Rabu, 17 November 2010

Pembelajaran Untuk Generasi Facebook

Pendidikan adalah sesuatu yang bersifat fitroh, karena pendidikan adalah kebutuhan essensi yang dibutuhkan oleh menusia di tengah peradaban dari jaman prasejarah hingga jaman modern ini. Sepanjang perkembangan peradaban itu, manusia mengenal pendidikan dengan metoda pembelajaran yang bervariasi, sesuai struktur sosial yang memusarinya. Sistim pendidikan kala itu semata untuk membekali mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi satu dengan lainnya untuk menggapai dinamika kehidupan masyarakat mereka.

Dengan bekal pembelajaran social yang akurat, cermat dan bersinergi tinggi, maka pada jaman apapun akan mampu membentuk masyarakat yang berfitur sosiologis yang baik. Lantas bagaimana dengan pendidikan modern, yang dilangsungan di tengah era tehnologi informasi dan komunikasi yang super canggih, seperti misalnya penggunaan aplikasi facebook untuk sebagian besar masyarakat kita, yang sudah terlanjur menggandrungi facebook tersebut sebagai alat komunikasi.

Khusus untuk penunjang sistim komunikasi ini, semakin canggih, efisien, cepat serta murah, semakin pula banyak “ekses negatip” yang ditimbulkan. . Sistim informasi dan komunikasi tersebut adalah “situs pertemanan facebook”. Sebagai sistim yang banyak menarik kegandrungan masyarakat dunia terlebih-lebih bagi facebooker remaja kita (sebesar 40,1 % dari seluruh facebooker).

Begitu kuatnya facebook berhasil menyihir hati kita semua, terbukti bahwa masyarakat pengguna sistim ini, menurut survey pada tahun 2009 berjumlah mencapai 235 juta penduduk dunia ( hampir menyamai penduduk USA). Bahkan lebih mengejutkan lagi, memasuki tahun 2010 ini,pengguna facebooker telah tembus hingga mencapai setengah milyar masyarakat dunia, dengan jumlah “log in” aktif sebesar 50 % dari keseluruhan facebooker dan 70 % diantaranya adalah facebnooker dari luar Amerika. Jumlah tersebur bervariasi lintas gender, remaja hingga orang dewasa dengan tidak memandang jenis profesi. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa facebook, bakal menjadi sistim komunikasi dan informasi yang membentang menembus tembok budaya, bahasa, geografis, kedaulatan negara serta perdaban social seantero bumi ini.

Dengan jumlah facebooker yang mencapai hamper 23 juta maka diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Memang perlu kita waspadai bahwa semenjak Masyarakat Indonesia mengenal telepon seluler, kemudian internet dan terakhir adalah facebooke, sedikit banyaknya sistim tersebut telah mengubah perilaku mereka. Betapa tidak, mereka ibaratnya telah menjadi bagian masyarakat yang tidak lagi interaktif dan komunikatif dengan lingkungan sosialnya dan pada gilirannya nanti bakalan menjadi masyarakat dengan fitur sosial yang
tanpa kepedulian sesama, pengaruh ini sudah barang tentu akan signifikan terhadap remaja. Karena mereka hanya bersedia berinteraksi dengan komunitasnya yang berada dalam satu sistim.

Masalah lain yang juga patut kita waspadai adalah semakin mudahnya remaja kita mengakses situs porno yang belum relevan dengan perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu kita menjadi prihatin dengan data yang disodorkan Okanegara dalam “Kehidupan Remaja Saat Ini” (2007) bahwa jumlah remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah? Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya?.

Lantas kitapun berpikir, apakah pengaruh aplikasi dunia maya tersebut sangat signifikan terhadap ambruknya moralitas remaja kita. Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan bijak , karena tehnologi aplikasi tersebut semata mata dirancang untuk kesejahteraan umat manusia, begiotu juga dengan tehnologi lainnya. Maka untuk menyematkan dunia remaja dari ekses negatif, maka kita perlu meningkatkan peran faktor pendukung sistim pendidikan, yaitu sekolah, orang tua wali dan masyaakat yang lebih ketat lagi.

Sabtu, 13 November 2010

Pendidik Masa Depan

Bangsa Indonesia yang telah berusia 65 tahun, dewasa ini sudah tidak mampu lagi memungkiri tentang tantangan yang dihadapinya di tengan peradaban dunia yang maju di semua bidang. Tantangan yang paling essensi yang harus dibenahi dalam menjawab tantangan ini, adalah penyiapan generasi muda “peserta didik yang duduk di bangku sekolah” yang penuh inovatif, informatif serta berakhlak baik. Raihan prestasi ini tentu saja melalui proses yang pelik, terencana dan terpadu serta berkesinambungan yang diusung oleh semua pihak yang berkecimpung dalam pendidikan di Indonesia. Terutama fungsi dan peran guru sebagai pendidik professional, tentunya yang paling terdepan dalam perjalanan panjang melahirkan generasi dambaan kita.

Berbicara mengenai pendidik tentu saja focus utama yang kita soroti adalah pembelajaran berbagai hal yang disodorkan kepada peserta didik. Karena aspek inilah yang dapat dijadikan penunjang utama kompetensi siswa dalam berbagai hal. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Lantas bagaimana sinergi pendidik yang handal dalam memberikan pembelajaran di era globalisasi ini. Pertanyaan ini tentunya menyangkut semua aspek yang melekat pada diri pendidik yang harus disiapkan secara matang, menyangkut bahan ajar, model pembelajaran dan pengetahuan umum yang luas yang harus dimilki sang pendidik. Ibarat seorang konsultan berbagai hal, yang siap memberi solusi kepada peserta didik yang dibimbingnya. Peran seperti itulah yang menjadi jawaban tentang peran ideal pendidik.

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah menengah atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat. Selain itu peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah atas sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saja meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu menguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.