Kamis, 12 Agustus 2010

PELIKNYA MEMBIDIK Sekolah Bermutu

Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 ini tentunya akan berbangga hati, sementara orang tua mereka bahkan bertambah pusing tujuh keliling, karena harus bersaing dengan ortu lainnya dalam membidik bangku sekolah yang ideal. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya yang diimpikan.
Tentunya pada bulan Juli tahun ini mereka akan disibukan dengan memilih sekolah SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA untuk meneruskan jenjang pendidikan. Betapa tidak mereka yang lulus UASBN harus memperebutkan sejumlah 43.666 SMP/MTS yang tersebar seluruh tanah air. Begitu juga bagi yang lulus jenjang pendidikan dasar (SMP/MTS) harus bersaing mendapatkan kursi di sejumlah 16.647 SMA/SMK/MA se-Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tidak ada ortu yang menghendaki putranya gagal dalam belajar, maka ortu tersebutpun berusaha semaksimal mungkin dalam mencarikan sekolah favourit untuk putranya, salah satu diantaranya membidik sekolah RSBI, yang sekarang marak berdiri di kota-kota seluruh Indonesia. Namun benarkah RSBI mampu menjamin kompetensi unuk peserta didiknya. Sebuah pertanyaan menyeruak di tengah keraguan publik akan kredibititas sekolah tersebut.
Pada dasarnya RSBI dicanangkan untuk menjemput bola mutu pendidikan yang maksimal, dengan penerapan “pengantar bahasa inggris”, meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Mencermati “nilai plus” sekolah RSBI tersebut, sebenarnya kita sering “salah kaprah”. Karena sekolah tersebut hanya menerapkan pengantar pembelajaran dalan bahasa inggris, namun kurikulum yang digunakan sama dengan sekolah lainnya. Maka dari itu, sebenarnya sekolah ini hanya cocok untuk peserta didik asing yang tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, sebenarnya sekolah-sekolah tertentu tidak perlu memasang label RSBI bila peserta didiknya sebagian besar dari kalangan lokal. Tetapi jauh lebih penting adalah kompetensi peserta didik dikedepankan. Karena dikhawatirkan label tersebut bisa dimanfaakan oleh oknum yang mengeruk pungli yang merugikan orang tua/wali peserta didik.
Wacana tersebut bukan hanya isapan jempol saja, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi A Shomad di Jambi, yang mengatakan bahwa sekolah berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga menjadi peluang bagi pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungli..
Jimly Asshiddiqie Mantan Ketua MA dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ikut berkomentar tentang RSBI yang dianggapnya hanya label berlebihan dari sekolah negeri tersebut, sehingga pada praktiknya menjadi ajang diskriminatif bagi peserta didik yang berduit dan tidak, bahkan yang lebih memprihatinkan terdapat sejumlah sekolah negeri RSBI yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Dengan demikian masihkah kita sebagai orang tua calon peserta didik masih menempatkan pilihan utama pada RSBI.
Adalah tindakan ortu yang bijaksana, bila membidik sekolah negeri selain RSBI untuk pendidikan putranya. Keputusan tersebut memang masuk akal, bila kita menyorot tentang fasilitas factor pendukung pembelajaran di sekolah negeri, tentunya lebih memadai di banding sekolah swasta, meski terdapat sejumlah sekolah swasta favourite yang mengimbangi sekolah negeri. Disamping itu juga jumlah kelas sekolah negeri masih ideal untuik menampung peserta didik baru.
Hingga akhir tahun 2009, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTS, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta.
Namun institusi sekolah negeripun bukan serta merta sebagai sekolah publik yang nota bene milik negara, karena berbeda dengan sekolah negeri pada dekade tahun 80-an, yang justru menjadi dambaan peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu. Karena rendahnya SPP dibanding dengan sekolah swasta, dan tanpa pungutan “uang gedung” atau Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) seperti sekolah negeri dewasa ini, yang terkadang tidak terjangkau oleh peserta didik yang kompeten tapi dari kalangan keluarga tidak mampu. Sehingga apa mau dikata bagi peserta didik yang tidak mampupun harus rela belajar di bangku sekolah swasta.
Namun tidak selama sekolah swasta dianggap sebagai institusi “underdog”, terbukti dari hasil prestasi kelulusan UN 2009 lalu, bahwa nilai rata-rata sekolah swasta lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri. Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo dalam acara jumpa pers 'Hasil Ujian nasional 2008/2009' di Jakarta, Senin (22/6). Untuk tingkat SMA jumlah peserta UN dari sekolah swasta mencapai 905.570 dengan jumlah peserta lulus mencapai 861.539 siswa. Sementara itu, peserta UN dari sekolah negeri mencapai 614.164 siswa, sedangkan yang lulus UN sebanyak 561.089 siswa. Di tingkat SMP peserta UN dari sekolah negeri berjumlah 1.224.661 siswa. Jumlah peserta yang lulus mencapai 1.159.260 siswa. Sebaliknya, dari sekolah swasta berjumlah 2.216.192 peserta, dan yang lulus UN mencapai 2.112.391 siswa.
Meskipun data yang teranalisa diatas hanya data untuk prestasi UN 2009, namun setidak-tidaknya bisa merefleksikan bahwa sistim pembelajaran yang memadai bukan hanya mutlak milik sekolah negeri. Hanya saja memang ortu calon peserta didikpun harus hati-hati dalam memilih sekolah swasta, terutama dari “status sekolah” swasta tersebut berdasar penilaian tim akreditasi Disdikpora atau Kementrian Agama yang membina sekolah tersebut, proses kontinyuitas Kegiatan Belajar Mengajar dan ketahanan sekolah. Sebab tidak menutup kemungkinan masih adanya sejumlah sekolah swasta yang mengabaikan masalah tersebut, seperti yang berlangsung di
sejumlah sekolah menengah atas (SMA) swasta di wilayah DKI yang terancam ditutup karena 100% siswanya tidak lulus ujian nasional (UN).
Sekolah yang bermasalah tersebut, terdiri dari 10 SMA, dan tiga SMK. Total peserta yang tidak lulus dalam sekolah tersebut adalah 138 orang.

PEMBELAJARAN BUDI PEKERTI Jangan Pernah Ditinggalkan

Tiap kali kita berbicara tentang sekolah, yang menopang berbagai pembelajaran, pastilah kita akan berpikir tentang nilai-nilai sosial, budaya dan pedagogis. Terutama bagi kalangan orang tua yang akan menelisik dan menyekolahkan di satuan pendidikan tersebut. Pandangan kitapun langsung menuju suatu pepatah “ Pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya bermula dari pendidikan”. Kitapun langsung memahami urgensi suatu lembaga sekolah.
Adalah suatu kemajuan bangsa yang sering kita cermati di dunia ini yang bermula dari sistim pendidikan yang mapan dan berkontinyuitas, tak lekang di makan zaman. Pandanglah Bangsa Jepang yang melekatkan nilai-nilai budaya yang luhur pada satuan pendidikan yang disebut dengan Terakoya, yang diberlangsungkan pada abad ke-18, pada jaman Kekaisaran Edu. Sistim pendidikan yang cukup sederhana namun sarat dengan nilai budi pekerti (Morale Force Dealectict ) yang hidup di tengah kultur masyarakat Jepang.
Lain halnya dengan sistim pendidikan yang dicanangkan Taman Siswa di bawah asuhan Ki Hajar Dewantara, yang hidup di tengah kultur Masyarakat Indonesia yang sedang didholomi Bangsa Belanda yang mengungkung kita semua. Dalam hal ini, Ki Hajar menyelipkan pemahaman bahwa “Persamaan Derajat antara Sesama Manusia”. Oleh karena itu derajat masyarakat “inlander” tidak berada di bahwa orang Belanda. Misi Ki Hajar tersebut terus didengungkan melului Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pandangan Ki Hajar tentang persamaan hak dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Artikel tersebut di tayangkan Koran de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Oleh karena itu aspek keteladanan yang direfleksikan melalui budi pekerti perlu dikedepankan oleh semua peserta didiknya. Salah satu nasehat Ki Hajar Dewantara melalui Pendidikan Taman Siswa kepada masyarakat Indonesia, adalah ungkapan “Milo Budi ingkang Utami” (Maka Budi Pekerti perlu diutamakan). Sehingga upaya pencapaian aspek kognitif untuk peserta didik kita bukanlah satu-satunya kebijakan pedagogis yang bijaksana, guna mengejar ketertinggalan sistim pendidikan kita dengan negara lain. Kadang dengan ketertinggalan tersebut kita menjadi kebakaran jenggot, lantas merancang upaya mengkonstruksikan kurikulum yang dianggapnya representative. Upaya tersebutpun menjadi hambar tanpa mengintensifkan pembentukan sikap menta (afektif) peserta didik.
Sebagai bukti akan hal ini , dewasa ini terjadilah ketimpangan pencetakan peserta didik yang kita harapkan bersama. Sebagai bukti adalah maraknya laku anarkis yang banyak dilakukan oleh generasi muda di berbagai perhelatan olahraga, konser, pesta narkoba dan miras serta perilaku sex-bebas diantara remaja. Bahkan fitur generasi muda kita adalah timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Suatu perangkat sosial perlu terus tersemat dalam diri manusia Indonesia dari mulai bangku sekolah hingga dewasa, lepas dari kapasitas yang melekatnya, baik sebagai figure publik, pemimpin institusi atau apa saja. Perangkat ini disebut dengan “Budi Pekerti” yang memenuhi ruang sanubara tiap individu melalui saluran pembelajaran di sekolah, agama, informasi dari berbagai media ataupun tata-pergaulan dalam masyarakat. Semua saluran tersebut jelaslah di jaman modern ini bukan suatu bentuk yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Asal kredibilitas saluran serta substansi pembelajaran harus kita cermati bersama.
Masa depan suatu bangsa, baik masa depan prestasi ekonomi, sosial, teknologi dan lain sebagainya sangatlah bergantung pada intensitas sistim pendidikan yang disematkan pada generasi muda pemikul kekayaan budaya para leluhurnya. Warisan budaya kita sungguh mampu membuat bangsa-bangsa lainnya berdecak kagum, Namun kadang kala kita menjadi bertanya mengapa mediasi untuk transfer ke generasi penerus mengalami kegagalan. Padahal pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Kita tidak usah menuduh siapa gerangan yang paling patut kita salahkan dalam hal kegagalan “Penyematan Generasi yang Berbudi Pekerti”. Lantaran budi pekerti adalah sesuatu yang hanya bisa terinternalisasi hanya dengan kinerja yang.mengambil andil bersama dari seluruh komponen bangsa ini. Sepintas memang pembelajaran agama di satuan pendidikan mendapat tudingan tajam. Namun hal inipun tidak serta merta dapat kita terima, karena pembelajaran agama di satuan pendidikan hanya berlangsung 3 jam per minggu. Padahal aktifitas setiap peserta didik di sekolah hanya berlangsung 6 jam, selebihnya mereka larut dalam kehidupan sosial di luar sekolah. Sebanyak 90, 7 % ahli pendidikan menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti didapatkan dari lingkungan keluarga.. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Ngalim Purwanto M.P (1987 :148)
Maka opinipun dewasa ini banyak memenuhi multi media yang isinya menghimbau agar kita segera mengformat kembali pembelajaran budi pekerti di sekolah dan mengarahkan amoralitas pemuda kita di tengah masyarakat, ke ranah binaan yang memadai. Sehingga akan lahirlah “The Smart Young Generation” dan masyarakat Indonesia yang bermoral dan berbudi pekerti yang baik.(Dari berbagai sumber).