Adalah tidak mungkin begitu saja setelah menjadi institusi pendidikan yang dimarginalkan selama 32 tahun oleh Orde Baru, sejumlah 40.848 madrasah yang menyodorkan pembelajaran untuk siswa sekitar 6 juta anak akan menuai prestasi yang memadai. Dengan jumlah siswa sebesar tersebut di atas sudah barang tentu akan mengakibatkan rendahnya kinerja pendidikan. Hal ini diakui oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang membeberkan sebuah kesan, bahwa selama ini madrasah telah dianak tirikan dalam sistim pendidikan nasional. Bila kondisi madrasah yang dianaktirikan tersebut tetap berlangsung dari waktu ke waktu, bukankah ini sama saja dengan praktek diskriminasi pendidikan yang diusung oleh sistem kolonial oleh kita terhadap bangsa kita sendiri.
Sebuah langkah sigap dari Kementrian Agama dalam memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan madrasah dengan pembelajaran yang dikemas sebagai program unggulan segera perlu dikedepankan, untuk menggapai azas berkeadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama untuk setiap warga Negara, termasuk peserta didik yang belajar pada sebuah madrasah. Langkah ini telah ditempuh oleh Depag dengan program pengucuran dana Block Grant untuk 500 madrasah yang tersebar di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah dana bervariasi dari Rp 100 juta hingga Rp 1 milyar, pada tahun pembelajaran 2009/2010 silam. Dana bantuan tersebut tentu saja harus memotivasi semua penyelenggara pendidikan di madrasah tersebut dalam bentuk kontrak prestasi, guna meraih prestasi madrasah unggulan.
Namun masalah lainyapun timbul bila inefisiensi dana tersebut terjadi di madrasah penerima dana tersebut, terutama dalam hal penentuan skala prioritas program pemacu kemauan madrasahnya. Lantaran dalam waktu yang relatif pendek, yaitu hanya satu tahun pembelajaran sebuah raihan madrasah berprestasi harus sudah diusung. Padahal kemajuan sebuah satuan pendidikan dapat diraih, bila semua komponen yang berperan dalam pembelajaran harus mampu secara stimultan mengusungnya, beberapa diantaranya adalah kompetensi pendidik terhadap bahan ajar, model pembelajaran, disiplin dan sikap mental pendidik lainnya yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didik.
Bahkan aktifitas peserta didikpun harus pula dibidik dengan jeli, termasuk kemauan belajar, motivasi belajar, kehadiran dan positif altitude lainnya yang harus dimiliki peserta didik guna memperoleh kompetensi yang memadai, disamping pengadaan fasilitas penunjang lainya (laboratorium multimedia, laboratorium IPA, peraga dan lain sebagainya).
Sebagian besar madrasah menyematkan majunya pembelajaran hanya dengan komputerisasi sebagai simbol modernisasi, yang penggunaanya belum menyentuh kebutuhan peserta didik yang mendasar. Sehingga penerapan TIK (tehnologi komputer dan informatika) hanyalah sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya apabila TIK difungsikan secara proposional dalam fungsinya sebagai media peraga, sumber bahan ajar (internet), maka tentu saja mutu kualitas peserta didik yang handal bakal diraih. Namun fungsi ini belum maksimal diberdayakan. Terbukti masih banyaknya tenaga pendidik yang belum memiliki lap top, masih enggan membuka internet untuk menggali bahan ajar. Dengan masih banyaknya kasus kasus tersebut, maka sebaiknya madrasah yang telah dikucuri dana Block Grant tersebut haruslah sigap dalam mendayakan fungsi TIK tersebut, sehingga mampu menyihir peserta didik untuik getol meraih kompetensi.
Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementrian Agama melakukan evaluasi yang mendasar dan komprehensif tentang efisiensi penggunaan dana tersebut, menyangkut penerapan skala prioritas, proporsi pelatihan antara peserta didik dan pendidik yang seringkali berat sebelah lebih mengutamakan pelatihan pendidik, serta penyelidikan mengenai penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga hasil evaluasi Kementrian Agama tersebut dapat dijadikan acuan bagi madrasah madrasah lainya yang belum menerima giliran terkucuri dana Block Grant. Secara praktis apabila peserta didik belum bergairah dalam menggapai kompetensi bahan ajar, tingkat ketidakhadiran peserta didik belum berubah secara signifikan, kedisiplinan semua penyelenggara pendidikan masih dibawah standar, maka dana Block Grant tersebut belum diberdayakan dengan baik.
Jumat, 05 November 2010
Sabtu, 23 Oktober 2010
GERAKAN PRAMUKA Yang Terabaikan
Kedisiplinan, tanggung jawab, kokohnya budaya malu, sikap menghargai waktu dan diri sendiri, patuh terhadap orang tua, guru di sekolah dan orang lain serta rasa cinta tanah air dan sesama, adalah sikap yang harus terinternalisasikan kepada masing masing anak bangsa sedini mungkin bila kita mengharapkan terjadiya perubahan mendasar pada sebuah generasi di masa depan. Sehingga pergeseran nilai sosial yang diusung generasi sekarang tidak serta merta mengalami deviasi lebih parah lagi, yang justru menjadi stimulus negative generasi mendatang.
Apalagi dengan usungan lebih specifik lagi yang menjadi karakterisitk generasi reformasi ini dibanding generasi sebelumnya. Karakteristik ini memang lahir sebagai respon negatif dari peradaban modern yang bercirikan tampilan tehnologi informatika dan computer, dalam specifikasi konsumsi facebook, twitter dan Hp. Deviasi terhadap nilai dasar yang bakal melanda generasi muda memang diambang pintu, bila kita mencermati jumlah facebooker anak muda yang mencapai hampr 23 juta konsumen. Hal ini memang mengagetkan kita bahwa diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan Yovita Maria dari Universitas urabaya menyimpulkan bahwa 61,7 % pengguna facebook bersikap narsis. Meski tahapan narsisme ini masih dalam taraf yang wajar, namun setidak tidaknya sebuah kewaspadaanpun harus kita kokohkan sebelum generasi ini jatuh pada ketidakpedulian terhadap masyarakat dan negaranya. Sehingga munculah kelak generasi yang ego, terpingit dari lingkungannya, hilangnya budaya malu, tidak memiliki kepedulian terhadap Negara dan bangsanya dan tanda tanda itu telah mulai terjangkitkan dewasa ini.
Kita tentu saja banyak disuguhi tayangan semua media mengenai tindak amoralitas yang bertebaran dari waktu ke waktu. Kasus yang merefleksikan hilangnya budaya malu dari oknum para petinggi, sehingga dengan tidak memilik beban psikhologis mengeruk uang Negara demi perutnya sendiri. Oleh karena itu menurut Prof Djoko Suryo, gurubesar UGM Jogjakarta menyatakan bahwa budaya malu justru dapat menjadikan korupsi semakin berkembang biak. Hal ini disebabkan budaya malu lebih mendasarkan pada konvensi-konvensi sosial ketimbang tanggung jawab individual.
Budaya malu yang mengalami metamorfosis tersebut di atas tentunya bukan budaya malu yang primordial, karena mengalami pendangkalan funsi dan peran budaya itu sebagai nilaisosial. Dengan demikian rekonstruiksi budaya malu serta nilai nilai primordial lainnyapun perlu dilakukan melalui satuan pendidikan, sebagai suatu upaya penyelamatan nilai sosial yang tepat.
Salah satu kiat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut di atas adalah mengkurikulumkan kegiatan Pramuka yang selama ini hanya sebagai kegiatan ekstra-kurikuler saja di sekolah berdasarkan payung hokum sebuah undang-undang. Padahal Pramuka adalah sebuah kegiatan yang sarat dengan usungan tanggung jawab, disiplin, rela berkorban, pembentukan sikap diri, nasionalisme, mendahulukan demokrasi da lain sebagainya, yang sangat tepat untuk pembentukan karakter. Peran vital pramuka terbukti telah mampu mendasari pembentukan sikap mental ideal setiap generasi dan telah diakui dunia keberhasilanya.
Menurut sebuah laporan dari Wikipedia (2006) Gerakan Kepanduan/Pramuka adalah sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki pengaruh mendunia. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di lapangan. Saat ini, terdapat lebih dari 38 juta anggota kepanduan dari 217 negara dan teritori.
Indonesia seperti Negara lainnya di dunia juga ikut mencangkan gerakan kepanduan tersebut dan memiliki jumlah anggota terbanyak dengan jumlah 17 juta orang. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pendidikan kepramukaan seperti dimiliki oleh banyak negara lain. Seperti diketahui bahwa Gerakan Pramuka di Indonesia selama 49 tahun praktis dilaksanakan hanya dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961. Sudah waktunya ditingkatkan jadi undang-undang,
Dewasa ini Rancangan Undang Undang Pramuka sedang digodog oleh DPR dan telah mencapai babak perumusan dan semua pihakpun apalagi kalangan pendidik sudah lama menantikan disahkan undang undan tersebut. Tentu saja bagi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia memandang kebutuh Undang-Undang Gerakan Pramuka saat ini sangat penting. Dengan adanya undang undang tersebut Kwarnas mampu mencanangkan model pengelolaan kepramukaan dan aspek aspek yang komprehensif mampu mereka dapatkan
Keterlambatan pengesahan undang undang tersebut banyak menuai protes akibat lambatnya kineja anggota dewan. Salah satu tokoh nasional yang turut prihatin, adalah Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukungan penyelesaian segera pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Gerakan Pramuka. Namun, ia berharap, kelahiran undang-undang tersebut nantinya tidak memicu polemik yang justru membuat gerakan pramuka semakin tidak diperhatikan. Padahal unit unit kegiatan pramuka (gugus depan ) telah merata di seantero Indonesia hingga ke pelosok-pelosok sehingga adanya fasilitas ini lebih mampu dihandalkan untuk pembinaan generasi mendatang. Hal ini terbukti dengan gerakan kepanduan yang digembelengkan pada banyak siswa sekolah jaman revolusi fisik, yang banyak menelorkan pahlawan pahlawan yang tidak diragukan sikap nasionalismenya.
Apalagi dengan usungan lebih specifik lagi yang menjadi karakterisitk generasi reformasi ini dibanding generasi sebelumnya. Karakteristik ini memang lahir sebagai respon negatif dari peradaban modern yang bercirikan tampilan tehnologi informatika dan computer, dalam specifikasi konsumsi facebook, twitter dan Hp. Deviasi terhadap nilai dasar yang bakal melanda generasi muda memang diambang pintu, bila kita mencermati jumlah facebooker anak muda yang mencapai hampr 23 juta konsumen. Hal ini memang mengagetkan kita bahwa diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan Yovita Maria dari Universitas urabaya menyimpulkan bahwa 61,7 % pengguna facebook bersikap narsis. Meski tahapan narsisme ini masih dalam taraf yang wajar, namun setidak tidaknya sebuah kewaspadaanpun harus kita kokohkan sebelum generasi ini jatuh pada ketidakpedulian terhadap masyarakat dan negaranya. Sehingga munculah kelak generasi yang ego, terpingit dari lingkungannya, hilangnya budaya malu, tidak memiliki kepedulian terhadap Negara dan bangsanya dan tanda tanda itu telah mulai terjangkitkan dewasa ini.
Kita tentu saja banyak disuguhi tayangan semua media mengenai tindak amoralitas yang bertebaran dari waktu ke waktu. Kasus yang merefleksikan hilangnya budaya malu dari oknum para petinggi, sehingga dengan tidak memilik beban psikhologis mengeruk uang Negara demi perutnya sendiri. Oleh karena itu menurut Prof Djoko Suryo, gurubesar UGM Jogjakarta menyatakan bahwa budaya malu justru dapat menjadikan korupsi semakin berkembang biak. Hal ini disebabkan budaya malu lebih mendasarkan pada konvensi-konvensi sosial ketimbang tanggung jawab individual.
Budaya malu yang mengalami metamorfosis tersebut di atas tentunya bukan budaya malu yang primordial, karena mengalami pendangkalan funsi dan peran budaya itu sebagai nilaisosial. Dengan demikian rekonstruiksi budaya malu serta nilai nilai primordial lainnyapun perlu dilakukan melalui satuan pendidikan, sebagai suatu upaya penyelamatan nilai sosial yang tepat.
Salah satu kiat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut di atas adalah mengkurikulumkan kegiatan Pramuka yang selama ini hanya sebagai kegiatan ekstra-kurikuler saja di sekolah berdasarkan payung hokum sebuah undang-undang. Padahal Pramuka adalah sebuah kegiatan yang sarat dengan usungan tanggung jawab, disiplin, rela berkorban, pembentukan sikap diri, nasionalisme, mendahulukan demokrasi da lain sebagainya, yang sangat tepat untuk pembentukan karakter. Peran vital pramuka terbukti telah mampu mendasari pembentukan sikap mental ideal setiap generasi dan telah diakui dunia keberhasilanya.
Menurut sebuah laporan dari Wikipedia (2006) Gerakan Kepanduan/Pramuka adalah sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki pengaruh mendunia. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di lapangan. Saat ini, terdapat lebih dari 38 juta anggota kepanduan dari 217 negara dan teritori.
Indonesia seperti Negara lainnya di dunia juga ikut mencangkan gerakan kepanduan tersebut dan memiliki jumlah anggota terbanyak dengan jumlah 17 juta orang. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pendidikan kepramukaan seperti dimiliki oleh banyak negara lain. Seperti diketahui bahwa Gerakan Pramuka di Indonesia selama 49 tahun praktis dilaksanakan hanya dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961. Sudah waktunya ditingkatkan jadi undang-undang,
Dewasa ini Rancangan Undang Undang Pramuka sedang digodog oleh DPR dan telah mencapai babak perumusan dan semua pihakpun apalagi kalangan pendidik sudah lama menantikan disahkan undang undan tersebut. Tentu saja bagi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia memandang kebutuh Undang-Undang Gerakan Pramuka saat ini sangat penting. Dengan adanya undang undang tersebut Kwarnas mampu mencanangkan model pengelolaan kepramukaan dan aspek aspek yang komprehensif mampu mereka dapatkan
Keterlambatan pengesahan undang undang tersebut banyak menuai protes akibat lambatnya kineja anggota dewan. Salah satu tokoh nasional yang turut prihatin, adalah Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukungan penyelesaian segera pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Gerakan Pramuka. Namun, ia berharap, kelahiran undang-undang tersebut nantinya tidak memicu polemik yang justru membuat gerakan pramuka semakin tidak diperhatikan. Padahal unit unit kegiatan pramuka (gugus depan ) telah merata di seantero Indonesia hingga ke pelosok-pelosok sehingga adanya fasilitas ini lebih mampu dihandalkan untuk pembinaan generasi mendatang. Hal ini terbukti dengan gerakan kepanduan yang digembelengkan pada banyak siswa sekolah jaman revolusi fisik, yang banyak menelorkan pahlawan pahlawan yang tidak diragukan sikap nasionalismenya.
Langganan:
Postingan (Atom)