Kamis, 16 September 2010

PERANAN MEDIA ON-LINE DALAM PEMBELAJARAN SOSIAL

Adalah suatu hal yang tabu, bila kita memperhatikan suatu ketimpangan/ketidakserasian bahkan suatu penzoliman yang kita temui di masyarakat sekeliling, institusi tempat kita berperan, namun kita hanya diam berpangku tangan. Sementara memasuki era peradaban baru yang melinkungi masyarakat Indonesia, sejumlah oknum pejabat/pemimpin ataupun suatu figur yang disentralkan oleh publik, bertindak menurut koridor egonya masing-masing. Tanpa suatu jendela hatipun untuk menelisik derita si kecil yang separo bernafas.

Dalam sejarah pembentukan peradaban manusia yang humanis yang dijinjing oleh corak hidup modernis, telah tercatat banyak sudah negarawan yang mengabdikan diri guna membasmi ketidak adilan suatu masyarakat dengan gaya dan kemampuan masing-masing. Sebagian dari mererka adalah Mahatma Gandhi sang Ahimsa. Gandhi menitikberatkan perjuangan Bangsa India dengan nasionalisme sebagai suatu kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagian besar perjuangan Gandhi yang mengedepankan Ahimsa itupun ditulis dalam beberapa media yang eksis kala itu.

Bahkan Soekarno The Founding Father untuk Bangsa Indonesia banyak menyodorkankan ide gagasanya guna membangun struktur berpikir masyarakat, melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Gaungpun bersambut dengan ketajaman dan gaya tulisanya yang specific. Soekarno berhasil menghantarkan Rakyat Indonesia menuju penetrasi ideologi, politik, naluri kebersamaan, patriotisme dan nasionalisme yang mewujud dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.

Sebuah idealisme bukan hanya mutlak milik negarawan kondang saja, bukan pula milik figure kharismatik ataupun figure central lainnya. Namun yang jelas setiap suatu idealisme apapun yang bersemayam kuat di tiap benak manusia, tentunya memiliki naluri agar ide dan gagasannya dibaca/didengar/dipatuhi oleh public. Sehingga individu yang terselip di grassrote-pun berhak pula untuk menyampaikan ide gagasanya dalam suatu tulisan.

Namun ide gagasan yang merasuki jiwa seseorang terkadang hanya menjadi sebuah niatan basi saja, kala ia menemui kendala berupa tehnik penulisan yang jauh dari criteria editorial ditambah dengan senioritas yang belum memadai. Dengan kapasitas seperti ini, jelaslah bahwa tak jarang media cetak untuk mem-publish “spirit to changing” agen perubahan yang awam tadi, karena secara komersial tulisan tersebut bersifat unprofitable. Kendala seperti ini mulai bisa diatasi setelah hadirnya media “on-line”, yang menawarkan wadah citizen journalist.

Hingga decade Tahun 2010 ini, peranan media on-line masih menjadi media kelas dua dibanding dengan media cetak. Hal ini disebabkan karena factor pendukung utama belum seluruhnya mampu diadopsi setiap masyarakat, karena daya beli, minat baca, kultur dan factor lainya. Padahal meski sepintas lebih ribet, namun publikasi media on-line mampu menjangkau masyarakat dunia. Inilah salah satu kelebihan media on-line ketimbang media cetak.

Dengan keunggulan seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan di decade mendatang, Penyelenggaraan UN untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK menggunakan jasa media on-line untuk tampilan soal-soal ujian tersebut, agar lebih mampu menjamin masalah kejujuran UN, karena lebih pendeknya mata rantai pengadaan soalnya. Tidak menutup kemungkinan di decade mendatang Kementrian Pendidikan melibatkan media on-line guna kegiatan pembelajaran di sekolah.

Diharapkan bahwa media on-line ini akan lebih berkiprah dalam hal publikasi dinamika social. Sebagai suatu kiat manusia modern dalam menggapai pemenuhan informasi dalam ranah apa saja. Mengingat keunggulan aspek cakupanya baik dari substansi dan area-publishnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan peluang masyarakat modern Indonesia dalam pencapaian kompetensi yang tidak disodorkan pada satuan pendidikan atau perguruan tinggi atau institusi edukasi lainnya. Bukankah dengan demikian peranan media on-line akan lebih signifikan lagi dalam pencerahan public.

Betapa tidak media on-line yang sekarang bisa kita dapatkan di internet bisa langsung menyodorkan input public secara komprehensif yang mencakup aspek edukasi, featur, kriminal, opini, sosial dan politik, hokum, news and views, sastra, anak anak, remaja dsb.

Ke Mana MENCONGAKU

Telah menjadi kesepakatan kita bersama bahwa dewasa ini Depiknas dan seluruh jajaran institusi yang terkait dengan sistem pendidikan nasional telah berupaya seoptimal mungkin dalam menggulirkan perubahan besar – besar terhadap pendidikan yang terintegrasi, sis
tematis dan terarah. Terdapat urgensi yang terselip di balik itu semua, yaitu tentang masa depan generasi kita yang harus tangguh dalam menghadapi kompleksitas di tengah Masyarakat Indonesia yang pesat mengalami social changes, karena pengaruh globalisasi. Maka keterpurukan sistim pendidikan yang telah kita akui bersama dan bila dihadapkan pada coincide penyiapan kemajuan bangsa, maka perubahan sistim pendidikan nasional haruslah dalam naungan suatu revolusi.

Betapa tidak , sebuah negara yang pada Tahun 1975 masih mengalami konflik politik sehingga telah kehilangan segala-galanya. Namun diluar dugaan lantaran keseriusan dalam menggarap sistim pendidikan nasionalnya, maka prestasinya sekarang bread di atas kita. Sebut saja negara tersebut adalah Vietman. Menurut survey yang dilakukan oleh International Education Achievment ( I E A ), indeks pengembangan manusia ( Human Development Index ) kita masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108 (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 ).

Padahal pada kurun waktu Tahun 1970 - 1975 kita telah memulai pembangunan dengan menapaki PELITA I I. Bangsa Indonesia telah membenahi bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan ( Harian Online Damandari, 2003 ).

Melihat kenyataan tersebut maka wajar saja apabila kita bersikap prihatin, namun tindakan kita yang paling bijak sebagai pendidik adalah menaruh perhatian yang serius. Bukankah sitim pendidikan nasional adalah asset prestis kita semua. Sehingga apabila terjadi keterpurukan terhadapnya, maka kita sebagai pendidik adalah yang paling depan dalam memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bertindak skeptis dalam menyikapi fakta tersebut. Minimal harus terbesit dalam hati kita untuk memulai langkah moral dalam mengejar ketertinggalan kita. Kita harus sigap dalam memulai bergulirnya sebuah revolusi pendidikan. Hanya dengan semangat yang tinggilah semua tugas moral kita untuk mengentaskan sistim pendidikan nasional kita menjadi ringan. Salah satu cara untuk mempercepat laju perubahan prestasi pendidikan adalah menggali metoda pembelajaran dalam ranah evaluasi, yang malah dewasa ini banyak diabaikan oleh kalangan pendidik.

Suatu metoda evaluasi pembelajaran klasik yang pernah diterapkan di sekolah oleh Diknas adalah mencongak / dikte / imla. Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar generasi sekarang tercetak dari sistem evaluasi mencongak tiap bidang ajar, apakah hal ini mesti kita pungkiri bersama. Bila manfaat dari sistim evaluasi tersebut terbukti memang dapat dihandalkan.

Sebuah evaluasi baik yang formal maupun non formal bisa sah – sah saja dilakukan, asal saja melalui alat penilaian yang sesuai dengan indicator yang akan dinilai sebagai sarana untuk mengetahui sejauh mana kompetensi siswa dapat terpenuhi dan yang lebih penting bagi sang pendidik harus benar jitu dalam menerapkan model evaluasi sesuai karakter peserta didik masing-masing.

Mencongak adalah salah satu jenis penilaian kelas tertulis pada ranah kognitif yang mengkondusifkan peserta didik untuk betul – betul mempersiapkan diri, mengurangi peluang antar peserta didik yang salng bekerja sama, membiasakan peserta didik untuk lebih cermat dalam mengerjakan evaluasi. Karena mencongan termasuk evaluasi pembelajaran , bukan sebagai evaluasi proses maka selayaknya mencongak diberikan pada akhir satu kompetensi diberikan . Apalagi bila kompetensi yang diberikan kepada peserta didik tergolong kompetensi yang padat. Untuk yang satu ini, disarankan agar mencongak sebagai bentuk evaluasi non formal dipadukan dengan evaluasi tertulis ( pencil and paper )

Namun demikian akan berpengaruh baik bila mencongak diberikan kepada peserta didik yang meliputi semua indikator pada satu kompetensi. Dari tagihan yang diperoleh, sistim mencongak biasanya akan memberikan nilai prestasi yang lebih heterogen dibanding dengan bentuk evaluasi lainnya. Sehingga kita akan lebih mampu mengetahui potensi dasar peserta didik. Dengan jumlah soal evaluasi yang lebih sedikit dibanding evaluasi lainnya tentu saja kita dapat langsung mengetahui nilai tagihan yang didapat dari peserta didik. Walaupun demikian tidak disarankan bagi peserta didik untuk membandingkan satu peserta didik dengan lainnya, karena akan menyebabkan rasa rendah diri bagi peserta didik yangh bersangkutan.

Meskipun mencongak tidak dibakukan sebagai metoda evaluasi yang disarankan, namun tetap saja mencongak masih memenuhi prinsip – prinsip penilaian kelas, yaitu prinsip valditas, realibilitas, menyeluruh, berkesinambungan, obyektif dan mendidik ( Tim IKIP P GRI Semarang , 2009 ). Validitas dapat kita wujudkan apabila mencongak mampu mewujudkan unsur – unsur / indikator yang memang harus dinilai dan diujikan kepada peserta didik. Selain itu, mencongak adalah sebuah metoda evaluasi yang menyimpan aspek realibilitas dengan dicirikan dengan kemampuan mencongak, yang mampu memberikan hasil unjuk kerja siswa yang konsisten, meski dilakukan berulang asalkan evaluasi tersebut dikondisikan sama. Terlebih – lebih bila mencongak dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan cakupan kompetens i dasar. Selain aspek aspek – aspek tersebut mencongak juga bisa dikategorikan sebagai metoda evaluasi yang obyektif, yaitu dengan kejelasan pemberian skor . Dengan demikian tidak diragukan lagi bila mencongak kita harapkan untuk diterapkan kembali.

Sebuah fakta nyata barangkali mampu meyakinkan kita, bahwa pada era Tahun 70 – 80 banyak pendidik kita yang diminta Pemerintah Malaysia untuk ikut membangun sistim pendidikan mereka yang tertinggal jauh dengan kita. Karena saat itu keunggulan dan mutu pendidikan kita telah terdengar mereka. Meski bukan penyebab utama maju sistim pendidikan saat itu, namun mencongak saat itu telah diterapkan sebagai evaluasi pembelajaran