Tampilkan postingan dengan label PEMBELAJARAN SOSIAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PEMBELAJARAN SOSIAL. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2011

Indonesia Di Tengah Dinamika Politik

Letak geografis indonesia yang berada persis di tengah - tengah dua samudra di sebelah Barat dan Timur serta dua benua di sebelah Tenggara dan Barat Laut, memberikan specifikasi tersendiri sebagai negara yang harus diperhitungkan oleh bangsa lain, terutama dalam aspek geostrategi dan geopolitik.Disamping itu Indonesia memiliki kekayaan alam yang tiada bandingnnya yang tersimpan di 17. 504 pulau ( Wikipedia, 2004 ).

Sebagian dari pulau yang kita miliki tersebut sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang tidak berpenghuni, dan sudah semestinya masih mengandung kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya Semua pulau-pulau tersebut terhampar menyebar di sekitar katulistiwa dan memberikan cuaca tropis. Tercatat pula bahwa disamping kekayaan alam yang tiada bandinmgnya, Indonesia juga memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif, sebagian dari gunung berapi tersebut terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan.
Yang lebih memikat para cendikiawan dunia guna pengembangan sains dan teknologi bahwa Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif .Sudah brang tentu kondisi daya dukung alamiah yang kaya tersebut, jelas-jelas menarik minat bangsa penjajah untuk mengeksploitir kekayaan alam milik kita. Terbukti sejak Tahun 1602 Bangsa Belanda, disusul kemudian Bangsa Inggris dan Portugis serta Bangsa Jepang telah berhasil menkmati kekayaan alam kita. Disamping merampas kekayaan alam kita yang tak ternilai harganya, khusus Bangsa Belanda juga telah mengeksploitir tenaga / kehidupan / hak azasi anak bangsa guna kemakmuran mereka, selama 3, 5 abad lamanya.Seperti kita ketahui bersama bahwa dengan kondisi geografis alam yang melingkungi negara kita, menyebabkan terbentuknya ± 316 suku bangsa dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Wilayah Indonesia, masing –masing dengan corak budaya yang berbeda.

Hal ini tentunya membawa berkah tersendiri bagi kita , yang secara dialektis menempatkan keberagaman ini bukan sebagai faktor penghalang dalam upaya pencapaian hidup bersama. Tetapi justru malah mampu melatarbelakangi upaya pencarian instrumen yang mampu menjembatani perbedaan tersebut . Hingga lahirlah suatu Instrurnen pemersatu yang mampu diterima semua komponen penyusun bangsa dan negara ini, yang tak lain adalah Idiologi Pancasila, yang telah terpenetrasi jauh ke kalbu setiap anak bangsa ini.

Namun demikian dalam perjalanan hidup bangsa ini yang terus bergulir menuruti roda waktu, silih bergantinya perseteruan / goncangan / perbedaan pendapat terhadap sesama anak bangsa turut memperkaya perjalanan Bangsa Indonesia di tengah pergaulan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Namun kita tetap berbangga diri lantaran kita berhasil membangun monumen politik Indonesia beruapa even politik bersejarah, yaitu berupa deklarasi bersama tentang itikad bernegara pada Tanggal 17 Agustus 1945 yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta.2Sebagai negara yang baru saja memperoleh prestis politik yang monumental, beragam langkahpun telah diderapkan oleh putra-putra bangsa guna membangun negara ini dalam kerangka ekonom, politik, pendidikan kesehatan dan semua sendi kehidupan Rakyat Indonesia . Dinamika inipun tak luput dari perbedaan politik / pandangan umum tentang negara, yang meliputi sistim politik, ideologi, arah pembangunan dan lain sebagainya. Tercatat dalam sejarah idelogi komunis , liberalisme, pendirian NII oleh kelompok agamis pernah aktif ,mewarnai wajah perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru lahir ini. Sudah barang tentu perbedaan pola pandang tentang berbangsa dan bernegara ini membuat Rakyat Indonesia menjadi terpolarisasi dan mengkristal ke dalam ranah politik masing – masing pada dekade sebelum

Tahun 1965. Selama dekade tersebut munculah Idiologi Komunis yang berkembang pesat melalui instrumen politik Partai Komunis Indonesia ( PKI ), yang merencanakan mengadopsi komunis di Indonesia dengan paksa. Rakyat Indonesiapun saat itu menyambut antusias terbentuknya partai ini yang menjanjikan kesejahteraan rakyat yang masih berada di strata terbawah karena kemiskinanya. Slogan untuk penghapusan kelas, yang dikenal dengan nama slogan sama rata sama rasa begitu bergaungnya. Sehingga pada Pemilu Tahun 1955 PKI berhasl mendapatkan 6 juta suara ( Saat itu jumlah Rakya Indonesia baru berjumlah ± 50 juta jiwa ).
Hal ini meruapakan pertanda bahwa PKI kala itu banyak diterima di hati Rakyat Indonesia.
Namun sejarah mencatat sesuatu yang berbeda dengan yang diharapkan oleh hati rakyat, ketika pada Bulan September 1965, PKI berusaha mengambih alih negara ini dengan melakukan kudeta berdarah di bawah scenario DN Aidit, yang bertujuan hendak memaksakan kehendak rakyat banyak dalam menerapkan idiologi Komunis. Kenyataan itu berhasil membukakan mata dan hati Rakyat Indonesia yang sebelum itu menaruh simpatik., Kenyataan ini akhirnya menyebabkan air mata Ibu Pertiwi kembali menetes, karena di persadanya telah terjadi banjir darah karena perseteruan antara anggota partai komunis dan kontra komunis Pada Tahun 1966, yang berlangsung sebagian besar di P, Jawa dan Bali. Bencana yang berujud tragedi kemanusiaan begitu memilukan hingga jatuh korban jiwa untuk para pendukung / simpatisan PKI, tercatat sebanyak 2 juta pendukung / simpatisan PKI dieksekusi dan 200,000 lainnya di penjara tanpa diadili menurut norma hokum.

Kita sambut dengan tangan terbuka bila terdapat anasir baik dari dalam maupun luar negeri yang ingin melakukan pencerahan kepa Rakyat Indonesia yang seharusnya mendapatkan statement mengenai tragedi ini sebenarnya. Namun demikian alangkah lebih baiknya bila tragedy tersebut dijadikan pelajaran berhaga untuk masa – masa mendatang dalam naungan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara.

Dengan aksi pembersihan massal terhadap setiap unsure yang berbau komunis / PKI,
yang dilancarkan Soeharto maka berakhir sudah wajah politik Orde Lama dan tertancaplah tonggak kekuasaan Orde Baru. 3Selama berlangsungnya rezim Orde Baru tercapailah pembangunan di segala bidang, dengan konsep pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang pada finalnya pemerintah era Orde Baru berniat membawa Rakyat Indonesia ke era tinggal landas menuju Masyarakat Adil Makmur berdasarkan Pancasila, setelah semua kerangka landasan dan setiap sendi kebutuhan Masyarakat Indonesia disiapkan terlebih dahulu pada Pelita sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada Tahun 1966 berada pada titik paling rendah. Setelah itu upaya pembangunan yang sistematis mulai dilaksanakan melalui serangkaian pembangunan lima tahunan dan berjangka dua puluh lima tahun berdasarkan arahan-arahan GBHN. Repelita I dalam PJP I dimulai pada tahun 1969/70.

Agar pencapaian sasaran pembangunan dapat terwujud secara optimal dan sesuai dengan yang digariskan, maka sasaran-sasaran pembangunandipilah dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan. Seluruh kebijaksanaan dirancang dandilaksanakan dalam kerangka Trilogi Pembangunan. Selama PJP I, laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di bawah 2 persen per tahun, pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali (dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800. Dalam dua tahun Repelita VI, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dalam tahun1994 dan 8,1 persen dalam tahun 1995.

Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran (baru) yangditargetkan dalam Repelita VI yaitu sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun.Dalam Repelita VII, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk ditargetkan di atas 7persen dan 1,4 persen rata-rata per tahun. Dengan kedua sasaran ini, pendapatan per kapita padaakhir Repelita VII diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 1.400 (berdasarkan US$ 1993), atau sekitar US$ 2.000 pada harga yang berlaku. Pada saat itu ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan kedalam negara industri baru ( Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Ketua Bapenas, 1996 ).

Kita akui bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada setiap sektor, seperti pendidikan, Keluarga Berencana, kesehatan , keamanan dan stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia.. Namun semakin lama Soeharto memerintah negeri ini, semakin banyak pula tokoh politik yang mengkritik , apalagi memasuki Tahun 1977 bertepatan dengan krisis yang melanda dunia ( Asia khususnya ). Indonesia hingga kini belum mampu untuk mengatasi krisis tersebut. Bahkan cebderung melebar menjadi krisis multidimensional.

Terdapatnya kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang diidap oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian tewrperosoknya Indonesia dalam badai krisis .Dan Soehartolah yang pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga pada Tahun 1977 terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Meski Soeharto mencoba mendirikan Komisi Reformasi untuk menyurutkan aksi demo, namun niatan ini sama sekali tidak 4mempengaruhi idealisme mahasiswa dan Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada jalan lainnya kecuali mengundurkan diri 21 Mei 1998.Setelah pengunduran diri Soeharto, maka panggung politik Indonesia berganti dengan Sistim Politik Reformasi, yang bersendikan kebebasan berpolitik,
mengeluarkan pendapat dan Supremasi Hukum. Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga

Soeharto.Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan

Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006 ( Wikisource, 2010 ).

Selama berkibarnya Sistim Politik Reformasi, kehidupan politik berjalan monoton meski telah tiga kali Bangsa Indonesia mengamanatkan empat putra bangsa menjadi Presiden RI, masing – masing adalah BJ Habibi, KH Abdurahman Wakhid, Megawati Soekarnoputri dan SBY. Selama kurun waktu dari Tahun 1977 – 2009, hanya kita temui 5padatnya aksi demo, manuver politik para elit poltik guna mendapatkan dukungan publik, kasus PHK dan dinamka politik lannya yang justru membosankan Rakyat Indonesia.Dinamika politik kembali menggelora di akhir Tahun 2009 mengawali masa jabatan ke – II SBY sebagai Presiden RI hingga kini, lantaran telah terjadinya kemelut bercampur dengan carut- marut pengucuran bailout sebesar 6 ,7 trilyun rupiah kepada Bang Century yang dianggap sebagai bang kolaps yang akan menyipkan pengaruh sistemik perbangkan di Indonesia.

Namu karena pengucuran tersebut tanpa melalui mekanisme yang telah baku. Maka publikpun berteriak dan yang paling banyak mendapat tudingan tersebut adalah Wapres Boediono Menkeu Sri Mulyani.Gegap gempitanya publik dalam mengomentari hal tersebut akhirnya sampai ke telinga Anggota DPR, yang segera membentuk Pansus Bang Century. Hingga kini masalah inipun belum mampu memberi wacana yang terang benderang, yang sebenarnya dibutuhkan publik agar mendapat pencerahan.Akankah kekisruhan tersebut terus akan berdampak menggoyang kursi keprisedenan. Nampaknya memang bakal mengarah ke sana, apalagi dengan dilakukannnya manuver politik dari komunitas elit politik nasional yang gerah dengan penyimpangan dana negara tersebut.

Sayangnya rakyat sementara ini masih menyangsikan manuver tersebut meski dalam kemasan kemanusiawian dalam bentuk apapun, label untuk perjuangan demi pencerahan untuk rakyat akan sia-sia saja, apalagi bagi mereka para petinggi / mantan petinggi nasional yang berkiprah politik.

Seperti even tanggal 1 Pebruari 2010 yang lalu, ketika sebuah Manifesto dibacakan oleh Anies Bawesdan Rektor Universitas Paramadina Jakarta., tentang penataan demokrasi. Tidak tanggung – tanggung lagi manuver politik itu dihadiri oleh Jusuf Kalla, Surya Paloh, Wiranto, Megawati dan Taufik Kiemas, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi. Benarkah manuver politik itu mengatas namakan rakyat dan lebih jauh lagi hendak mensejahtarakan rakyat. Yang jelas mereka hanya memiliki niatan untuk meraih kursi kepresiden, saat SBY telah ditinggalkan pendukungnya, karena konspiracy Bang Century.Sementara itu SBY yang memenangkan Pemilu 2009 dengan mendapat perolehan suara 60 %, pada awalnya membentuk koalisis besar, yang disusun dari dukungan koalisi yang terdiri atas Partai Demokrat, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) , PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Koalisi itu juga sudah menguasai mayoritas parlemen karena mereka sudah menguasai 56 persen kursi. Tolal, 314 kursi yang mereka kuasai, dengan rincian kionstituen

Demokrat 148, PKS 59, PAN 42, PPP 39 dan PKB 26 ( lamade@jawapos. co.id ), Saat inipun mulai menapaki babak perpecahan internal dalam koalisi yang dibangunnya. Golkar lebih memilih untuk konsisten dalam memberi pencerahan obyektif kepada Rakyat Indonesia tentang Bang Century demi eksistensi nama besarnya pada Pemilu Tahun 2014 nanti. Sementara PPP mulai menjauhi koalisi akibat kasus Petinggi PPP yang pada KIB I menjabat sebagai Mentri Sosial, yaitu Bachtiar Chamzah yang terjerat kasus korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit untuk keluarga pra sejahtera. Dengan demikian kekuatan koalisi akan melemah dan kedudukan SBY pun akan terancam,

Senin, 01 Februari 2010

MEMBANGUN OPINI PUBLIK TANPA BURUK SANGKA

Barangkali saja masih belum cukup usia sistim politik Reformasi yang melengkapi kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia ini. Reformasi sebagai sebuah sistim politik tentunya selalu dijadikan alat komunikasi antara rakyat dan autoritas melalui instrumen-instrumen yang ada, apabila sistim reformasi ini telah kita adobsi secara aklamasi, Namu pada kenyataanya sistim Reformasi ini nampaknya hanya lipstik pemanis bibir saja, terbukti apapun even politik yang yang bergulir di tengah eksistensi negara yang kita cintai ini, akan mengakibatkn letupan sosial dan menjadi gejala sosal yang mengkhawatirkan semua pihak.

Kekhawatiran ini tentu saja bukan tanpa alasan, karena hampir setiap bentuk ketidakpuasan dari sebuah kelompok/ komunitas / pihak tertentu selalu saja diselesaikan dengan tindakan turun ke jalan, yang tidak menutup kemungkinan berujung pada tindakan anarkis, ataukah memang rakyat kita telah memiliki sistim politik selain Reformasi. Ataukah juga telah terjadinya apa yang sekarang telah melegenda di tiap benak rakyat kecil, yang menyikapi pergeseran nilai ini sebagai reformasi kebablasan. Hingga tidak mengenal lagi rambu – rambu kesantunan, seperti yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita sebagai bangsa yang ramah, terbuka, toleran seklaligus mudah menerima pendapat orang lain.

Sangat beruntung sekali bahwa demo besar – besaran Hari Kamis Tgl 28 Januari kemarin berlangsung tertib seperti yang dilansir banyak media massa, meski demo yang melibatkan kurang lebih 10,000 pendemo memadati beberapa area strategis di Jakarta, yaitu Istana Merdeka, Kantor Wakil Presiden, Gedung MPR / DPR / DPDM , Mahkamah Konstitusi, Kantor Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menko Kesra dan Bundaran HI, yang mengusung muatan politik berupa mosi tidak percaya atas Kepemimpinan SBY – Boediyono setelah 100 hari duet pemimpinm nasional itu menjabat, dibantu oleh para menteri / pejabat setingkat menteri yang berlabel Kabinet Indonesia Bersatu II ( K I B II ).

Kinerja sebuah institusi tentunya belum mampu kita nilai secara optimal hanya dalam waktu 100 hari , kebijakan apapun tentunya belum mampu menyentuh hingga rakyat kecil. Meski etos kerja bagi sang presiden dan para pembantunya berada pada tahap yang puncak , sebagai kompensasi logis pihak yang memenangkan pemilu. Namun dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta , dengan level education yang rata – rata belum memadai dan sebagian besar masih tergolong keluarga prasejahtera, maka tentu saja kita harus lebih bijak dalam memberikan evaluasi.

Disamping itu pula instrumen evaluasi 100 hari kerja bagi kinerja presiden terplih adalah sistim yang diadopsi dari Amerika Serikat ( Diterapkan mu;ai Tahn 1933, untuk Presiden terpilih Roosevelt ). Secara bijak seharusnya evaluasi dengan mereapkan sistim demikian lebih dikonotasikan pada struktur sosioekonomi masyarakatnya, ketimbang kita latah meniru suatu sistim yang belum tentu bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah kabinet.

Susunan KIB II yang telah dikonsep sebelumnya, diumumkan dan disampaikan sendiri oleh Presiden SBY dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2009) pukul 22.00 WIB. Kabinet Indonesia Baru II berkekuatan 37 mentri dengan
rincian 4 menko, 20 Mentri Departemen, 10 Mentri Negara dan 3 Pejabat setingkat mentri ( Detiknews ). Berbeda dengan kinerja KIB I sebelumnya, baru 100 hari masa bakti KIB II telah diwarnai beberapa kasus politik nasional yang melibatkan beberapa institusi dan tokoh nasional, mulai dari kriminalisasi KPK dengan ditahannya Bibit – Chandra, tuduhan pembunuhan atas diri mantan ketua KPK Antasari Azhar dan yang hingga saat ini bertahan di opini publik dengan kuatnya adalah kasus Bang Centuri yang melibatkan Menteri Keuangan Prof. Dr. Sri Mulyani dan Wapres Boediyono.

Memang telah menjadi resiko semua pejabat negara, apalagi pejabat tingkat nasional yang harus mengheluarkan suatu kebijakan yang sifatnya emergency demi menyelamatkan keterpurukan sistemik suatu sistim yang menjai tanggung jawabnya. Sebut saja Sri Mulyani yang mengeluarkan kebijakan pengucuran bailout sebesar 6 , 7
trilyun rupiah kepada Bang Century sebagai sinking bank. Bersalahkan dia dengan kebijakan tersebut, pendapat yang paling bijak dalam menyikapi masalah ini adalah opini yang obyektif tanpa buruk sangka terhadap sosok Sri Mulyani namun tetap dalam konstruksi penyelesaian secara hukum yang berlaku.

Agar opini yang ada di sudut hati kita tetap obyektif maka marilah kita tilik prestasi Sri Mulyani saat menjabat Menkeu di KBI I. Prof. DR. Sri Mulyani dengan prestasi terbaik berhasil melunasi utang negara kita ke IMF. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengutang ke World Bank & lembaga keuangan dunia lainnya sebesar 465 Triyun dengan bunga komersial 12%-13%. Disamping itu Prof Dr Sri Mulyani (menteri Perekonomian) berhasil juga menumbuhkan perekonomian Indonesia di atas 4 % meskipun saat itu krisis ekonomi melanda dunia ( Yahoo Menjawab Pertanyaan )

Selain keberhasilan Prof. Dr Sri Mulyani, Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta berhasil menyelesaikan kerangka makro ekonomi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Banyak sekali hal positif yang dirasakan selama dia memimpin Menurut Paskah, tugas ini seperti dalam amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang salah satunya menyusun RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) selama 20 tahun.

Awal karirnya di Bappenas, Paskah juga mengaku telah menyelesiakan RPJMN ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ) 2004-2009. Ini agenda pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla yang merupakan, awal dari sasaran pembangunan jangka panjang nasional.Selanjutnya ada tiga agenda penting yang berkaitan dengan program tersebut, yaitu pencanangan kondisi aman dan damai, adil dan demokratis, serta mensejahterakan rakyat, yang kesemuanya telah disusun dalam RKP ( Rencana Kerja Pembangunan ) sebagai penjabaran RPJMN.

Dalam RKP 2005-2009, Paskah meprogramkan pembangunan dengan anggaran terus meningkat. Pada 2005, anggaran belanja pemerintah untuk pembangunan Rp 125 triliun. Angka ini meningkat tajam pada 2009 menjadi lebih dari Rp 300 triliun, sebagai pagu indikatif yang disusun Bappenas. Selain itu, Paskah juga mengaku telah menyelesaikan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 sekaliguis merampungkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 20 Tahun, sehingga dalam 20 tahun ke depan arah pembangunan negara ini tetap dalam koridor yang sudah ditata apik ( Vivanews.com).

Wacana tersebut semoga saja mampu menyelipkan persepsi yang obyektif untuk semua publik, dalam hal ini Rakyat Indonesia yang mencermati perjalanan konflik sosial politik yang mendera bangsa kita. Sehingga diharapkan mampu menumbuhkan sikap yang lebih
dewasa dalam berpolitik. Hal ini memang perlu diketengahkan demi mambangun opini publik yang sehat, tanpa adanya buruk sangka yang berlebihan. Wacana ini sama sekali tidak berniat ingin menumbuhkan sikap apriori terhadap publik di tengah perseteruan elit politik, Namun sebaliknya sikap yang interaktif dan kondusif inilah yang penulis prioritaskan, dengan indikator munculnya karakter publik yang obyektif tanpa buruk sangka. Sebaliknya apabila sikap tidak simpatik terhadap semua penyelenggara negara / kepemimpinan suatu figur, lantaran pengaruh bombatis media / pernyataan petualang politik yang mencecar kekisruhan ini, maka dikhawatirkan akan timbulnya power people yang tidak kita harapkan bersama.

Oleh karena itu ada baiknya apabila kita berkenan untuk bersikap konsekuen terhadap reformasi, transparansi dan demokrasi langsung yang sekarang menjadi sistem politik kita. Hal ini tentunya menumbuhkan kosekuensi logis pula kepada kita semua sebagai anak bangsa yang mengaku mencintai Negara Merah Putih ini. Sebagai implikasi dari pernyataan tersebut di atas sebuah permohonan perlu dikemukakan ke tengah publik, agar mekanisme aspirasi yang dilakukan berbagai institusi, mampu menjaring setiap sendi kesengsaraan rakyat kita yang sedang kembang-kempis dengan menggunakana penelitian ilmiah yang representatif. Sehingga tidak ada lagi pelampiasan kekecewaan rakyat dengan cara memblokir jalan, membakar kantor instansi pemerintah dan bentuk lain dari aksi demo.

Meskipun kita ketahu bersama bahwa power people yang sering menjadi parlemen jalanan belum mapu untuk menumbuhkan sebuah revolusi ( Fakta gagalnya Revolusi 21 Desember 2009 bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia ), namun setidak – tidaknya aksi-aksi tersebut akan mengganggu ketertiban umum dan sikap apriori segenap anak bangsa terhadap pemimpin nasional / pejabat penyelenggara negara, yang lebih jauh lagi mampu menggembosi dinamika bangsa ini untuk meraih masa depan yang kita dambakan bersama.

Penulis : Ir. Bambang Sukmadji. Guru MA Futuhiyyah – 1. Mranggen Demak

Selasa, 08 Desember 2009

REVITALISASI MENTALITAS PAHLAWAN NASIONAL

Apabila kita bersedia lebih teliti lagi untuk menyimak pesan moral para Pahlawan Nasional kita, baik dari buku sejarah di bangku sekolah, maupun melalui informasi publik baik formal maupun informal, sejenak kita pasti akan berpikir untuk sekedar mengevaluasi. Mengapa terjadi perbedaan yang signifikan perihal tanggung jawab moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, antara kita dengan para Pahlawan Nasional, yang telah meletakan dasar - dasar berbangsa dan bernegara.

Kita mungkin menyadari sepenuhnya, bahwa koridor lifespand kita dengan m,asa perjuangan bela negara para Pahlawan Nasional sungguh berbeda jauh, secara rinci perbedaan tersebut adalah didomonir karena perubahan sosial, politik, ekonomi dan faktor penyebab lain. Yang secara perlahan tapi pasti merubah mentalitas ini, hingga mencapai fase yang sangat memprihatinkan.

Memang harus kita garis bawahi juga, bahwa virus need of achievment , sebagai virus yang terus mereplikasikan diri, secara berkesinambungan dan cenderung menguat dengan bertambahnya variable waktu. Virus ini sungguh merajalela dan menghinggapi social culture di masyarakat belahan bumi manapun.

Virus ini telah diidentifikasi di klinik sosial, adalah virus yang menimbulkan gejala yang mewabahi masyarakat dunia untuk berlomba-lomba mencapai kesenangan dan ketentraman hidup, yang cenderung menggunakan tolak ukur dengan aspek pemenuhan materi belaka. Sehingga telah menjadi konsekuensi logis di masyarakat belahan bumi manapun, mereka cenderung mengalami perubahan sosial yang meningkat tajam. Sejalan dengan semakin menipisnya sumber daya alam yang menopang gaya hidup kita.

Secara linear tentunya terjadi hubungan berbanding terbalik antara menguatnya pemenuhan kebutuhan materi, yang dibumbui segala faktor pembatas yang semakin menelikung kehidupan manusia, dengan kepedulian terhadap sesama manusia
Terutama sikap sense of belonging pada negara dan bangsa ini, yang paling awal mengalami degradasi.

Apalagi pada masa – masa awal abad ke – 20 , gejala kehidupan materialistis semakin menggelora, karena dikondisikan demikian oleh fungsi strategis energi yang mengalami instabitas harga, globalisasi semua aspek kehidupan manusia, semakin terbatasnya sumber daya alam,, masalah demografis dan yang lebih signifikan lagi adalah peningkatan intelektualitas masyarakat kita,

Lantaran semakin besarnya tuntutan materi dan semua faktor yang menjadi pembatas tersebut di atas, maka sudah barang tentu masyarakat kita tentunya akan segera meninggalkan sikap hidup yang dilandaskan pada kepedulian sosial di lingkungannya. Dan anehnya sikap ini telah menggejala secara luas di lingkungan dan kultur manapun, yang lebih memprihatinkan lagi sikap seperti telah membudaya dengan kuatnya.

Memang bukan jamanya lagi kita untuk bahu – membahu memanggul senjata guna mengusir penjajah, namun perlu kita ingat. Setelah tercapainya national building yang telah disepakati, baik wilayah geostrateginya, konstitusi, sistem politik, serta cita – cita yang ingin diwujudkan bersama di masa mendatang. Tentunya kita harus bahu - membahu pula dalam mewujudkan cita – cita luhur dari bangsa kita.

Namun yang terjadi sekarang justru jauh panggang dari api, lantaran yang mengalir deras di tubuh masyarakat ini adalah pemenuhan kebutuhan pribadi, oleh oknum – oknum birokrasi, yang menyedot kekayaan negara kita, tanpa memiliki rasa malu. Sehingga akhir akhir ini, telah kita ketahui bersama adanya tindakan yang tak terpuji dari oknum – oknum pejabat, yang menggemparkan publik.

Dan tidak tanggung- tanggung lagi oknum pejabat yang terlibat dalam hal ini, adalah oknum penegak hukum, yang sebenarnya sangat diharapkan oleh masyarakat dengan kinerjanya yang diharapkan tajam, solid, independen dan berkinerja dengan landasan supremasi hukum. Lepas dari tuduhan publik pada oknum – oknum tersebut terbukti secara hukum atau tidak , namun pada kenyataan hal itu telah melahirkan krisis ketidakpercayaan oleh arus bawah. Yang pada gilirannya nanti dapat mengakibatkan neo multidimentional crisis, yang dikhatirkan melahirkan power people yang bisa merusak tatanan yang sudah mapan.

Oleh karena itu, hendaknya semua unsur daya-dukung, cendekiawaan, politisi dan seabreg lainnya, yang mampu memberikan kontribusi yang langsung atau tidak langsung terhadap eksistensi negara ini, hendaknya memulai mencanangkan luncuran program kerja yang taktis, transparan dan berdaya guna tinggi, untuk memperbaiki distorsi moral yang sekarang sedang berlangsung.

Tentunya langkah ini sangat berat dan penuh tantangan, karena maklum saja. Kita disodorkan pada pembentukan konsep social carakter, yang menelibatkan lebih dari 200 juta Penduduk Indonesia, yang sedang dilanda sakit parah berupa krisis ekonomi berkepanjangan.
Akan tetapi bila kita bersedia mengurai benang kusut, mulai dari merefleksikan mentalitas para Pahlawan Nasional kita kepada diri kita masing-masing, yang mengorbankan apa saja yang bisa ditebus demi kemerdekaan dan kejayaan Negara Indonesia yang kita cintai. Maka perjuangan untuk meraih prestasi kita yang luhur, adalah bukan isapan jempol belaka.

Perjuangan semacam itu, bukankah jauh lebih ringan dibanding dengan bangsa ini harus menerima konsekuensi logis yang fatal, akibat krisis ketidakpercayaan rakyat terhadap para pejabat dan pemimpin kita, atau bisa juga dalam kasus yang lebih ringan rakyat akan merasa skeptis terhadap segala kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, hendaklah kita mampu berpikir bijak, dalam artian langkah apapun untuk menggapai stabilitas nasional, harus tetap merujuk pada pola pengorbanan para Pahlawan Nasional dalam bersikap ikhlas, mau berkorban, mengutamakan kepentingan negara dibanding dengan kepentingan pribadi. Sehingga dapat kita katakan, bahwa bagi mereka yang tergolong Pahlawan Nasional menempatkan harga diri bangsa dan negara diatas semuanya.

Untuk sementara apabila kita belum mampu merealisasikan rembug nasional yang mulia ini, alangkah baiknya bila diantara kita semua yang sama-sama terlibat dalam cita-cita Negara Proklamasi ini hendaknya mampu menahan diri dan berhati sejuk. Mengutamakan ketentraman dan kedamaian kehidupan kita semua, seperti yang dirintis oleh para Pahlawan Nasional kita. Karena sikap mental positif yang tertanam pada diri kita masing-masing, sesuai dengan peran sosial kita, adalah tidak berbeda jauh denga pengorbanan para Pahlawan Nasioanal kita.