilakah sebuah revolusi bisa digulirkan. Pertanyaan ini tentunya bukan untuk dijawab sekarang, tapi segenap kinerja yang tertata apik, sistematis, intensif dan dengan selalu menibatkan pemberdayaan institusi yang berkompeten di revolusi tersebut. Apabila kita masih intend dengan niatan itu , tentu saja revolusi mampu bergulir terarah dan mampu sampai ke tujuan.

 Revolusi mulai Digulirkan 
Bergulirnya Revolusi Pendidikan diawali dengan diterapkannya KBK / KTSP 2007, sebagai suatu kurikulum yang lebih fleksibel diterapkan secara kondisional di masing – masing satuan pendidikan. Sehingga seorang pendidik yang professional akan menyodorkan bahan ajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didiknya, kondisi sekolah dan lingkungannya. Untuk itu peserta didik diberi kewenangan yang luas untuk menyusun silabus sebagai salah satu instrument pembelajarannya. Dengan penyusunan silabus yang kondisional tersebut, diharapkan seoran pendidik mampu mendayagunakan lingkungan sekolahnya sebagai media pembelajarannya.

Perubahan besar – besaran dan mendasar di bidang pendidikan memang nampaknya sudah tidak man-main lagi bila kita proyeksikan terhadap hasil guna generasi mendatang. Terbukti dengan dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2003, yang telah mengamanatkan untuk mengalokasikan 20 % dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20 % ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6 %. Tahun 2005,jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29 % dan tahun 2006, rencananya akan dialokasikan 12,01 %, 14,60 %untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sector pendidikan akan menjadi 17,40 % dan 20,10

Salah satu pengalokasian dana pendidikan seperti tersebut diatas adalah realisasi program sertifikasi guru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifkasi Guru dalam Jabatan, yang mengatur lebih lanjut tentang upaya profesionalisasi guru.

Dengan demikian Revolusi Pendidikan yang dilakukan Bangsa Indonesia diharapkan akan terwujud. Sehingga upaya pencetakan generasi anak bangsa di masa mendatang yang kompeten di bdangnya akan sanggup memajukan negara dan bangsa ini.

Selasa, 02 Februari 2010

URGENSI ETIKA MORAL UNTUK MASYARAKAT KITA


      Belum hilang betul  dari ingatan kita  tentang ulah Bonek  pendukung   Persebaya  yang  merepotkan semua pihak  di atas Kereta Pasundan Jurusan Bandung – Surabaya  pp ,  di Bulan  Januari  tahun ini. Kini kembali potret  sosial yang berupa  sebuah erosi moral yang melanda  masyarakat umum  terjadi  di Semarang .
       Seperti diketahui bahwa  baru saja  beberapa hari yang lalu  sebuah tragedi  yang  memprihatinkan  kembali menggugah  hati  kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita.  Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita,  pertanda  munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak,  lantaran dendam kesumat Th 2005  lalu, ketika supporter  PSIS Semarang diserang oleh Suporter Persijap  Jepara  kini dendam  itu  dilampiaskan  dengan  brutal di Semarang  Sabtu  30 Januari 2010.
     Tak pelak lagi sebanyak  18 Suporter Laskar Kalinyamatpun  menjadi korban luka cukup serius,  lantaran bus yang mereka  tumpangi di cegat di  Jalan Siliwangi  oleh rausan Suporter PSIS,  bahkan pada kejadian tersebut banyak pula yang dirugikan secara material akibat penjarahan barang berharga.  Bukankah ini bisa dijadikan tolak ukur bahwa  konflik antara simpatisan tersebut  sudah bukan lagi sebuah fanatisme apalagi sebuah sportifitas.  Lantas  apa yang dapat kita perbuat, apabila konflik ini terus akan menimbulkan korban, atau lebih jauh lagi meresahkan masyarakat.
      Konflik  antar simpatisan tersebut sebaiknya secara  bijak   kita urai  mulai dari  struktur  suporter yang terlibat, guna mengetahui segmentasi mana yang paling mendominasi  perusuh tersebut.  Hal ini disebabkan karena  kita belum pernah melakukan penelitian mengenai komposisi para  bonek yang berada di setiap kota yang menjadi potensi konflik supporter  tersebut. Secara sepintas  berdasarkan pengamatan  dari berbagai media terlihat jelas bahwa  kelompok yang mendominasi   simpatisan klub bola, adalah  remaja.  Bahkan beberapa diantaranya atau bahkan  paling banyak adalah dari kalangan pelajar.
      Dengan  demikian  dapat  kita dapatkan solusi komprehensif  khusus untuk  segmen pelajar . Solusi  tersebut adalah  pembinaan  sikap mental yangh lebih intensif  di masing – masing satuan pendidikan (  sekolah ).  Sebab salah satu fungsi  satuan pendidikan  bagi peserta didik  adalah  penanaman sikap mental yang utuh.  Sikap mental tersebut tentu saja akan  terbina  dengan sendirinya ,  apabila peserta didik  aktif dalam bersosialisasi dengan teman, guru , orang  tua  serta  masyarakat di luar jam sekolah.
      Apabila  seorang pelajar  melakukan konflik yang  tak terpuji maka  penetrasi sikap mental, baik  penetrasi dari  sekolah,  orang tua maupun masyarakat  pergaulannya  tetal gagal. Namun alangkah baiknya  bila kita secara bijak tidak menyalahkan peran mereka satu persatu. Hanya saja  penanaman sikap mental peserta didik di lembaga sekolah, adalah yang  paling formal dengan kemasan pedogogik yang ilmiah.  Sehingga agar terjadi pembinaan yang menyeluruh terhadap perkembangan  jiwa seorang peserta didik, sekolahlah yang  paling dahulu   dituding.
      Namun masalah in menjadi lebih pelik lagi bila para supporter  yang  mengalami konflik ini  adalah berasal dari kalangan  umum,   tentulah harus dilakukan  pencerahan moralitas yang lebih kompleks.  Hal ini bisa dimengerti lantaran  apabila seorang suporter sejati yang menaruh simpatik  terhadap kesebelasannya tentulah  akan bersifat sportif. Karena  apapun alasannya, sehebat apaun sebuah kesebelasan pastilah  pernah mengalami kegagalan, dan sudah barang  tentu  bagi seorang suporter yang sejati sikap sportifitaslah yang harus dikedepankan.
     Dengan demikian tabiat  menyerang suporter  lawan tanding kesebelasan pujaannya, adalah bukan sikap seorang suporter yang sebenarnya. Sikap tersebut lebih kentara  dapat dilihat dari aspek pelampiasan  aspek-aspek  yang menjadi potensi laten  ketimbang sebuah sikap fanatisme. Dengan alasan seperti ini, maka sudah barang tentu bagi  instisitusi yang berkepentingan dengan  masalah tersebut  haruslah segera dengan sigap menentukan metodologi penyelesaian sosial untuk merampungkan masalah ini  agar tidak terulang lagi.
      Masalah  kenakalan remaja ataupun konflik seperti tersebut di atas adalah hal yang memang harus dituntaskan. Sebab masalah ini   bisa menjalar ke bentuk lainnya, yang bisa merusak  kererasian anak bangsa dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara,  karena sebenarnya masalah in adalah masalah yang sudah menyentuh moralitas sebuah  masyarakat. Apabila moralitas yang  dari jaman nenek moyang kita  telah dipelihara  dan disakralkan,   bisa mengalami  degradesi  menjadi sesuatu yang tidak berharga  dan pada gilirannya nanti akan hancurlah sebuah tatanan sosial.
     Ataukah memang  telah  terjadi  di tengah  kita  sebuah generasi yang tersisih dari  perubahan sosial masyarakat Indonesia  yang sangat  pesat di  era globalisasi  ini,  sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia.  Karena pada era  sekarang  tidak  ada satupun masyarakat   yang mampu  menghindar  dari  globalisasi  multidimentional,   Namun dengan mahalnya  pendidikan baik negeri maupun swasta,  maka  baringkali saja masih banyak  anak bangsa  ini  yang  tidak mampu mengenyam  pendidikan yang memadai,  atau  menjadi  generasi  yang  tidak memiliki ketrampilan  dan kesempatan kerja
     Apabila kondisi telah mencapai demikian maka  terjadilah pelapisan sosial   yang dilengkpi dengan menumpuknya  jumlah pemuda / remaja  yang  tidak memiliki strata pendidkan   memadai sekaligus  tidak memiliki keahlian khusus,  yang menumpuk di  lapisan  paling bawah.  Kelompok sosial  inilah  yang  rentan terhadap potensial konflik.
     Apalagi di  era reformasi  ini,   saat masyarakat banyak  diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin  nasional  yang banyak menyelewerngkan jabatan demi  kepuasan pribadi. Maka  secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa kita, bahkan  dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik  di  atas sana  menambah  penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.  Padahal  moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan  memberikan kontribusi nyata  dalam membentuk  jati diri bangsa.
     Bukankah jati diri inilah yang  berhasil menyatukan semua budaya , suku  bangsa dan etnis dalam satu  susunan  Negara Kesatuan  Republik Indonesia  yang  termasuk bangsa yang   multiculture   dan  terkenal sebagai bangsa  yang   santun.