Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Desember 2011

Pesan Untuk Anaku tentang Tahun 2012


Rangkaian pita biru telah kau lepas
Sedangkan telah kau kaitkan pita berwarna tanpa makna
pada sisi puncak gunung Mount Everest dan melintas
mengembalikan nafas yang hilang, kembali ke Mahameru

Anaku, kala ayah menghamparkan kuning tanaman padi
Berdesah  liuk angin gunung yang menyepi dari erotis kemunafikan jaman
Jangkaulah tepianya hingga kau menjenguk
untaian anggrek dan selaksa kembang,  yang dapat menyejukan
relung jiwa dan hatimu agar tetap kokoh diselip tulang iga yang rapuh

Anaku, jaman ini begitu menyeret
Semua pelangi telah memudarkan warna
Dilahap lentingan ego yang menghentak semua sendi ilalang,
Yang berumpun pasrah dan bersandar pada untaian detik dan waktu
Kita hanya mampu perlahan menapak jalan tebing
Yang curam, tapi berkait pada jendela langit

Capailah semua yang ada di atmosfer
Yang berisi tentang catatan harian, yang menyelinap dalam
sejuta sayap malaikat. Dengan nafas seloroh berharum bunga

Kita genap memiliki hiasan warna dari merah hingga biru
Sehingga kau mampu mencibirkan bibir pada pelangi
Berenda fatamorgana dan bersimpul pada kenisbian
Tak  ada yang perlu kau takuti
Bila roda roda bumi masih berkait pada Sang Empu Kehidupan
Peluklah dan genggam, sehingga pagi yang kau miliki
Tetap berselingkuh pada sudut jantungmu

Pernahkah kau menyayat sang waktu
Yang hanya mampu melangkah ke depan
Sedangkan jauh dalam rongga dadamu
Terdapat bilik bambu tempat sang waktu
bersemayam.

(Semarang 1 Januari 2012, “pesan untuk anak-anaku"

Jumat, 09 Desember 2011

Sajak Tentang Kota Liar


Aku Terjaga Di Kota Liar ini

Di kota liar ini
Aku terjaga, untuk menjadi saksi,
Untuk diriku sendiri, saat isi dada terhempas
dari sendiku sendiri....menusuk
menajamkan sembilu yang kuraut sendiri

namun tiada pernah bintang gemintang
menerangi kota ini,bahkab
memberiku, melentingkanku
ke pucuk...menyelingkuhi kain berjelaga,
hanya angin malam di peraduan
gelap gulita,,,
membawaku menjamah nisbi

Au terjaga ubtukMU
Pada sepertiga, kala aku tergolek lesu
Memucat wajah dan menjinakan sorot mata
MencapaiMU..

Di tengah padang belantara yang
kuraut sendiri, beralas berigi berbisa..
aku tertawan dan terpinang
pada Dajal si penunggu syahwat berbisa
hingga tak mampu menengadah
lantaran kuku tajam Dajal mematahkan
semua tulang igaku

Aku terjaga dan tersungkur
pada nyanyian rindu padaMU,
dengan manik mutiara hati
yang sejuk,
kembali aku..sepi
(Semarang, 7 Nvember 2011)

Menghitung Bintang

Satu dua bintang,....
menghampiriku dengan secawan sejuk
dengan seikat bunga kesabaran
dan karangan bunga kemanusiaan        
tak ketinggalan menyodorkan
catatan langit
berisi dongeng tentang surga

Aku hitung bintang
Dengan buih lautam
Dengan daun palma
Aku tak sanggup
Engkau Maha Perkasa
(Semarang, 7 Nvember 2011)

 Di Sudut Kota Yang Mati


Di sudut malam, aku terkungkung dalam pekat
mencari tiap sudut kotaku, kala aku terbuang
aku tak mau harus memunguti jarum waktu, dalam resah...
menunggu seduan teh hangat yang kau beri, kekasihku !

Kotaku !, berilah aku sebatas pandang, meski sebuat tirai rajutan
aku tidak liar mengirup sketsa sebuah hidup,
dalam kubangan anyir, tempat yang liar tak bertepi
tak satupun tangkai perdu penyembuh rindu

Kotaku !,
kala aku menitipkan rembulan pada bintang yang berpose
Di hadapan panggung warna hidup semua penghuni langit,
Mereka  malah menikamku dengan beban yang
menelanku mentah- mentah, akupun menyambangi batas
lembut sebuah fatamorgana.  Yang tersusun di langit ke tujuh.

Kotaku !,  kubiarkan aku melihat bintang
dengan kekasihku yang kuajak terbang malam,
meski sayap-sayap kami berdua telah lapuk dimakan jaman,
telah pula melemah urat sendi kami karena cibiran
lidah dan bibir semua yang kau miliki
atau karena melemah ditebas kerasnya debu debumu

Kotaku !,  berilah kami sekedar ruangan
untuk  malam pengantinku, agar tak terkoyak korupsi
dan kebusukan di sekelilingku.
Meski hanya untuk bertanam sehelai “asmarandhana”
sebuah kidung, milik padang ilalang yang bersekutu
dengan belalang, hingga mampu terbang dengan sayap
tak seberapa luasnya. Namun kau tetap menyeringai,kotaku !.

Malam ini  aku terus terjaga,
Karena tiada satu pagipun yang mampu merekah di kotaku.
Jangan kau sunting dahulu merah padam dari tepian tubuhmu
lantas kau curahkan pada aku dan kasihku,
yang sedang merenda kantong baju dan mengokohkan
pagar bambu tiap sudut bilik kami berdua.

Kotaku!,mengapa tidak kau pamerkan pakaian pengantinmu,
Mana kicauan Kenari, bangau di sawah dan bunga bakau
di pantaimu ?..
Kali ini akulah yang mencibirmu
Seharusnya kau tanam anggrek bulan pada jambangan
peraduanmu, sehingga tiap sudutmu hijau dan apik.
Kini senjamu memusari aku dan kasihku   ((Semarang, 10 Desember 2011).

Kecewa

Mengapa tiada lagi kini,
Kain selimut malam biru bertepi selaksa khayal

Kau sandarkan “benang – emas”  lurus menuju....
Indrakila hunian para bidadari,

Aku akan melangkah surut,
Tiada yang kusimpan dalam kantong baju
Hanya seutas janji Sang Arjuna pada Dewi Supraba
Aku hanya bergayut di tepian
Penuhilah jalinan kuning keemasan, yang menertawai aku
Kau ikat saja kuat kuat,
Agar gerimis tiada meninjing badai

Akupun hanya mampu menyuguhkan
Seribu batas langit, percik air telaga yang
menepiskan rambut emas sang mentari.
Kau ikatkan aku pada kanvas tanpa warna
Bergambar “Kolonjono”  bertaut debu membaraa
Lantas meranggas, akupun hanya memilki sebuah
warna.....hingga telah sampai
tengah malam yang tak berbintang.
Kau sambut dengan senyemu,
Yang terindah...yang pernah kulihat

Jangan kau salahkan “sedap malam”
bila di pagi hanya tertunduk lesu
tapi usunglah keranjang pilu beralas galau
lantas kau tumpahkan...ada tiap detik
yang berdebu yang aku buru.
Sehingga kau kecewa dan jelas tergambar
pada setiap lekuk tubuhmu   (Semarang, 10 Desember 2011) 

Minggu, 15 Mei 2011

Pesan Untuk Tiap Anak Bangsa


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidupdi negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi