Dunia memang pengap, tak menentu dan menyimpan beribu misteri. Demikian
artian hidup bagi insan yang tiap hari, harus
bermandi peluh untuk mendapatkan sebersit kehidupan. Ataukah memang, insan itu senfiri yang tidak tahu makna hidup yang sebenarnya.
Seringkali yang namanya manusia selalu mengartikan hidup ini, hanya dari sebelah kemewahan materi saja. Namun demikian tidak bagi sebagian lainnya, warna kehidupan ditorehkan melalui manfaat
bagi manusia lainnya. Sehingga warna kanvas
kehidupan apapun tiada pernah mereka perdulikan.
Hamidun menapak kehidupanya langkah demi langkah, detik, menit, jam dan
bergulir seterusnya, dilalui dengan
langkah gontai tak berpijak selembar keyakinan. Hanya kesulitan hidupnya
sajalah yang mengokokohkan arti kehidupannya.Selain emak dan bapaknya yang renta, miskin, diapun belum siap
mematangkan diri di tengah masyarakat yang supermodern. Selembar ijazah aliyyah yang kumal dan kusut
belum secuilpun ia manfaatkan. Sudah tiga tahun, hanya disimpan di lemari
pribadinya. Apakah tiada guna sama
sekali ilmu yang digeluti selama 3 tahun ?,
pertanyaan demikian selalu saja hadir di dalam benaknya yang paling dalam. Jangankan masyarakat, dia sendiripun belum mampu
menjawabnya..
Tapi berkat asuhan emak dan bapaknya, tentang tawakal dan sabar,
Hamidun tiada pernah sedikitpun
memvonis kehidupan ini dari sisi keadilan . Yang ada hanya pembelajaran
kehidupan yang tabah, karena Hamidun dibesarkan ditengah kemiskinan, ketabahan
sekaligus ketangguhan menghadapi hidup ini.
Entah ada angin apa, ditengah
terik matahari yang menmbakar kulitnya yang legam. Dia tiba tiba saja, mencoba
untuk menyongsong hidup ini dengan lebih percaya diri. Diambilnya tas gaul yang
sudah kumuh, tas kesayangan sejak dia
masih di bangku aliyyah. Kemudian dipasang pada punggungnya, barangkali bisa menjadi
saksi, niatan hatinya untuk bertualang mencari pekerjaan di Semarang yang
gerah,
Sontak emak dan bapaknya menjadi terheran setengan senang, melihat anak
lajangnya berniat mencari pekerjaan entah kemana letaknya keberuntungan anak
yang diharapkan mereka. Kedua orang tuanya masih memandangi, walau jarak mereka
sudah cukup jauh, setelah tadi putranya berpamitan
“Ya Allah ……… semoga engkau
berkenan membimbing anaku dan selalu
membesarkan hati anaku, Anaku maafkan emakmu yang tidak bias membantu apa-apa,
hanya doa saja yang emak panjatkan “ demikain
suara hati emaknya, setelah cukup lama berdiri di halaman mengawasi kepergian
putranya, meski orang yang dicintai sudah tidak tampak lagi.
Matahari sudah mulai menelan
separo wajah bumi, pertanda sebentar lagi akan bersembunyi di balik malam. Bulanlah
yang akan menggantikan tugas matahari. Namun harapan yang selalu hadir di kalbu
Hamidun belum juga menjadi kenyataan.
Sudah
sekian banyak pabrik, bengkel, toko hingga depo isi ulang air mineral ia
datangi, untuk menawarkan jasa tenaganya. Namun semuanya tidak memberikan jawaban yang ia harapkan.
“Ternyata untuk mendapat secercah kehidupan, yang harus
aku miliki tidak semudah yang kubayangkan,……entahlah aku tidak tahu, harus
dengan cara bagaimana harus mendapatkan, biarlah penat sekujur tubuhku, namun
yang mampui menolong diriku adalah hanya diriku sendiri “ guman Hamidun di
tengah Kota Semarang, yang sudah mulai redup. Sementara lampu jalanan sudah
mulai menyala, tatkala dia sudah mulai tiba di jalan kampong menuju rumahnya.
“ Cepatlah
mandi dan sholat maghrib, anaku …! , emak sudah menyiapkan makanmu “ suara emak
yang tulus sempat ia dengarkan ,
ketika ia mencium keriput tangan
emaknya yang sudah dari tadi menunungu
kedatangannya di tengah regol pekarangan rumahnya. Kehangatan dan kasih sayang
emaknya masih ia rasakan, bukankah hal
ini cukup bagi dia untuk terus tidak putus asa dalam mendapatkan Rammat dari Allah swt.
Maka
Hamidunpun segera menunaikan Sholat Maghrib, agar dirinya selalu mendapatkan kekuatan di tengah keluarganya yang tidak memiliki
pengharapan. Tapi apalah artinya modal duniawi, sesuatu yang ia yakini mampu ia
dapatkan, dengan kedua bahunya sendiri. Waktu nantilah yang akan membuktikan.
Semangat itu tiada hentinya menjadi lokomotif hidupnya.
Matahari
masih setia menebarkan kehangatan di muka bumi ini, sehingga wajah bumi menjadi
terang, pertanda Allah swt, masih berkenan menebarkan RahmatNYA kepada
hambanya yang masih mwenyandarkan pengharapanya. Hamidun segera bergegas
menyongsong hari-harintya dengan segenggam harapan.
Masih
seperti hari-hari kemarin, tantangan dan kehidupan yang tidak bersahabat masih saja menghadang
Hamidun, anak lajang yang sedang belajar mengukir kehidupannya. Terkadang
terlintas di kalbunya, apakah masih ada hari indah yang dapat aku miliki, namun
terkadang pula perasaan itu hilang,
berganti dengan ajaran para guru-guru yang dahuluIa dapatkan di bangku aliyyah,, bahwa manusia mesti akan
mmendapatkan kemudahan dari Sang Pencipta, setelah manusia itu sendiri telah
menyisakan kesabaran dan pasrah.
“Sekarang,
sampeyan mau ke mana, kang ? “ seru
Rosid teman melepas lelah Hamidun di tepi Jalan Pemuda Semarang, tempat biasa
Hamidun dan teman-teman senasib mangkal melepas lelah, di siang udara panas
kota Semarang.
“Entahlah, kang………….aku sendiri tidak tahu, biar kering dulu keringatku, Wah belum lagi Sholat Duhur, nanti saja setelah istirahat tak lanjutkan
entah kemana aku akan berjalan mencari kerjaan “ jawab Hamidun dengan muka terbakar sinar
matahari.
“Baiklah kang, aku sendiri
hari ini sedang kena sakit perut, setelah Sholat Duhur nanti aku mau pulang
dulu, biar sampeyan yang lanjutin dagangan saya kang…! ”.
“ Lho sampeyan piye to…kang, inikan hari baik,
udara panas seperti ini kan baik untuk jualan es cendol to…? Apa sampeyan nggak rugi…? “ sela Hamidun,
setengah protes mendengar keluhan teman senasibnya.
“Ah,
kalaumasalah untung, manusia ndak ada
cukupnya, kang, entah tidak seperti biasanya hari ini aku merasa badan nggak
enak, masalah rugi itu gampang, etung-etung
sampeyan bisa belajar mendapatkan uang halal, tapi ingat lho
kang…hasilnya nggak seberapa “ jawab Rosyid dengan sorot mata meyakinkan,
sehingga membuat sikap Hamidun menjadi tidak banyak protes lagi. Keduanya
sejenak terdiam, karena Adzan Sholat Duhur memanggil mereka, untuk segera
menunaikan kewajiban.
“Kang ! ,
lantas bagaimana jadinya, dagangan sampeyan tak terusin, akau nggak mau kalau
sampeyan rugi, kang !. “ kembali Hamidun menegaskan maksud baik temanya tadi.
“Sudahlah,..nggak
usah kamu pikirkan, yang aku butuhkan hanya aku ingin istirahat dulu, nanti
setelah dagangan ini habis, kembalikan gerobagku di pangkalan biasa. Gitu saja Mid, aku tak pulang dulu. Assalamu΄alaikum
“ . Rosid memberikan jawaban terakhir, seraya membalikan badannya, dan terus
pulang.
Tinggalah
Hamidun yang sedang menguatkan percaya dirinya, untuk mencoba menapak awal
kehidupannya dengan berjualan es cendol. Toh untuk mendapatkan rejeki dari Sang Chalik bisa didapatkan dengan beribu cara. Tinggal
kita sendiri bagaimana menafsirkan makna hidup ini, demikian hati kecil
Hamidun, yang selalu melekat kuat di hatinya.
Yang jelas bagi pemuda lajang
ini, motivasi seperti ini telah terpatri jauh di hati yang paling dalam.
Masa lalu
tinggalah masa lalu, kini secercah kehidupan mulai Hamidun miliki, apalagi ia
baru saja mendapat kepercayaan dari juragannya Rosid, untuk
bergabung bersama Rosid menjadi buruh penjaja jualan miliknya. Hingga hari itu, ia mampu pulang ke rumah bertemu emaknya
dengan wajah berseri-seri, sedikit ia
memiliki pengharapan untuk mampu membantu emaknya dalam mencukupi
kebutuhan hidupnya..
Meski hanya
penjaja es cendol, namun tiada mengapa bila ini yang dapat Hamidun lakukan,
daripa menjadi penjaja kemaksiatan, toh
penjaja es cendol jauh lebih bermanfaat. Sebuah potret sosial, yang
dapat mengharu-birukan bagi yang tidak kuasa melakukan. Namun bagi Hamidup
selangkah lebih maju dalam mengarungi kehidupan ini.
“Ya Allah semoga engkau selalu berkenan
mencurahkan RahmatMU, pada hambaumu ini, berilah kesehatan dan kebaran pada
bapak dan emak yang telah banyak menyayangiku,
walau selama ini diriku belum mampu membalas budi baik mereka “ doa Hamidun selalu ia ucapkan setelah tiap
habis sholat. Bukankah ini sebagai
pertanda bahwa Hamidun, tidak lain adalah anak sholeh yang sabar, tabah dan
bertanggung jawab pada dirinya.