Seberapa besar upaya pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan dengan kiat yang handal, tetap saja faktor keterlibatan peserta didik tidak bisa kita kesampingkan, terutama keterlibatan mereka dalam upaya pencapaian ketuntasan bahan ajar yang diterima di sekolah mereka. Meski menapaki era reformasi ini, peserta didik di berbagai jenjang telah dipusari dengan berbagai faktor yang mampu menstimulir mereka untuk menggapai “The Smart Generation”, yang menjadi tumpuan kemajuan bangsa dan Negara ini di masa depan. Pendapat ini sesuai dengan filosofi dr. Wahidin. di “Seri Pahlawan Kemerdekaan Nasional”, DEPEN.RI., Jilid I, 1967, Halaman 11, yang menyatakan “Untuk memajukan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia yang baru, hanyalah dengan memajukan pendidikan. Khususnya pendidikan di kalangan para pemuda dan pemudinya. Pendidikan dan pengajaran adalah memegang peranan penting dalam pembangun bangsa dan kemajuan umat manusia.”
Pendidikan dan pengajaran menurut konsep dr. Wahidin tersebut di atas, tentunya harus diwujudkan untuk peserta didik di setiap jenjang yang berjumlah 46,5 juta siswa dan tersebar di sekitar 250 ribu sekolah di Indonesia. Bukankah peran aktif mereka dalam capaian bahan ajar yang handal akan berpengaruh sinifikan terhadap kemajuan bangsa. Potensi ini sungguh menjadi suatu faktor penentu yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja. Sebuah pelajaran berharga dari Bangsa Jepang patut kita tiru dalam hal kemauan belajar dan minat baca dari sejumlah 750.000 peserta didik yang bersekolah di 11.000 Terakoya ( sekolah rakyat ) dijaman Tokugawa Ieyasu ( Pendiri Kekaisar Edo) yang memimpin Rakyat Jepang mulai Tahun 1603 M. Sehingga kini kita mampu menyaksikan hasil dari sistim pendidikan Terakoya tersebut yang terefleksikan dengan penguasaan dan dominasi iptek oleh Bangsa Jepang.
Mencermati urgensi sistem pendidikan dalam kontribusinya terhadap kemajuan suatu bangsa, maka pemerintah telah menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 dengan alokasi Anggaran pendidikan yang memperoleh jatah sebesar Rp 200 triliun. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010 telah disebutkan perincian penggunaan anggaran tersebut. Ringkasannya telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, Jakarta pada Senin, 3 Agustus 2009.
Untuk sebuah Negara yang sedang terjebak dalam pusaran keterpurukan, anggaran sebesar itu adalah suatu refleksi niatan baik untuk menggulirkan sebuah pendidikan yang mampu menjemput jaman. Lantas bagaimana mekanisme dan pengaruh langsung anggaran tersebut terhadap peningkatan kemauan belajar peserta didik, yang selama ini telah mengakar kuat dalam bentuk generasi yang malas belajar dan rendahnya minat baca. Apalagi bila kita mencermati lebih teliti lagi, bahwa kemauan belajar dari generasi sekarang adalah lahir dari budaya yang terlanjur mendarah daging.
Oleh karena besarnya anggaran pendidikan tersebut, tidaklah mampu dengan serta merta menggeser budaya yang negatif tersebut, maka sebuah langkah taktis pedagogis perlu segera dikonsepkan. Tentu saja konsep tersebut di atas direkomendasikan diawali dengan kontribusi pendidik, sebab setiap individu peserta didik tentu saja mampu merubah sikap positif “rajin belajar” di bawah bimbingan pendidik professional dalam kelas melalui pengamatan, pemberian portofolio, evaluasi, pekerjaan rumah dan instrument lainya. Sehingga dengan pembiasaan yang berkesinambungan dalam jenjang waktu tertentu, lahirlah generasi penyambang era kebangkitan bagi Bangsa Indonesia di masa mendatang di bawah polesan yang pendidik tersebut.
Harapan ini tidak hanya sebuah wacana isapan jempo, lantaran apabila peserta didik yang aktif belajar dari sebuah pembelajaran dari sang pendidik maka jadilah mereka menjadi individu yang bererkapasitas menurut bidangnya. Hal ini sesuai dengan Teori Gagne (1968), yang mengemukakan bahwa belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Lebih lanjut Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari stimulus dan lingkungan serta proses kognitif
Kita tahu bahwa salah satu fungsi dan peran pendidik adalah berkompeten terhadap model pembelajaran tersebut di atas. Pembentukan kompetensi pendidik seperti yang diharapkan tersebut di atas juga perlu dibakukan dalam kinerja formal pedagogi. Sehingga mampu menumbuhkan sinergi pendidik yang membahana di seluruh satuan pendidikan di Indonesia Upaya tersebut memang sudah terrealisir denga adanya program sertifikasi guru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifkasi Guru dalam Jabatan, yang mengatur lebih lanjut tentang upaya profesionalisasi pendidik. Dengan modal professional inilah pendidik diharapkan mampu menepiskan budaya dekstruktif malas belajar menjadi budaya konstruktif rajin belajar tiap peserta didik. Agar kita mampu menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lain dalam prestasi multidimensional.
Selasa, 12 Oktober 2010
Kamis, 16 September 2010
WANITA SONGSONGLAH GLOBALISASI
Hingga kini belum diketahui secara pasti dalam sejarah, sejak kapan wanita mulai berperan dalam dinamika sebuah masyarakat dari jaman ke jaman. Yang jelas kita hanya mampu mengdiskripsikan peranan urgensi wanita dalam dinamika suatu masyarakat, yang mengalami pergesaran. Dalam tatanan social masyarakat klasik, wanita hanya disimbolkan sebagai pelayan suami, symbol social, symbol reproduksi belaka, yang dalam budaya jawa disebut sebagai “ tiang wingking” (peranan hanya didapur melayani kebutuhan suami). Sebelum abad ke 20 semua peradaban di bumi menempatkan wanita hanya dalam symbol seperti tersebut di atas.
Namun justru di balik kelemahan figure seorang wanita, ternyata banyak memiliki kelebihan ketimbang seoarang pria. Namun hal ini belum bisa dieksploitir oleh banyak peradaban. Apalagi pada abad sebelum memasuki abad ke-20, yang masih belum terjamahkan isu tentang gender, maka peran urgensi wanita belum mendapat tempat pada dinamika social. Hal ini wajar saja sebab sebagian besar masyarakat primordial masih belum menginternalisasikan ideologi pemersatunya dalam wadah sebuah bangsa dan kedaulatn negara. Terbukti pada masa itu masih sedikit wanita yang tampil menjadi sosok negarawan.
Dalam dinamika sosial seperti itulah, konflik sosial banyak dituangkan dalam bentuk senjata, yang mutlak didominasi kaum adam, sehingga di berbagai peradaban lahirlah legenda seperti Knight, Robinhood, Musketeer, Shogun, Satria, Jawara dan lain sebagainya. Meski di beberapa belahan bumi kala abad ke-19 mulai lahir pendidikan untuk kaum hawa. Tercatat dalam sejarah, pada Masa Restorasi Meiji, di pertengahan abad ke-19, dikota-kota besar kekaisaran Jepang telah tercatat sebanyak 70 % wanita sudah berstatus pelajar ( mampu membaca, menulkis dan aritmatika). Demikian juga di Eropa dan Amerika. Namun di kawasan Asia dan Afrika, yang sebagian besar masih hidu terjajah bangsa eropa, yang terjadi justru sebaliknya.
Kondisi semacam tersebut tidak mungkin bagi wanita untuk berperan penting dalam dinamika suatu masyarakat sosial. Mulai memasuki abad modern, tepatnya pada awal abad ke 20, semakin beragamnya sistim nilai pada suatu masyarakat social, atau mulailah bergulirnya perkembangan segala macam perkembangan berbagai disiplin ilmu, maka semakin beragam pula manusia mengejawantahkan karya, karsa dan cipta maka dominasi priapun mulai menurun. Sebab man behind the gun yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama sebuah masyarakat social, tidak harus figure seorang pria. Namun figure yang memliki seabreg karakter yang mampu mencakupi, seperti kesabaran, ketangguhan, kecerdasan, ketelitian dan lain sebaginya yang tidak mutlak hanya dimiliki seorang pria
Dari fenomena social seperti inilah lahir peluang bagi wanita untuk tampil menggantikan peran pria. Kondisi semacam itu pulalah yang mengkondusifkan di Indonesia lahir perjuangan Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Selang beberapa dekade sesudahnya tampilah nnegarawan-negarawan wanita yang cukup karismatik di dunia, seperti Anita Peron (Presiden Argentina), Elisabeth Domitien PM Afrika Tengah, Sylvie Kinigi PM Burundi, Ruth Perry Presiden Liberia ( 1996 – 1997), Ellen JS Presiden Liberia ( 2006 s/ d sekarang), Reneta Indzhova - Pejabat Perdana Menteri Bulgaria (17 Oktober 1994 - 25 Januari 1995), Margaret Thatcher - Perdana Menteri (4 Mei 1979 – 28 November 1990) dan Megawati Soekarnoputri - Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) serta masih banyak figure lainnya.
Hal ini membuktikan bahwa wanita dilahirkan di dunia bukan semata-mata hanya untuk dieksploitir oleh kaum pria saja. Justru semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia modern semakin pula membutuhkan spesialisasi di bidang yang menuntut kompetensi yang mengembanya. Dari wacana tersebut timbulah profesi-profesi yang direkomendasikan diemban oleh wanita, seperti pendidik, tenaga para medis, psikolog, public relation, kasir, dokter personal shopper. Profesi wanita yang belakangan ini tampak masih merupakan profesi baru untuk wanita Indonesia serta profesi lainnya yang pada decade sebelumnya hanya didominasi kaum adam. Bahkan di arena politikpun bukan halangan bagi wanita modern untuk berkiprah di dalamnya.
Ternyata di Indonesia kiprah wanita di politikpun mampu merefleksikan tiada lagi perbedaan hak pada wanita, terbukti jumlah anggota DPR periode 1999 – 2004 berjumlah 52 orang Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dan laki-laki sebanyak 459 orang (81,6 persen).
Namun demikian menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari mengakui bahwa peranan wanita di bidang eksekutif dan yudikatif belum begitu menggembirakan. Hal ini tentunya bukan hanya tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja , tetapi menjadi kewajiban kaum hawa sendiri yang menekadi peran urgebsinya di masyarakat, yang hingga kini masih memandang sebelah mata.
Namun justru di balik kelemahan figure seorang wanita, ternyata banyak memiliki kelebihan ketimbang seoarang pria. Namun hal ini belum bisa dieksploitir oleh banyak peradaban. Apalagi pada abad sebelum memasuki abad ke-20, yang masih belum terjamahkan isu tentang gender, maka peran urgensi wanita belum mendapat tempat pada dinamika social. Hal ini wajar saja sebab sebagian besar masyarakat primordial masih belum menginternalisasikan ideologi pemersatunya dalam wadah sebuah bangsa dan kedaulatn negara. Terbukti pada masa itu masih sedikit wanita yang tampil menjadi sosok negarawan.
Dalam dinamika sosial seperti itulah, konflik sosial banyak dituangkan dalam bentuk senjata, yang mutlak didominasi kaum adam, sehingga di berbagai peradaban lahirlah legenda seperti Knight, Robinhood, Musketeer, Shogun, Satria, Jawara dan lain sebagainya. Meski di beberapa belahan bumi kala abad ke-19 mulai lahir pendidikan untuk kaum hawa. Tercatat dalam sejarah, pada Masa Restorasi Meiji, di pertengahan abad ke-19, dikota-kota besar kekaisaran Jepang telah tercatat sebanyak 70 % wanita sudah berstatus pelajar ( mampu membaca, menulkis dan aritmatika). Demikian juga di Eropa dan Amerika. Namun di kawasan Asia dan Afrika, yang sebagian besar masih hidu terjajah bangsa eropa, yang terjadi justru sebaliknya.
Kondisi semacam tersebut tidak mungkin bagi wanita untuk berperan penting dalam dinamika suatu masyarakat sosial. Mulai memasuki abad modern, tepatnya pada awal abad ke 20, semakin beragamnya sistim nilai pada suatu masyarakat social, atau mulailah bergulirnya perkembangan segala macam perkembangan berbagai disiplin ilmu, maka semakin beragam pula manusia mengejawantahkan karya, karsa dan cipta maka dominasi priapun mulai menurun. Sebab man behind the gun yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama sebuah masyarakat social, tidak harus figure seorang pria. Namun figure yang memliki seabreg karakter yang mampu mencakupi, seperti kesabaran, ketangguhan, kecerdasan, ketelitian dan lain sebaginya yang tidak mutlak hanya dimiliki seorang pria
Dari fenomena social seperti inilah lahir peluang bagi wanita untuk tampil menggantikan peran pria. Kondisi semacam itu pulalah yang mengkondusifkan di Indonesia lahir perjuangan Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Selang beberapa dekade sesudahnya tampilah nnegarawan-negarawan wanita yang cukup karismatik di dunia, seperti Anita Peron (Presiden Argentina), Elisabeth Domitien PM Afrika Tengah, Sylvie Kinigi PM Burundi, Ruth Perry Presiden Liberia ( 1996 – 1997), Ellen JS Presiden Liberia ( 2006 s/ d sekarang), Reneta Indzhova - Pejabat Perdana Menteri Bulgaria (17 Oktober 1994 - 25 Januari 1995), Margaret Thatcher - Perdana Menteri (4 Mei 1979 – 28 November 1990) dan Megawati Soekarnoputri - Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) serta masih banyak figure lainnya.
Hal ini membuktikan bahwa wanita dilahirkan di dunia bukan semata-mata hanya untuk dieksploitir oleh kaum pria saja. Justru semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia modern semakin pula membutuhkan spesialisasi di bidang yang menuntut kompetensi yang mengembanya. Dari wacana tersebut timbulah profesi-profesi yang direkomendasikan diemban oleh wanita, seperti pendidik, tenaga para medis, psikolog, public relation, kasir, dokter personal shopper. Profesi wanita yang belakangan ini tampak masih merupakan profesi baru untuk wanita Indonesia serta profesi lainnya yang pada decade sebelumnya hanya didominasi kaum adam. Bahkan di arena politikpun bukan halangan bagi wanita modern untuk berkiprah di dalamnya.
Ternyata di Indonesia kiprah wanita di politikpun mampu merefleksikan tiada lagi perbedaan hak pada wanita, terbukti jumlah anggota DPR periode 1999 – 2004 berjumlah 52 orang Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dan laki-laki sebanyak 459 orang (81,6 persen).
Namun demikian menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari mengakui bahwa peranan wanita di bidang eksekutif dan yudikatif belum begitu menggembirakan. Hal ini tentunya bukan hanya tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja , tetapi menjadi kewajiban kaum hawa sendiri yang menekadi peran urgebsinya di masyarakat, yang hingga kini masih memandang sebelah mata.
Langganan:
Postingan (Atom)