Sabtu, 31 Desember 2011

Dari Play Station hingga Tawuran


pelajar SMP sudah mengenal tawuran
Baru saja kita meninggalkan tahun 2011, bila kita ibaratkan  suatu buku harian maka kita baru saja menutup lembaran lama. Namun karena jarum detik terus berputar maka kita tidak mungkin menutup pula lembaran baru, terutama bila menyangkut nasib 32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta. Lantas bagaimana kita mempertanggungjawabkan tugas multidimensional tentang nasib mereka di lembaran baru tahun 2012 ini.

Tugas moral ini tentunya tetap  kita langsungan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan essensi yang diperlukan mereka, yaitu kebutuhan dan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini perlu mendapatkan fokus perhatian, karena pada perioda 20 – 25 tahun mendatang, mereka akan mendapat giliran pemegang tongkat estafet pergantian generasi ke generasi. Apabila kita gagal dalam membentuk karakter, kecerdasan serta ketaqwaan mereka melalui ranah pendidikan, maka bukan tidak mungkin kita akan gagal dalam pembentukan generasi “penjemput bola” Bangsa Indonesia di perioda tahun tersebut.

Langkah awal dari upaya maksimal kita adalah langkah “manis” berupa pengucuran Bantuan Siswa Miskin pada 5, 8 juta siswa miskin, dengan besar anggaran Kemdiknas sebesar Rp 3, 7 Trilyun. Langkah ini dipandang oleh sebagian besar praktikan pendidikan sebagai langkah yang taktis demi penyelamatan siswa yang tidak mampu bersekolah karena faktor biaya. Tentunya dengan mekanisma penyaluran yang “lebih manis” pula, yaitu dengan mekanisma penyaluran yang mampu langsung ke tangan peserta didik, guna menghindari pungutan pihak sekolah atau manipulasi data jumlah siswa miskin di masing-msing sekolah.

Aspek positip yang paling kita harapkan dari BSM tersebut, adalah aspek pengadaan buku bahan ajar bagi siswa miskin. Terlebih lagi bila pihak pendidik ikut terlibat melakukan himbauan agar para siswa miskin ini menyisihkan sebagian dana bantuan tersebut untuk pengadaan buku bahan ajar yang representatif. 

Hal ini disebabkan karena masih adanya realita bahwa peserta didik masih belum memiliki kesadaran untuk menggali informasi bahan ajar dari buku ajar. Sekaligus untuk menindaklanjuti aspek pembiasaan “membaca” bagi peserta didik kita yang sebagian besar masih malas belajar. Bahkan untuk mengikis budaya malas membaca/belajar ini, sebaiknya perlu adanya gerakan nasioanal yang disodorkan oleh Kemendiknas untuk program wajib membaca bahan ajar tertentu pada masing-masing jenjang sekolah dan ditindaklanjuti dengan program  refleksi/evaluasi formal terhadap kegiatan membaca tersebut.

  • Langkah Seimbang dan Totalitas
Kita mungkin telah jenuh membaca tayangan media cetak/elektronik/dunia maya tentang ketertinggalan peserta didik kita terhadap siswa dari negara lain. Namun kita juga harus mengerucutkan parameter ketertinggalan tersebut. Pada umumnya ketertinggalan yang diungkap oleh media tersebut adalah  ketertinggaan dalam aspek kognitip saja. Tanpa menyertakan parameter yang komprehensif, seperti misalnya aspek kesantunan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu,langkah maju yang perlu kita tekadi di tahun 2012 ini adalah langkah totalitas dalam menggapai peserta didik kita yang berpengetahuan tidak kalah dengan siswa asing, tetapi memiliki karakter yang kuat, yang mampu memasinisi kapasitasnya menuju generasi bangsa yang handal. Sehingga terbentuklah wujud pembelajaran yang seimbang antara pembentukan karakter yang sesuai nilai luhur Bangsa Indonesia dan pencetakan generasi yang pandai (The Indonesian Smart Generation).

Namun sungguh disayang, disalah satu sisi kita mulai serius menerapkan pembelajaran plus karakter, di lain sisi masih banyak kita saksikan tawuran pelajar yang semakin beringas dan menjurus ke tindak kriminal. Sebuah langkah maju di tahun 2012 ini bakal kita raih dengan gemilang apabila kita berhasil mengikis habis perbuatan brutal siswa tersebut. Namun andaikata kita gagal dalam menepis tindak amoral ini, maka sebuah langkah surutpun bakal menyertai kita.

  • Signifikasi Sekolah Berbasis Masyarakat
Suatu realita lainnya masih banyak kita jumpai dalam kontek pendidikan, yaitu masih banyaknya warung play station yang buka di saat jam sekolah. Meski warung tersebut telah memiliki ijin yang sah, yang tidak mungkin kita bubarkan secara sepihak Namun setidak-tidaknya para pengelola warung Play Station (PS)atau warnet bersedia melakukan filter terhadap pengunjung secara serius. 

Langkah yang lembut untuk mengatasi masalah ini semua adalah dengan melibatkan masyarakat pada perencanaan, pengelelolaan, penggalian dana, rasa memiliki sekolah dan pengawasan terhadap anak anak kita sendiri. Apabila kita mampu melakukan pemberdayaan ini semua, maka kitapun akan mendapatkan prestasi yang diharapkan dari kemajuan pendidikan kita.

Apalagi bila kita mengamati salah satu karakter tentang spesifikasi dari masyarakat modern, yang bertendensi tidak hanya dalam kapasitas yang mereka minati dan tekuni, tetapi suatu tendensi kemampuan dalam pembelajaran sosial demi kepentinganya. Maka apabila tendensi karakter masyarakat tersebut kita optimalkan dalam pengasuhan sekolah yang ada di sekitarnya, maka genap sudah kemajuan pendidikan bakal kita raih***

Pesan Untuk Anaku tentang Tahun 2012


Rangkaian pita biru telah kau lepas
Sedangkan telah kau kaitkan pita berwarna tanpa makna
pada sisi puncak gunung Mount Everest dan melintas
mengembalikan nafas yang hilang, kembali ke Mahameru

Anaku, kala ayah menghamparkan kuning tanaman padi
Berdesah  liuk angin gunung yang menyepi dari erotis kemunafikan jaman
Jangkaulah tepianya hingga kau menjenguk
untaian anggrek dan selaksa kembang,  yang dapat menyejukan
relung jiwa dan hatimu agar tetap kokoh diselip tulang iga yang rapuh

Anaku, jaman ini begitu menyeret
Semua pelangi telah memudarkan warna
Dilahap lentingan ego yang menghentak semua sendi ilalang,
Yang berumpun pasrah dan bersandar pada untaian detik dan waktu
Kita hanya mampu perlahan menapak jalan tebing
Yang curam, tapi berkait pada jendela langit

Capailah semua yang ada di atmosfer
Yang berisi tentang catatan harian, yang menyelinap dalam
sejuta sayap malaikat. Dengan nafas seloroh berharum bunga

Kita genap memiliki hiasan warna dari merah hingga biru
Sehingga kau mampu mencibirkan bibir pada pelangi
Berenda fatamorgana dan bersimpul pada kenisbian
Tak  ada yang perlu kau takuti
Bila roda roda bumi masih berkait pada Sang Empu Kehidupan
Peluklah dan genggam, sehingga pagi yang kau miliki
Tetap berselingkuh pada sudut jantungmu

Pernahkah kau menyayat sang waktu
Yang hanya mampu melangkah ke depan
Sedangkan jauh dalam rongga dadamu
Terdapat bilik bambu tempat sang waktu
bersemayam.

(Semarang 1 Januari 2012, “pesan untuk anak-anaku"

Jumat, 09 Desember 2011

Sajak Tentang Kota Liar


Aku Terjaga Di Kota Liar ini

Di kota liar ini
Aku terjaga, untuk menjadi saksi,
Untuk diriku sendiri, saat isi dada terhempas
dari sendiku sendiri....menusuk
menajamkan sembilu yang kuraut sendiri

namun tiada pernah bintang gemintang
menerangi kota ini,bahkab
memberiku, melentingkanku
ke pucuk...menyelingkuhi kain berjelaga,
hanya angin malam di peraduan
gelap gulita,,,
membawaku menjamah nisbi

Au terjaga ubtukMU
Pada sepertiga, kala aku tergolek lesu
Memucat wajah dan menjinakan sorot mata
MencapaiMU..

Di tengah padang belantara yang
kuraut sendiri, beralas berigi berbisa..
aku tertawan dan terpinang
pada Dajal si penunggu syahwat berbisa
hingga tak mampu menengadah
lantaran kuku tajam Dajal mematahkan
semua tulang igaku

Aku terjaga dan tersungkur
pada nyanyian rindu padaMU,
dengan manik mutiara hati
yang sejuk,
kembali aku..sepi
(Semarang, 7 Nvember 2011)

Menghitung Bintang

Satu dua bintang,....
menghampiriku dengan secawan sejuk
dengan seikat bunga kesabaran
dan karangan bunga kemanusiaan        
tak ketinggalan menyodorkan
catatan langit
berisi dongeng tentang surga

Aku hitung bintang
Dengan buih lautam
Dengan daun palma
Aku tak sanggup
Engkau Maha Perkasa
(Semarang, 7 Nvember 2011)

 Di Sudut Kota Yang Mati


Di sudut malam, aku terkungkung dalam pekat
mencari tiap sudut kotaku, kala aku terbuang
aku tak mau harus memunguti jarum waktu, dalam resah...
menunggu seduan teh hangat yang kau beri, kekasihku !

Kotaku !, berilah aku sebatas pandang, meski sebuat tirai rajutan
aku tidak liar mengirup sketsa sebuah hidup,
dalam kubangan anyir, tempat yang liar tak bertepi
tak satupun tangkai perdu penyembuh rindu

Kotaku !,
kala aku menitipkan rembulan pada bintang yang berpose
Di hadapan panggung warna hidup semua penghuni langit,
Mereka  malah menikamku dengan beban yang
menelanku mentah- mentah, akupun menyambangi batas
lembut sebuah fatamorgana.  Yang tersusun di langit ke tujuh.

Kotaku !,  kubiarkan aku melihat bintang
dengan kekasihku yang kuajak terbang malam,
meski sayap-sayap kami berdua telah lapuk dimakan jaman,
telah pula melemah urat sendi kami karena cibiran
lidah dan bibir semua yang kau miliki
atau karena melemah ditebas kerasnya debu debumu

Kotaku !,  berilah kami sekedar ruangan
untuk  malam pengantinku, agar tak terkoyak korupsi
dan kebusukan di sekelilingku.
Meski hanya untuk bertanam sehelai “asmarandhana”
sebuah kidung, milik padang ilalang yang bersekutu
dengan belalang, hingga mampu terbang dengan sayap
tak seberapa luasnya. Namun kau tetap menyeringai,kotaku !.

Malam ini  aku terus terjaga,
Karena tiada satu pagipun yang mampu merekah di kotaku.
Jangan kau sunting dahulu merah padam dari tepian tubuhmu
lantas kau curahkan pada aku dan kasihku,
yang sedang merenda kantong baju dan mengokohkan
pagar bambu tiap sudut bilik kami berdua.

Kotaku!,mengapa tidak kau pamerkan pakaian pengantinmu,
Mana kicauan Kenari, bangau di sawah dan bunga bakau
di pantaimu ?..
Kali ini akulah yang mencibirmu
Seharusnya kau tanam anggrek bulan pada jambangan
peraduanmu, sehingga tiap sudutmu hijau dan apik.
Kini senjamu memusari aku dan kasihku   ((Semarang, 10 Desember 2011).

Kecewa

Mengapa tiada lagi kini,
Kain selimut malam biru bertepi selaksa khayal

Kau sandarkan “benang – emas”  lurus menuju....
Indrakila hunian para bidadari,

Aku akan melangkah surut,
Tiada yang kusimpan dalam kantong baju
Hanya seutas janji Sang Arjuna pada Dewi Supraba
Aku hanya bergayut di tepian
Penuhilah jalinan kuning keemasan, yang menertawai aku
Kau ikat saja kuat kuat,
Agar gerimis tiada meninjing badai

Akupun hanya mampu menyuguhkan
Seribu batas langit, percik air telaga yang
menepiskan rambut emas sang mentari.
Kau ikatkan aku pada kanvas tanpa warna
Bergambar “Kolonjono”  bertaut debu membaraa
Lantas meranggas, akupun hanya memilki sebuah
warna.....hingga telah sampai
tengah malam yang tak berbintang.
Kau sambut dengan senyemu,
Yang terindah...yang pernah kulihat

Jangan kau salahkan “sedap malam”
bila di pagi hanya tertunduk lesu
tapi usunglah keranjang pilu beralas galau
lantas kau tumpahkan...ada tiap detik
yang berdebu yang aku buru.
Sehingga kau kecewa dan jelas tergambar
pada setiap lekuk tubuhmu   (Semarang, 10 Desember 2011) 

Minggu, 23 Oktober 2011

Optimalisasi Sekolah Berbasis Masyarakat


Sesuatu yang pelik memang harus kita hadapi dalam urgensi pengentasan mutu pendidikan kita yang terpuruk ini. Tentunya  setelah kita menggenapi sistim pendidikan dengan berbagai instrumen yang menjadi faktor pendukung keberlangsunganya, seperti kurikulum yang representatif, guru yang professional sebagai media transfer bahan ajar san agen pembentuk jarajter peserta didik, sistim evaluasi yang komprehensif dan berstandardisasi, kita juga dihadapkan kompetensi peserta didik terhadap bahan ajar dan konsistensi karakter peserta didik yang paling essensi. Sekaligus specifikasi tersebut direkomendasikan mampu menjadi dasar akselerasi pengentasan di bidang pendidikan atau aspek lainnya.

Mengapa aspek karakter dalam urusan pendidikan menjadi demikian essensinya, pertanyaan ini tentunya bisa kita jawab dengan mencermati hubungan antara karakter sebagian besar anak bangsa dengan karakter suatu bangsa. Kita telah mengetahui bahwa karakter dasar yang membudaya kokoh dalam masing masing sanubari anak bangsa yang inovatif  dan  karakter lainya yang menjadi dambaan kita adalah justru sebuah modal utama sebuah bangsa untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di muka bumi ini. Wacana ini tentunya akan lebih kita terima, bila kita mencermati perbandingan karakter  dasar kita dengan bangsa lain. Kita mampu menyimpulkan bahwa terhadap hubungan korelasi positif antara kemajuan berbagai bidang suatu negara dengan karakter rakyatnya, misalnya tertibnya budaya antri, budaya santun di jalan, sportifitas , kejujuran,  anti korupsi dan lain sebagainya di negara negara maju tersebut.

Di lain pihak kita sering menjumpai sikap masyarakat kita yang “sok jagoan” di jalan raya tanpa punya satu  hatipun untuk memperdulikan kepentingan dan keselamatan orang lain atau anarkis saat antri bergiliran untuk mendapatkan sesuatu, holiganisme supporter sepakbola dibanyak even. Dengan latar belakang keprihatinan kita bersama tentunya menumbuhkan tekad di hati kita semua untuk mengakhiri ini selama lamanya. Dan lebih jauh lagi kita menekadi untuk realisasi Negara Indonesia yang ditopang oleh anak bangsa yang santun, piawai di bidangnya, memiliki nasionalisme yang “tak lekang ditengah panas dan tak lapuk dimakan hujan”, memiliki kepedulian yang tinggi,jujur dan lain sebagainya.

·        Minat Baca dan Urgensinya

Tinggalah kini kita bersandar pada ranah pendidikan yang mampu mengusuk pencetakan individu yang berkarakter dambaan, bahkan demi penyelamatan martabat bangsa kita dituntut untuk memberlangsungkan laju pembangunan pendidikan yang memadai, meski sebuah kepelikan akan kita jumpai dalam hal ini. Namun bila kita menilik sejarah sistim pendidikan kita yang terkoyak akaibat tekanan rezim Soeharto selama 32 tahun, kitapun menjadi tak memperdulikan lagi kompleksitas tersebut demi sebuah kontribusi rekonstruksi kejayaan Negara kita.

Minat baca masyarakat umum kita mestinya turut kita soroti, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), yang menukil laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ), dalam laporan tersebut,  di Asia Timur tingkat terendah minat baca  anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko (Kompas, 2/7/2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Namun kita juga tidak serta merta menyudutkan masyarakat kita yang memprihatinkan  minat bacanya,terutama untuk peserta didik yang ada di satuan pendidikan yang rata rata miskin ”khasanah pustaka” pada perpustakaan mereka. Bila pada satuan pendidikan tersebut telah langka akan pustaka yang up to date, maka bisa kita bayangkan betapa tertinggalnya anak didik kita lantaran njauh dari jendela dunia. Selain itu rendahnya daya beli kita semua menyebabkan sebagian dari kita cenderung menepiskan kebutuhan untuk membeli judul buku terbaru.

·        Pendidik Profesional

Percepatan pengentasan pendidikan diharapkan akan berhasil guna bila kita telisik peran vital seorang pendidik yang patut diperhatikan, apalagi bila pendidik tersebut telah mampu berperan secara profesional dan mampu menyodorkan pembelajaran secara inovatif, lantaran mereka telah mengalami peningkatan kesejahteraan hidup, setelah mendapat tunjangan profesi dari negara. Akselerasi akan lebih dapat kita harapkan bika terdapat kesamaan sikap dan kinerja dari 2.607.311 guru yang tersebar di seluruh Indonesia  dan ditambahkan  lagi suatu kiat  terobosan untuk meng-up grading satu juta pendidik yang belum berijazah S1 (dari berbagai sumber).

Jumat, 21 Oktober 2011

SINDROM INFERIOR KOMPLEKS


Amin Rais pada Seminar Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin (17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara kita sering kali bersikap bahwa  produk luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek “beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain sebagainya.
Tentunya revitalisasi prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan prestasi”  perlu kita torehkan. Untuk itu kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan dasar dalam pencapaian prestasi tersebut. 
·         Keprihatinan Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara  tetangga (Singapira, Malaysia,  Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius  harus kita kukuhkan untuk pengentasan rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut  laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat baca  anak-anak didera anak anak  Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra  yang menjadi ”best seller”, antara lain adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku sastra lainnya yang banyak peminat bacanya. 
Mengulang kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang, adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·         Optimalisasi Pendidikan  Berbasis Masyarakat

Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah pendidikan  dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan  Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat. 
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif  masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya mengusung aspek ”cerdas” saja,  tanpa memperdulikan  ”pembelajaran sosial ” yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan .
Maka apabila kita tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh  DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,  c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar. 
Dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek tersebuy di atas, maka cukuplah kiranya sekolah mampu menepis ”Sindrom Inferior Komplek”, sehingga jadilah generasi kita sebagai generasi yang bermartabat,”smart”, inovatif sekaligus santun.Oleh karena itu marilah kita tidak setengah setengah dalam membentuk peserta didik kita untuk menggapai masa depanya dengan penuh pecaya diri (dari berbagai sumber).

Jumat, 07 Oktober 2011

OPTIMALISASI RPP BERKARAKTER


Banyak anggota masyarakat kita yang telah mulai jenuh dan khawatir saat menyaksikan tayangan semua stasiun TV swasta ataupun media lainnya tentang tindakan tak terpuji masyarakat kita yang berbentuk tawuran, korupsi, demo anarkis, bentrokan berbagai pihak baik perorangan ataupun antar lembaga strategis. Fenomena tersebut dikhawatirkan mampu menumbuhkan perasaan skeptis masyarakat kita, yang sebenarnya masih berhajat besar dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, bukan lagi hanya menerima informasi tersebut di atas sebagai hasrat autoritas untuk mengajak kebersamaan dalam memikul tanggung jawab bersama untuk menuju Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik.

Namun fenomena yang menyeruak dalam di tengah kita, bagi kalangan dan pemerhati pendidikan akan berpandangan lain lagi. Munculnya gejala tersebut di atas, adalah gejala penetrasi karakter yang gagal selama kita mengenyam pembelajaran dalam wadah pendidikan yang kurang memperhatikan pembentukan karakter (affektif) peserta didik pada semua jenjang. Selama satu kurun waktu kita hanya mengusung pembelajaran yang mengoptimalisasikan aspek kognitif belaka, tanpa menyelaraskan aspek affektif pada peserta didik. Sehingga usungan tersebut menuai hasil lahirnya generasi yang “miskin dalam sematan nilai dasar yang diwariskan nenek moyang kita sebagai bangsa yang santun”

Seharusnya setelah runtuhnya perang dingin antara blok barat dan timur, yang dicirikan dengan kekhawatiran kedua blok akan ekspansi ideology musuh mereka masing, saat persaingan antar bangsa diletakan pada landas pacu supremasi sains dan teknologi, kita tidak terpancing dengan perlombaan tersebut dengan mengesampingkan aspek pembentukan karakter bangsa melalui pembelajaan. Sebab dalam jalinan proses pembentukan karakter, peranan yang ikut menjadi faktor utama pembentukan karakter yang utuh, adalah satuan pendidikan yang mengusung pembelajaran berkarakter, sebagai agent of changing karakter social.

Dengan wacana tersebut di atas akan mencairlah kekhawatiran  semua pihak terhadap runtuhnya jati diri Masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang santun, murah senyum, gemar menolong, terbuka, seka bergotong royong dan seabreg karakter terpuji lainnya. Agar pencapaian tersebut bukan hanya menjadi isapan jempol belakan, maka setiap simpul pembelajaran di tanah air kita haruslah terintegrasikan dengan cermat, dimulai dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibumbui dengan “item” berkarakter.

Sehingga setiap Indikator (ukuran keberhasilan pembelajaran) dan Tujuan Pembelajaran dalam rencana pembelajaran bersendikan pada kejujuran, tanggung jawab, kepedulian sosial dan lingkungan, percaya diri, berkemauan kuat untuk maju, berbudi luhur dan tindakan terpuji lainnya yang melekat kuat pada masing masing sanubari peserta didik kita. Meski proses tersebut tidak mampu kita laksanakan hanya dengan tempo yang singkat. Namun apabila  “kasih sayang” setiap peserta didik dalam penyertaan “unsur karakter” tersebut, maka beberapa decade waktu mendatang kita akan mampu menemukan kembali mahkota sematan bangsa yang santun.

Kiat strategis pendidikan ini, tentunya harus diusung oleh salah satu diantaranya adalah pada pendidik yang berada pada garis terdepan. Oleh karena itu kapasitasi pendidik haruslah dalam kategori “bersertifikasi profesional” dalam cakupan tiga unsur utama, yaitu penguasaan sains, tehnik pembelajaran yang menggelitik dan menyenangkan serta peran social pendidik di tengah lingkungan sosialnya. Dengan peranan social pendidik  
                                                           2
yang bersertifikasi professional, maka dengan pengalaman berkehidupan social yang utuh, mereka mampu menularkan “ tindakan sosial, interaksi social dan komunikasi social” kepada setiap peserta didiknya. Tindakan untuk transfer dan pembudayaan karakter social tersebut harus terselip dalam “tiga pilar” utama Rencana Pembelajaran Pendidikan, yaitu kelihaian pendidik dalam Eksplorasi (penggalian potensi karakter anak didik), Ellborasi (penyampaian tujuan) dan Konfirmasi (tagihan)

Dengan percaya diri dan kemauan yang sungguh sungguh serta sistim perencanaan pembelajaran yang cermat dan sistimatis, maka cita cita luhur yang ditunggu capaianya oleh setiap masyarakat Indonesia, tentunya bisa kita harapkan keberhasilannya. Oleh karena itu setiap perkembangan karakter perorangan peserta didik harus mampu dimonitor pendidik. Monitoring ini sekaligus menjadi sebuah evaluasi, yang tidak hanya evaluasi aspek kognitif. Akan tetapi berujud suatu sistimatika perkembangan karakter perorangan mulai dari tahapan “Belum Tampak” perubahan karakter, “Mulai Tampak”, “Mulai Berkembang” perubahan karakter anak didik kita dan terakhir yang kita harapkan adalah “Mulai Konsisten”peserta didik dalam melekatkan karakter terpuji.

Lantaran tingginya urgensi pembelajaran berkarakter, maka Prof.M.Satuhu, M.Ed (2002) mengharapkan menjadi sebuah Sistim Pembelajaran Nasional Visioner yang memilihi roh “kukuh dalam aqidah, dinamis dalam syariah dan santun dalam kerja pendidikanya.

Selasa, 24 Mei 2011

Titian Benag Sutra Kesabaran


Kanko terhuyung kebelakang, saat “Maharaja Prabu Matswopati Raja Kerajaan Besar Wiroto” memukulkan alas permainan dadu yang terbuat dari kayu jati. Darah segarpun menetes dari keningya yang putih bersih. Melihat kejadian yang menyayat hati itu, “Emban Sarindri” yang cantik jelita, segera mengambil “Bokor Kencana” yang terletak disamping singasana agung Prabu Matswopati. Bokor kencana tersebut digunakan untuk menampung darah segar Kanko, agar tidak menodai permadani yang tergelar di “Pisowanan Agung” itu .

Kedua mata Prabu Matswopati, terbelalak matanya mencermati kejadian itu, betapa tidak Emban Sarindri, yang selama ini tidak memiliki sangkut paut hubungan antara dirinya dengan “Lurah Pasar” Kanko, sekarang menjadi penuh perhatian, dengan melakukan hal semacam itu.

“Hei..Sarindri, untuk apa kamu melakukan hal semacam ini ?”

“Ampun paduka, mohon maaf atas kelakuan “abdi dalemu” yang lancang ini”

“Aku belum mengerti, Sarindri ?. Mengapa kamu menampung darah segar Kanko dengan bokor ini. Jelaskan Sarindri ?”

“Ampun tuanku, “Sinuwun“ adalah “Senopati Agung” sekaligus Maharaja di Wiroto, yang memiliki pantangan meneteskan darah hamba Paduka, yang harus sinuwun “ayomi”, kecuali di tengah pertempuran bela Negara. Apabila darah ini menetes ke bumi Wiroto, akan menyebabkan murkanya para dewa, dan hancurlah Kerajaan Besar Wiroto”


“Sarindri, ternyata kamu adalah “embanku” yang berbeda jauh dengan emban lainya. Meski derajatmu hanya “sudra”, tetapi “kawruh lan kepinteranmu” luas. Meski aku selama ini belum tahu persis siapa dan dari mana kamu sebenarnya, tapi aku merasa mendapat “kawruh dan ilmu” darimu “

“Ampun tuanku “Sinuwun Wiroto”!, hamba memang emban yang “kabur kanginan”, lantaran bagi kami siapa aku sebenarnya tidaklah penting, yang penting adalah niatan kami untuk “Ngawula lahir batin” di Negara Wiroto”

“Sungguh luar biasa pengabdianmu, Sarindri !”

“Maturnuwun sinuwun, hanya saja bolehkah abdi dalem yang tiada berguna ini bertanya kepada paduka ?”

“Apa lagi Sarindri ?. Aku harap kamu tidak lancang kepadaku, seperti Lurah Pasar Kanko itu ”

“Mengapa sinuwun tega menganiaya abdi Kanko, apa salahnya ?”

“Sarindri, ketahuilah kelancangan Kanko sungguh terlalu. dia seenaknya memperolok kesaktian Seto putraku, yang dituduh tidak becus mengusir barisan kurawa. Kanko menganggap bahwa sang kusir putraku yang berhasil menghancurkan barisan kurawa. Seberapa kesaktian guru tari anaku itu?, yang bersikap seperti waria. Sekarang kalian berdua keluarlah, aku tidak mau melihat kalian berdua di bumi Wiroto ini. Keluarlah dan pergi jauh jauh dariku !!!!”

Sarindri dan Kanko hanya menundukan wajahnya, dengan tidak menunggu waktu lagi mereka berdua segera mengangkat tubuh mereka dan keluar dari pisowanan agung itu.

***

Sementara itu pisowanan menjadi geger, lantaran di luar semua abdi dan prajurit mengelu-elukan kedatangan Senotapi Wiroto Seto, putra Prabu Matswopati yang berhasil, mengusir ratusan ribu prajurit Hastinapura, yang hendak melibas Kerajaan
2
Wiroto dari arah Utara. Meski pasukan itu dipimpin langsung oleh “Prabu Duryudono”, dengan senopati pengapit “Dah Yang Durna”, “Adipati Awangga Sinuwun Karno”,:”Resi Krepo “ dan “Sang Resi Woro Bisma”.

Mencermati kekuatan besar bala prajurit Hastina tersebut, tidak mungkin bagi Putra Mahkota Wiroto Seto, mampu mengalahkan mereka semua, yang pada kenyataan lari tunggang langgang. Hal ini karena kesaktian Senopati Seto masih dalam tataran biasa –biasa saja. Lantas rahasia apa yang terselip di balik kemenangan gemilang itu. Rahasia itu terkuak, setelah beberapa prajurit yang menjadi saksi mengatakan bahwa kemenagan itu karena jasa kusir kereta perang sang senopati, yang bernama Wrihatnolo. Meski Wrihatnolo hanya “batur” sang senopati, tapi memiliki kesaktian yang luar biasa dan di atas para senopati Hastina, Wrihatnolo memiliki senjata sakti yaitu panah Pasopati pemberian Dewa Siwa. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama “Dewadatta”, yang berarti "anugerah Dewa".

Dengan semula hanya sebatang anak panah Pasopati yang menebas udara Wiroto, yang kemudian melipatgandakan jumlahnya hingga ribuan, “wadya bala” Prabu Duryudono yang beribu ribu jumlahnya menjadi terbelah leher mereka hingga tewas . Menyaksikan banyak rekan mereka yang “gemlundung mustakanya” prajurit yang selamat menjadi “miris” hatinya dan lari tunggang langgang. Disusul kemudian sekali tiupan sangkakala sakti Dewadratta, semua bala prajurit termasuk para senopati Hastinapura yang tersisa menjadi berterbangan ke angkasa terhempas daya sakti Dewadratta.

Prabu Duryudono menjadi kecut hatinya melihat kenyataan yang terjadi, lantaran beribu prajutitnya “segelar sepapan” lengkap dengan brigade panah, tombak, pedang dan kavaleri dibuat tak berdaya menghadapi kusir senopati, yang berpenampilan seperti waria. Namun apa daya, yang hanya bisa dilakukan oleh dia hanyalah menarik pasukanya , karena tiada satupun senopati pengapitnya yang pilih tanding, mampu mengalahkan Wrihatnolo. Hanya Dah Yang Durna saja yang memiliki keyakinan bahwa Wrihatnolo yang sakti itu tdak lain adalah Raden Arjuna murid kesayanganya, yang selama 12 tahun bersembunyi.

Rasa heran yang sangat kini memenuhi sanubari Sang Senopati Seto, melihat kenyataan yang ada di depanya. Mengapa Wrihatnolo hanya seorang kusir kereta, tapi memiliki “daya linuwih” yang demikian tingginya, diapun yakin kini bahwa Wrihatnolo adalah bukan “sudra” sembarangan, pasti dia adalah ksatria pilih tanding. Rasa heran itu tanpa ragu ragu dikemukakan pada kusirnya itu, dengan hati hati.

“Wrihatnolo !”

“Daulat, sinuwun !, saya “nyadong dawuh” tugas apa lagi yang akan diberikan kepada saya!”

“Ketahuilah !, baru kali ini aku menyaksikan kejadian yang luar biasa, siapa sebenarnya kamu Wrihatnolo ?”

“Ampun tuanku, saya adalah Wrihatnolo kusir kereta perang sinuwun”

“Tapi engkau memiliki kesaktian yang luar biasa, ksatria dari mana kamu ?”

“Mohon tuanku tidak mempermasalakan tentang hamba, sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengabdi Negara hamba, yang sedang genting diserang musuh”

“Aku tidak percaya, Wrihatnolo ?, mengaku saja siapa sebenarnya kamu. Akan aku “sowankan” dirimu kehadapan “kanjeng romo”. Akan engkau dapatkan hadiah apa saja yang kamu inginkan “.

“Mohon maaf sinuwun, hadiah yang saya harapkan adalah dari Yang Maha Kuasa, bukan hadiah dari Sinuwun Prabu Matswopati, Bagi kami ketentraman dan kedamaian Negara Wiroto adalah menjadi kewajiban hamba”
3

“Oh, Wrihatnolo, aku bertambah kagum terhadap kamu, semakin yakin pula aku, bahwa kamu adalah bukan sudra seperti batur lainnya. Mengakulah Wrihatnolo ?;

“Saya adalah manusia “titah sawantah”, yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa?”

“Ha…ha…ha..aku tahu memang bagi ksatria yang sudah tinggi tataran hidupnya, pantang untuk menonjolkan “bahu bektinya”. Oleh karena itu, bila engkau memang semata mengharapkan “idi pangestu” dari Yang Maha Kuasa, mengaku sajalah Wrihatnoloa Aku ini “pepundenmu”, menuruti perintah pepunden bagi seorang ksatria, adalah hal yang wajib “

“Baiklah, sinuwun. Aku akan mengaku sebenarnya siapa aku. Tetapi nohon sinuwun berkenan merahasiakan masalah ini”

“Baiklah Wrihatnolo, aku adalah Putra Mahkota Negera Wiroto, yang harus memiliki sifat “tan keno walak walik” di setiap kebijakan dan perkataan aku. Maka segeralah mengaku, siapa sebenarnya kamu ?”

“Perhatikan sinuwun, pusaja pusaka yang aku bawa ?”

“Ya, pusaka pusaka itu milik “Panengahing Pendawa, Raden Permadi.lantas apa
hubungan kamu dengan pusaka itu ?”

“Akulah pemilik pusaka itu, Sinuwun. Akulah Permadi “

“Aduuh, ngger putraku !, aku tidak percaya. Apa betul engkau putraku..ngger !”

“Duh paman, akulah arjuna yang telah menjalani pembuangan 12 tahun dan penyamaran selama satu tahun di negeri Wiroto ini, hingga sampai akhir waktu penyamaran ini, Pandawa akan memohon Kangmas Duryudono untuk mengembalikan Negeri Indraprasta sajajahanya dan Negeri Hastina “sigar semongko “

“Baiklah ngger Permadi !, sang paman hanya berdoa kepada Hyang Maha Kuasa agar Pandawa mampu meraih kemulyaan hidup, meski melewati tingkatan kesabaran yang bukan main tinggiya. Namun apabila engkau semua mampu mengendalikan nafsu nafsu yang hinggap di sekujur sanubarimu, kemuliaan itu akan dengan mudah kamu raih, Permadi !”

“Kasinggihan, paman Seto !, putra paduka Permadi ini, masih harus banyak belajar tentang nafsu yang paman maksudkan “

“Ngger Permadi, keempat nafsu yang harus kamu kendalikan dengan segala “Roso lan Rumongso” adalah :
1.Nafsu Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak sabar, welas asih tulus dan suci. 2.Nafsu Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan ‘panasten.’ 3,Nafsu Aluamah, berwarna hitam, mempunyai kesenangan makan yang berlebihan sehingga menjadi pelupa dan 4.Nafsu Supiyah, raja wanita, bercahaya kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak dapat menepati janji. Selanjutnya gunakanlah nafsu “Mutmainah” untuk menjaga ketiga nafsu tersebut, ibarat nafsu “sang mbarep” yang membimbing adik adiknya, terutama ” nafsu ragil” yang berujud nafsu “amarah.Jika kamu mengendalikan nafsu itu, maka telah sempurna tingkat kesabaranmu, ngger !, engkau akan merasakan “sworgaloka” yang turun di “mercopodo”.
“Seperti tersirahkan air embun pagi hari, yang mampu menyejukan hati kami, Paman Seto “
“Yo, ngger, “tak kanti” sekarang juga, ngger Permadi ikut sowan kehadapan Romo Prabu Matswopati”
4
“Ampun Paman, bila waktunya tiba kami semua “kadang” Pandawa pasti sowan kehadapan Romo Prabu”.
***
Wajah yang cerah dan berseri kini menghiasi semua “warongko projo Wirata” yang ikut dalam pisowanan hari itu, terlebih lebih wajah Maharaja Matswopati yang selalu dihiasi senyum kecerian. Apalagi mendengar kabar yang baru saja didapat tentang kemenangan gilang gemilang putranya dalam mengusir wadya bala Hastinapura tanpa menemui kesulitan.
Silih berganti gambaran tentang kemenangan putranya yang diluar nalar dan gambaran keperkasaan baturnya Jagal Abilawa yang baru saja menyelamatkan dirinya dari tindak pendzoliman dan penistaan yang dilakukan Raja Trigatra Susarman terhadap dirinya, kedua gambaran itu terus saja memenuhi seluruh beranda sanubarinya. Sang Prabu Matswopati menjadi bahagia sekaligus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa kesaktian Jagal Abilawa yang dengan mudah meringkus Prabu Susarman yang sombong itu baru kali ini dia temui.
Baru kali ini dia menjumpai, abdi seperti Bilawa. Karena hanya abdi jagal sapi, tetapi memiliki kesaktian pilih tanding. Meski penampilan Abilawa ini mengerikan mirip gendruwa, yang tinggi besar dengan rambut acak acakan sebatas pinggang dan sangat bau, dia juga tidak bisa bertutur kata dengan bahasa santun di hadapan “piyayi agung “ seperti Sinuwun Prabu Matswopati. Namun Abilawa lauaknuya seorang abdi yang telah mati hati nuraninya. Terbukti Bilawa menolak mentah\menth pemberian hadiah berupa emas, intan, mutiara, tanah lengkap dengan bangunan istananya,
“Angger, Seto putraku!, entah aku sendiri tidak tahu. Betapa banyak limpahan Rahmat dan Pertolongan dari Tuhan Yang Kuasa kepada kita hari ini. Bala tentara lengkap Hastinapura dari sisi Utara telah hancur berantakan.Sedangkan dari arah selatan, kesaktian Susarman belum berarti apa apa dibanding dengan Abilawa, yag selama ini hanya jagal sapi di dapur istana. Hampir saja aku berpisah denganmu, ngger !, tapi beruntunglah Tuhan yang Kuasa masih memberi pertolongan kepadaku, dengan menghadirkan Abilawa, yang dengan mudah memotong leher raja sombong itu “
“Abilawa, romo ?. Siapa Abilawa itu ?”
“Dia tidak mau mengaku darimana asalnya, tapi aku sangat bahagia sekali memiliki batur seperti Abilawa ini. Dia sangat rndah hati dan menolong “pepundenya” dengan ikhlas dan tanpa pamrih barang sesdkitpun”
“Lantas orangnya seperti apa, romo ?”
“Aku hingga kini masih merasa ngeri bila melihatnya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya dibiarkan menutupi pinggangnya tanpa disisir, dia berpakaian denga kulit macan dan ular, dia sama sekali tidak bisa bahasa “kromo inggil “ denganku. Tapi dibalik “praupan” yang mengerikan itu, tersembunyi jiwa ksatria yang halus, tak pernah merasa takut dengan sesama, halus kepedulian terhadap sesame dan berjuang tanpa pamrih”
Senopati Seto tak kaget barang sedikitpun, karena dia telah menduga bahwa Abilawa tidak lain adalah Bimaseno atau Raden Werkudoro Panegaking Pandawa, seorang ksatria putra Prabu Pandu Dewanata yang tersohor itu. Semua kehidupanya mulai dari kecih hingga sekarang telah bergrlimang dengan kebaikan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dia dan saudara saudaranya.
“Ada apa Seto ?, apa kamu kenal dengan Abilawa ?
“Ampun romo, baru kali ini Seto mendengarnya. …..Mohon maaf romo !,emban Pinto telah memberi tahu ananda, bahwa diluar ada Bibi Kunti dan Prabu Drupada yang berniat menghadap Romo Prabu “
5
“Kunti, anaku dan Ngger Prabu Drupada !, jangan biarkan mereka telalu lama di luar, segera mereka “diaturi sowan” di depanku. Oh, Tuhan Yang Kuasa, semoga kehadiran mereka membawa kebaikan untuk Wirata “
Kunti telah sembab matanya, demikian juga Prabu Drupada yang berkaca kaca matanya, diikuti para “kadang Pendawa”, yang kini duduk bersimpuh di depanya. Sebuah pelukan kasih sayang antara Kuni dan Pamanda Kanjeng Sinuwun Matswopati mengharu birukan pertemuan nesar di Pendopo Siti Hinggil Wiroto. Rasa haru kedua saudara yang berpuluih tahun tidak bertemu itu, berhasil membungkam hadirin “piaowanan agung” itu. Kecuali Pandawa yang hanya duduk dengan muka tertunduk.
“Kunti mengapa kehadiranmu bersama dengan Sarindri, Kanko, Abilalawa, Wrihatnolo, mereka itu baturmu yang mlarikan diri ?, lho mengapa mereka berpakaian seperti ksatria, Kunti mengapa ?”
“Sebelim dan sesudah limpahkan maaf yang sebesar besarnya padaku, karena mereka sebenarnya…..” Kunthi tak mampu meneruskan perkataanya, air matanya kini bertambah deras, air mata beribu makna dari mulai ketabahan putra putra pendawa dan air mata kebahagian karena pertemuan dia dengan putra putranya. Air mata yang berderai karena selama ini, putra putranya yang sudah kehilangan segala galanya, namun masih bisa “ngugemi dharma”.
“Kunti, tabahkan hati kamu, ceritakan dengan tenang. Aku tahu engkau putraku yang sudah kenyang dengan cobaan hidup. Maka tabahkan sebagaimana ketabahan suamimu atau keponakanku Pandu yang arif dan bijak”
“Paman Prabu, setelah 12 tahun anaku anaku bersembunyi di hutan. Tiba saatnya selama 1 tahun mereka harus menyamar. Agar tidak ketahuan “telik sandi” Kurawa, mereka cucu cucumu memilih melakukan penyamaran di Wirata, agar memperoleh pengayoman sang eyang “
“Jadi abdi abdiku itu, Kanko, Sarindri dan …adalah cucu cucuku Pandawa ?”
“Betul Paman Prabu !, mereka adalah cucu Pandawa. Kanko adalah putraku Yudistira, Abilawa tidak lain adalah Werkudoro, sedangkan Wrihatnolo guru tari dewi Utari adalah Arjuna. Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Drupadi menjadi Sarindri sebagai dayang istana”
“Oh Jagad Dewa Batara. Kunti aku harus bekata apa. ?. Sampaikan maaf saua kepada putra putramu, mengapa aku memperlakukan mereka demikian buruknya, padahal mereka adalah cucuku. Oh Tuhan, cabut saja nyawa aku, aku rela Tuhan. Aku punya kesalahan yang besar terhadap mereka.”
“Mohon maaf Eyang Prabu, kami memang sengaja menyembunyikan kami semua.Sehingga kami tidak pernah menganggap eyang bersalah terhadap kami”
“Oh cucuku Pandawa!, demikian besarnya cobaan yang kalian alami. Tapi demikian besar kesabaran yang kalian miliki. Ngger cucuku, kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan ksatria yang bisa memeangkan Bharatayudha kelak.
Pondok Sastra HASTI Semarang

Minggu, 15 Mei 2011

anerji(IPTEK): SEPUTAR ISSU KIAMAT 2012 (Nebula)

anerji(IPTEK): SEPUTAR ISSU KIAMAT 2012 (Nebula)

anerji(IPTEK): NEBULA

anerji(IPTEK): NEBULA

Pesan Untuk Tiap Anak Bangsa


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidupdi negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi

Pendidikan Dan Terorisme


Sekjen International Conference of Islamic Scolar (ICIS) KH Hasim Muzadi di depan segenap peserta dialog, yang dihadiri beberapa jurnalis media barat, Rabu 11 Mei 2011 silam menyatakan bahwa, meski Usamah telah ditembak mati oleh tentara elit AS, tapi terorisme international tidak mati, meski ketidak hadiran Usamah mampu memberi terapi mental bagi pengikut setianya.

Apalagi dengan lolosnya putra sulung Usamah, Hamza Bin Laden pada penyergapan yang dilakukan oleh pasukan elite 2 Mei 2011 di Kota Abbotabat, Pakistan. Putra sulung Usama ini saat Usama masih eksis, disebut sebagai “Putra Mahkota Terror”. Serangkaian tindak terror telah dilakukan oleh putra mahkota ini, antara lain adalah pembunuhan PM Benazir Bhutto Desember 2007, Pengeboman di London Inggris 7 Juli 2005. Setelah Usama meninggal sang putra mahkota ini menyerukan kepada semua pengikut Al Qaeda untuk melakukan penghancuan kepasa AS, Inggris, Perncis dan Denmark.

Berdasarkan wacana di atas, kita jangan terburu buru menyimpulkan, bahwa terrorisme di muka bumi ini dengan mudah bisa dipatahkan dengan teknologi secanggih apapun, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Karena bagi beberapa pihak terrorisme dianggap sebagai”The Real Terror” demi kemerdekaan negaranya, tujuan ideology kelompoknya atau tujuan berlatar belakang Sara semata. Oleh karena itu bagi jaringan garis keras tersebut akan berupaya dengan menebas nilai moralitas. Termasuk diantaranya rekruitmen anggota jaringan dari kalangan mahasiswa dan peserta didik jenjang SMA. Seperti yang dilansir beberapa media bahwa telah banyak mahasiswa dan peserta didik SMA yang menjadi korban cuci otak kelompok NII.

Bagi kalangan remaja yang mengaksenkan ajaran “jihad dengan gelap mata”, maka mereka akan dengan mudah mendapatkan “pembelajaran makna jihad” dari beberapa pihak yang akan menungganginya, meski pihak yang menungganginya telah sepihak dalam memaknai arti jihad. Ditambah lagi dengan tontonan yang setiap hari mereka dapatkan dari multimedia tentang “perilaku anarkis sebagian anak bangsa” atau “tindak menikmati uang Negara” demi kepentingan pribadi oknum petinggi bangsa ini.

Dengan menipisnya pembelajaran Pancasila dan Pendidikan Agama di setiap lini lembaga perguruan tinggi / satuan pendidikan, maka tontonan ini akan menginternalisasi menjadi salah satu “lifestyle” remaja kita tentang upaya mengambil jalan pintas demi pembenaran secara sepihak. Sikap mental negatif ini bukan berarti sesuatu yang dianggap tidak “urgent” lagi, bila kita kaitkan dengan semangat nasionalisme yang menghangus di semua komponen anak bangsa ini. Hal ini semua, harus kita waspadai karena konflik di lingkungan social peserta didik kita, terutama jengang SMA yang nota bone masih tergolong remaja, adalah pembelajaran informal yang terus saja saban hari mereka konsumsi. Apalagi dengan kontribusi dunia maya, berupa facebook yang sudah beralih fungsi sebagai media bebas tanpa sesuatu filter apapun. Sehingga stimulus apapun dengan gampang mampu dikonsumsi remaja tanpa tela’ah lebih lanjut. Padahal suatu pengalaman empiris bisa kita dapatkan apabila kita mengunjungi warnet yang bertebaran di semua kota di Indonesia. Sebagian besar pengunjung di warnet tersebut adalah dari kalangan peserta didik SMP dan SMA, meski di jam sekolah.

Dalam dunia maya ini banyak kita lihat situs situs dari lembaga yang sepihak “mimpi di siang bolong” dalam mewujudkan impian mereka mengganti sendi sendi berkehidupan berbangsa dan bernegara Negara tercinta ini. Stimulus negative ini jelas sangat mengkhawatirkan kita bersama.

• Terror Pendidikan

Sementara itu kita selama ini tidak menyadari dengan cermat adanya terorisme yang menggrogoti mental anak bangsa, meski terror tersebut bukan berujud pada terror senjata, bom atau tindak anarkis. Tetapi terror yang berupa pembelajaran ketidak jujuran atau lebih jauh lagi dekstruktif jati diri remaja kita, lantaran dalam pelaksanaan UN di berbagai jenjang, meski kiat sedemikian rupa telah diusung oleh BNSP untuk menanggulanginya dari tahun ke tahun. Tindak kecurangan ini membahana sejak dimulainya sistim evaluasi nasional pada tahun 2003, yang mulai diterapkanya standar minimal sebesar 3,01 sebagai syarat peserta didik untuk lulus, kemudian dilanjutkan tahun 2004 dengan nilai standar 4,01. Tahun 2005 sistim UAN diganti dengan UN, yang mencantumkan peryaratan standardisasi kelulusan sebesar 4,56 hingga sekarang UN 2011 dengan standardisasi 5,50, tetapi memiliki specifikasi 5 type soal.

Tindakan preventif memang perlu dilakukan secara dini, dengan upaya pembentukan sikap nasionalisme, pancasilais,patriotisme dan kepedulian bersama secara mendasar dari aspek pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Abdul Kadir Karding SPi, MSi, Jum’at 6 Mei 2011, yang menyatakan bahwa gerakan NII harus dibendung melalui lini paling dasaryakni sektor pendidikan, yaitu diawali dengan para pengelola sekolah yang harus merombak kurikulum dan membekali guru terkait dengan materi yang benar, sehingga tidak menyesatkan para peserta didik dalam kehidupan agama sehari hari.