Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Desember 2012

Kado untuk Sahabatku

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1142188241513271"
     crossorigin="anonymous"></script>
<ins class="adsbygoogle"
    
Sebuah perubahan yang relatif mudah  diraih dalam hal dan ranah apapun sangatlah mustahil bila dipusari dengan anasir anasir yang tidak kodusif. Terlebih di satu sisi, ranah yang harus mengalami perubahan tersebut di atas adalah instusi pendidikan, sedangkan di sisi lain faktor kontribusi pendidik yang signifikan juga sangat mempengaruhi perubahan yang kita harapkan.

Ranah pendidikan yang secara spesifik adalah sistim yang mengusung pembelajaran multidimensional, sebagai realisasi konkrit pembentukan generasi yang “up to date”, sangat spesifik dalam men-download  sebuah perubahan itu sendiri. Sebab satuan pendidikan di manapun berada harus mampu mensinergikan triangulasi faktor pembelajaran, yaitu karakter peserta didik, kurikulum dan pendidik yang paling dominan. Wacana tersebut tentunya mensiratkan kepada kita terdapatnya kompleksitas yang cukup pelik untuk mewujudkannya.

 Sehingga apabila suatu satuan pendidikan menharapkan kemajuan yang signifikan,haruslah terlebih dahulu menyiapkan figure pemimpin/kepala sekolah yang mumpuni dalam aspek manajerial dan kiat dalam megusung pembelajaran, dengan tidak menyisakan aspek tegas sekaligus lembut dan santun, mampu memberikan keteladanan dalam semua aspek, jeli membaca karakter pendidik yang dipimpinya memiliki visi ke depan yang kukuh, visibel, mudah  dan konsisten, mampu mendamarbaktikan dengan berbagai kalangan dan lain sebagainya.

·         Spesifikasi MAF 1

Sebuah pertanyaan acapkali menyeruak ke tengah publik, tentang apa yang bisa diharapkan  dari bangsa ini untuk menciptakan suatu generasi yang “jujur, inovatif, cerdas” dan lain sebagainya, bila keadaan kita sungguh sudah terpuruk seperti ini, Bahkan kitapun sering mendengar laporan dari berbagai pihak,bahwa Indonesia termasuk negara yang terkorup setelah negara tertentu, atau Index Human Development masyarakat Indonesia bisa jadi akan di bawah masyarakat Vietnam atau Kamboja. Lantas apabila semua lapisan masyarakat/birokrasi di negara kita sudah terbelenggu dengan budaya korup, sebagai karakter yang nista, di manakah letak benteng terakhir untuk membendung derasnya arus yang negatif tersebut?. Dalam hal ini, pendidikanlah yang dipilih sebagai benteng terakhir, apalagi pendidikan yang diusung oleh satuan pendidikan / lembaga pendidikan agamis, seperti Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, Mranggen, Demak yang sedang getol menggapai pembelajaran untuk  mencetak generasi yang  jujur, agamis, inovatif  dan berkompetensi.

            Tinggalah kini figure Kamad (kepala madrasah) MA Futuhiyyah 1 yang handal dalam memanisi gerbong pembelajaran yang mampu menghantarkan semua pihak di kalangan MAF 1 ke titik akhir sebuah visi yang disepakati bersama. Kita harapkan salah satu partner, sokib, rekan perjuangan penulis selama berpuluh tahun, yaitu Bpk. KH Zaenus Sholihin S. Ag yang pada awal Desember tahun 2012 terpilih sebagai Kamad MAF 1, mampu menrealisasikan visi ke depan tersebut dengan diiringi rasa sukur  ke Hadirat Tuhan yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis hanya mampu menghaturkan selamat berjuang***

Selasa, 13 Maret 2012

Pembelajaran Malu


Entah mulai kapan para penentu kebijakan pendidikan atau otoritas pendidikan di negeri ini mampu merancangbangun setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) sebagai tempat “membongkar pasang” karakter peserta didik sedemikian rupa. Sehingga satuan pendidikan tersebut mampu mencetak “out come” yang mengusung sebuah tampilan karakter yang terpuji.  Sebab itikad kita semua dewasa ini adalah pencanangan  “Indonesia Zero Corruption atau rekontruksi bangsa santun dan berbudi luhur ”. Semua pemerhati multidisiplin tentunya berpendapat bahwa kiat tersebut pada essensinya bukanlah hanya dengan menginstal perangkat berbagai regulasi atau pencerahan moralitas serta penerapan kiat lainnya.

Namun justru menstimulir pembentukan pribadi peserta didik akan efektif bila  diberlangsungkan  sedini mungkin, saat mereka masih berada di bangku sekolah, atau disaat mereka mendapatkan pembelajaran dari pendidik yang berganti fungsinya, dari pemberi bahan ajar hingga sebagai fasilitator bahan ajar. Selama di bumi ini masih terdapat pembelajaran dari sumber bahan ajar kepada pihak yang membutuhkan pembelajaran tersebut, maka disitulah terjadi peluang pembentukan  moralitas peserta didik. Hanya masalahnya pembelajaran tersebut berjalan secara proporsional dan  professional atau tidak.

Disinilah essensi sebuah pembelajaran dalam pendidikan, yang berperan  sebagai salah satu nilai dasar masyarakat sosial. Sehingga pembelajaran inilah yang dianggap vital dalam pendidikan. Pembelajaran itu sendiri  menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

·         Budaya Malu

Pernahkah terbayang di angan kita tentang ketertiban masyarakat kita dalam berlalu-lintas tanpa diawasi oleh petugas lantas, atau masyarakat yang tertib dalam antrian panjang, tidak membuang sampah/merokok/meludah di sembarang tempat, tanpa adanya regulasi yang mengawalnya. Seperti kebiasaan kebiasaan positif dari bangsa bangsa lainnya yang telah maju atau bangsa yang telah tertanam kuat dalam hatinya perasaan malu, yang telah sedini mungkin diinternalkan melalui pembelajaran sedini mungkin.


Sebegitu vitalnya  budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008   silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.

·         Aplikasi Intensif

Setiap peserta didik yang terlibat dalam pembelajaran mampu mengoptimalkan pembentukan pribadinya bila mereka terus dipusari dengan pendidik yang luwes dalam pemberlakuan asih, asah dan asuh secara perlahan-lahan namun intensif, sejak mereka duduk di bangku SD. Sehingga dalam pembelajaran modern yang menempatkan pendidik hanya sebagai fasilitator, maka jarak antara mereka dengan pendidikpun harus akrab secara proporsional. Disinilah pendidik mampu mengeksplorasi semua daya dukung peserta didik yang ada, lengkap dengan karakter baik dan buruknya. Dengan demikian pembentukan budaya malu dapat diusung sedini mungkin***

Jumat, 03 Februari 2012

Monev Guru Profesional


monev di MA Futuhiyyah 1 Mranggen DEMAK



Istilah profesional dalam kapasitas apa saja tidak saja suatu beban moral bagi yang menyandangnya, tetapi juga membutuhkan suatu pengakuan profesionalisasinya oleh masyarakat sosial di sekitarnya. Entah yang berkapasitas tersebut memiliki sertifikasi dari lembaga formal yang berkompeten atau tidak. Sertifikasi tersebut bisa diabaikan oleh lingkungan sosial, bila mereka hanya menuntut kecakapan tenaga professional tersebut sekedar mampu memberikan solusi permasalahan yang ada di lingkungan sosial saja. Hal ini biasanya hanya untuk sector non formal yang banyak tersebar di masyarakat luas.

Namun untuk menunjukan professional pada bidang/ketrampilan formal (contoh tenaga medis, tehnisi, pilot , pendidik dan lain sebagainya). Maka pengakuan formal dari institusi yang berkompeten harus disertakan melalui regulasi yang cermat, akurat dan terintegrasi antara factor kecakapan dan karakter “man behind the gun” sebagai factor yang paling dominan, yang juga harus dipandang secara normatif.

Tidak tanggung tanggung bagi pendidik bidang studi apapun yang telah disertifikasi profesional, adalah pendidik yang minimal berpengalaman mengajar minimal 4 tahun dengan pembekalan Pendidikan dan Latihan Profesional Guru untuk mengusung sebuah pandangan moral guru untuk berkarakter pendidik professional.

Namun terdapat spesifikasi bagi pendidik yang professional, untuk menggapai  pengakuan keabsahan profesonalnya. Hal ini karena pendidik harus berhadapan dengan sosok peserta didik,  dengan harus mengerahkan kemampuan tehnis pedagogi dan penguasaan bahan ajar yang mumpuni. Apalagi bila kita menggaris bawahi, bahwa pembentukan karakter peserta didik yang perlahan dan bertahap, penanaman nilai hidup yang cermat dan vital serta pencetakan sebuah generasi yang siap menyongsong jaman. Maka dalam menghadapi tantangan vital tersebut, aspek porfesional bagi peserta didik sungguh sangat berat.

Oleh karena itu, aspek professional bagi sang pendidik bukan barang gampang yang di dapat dengan membalikan tangan. Hal ini menyirtkan suatu pemahaman bahwa setumpul apapun peserta didik yang diasuhnya, harus mampu menerima bahan ajar diatas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sehingga menimbulkan sebuah konsekuensi logis bahwa setiap tindakan “learning” bagi pendidik haruslah dilengkapi dengan “track record” yang cermat berupa “instrument pembelajaran” yang menyangkut perencanaan semester, tahunan, efektifitas waktu dan lain sebagainya, seprti seorang dokter yang menyembuhkan pasienya dengan catatan medis yang memadai.

Kriteria seperti di atas memang pada umumnya sering dilupakan oleh sang pendidik, namun bagi sang pendidik yang professional, criteria tersebut dijadikan senjata tajam demi mendapatkan penetrasi bahan ajar yang memuaskan. Oleh karena pentingnya criteria tersebut, maka sudah selayaknya apabila otoritas pendidikan di Indonesia (Disdikpora dan Kemenag) untuk rajin melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) secara periodik dan cermat.

Namun sungguh disayangkan bahwa di lapangan sering kita mengetahui masih banyaknya pendidik yang men-“download” instrument instrument pembelajaran dari dunia maya atau menggunakan jasa pihak tertentu yang menawarkan CD yang berisi instrument lengkap, tanpa mampu difilter dan ditepis otoritas tersebut (pengawas sekolah/madrasah). Upaya pendidik tersebut di atas sebenarnya dapat mematikan kreatifitasnya pendidik sendiri dalam merancang ‘learning” yang nyaman dan memuaskan serta aspek kondisional di satuan pendidikanmasing-masing. Lantaran dengan mengisi form ama guru dan sekolah, mereka sudah mampu mendapatkan instrument yang lengkap dan mengganggap kegiatan monev hanyalah semata pada aspek formalitas saja.

Apabila Monev yang bertujuan essensi untuk meng-up grade pendidikan di Indonesia masih banyak menemukan factor kendala yang konyol, maka sebuah isaratpun mampu kita dapatkan, yaitu masih belum siapnya banyak pendidik yang mengusung sebuah professional. Langkah apa lagi yang mampu kita rencanakan ?.

Kamis, 12 Januari 2012

Optimalisasi Peran Aktif Orang Tua


Dipastikan bahwa sesuai dengan kebutuhan kita bersama dalam memikul tugas pembentukan “The Smart Generation of Indonesia” yang berkarakter akan  semakin pelik. Meski berbagai factor pendukung pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah, dengan dana sebesar Rp 200 Trilyun, guna menggenapi sarana pendidikan (pendukung pembelajaran multimedia ), Bantuan Siswa Miskin (BSM ), Bantuan Operasional Sekolah / Madrasah (BOS/BOM),  bantuan untuk kesejahteraan guru (Honor Daerah dan Tunjangan Fungsional ), program sertifikasi guru dan lain sebagainya.
Peliknya masalah yang merintangi capaian prestasi pendidikan yang kita tekadi bersama, sebagian besar bertumpu pada “faktor kultur” dari semua pihak yang melangsungkan pembelajaran di setiap lini pendidikan.  Kultur yang melatarbelakangi pendidik agar bersinergi  figure pendidik yang profesioanal, siswa yang  penuh  antusias menuntaskan bahan ajar,  mengantisipasi UN dengan moralitas tinggi serta capaian lainnya nampaknya belum tumbuh dengan signifikan. Bahkan suatu tindakan tak terpuji dari siswa yang terlibat tawuran masih sering kita saksikan di media.  
·         Pergeseran Moralitas Peserta Didik
Apakah tawuran yang dewasa ini telah menjadi “symbol superiortas” peserta didik ketimbang menguasui bahan ajar, adalah karena    perkembangan karakter seorang  peserta didik yang tidak bisa lepas dari kulture sosial yang melingkunginya, yang kemudian menjadi nilai hidup baru yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Padahal fenomena perkembangan karakter peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu peserta didik yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini telah bergeser menjadi bentuk lain karena terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya atau bahkan karakter amoralias oknum petinggi negara yang mereka saksikan di tayangan multimedia.
Sehingga sering kita bertanya pada hati kita sendiri, apakah semua kiat Kementrian Pendidikan Nasional telah percuma begitu saja atau memang factor waktu saja yang akan menentukan.
·         Peran Aktif Orang Tua
Salah satu kiat handal yang masih terlupakan para penyelenggara pendidikan, adalah kiat optimalisasi orang tua siswa dalam peran mereka pada pembelajaran belaka, bukan hanya peran orang tua dalam wadah komite yang hanya bersifat kebutuhan institusional belakan. Tapi lebih berarah pada monitoring peserta didik di jam sekolah. Hal ini disebabkan karena peserta didik mampu berbuat tak terpuji justru pada saat mereka di luar sekolah.  Kedekatan orang tua dengan sekolah perlu lebih dekat lagi dengan jalinan kerja sama yang formal, terintegrasi dan berkesinambungan. Sebagai contoh aplikasi ini adalah kunjungan orang tua ke sekolah secara aktif. Peran aktif tersebut lebih berdampak  signifikan apabila pertemuan orang tua dengan wali kelas/guru kelas dilakukan secara berkala, intensif dan berkelanjutan yang didasarkan pada regulasi dari autoritas pendidikan.
Dengan demikian akan terciptalah triangulasi pola kerja sama antara peserta didik, sekolah dan orang tua, yang dilengkap dengan instrumen laporan aktifitas belajar dari orang tua/wali tentang segala aktifitas putra kesayanganya. Hal ini semua akan mendukung pembentukan dimensi kognitif, psikomotorik  dan affektif peserta didik sesuai dengan makna pembelajaran menurut Corey (1986:195) yang mendefinisikan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan peran orang tuapun identik dengan peran pendidik di sekolah, meski hanya membimbing dalam belajar, mengerjakan tagihan. Tentunya akan lebih handal lagi bila yang berfungsi sebagai pendidik di rumah adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar
Memang kiat seperti tersebut telah dirintis sebagian sekolah, namun  belum tersibergis dengan cermat, tepadu dan antusias secara nasional.  Sudah semestinya kita menggeliatkan kiat yang handal ini demi tujuan pendidikan kita bersama, yang apabila dilakukan dengan kebersamaan antara kita semua, kepelikan yang  menggayuti kemajuan pendidikan kita mampu kita tepis bersama.

Sabtu, 31 Desember 2011

Dari Play Station hingga Tawuran


pelajar SMP sudah mengenal tawuran
Baru saja kita meninggalkan tahun 2011, bila kita ibaratkan  suatu buku harian maka kita baru saja menutup lembaran lama. Namun karena jarum detik terus berputar maka kita tidak mungkin menutup pula lembaran baru, terutama bila menyangkut nasib 32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta. Lantas bagaimana kita mempertanggungjawabkan tugas multidimensional tentang nasib mereka di lembaran baru tahun 2012 ini.

Tugas moral ini tentunya tetap  kita langsungan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan essensi yang diperlukan mereka, yaitu kebutuhan dan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini perlu mendapatkan fokus perhatian, karena pada perioda 20 – 25 tahun mendatang, mereka akan mendapat giliran pemegang tongkat estafet pergantian generasi ke generasi. Apabila kita gagal dalam membentuk karakter, kecerdasan serta ketaqwaan mereka melalui ranah pendidikan, maka bukan tidak mungkin kita akan gagal dalam pembentukan generasi “penjemput bola” Bangsa Indonesia di perioda tahun tersebut.

Langkah awal dari upaya maksimal kita adalah langkah “manis” berupa pengucuran Bantuan Siswa Miskin pada 5, 8 juta siswa miskin, dengan besar anggaran Kemdiknas sebesar Rp 3, 7 Trilyun. Langkah ini dipandang oleh sebagian besar praktikan pendidikan sebagai langkah yang taktis demi penyelamatan siswa yang tidak mampu bersekolah karena faktor biaya. Tentunya dengan mekanisma penyaluran yang “lebih manis” pula, yaitu dengan mekanisma penyaluran yang mampu langsung ke tangan peserta didik, guna menghindari pungutan pihak sekolah atau manipulasi data jumlah siswa miskin di masing-msing sekolah.

Aspek positip yang paling kita harapkan dari BSM tersebut, adalah aspek pengadaan buku bahan ajar bagi siswa miskin. Terlebih lagi bila pihak pendidik ikut terlibat melakukan himbauan agar para siswa miskin ini menyisihkan sebagian dana bantuan tersebut untuk pengadaan buku bahan ajar yang representatif. 

Hal ini disebabkan karena masih adanya realita bahwa peserta didik masih belum memiliki kesadaran untuk menggali informasi bahan ajar dari buku ajar. Sekaligus untuk menindaklanjuti aspek pembiasaan “membaca” bagi peserta didik kita yang sebagian besar masih malas belajar. Bahkan untuk mengikis budaya malas membaca/belajar ini, sebaiknya perlu adanya gerakan nasioanal yang disodorkan oleh Kemendiknas untuk program wajib membaca bahan ajar tertentu pada masing-masing jenjang sekolah dan ditindaklanjuti dengan program  refleksi/evaluasi formal terhadap kegiatan membaca tersebut.

  • Langkah Seimbang dan Totalitas
Kita mungkin telah jenuh membaca tayangan media cetak/elektronik/dunia maya tentang ketertinggalan peserta didik kita terhadap siswa dari negara lain. Namun kita juga harus mengerucutkan parameter ketertinggalan tersebut. Pada umumnya ketertinggalan yang diungkap oleh media tersebut adalah  ketertinggaan dalam aspek kognitip saja. Tanpa menyertakan parameter yang komprehensif, seperti misalnya aspek kesantunan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu,langkah maju yang perlu kita tekadi di tahun 2012 ini adalah langkah totalitas dalam menggapai peserta didik kita yang berpengetahuan tidak kalah dengan siswa asing, tetapi memiliki karakter yang kuat, yang mampu memasinisi kapasitasnya menuju generasi bangsa yang handal. Sehingga terbentuklah wujud pembelajaran yang seimbang antara pembentukan karakter yang sesuai nilai luhur Bangsa Indonesia dan pencetakan generasi yang pandai (The Indonesian Smart Generation).

Namun sungguh disayang, disalah satu sisi kita mulai serius menerapkan pembelajaran plus karakter, di lain sisi masih banyak kita saksikan tawuran pelajar yang semakin beringas dan menjurus ke tindak kriminal. Sebuah langkah maju di tahun 2012 ini bakal kita raih dengan gemilang apabila kita berhasil mengikis habis perbuatan brutal siswa tersebut. Namun andaikata kita gagal dalam menepis tindak amoral ini, maka sebuah langkah surutpun bakal menyertai kita.

  • Signifikasi Sekolah Berbasis Masyarakat
Suatu realita lainnya masih banyak kita jumpai dalam kontek pendidikan, yaitu masih banyaknya warung play station yang buka di saat jam sekolah. Meski warung tersebut telah memiliki ijin yang sah, yang tidak mungkin kita bubarkan secara sepihak Namun setidak-tidaknya para pengelola warung Play Station (PS)atau warnet bersedia melakukan filter terhadap pengunjung secara serius. 

Langkah yang lembut untuk mengatasi masalah ini semua adalah dengan melibatkan masyarakat pada perencanaan, pengelelolaan, penggalian dana, rasa memiliki sekolah dan pengawasan terhadap anak anak kita sendiri. Apabila kita mampu melakukan pemberdayaan ini semua, maka kitapun akan mendapatkan prestasi yang diharapkan dari kemajuan pendidikan kita.

Apalagi bila kita mengamati salah satu karakter tentang spesifikasi dari masyarakat modern, yang bertendensi tidak hanya dalam kapasitas yang mereka minati dan tekuni, tetapi suatu tendensi kemampuan dalam pembelajaran sosial demi kepentinganya. Maka apabila tendensi karakter masyarakat tersebut kita optimalkan dalam pengasuhan sekolah yang ada di sekitarnya, maka genap sudah kemajuan pendidikan bakal kita raih***

Minggu, 23 Oktober 2011

Optimalisasi Sekolah Berbasis Masyarakat


Sesuatu yang pelik memang harus kita hadapi dalam urgensi pengentasan mutu pendidikan kita yang terpuruk ini. Tentunya  setelah kita menggenapi sistim pendidikan dengan berbagai instrumen yang menjadi faktor pendukung keberlangsunganya, seperti kurikulum yang representatif, guru yang professional sebagai media transfer bahan ajar san agen pembentuk jarajter peserta didik, sistim evaluasi yang komprehensif dan berstandardisasi, kita juga dihadapkan kompetensi peserta didik terhadap bahan ajar dan konsistensi karakter peserta didik yang paling essensi. Sekaligus specifikasi tersebut direkomendasikan mampu menjadi dasar akselerasi pengentasan di bidang pendidikan atau aspek lainnya.

Mengapa aspek karakter dalam urusan pendidikan menjadi demikian essensinya, pertanyaan ini tentunya bisa kita jawab dengan mencermati hubungan antara karakter sebagian besar anak bangsa dengan karakter suatu bangsa. Kita telah mengetahui bahwa karakter dasar yang membudaya kokoh dalam masing masing sanubari anak bangsa yang inovatif  dan  karakter lainya yang menjadi dambaan kita adalah justru sebuah modal utama sebuah bangsa untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di muka bumi ini. Wacana ini tentunya akan lebih kita terima, bila kita mencermati perbandingan karakter  dasar kita dengan bangsa lain. Kita mampu menyimpulkan bahwa terhadap hubungan korelasi positif antara kemajuan berbagai bidang suatu negara dengan karakter rakyatnya, misalnya tertibnya budaya antri, budaya santun di jalan, sportifitas , kejujuran,  anti korupsi dan lain sebagainya di negara negara maju tersebut.

Di lain pihak kita sering menjumpai sikap masyarakat kita yang “sok jagoan” di jalan raya tanpa punya satu  hatipun untuk memperdulikan kepentingan dan keselamatan orang lain atau anarkis saat antri bergiliran untuk mendapatkan sesuatu, holiganisme supporter sepakbola dibanyak even. Dengan latar belakang keprihatinan kita bersama tentunya menumbuhkan tekad di hati kita semua untuk mengakhiri ini selama lamanya. Dan lebih jauh lagi kita menekadi untuk realisasi Negara Indonesia yang ditopang oleh anak bangsa yang santun, piawai di bidangnya, memiliki nasionalisme yang “tak lekang ditengah panas dan tak lapuk dimakan hujan”, memiliki kepedulian yang tinggi,jujur dan lain sebagainya.

·        Minat Baca dan Urgensinya

Tinggalah kini kita bersandar pada ranah pendidikan yang mampu mengusuk pencetakan individu yang berkarakter dambaan, bahkan demi penyelamatan martabat bangsa kita dituntut untuk memberlangsungkan laju pembangunan pendidikan yang memadai, meski sebuah kepelikan akan kita jumpai dalam hal ini. Namun bila kita menilik sejarah sistim pendidikan kita yang terkoyak akaibat tekanan rezim Soeharto selama 32 tahun, kitapun menjadi tak memperdulikan lagi kompleksitas tersebut demi sebuah kontribusi rekonstruksi kejayaan Negara kita.

Minat baca masyarakat umum kita mestinya turut kita soroti, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), yang menukil laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ), dalam laporan tersebut,  di Asia Timur tingkat terendah minat baca  anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko (Kompas, 2/7/2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Namun kita juga tidak serta merta menyudutkan masyarakat kita yang memprihatinkan  minat bacanya,terutama untuk peserta didik yang ada di satuan pendidikan yang rata rata miskin ”khasanah pustaka” pada perpustakaan mereka. Bila pada satuan pendidikan tersebut telah langka akan pustaka yang up to date, maka bisa kita bayangkan betapa tertinggalnya anak didik kita lantaran njauh dari jendela dunia. Selain itu rendahnya daya beli kita semua menyebabkan sebagian dari kita cenderung menepiskan kebutuhan untuk membeli judul buku terbaru.

·        Pendidik Profesional

Percepatan pengentasan pendidikan diharapkan akan berhasil guna bila kita telisik peran vital seorang pendidik yang patut diperhatikan, apalagi bila pendidik tersebut telah mampu berperan secara profesional dan mampu menyodorkan pembelajaran secara inovatif, lantaran mereka telah mengalami peningkatan kesejahteraan hidup, setelah mendapat tunjangan profesi dari negara. Akselerasi akan lebih dapat kita harapkan bika terdapat kesamaan sikap dan kinerja dari 2.607.311 guru yang tersebar di seluruh Indonesia  dan ditambahkan  lagi suatu kiat  terobosan untuk meng-up grading satu juta pendidik yang belum berijazah S1 (dari berbagai sumber).

Jumat, 21 Oktober 2011

SINDROM INFERIOR KOMPLEKS


Amin Rais pada Seminar Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin (17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara kita sering kali bersikap bahwa  produk luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek “beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain sebagainya.
Tentunya revitalisasi prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan prestasi”  perlu kita torehkan. Untuk itu kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan dasar dalam pencapaian prestasi tersebut. 
·         Keprihatinan Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara  tetangga (Singapira, Malaysia,  Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius  harus kita kukuhkan untuk pengentasan rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut  laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat baca  anak-anak didera anak anak  Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra  yang menjadi ”best seller”, antara lain adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku sastra lainnya yang banyak peminat bacanya. 
Mengulang kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang, adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·         Optimalisasi Pendidikan  Berbasis Masyarakat

Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah pendidikan  dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan  Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat. 
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif  masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya mengusung aspek ”cerdas” saja,  tanpa memperdulikan  ”pembelajaran sosial ” yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan .
Maka apabila kita tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh  DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,  c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar. 
Dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek tersebuy di atas, maka cukuplah kiranya sekolah mampu menepis ”Sindrom Inferior Komplek”, sehingga jadilah generasi kita sebagai generasi yang bermartabat,”smart”, inovatif sekaligus santun.Oleh karena itu marilah kita tidak setengah setengah dalam membentuk peserta didik kita untuk menggapai masa depanya dengan penuh pecaya diri (dari berbagai sumber).

Jumat, 07 Oktober 2011

OPTIMALISASI RPP BERKARAKTER


Banyak anggota masyarakat kita yang telah mulai jenuh dan khawatir saat menyaksikan tayangan semua stasiun TV swasta ataupun media lainnya tentang tindakan tak terpuji masyarakat kita yang berbentuk tawuran, korupsi, demo anarkis, bentrokan berbagai pihak baik perorangan ataupun antar lembaga strategis. Fenomena tersebut dikhawatirkan mampu menumbuhkan perasaan skeptis masyarakat kita, yang sebenarnya masih berhajat besar dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, bukan lagi hanya menerima informasi tersebut di atas sebagai hasrat autoritas untuk mengajak kebersamaan dalam memikul tanggung jawab bersama untuk menuju Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik.

Namun fenomena yang menyeruak dalam di tengah kita, bagi kalangan dan pemerhati pendidikan akan berpandangan lain lagi. Munculnya gejala tersebut di atas, adalah gejala penetrasi karakter yang gagal selama kita mengenyam pembelajaran dalam wadah pendidikan yang kurang memperhatikan pembentukan karakter (affektif) peserta didik pada semua jenjang. Selama satu kurun waktu kita hanya mengusung pembelajaran yang mengoptimalisasikan aspek kognitif belaka, tanpa menyelaraskan aspek affektif pada peserta didik. Sehingga usungan tersebut menuai hasil lahirnya generasi yang “miskin dalam sematan nilai dasar yang diwariskan nenek moyang kita sebagai bangsa yang santun”

Seharusnya setelah runtuhnya perang dingin antara blok barat dan timur, yang dicirikan dengan kekhawatiran kedua blok akan ekspansi ideology musuh mereka masing, saat persaingan antar bangsa diletakan pada landas pacu supremasi sains dan teknologi, kita tidak terpancing dengan perlombaan tersebut dengan mengesampingkan aspek pembentukan karakter bangsa melalui pembelajaan. Sebab dalam jalinan proses pembentukan karakter, peranan yang ikut menjadi faktor utama pembentukan karakter yang utuh, adalah satuan pendidikan yang mengusung pembelajaran berkarakter, sebagai agent of changing karakter social.

Dengan wacana tersebut di atas akan mencairlah kekhawatiran  semua pihak terhadap runtuhnya jati diri Masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang santun, murah senyum, gemar menolong, terbuka, seka bergotong royong dan seabreg karakter terpuji lainnya. Agar pencapaian tersebut bukan hanya menjadi isapan jempol belakan, maka setiap simpul pembelajaran di tanah air kita haruslah terintegrasikan dengan cermat, dimulai dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibumbui dengan “item” berkarakter.

Sehingga setiap Indikator (ukuran keberhasilan pembelajaran) dan Tujuan Pembelajaran dalam rencana pembelajaran bersendikan pada kejujuran, tanggung jawab, kepedulian sosial dan lingkungan, percaya diri, berkemauan kuat untuk maju, berbudi luhur dan tindakan terpuji lainnya yang melekat kuat pada masing masing sanubari peserta didik kita. Meski proses tersebut tidak mampu kita laksanakan hanya dengan tempo yang singkat. Namun apabila  “kasih sayang” setiap peserta didik dalam penyertaan “unsur karakter” tersebut, maka beberapa decade waktu mendatang kita akan mampu menemukan kembali mahkota sematan bangsa yang santun.

Kiat strategis pendidikan ini, tentunya harus diusung oleh salah satu diantaranya adalah pada pendidik yang berada pada garis terdepan. Oleh karena itu kapasitasi pendidik haruslah dalam kategori “bersertifikasi profesional” dalam cakupan tiga unsur utama, yaitu penguasaan sains, tehnik pembelajaran yang menggelitik dan menyenangkan serta peran social pendidik di tengah lingkungan sosialnya. Dengan peranan social pendidik  
                                                           2
yang bersertifikasi professional, maka dengan pengalaman berkehidupan social yang utuh, mereka mampu menularkan “ tindakan sosial, interaksi social dan komunikasi social” kepada setiap peserta didiknya. Tindakan untuk transfer dan pembudayaan karakter social tersebut harus terselip dalam “tiga pilar” utama Rencana Pembelajaran Pendidikan, yaitu kelihaian pendidik dalam Eksplorasi (penggalian potensi karakter anak didik), Ellborasi (penyampaian tujuan) dan Konfirmasi (tagihan)

Dengan percaya diri dan kemauan yang sungguh sungguh serta sistim perencanaan pembelajaran yang cermat dan sistimatis, maka cita cita luhur yang ditunggu capaianya oleh setiap masyarakat Indonesia, tentunya bisa kita harapkan keberhasilannya. Oleh karena itu setiap perkembangan karakter perorangan peserta didik harus mampu dimonitor pendidik. Monitoring ini sekaligus menjadi sebuah evaluasi, yang tidak hanya evaluasi aspek kognitif. Akan tetapi berujud suatu sistimatika perkembangan karakter perorangan mulai dari tahapan “Belum Tampak” perubahan karakter, “Mulai Tampak”, “Mulai Berkembang” perubahan karakter anak didik kita dan terakhir yang kita harapkan adalah “Mulai Konsisten”peserta didik dalam melekatkan karakter terpuji.

Lantaran tingginya urgensi pembelajaran berkarakter, maka Prof.M.Satuhu, M.Ed (2002) mengharapkan menjadi sebuah Sistim Pembelajaran Nasional Visioner yang memilihi roh “kukuh dalam aqidah, dinamis dalam syariah dan santun dalam kerja pendidikanya.

Minggu, 15 Mei 2011

Pendidikan Dan Terorisme


Sekjen International Conference of Islamic Scolar (ICIS) KH Hasim Muzadi di depan segenap peserta dialog, yang dihadiri beberapa jurnalis media barat, Rabu 11 Mei 2011 silam menyatakan bahwa, meski Usamah telah ditembak mati oleh tentara elit AS, tapi terorisme international tidak mati, meski ketidak hadiran Usamah mampu memberi terapi mental bagi pengikut setianya.

Apalagi dengan lolosnya putra sulung Usamah, Hamza Bin Laden pada penyergapan yang dilakukan oleh pasukan elite 2 Mei 2011 di Kota Abbotabat, Pakistan. Putra sulung Usama ini saat Usama masih eksis, disebut sebagai “Putra Mahkota Terror”. Serangkaian tindak terror telah dilakukan oleh putra mahkota ini, antara lain adalah pembunuhan PM Benazir Bhutto Desember 2007, Pengeboman di London Inggris 7 Juli 2005. Setelah Usama meninggal sang putra mahkota ini menyerukan kepada semua pengikut Al Qaeda untuk melakukan penghancuan kepasa AS, Inggris, Perncis dan Denmark.

Berdasarkan wacana di atas, kita jangan terburu buru menyimpulkan, bahwa terrorisme di muka bumi ini dengan mudah bisa dipatahkan dengan teknologi secanggih apapun, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Karena bagi beberapa pihak terrorisme dianggap sebagai”The Real Terror” demi kemerdekaan negaranya, tujuan ideology kelompoknya atau tujuan berlatar belakang Sara semata. Oleh karena itu bagi jaringan garis keras tersebut akan berupaya dengan menebas nilai moralitas. Termasuk diantaranya rekruitmen anggota jaringan dari kalangan mahasiswa dan peserta didik jenjang SMA. Seperti yang dilansir beberapa media bahwa telah banyak mahasiswa dan peserta didik SMA yang menjadi korban cuci otak kelompok NII.

Bagi kalangan remaja yang mengaksenkan ajaran “jihad dengan gelap mata”, maka mereka akan dengan mudah mendapatkan “pembelajaran makna jihad” dari beberapa pihak yang akan menungganginya, meski pihak yang menungganginya telah sepihak dalam memaknai arti jihad. Ditambah lagi dengan tontonan yang setiap hari mereka dapatkan dari multimedia tentang “perilaku anarkis sebagian anak bangsa” atau “tindak menikmati uang Negara” demi kepentingan pribadi oknum petinggi bangsa ini.

Dengan menipisnya pembelajaran Pancasila dan Pendidikan Agama di setiap lini lembaga perguruan tinggi / satuan pendidikan, maka tontonan ini akan menginternalisasi menjadi salah satu “lifestyle” remaja kita tentang upaya mengambil jalan pintas demi pembenaran secara sepihak. Sikap mental negatif ini bukan berarti sesuatu yang dianggap tidak “urgent” lagi, bila kita kaitkan dengan semangat nasionalisme yang menghangus di semua komponen anak bangsa ini. Hal ini semua, harus kita waspadai karena konflik di lingkungan social peserta didik kita, terutama jengang SMA yang nota bone masih tergolong remaja, adalah pembelajaran informal yang terus saja saban hari mereka konsumsi. Apalagi dengan kontribusi dunia maya, berupa facebook yang sudah beralih fungsi sebagai media bebas tanpa sesuatu filter apapun. Sehingga stimulus apapun dengan gampang mampu dikonsumsi remaja tanpa tela’ah lebih lanjut. Padahal suatu pengalaman empiris bisa kita dapatkan apabila kita mengunjungi warnet yang bertebaran di semua kota di Indonesia. Sebagian besar pengunjung di warnet tersebut adalah dari kalangan peserta didik SMP dan SMA, meski di jam sekolah.

Dalam dunia maya ini banyak kita lihat situs situs dari lembaga yang sepihak “mimpi di siang bolong” dalam mewujudkan impian mereka mengganti sendi sendi berkehidupan berbangsa dan bernegara Negara tercinta ini. Stimulus negative ini jelas sangat mengkhawatirkan kita bersama.

• Terror Pendidikan

Sementara itu kita selama ini tidak menyadari dengan cermat adanya terorisme yang menggrogoti mental anak bangsa, meski terror tersebut bukan berujud pada terror senjata, bom atau tindak anarkis. Tetapi terror yang berupa pembelajaran ketidak jujuran atau lebih jauh lagi dekstruktif jati diri remaja kita, lantaran dalam pelaksanaan UN di berbagai jenjang, meski kiat sedemikian rupa telah diusung oleh BNSP untuk menanggulanginya dari tahun ke tahun. Tindak kecurangan ini membahana sejak dimulainya sistim evaluasi nasional pada tahun 2003, yang mulai diterapkanya standar minimal sebesar 3,01 sebagai syarat peserta didik untuk lulus, kemudian dilanjutkan tahun 2004 dengan nilai standar 4,01. Tahun 2005 sistim UAN diganti dengan UN, yang mencantumkan peryaratan standardisasi kelulusan sebesar 4,56 hingga sekarang UN 2011 dengan standardisasi 5,50, tetapi memiliki specifikasi 5 type soal.

Tindakan preventif memang perlu dilakukan secara dini, dengan upaya pembentukan sikap nasionalisme, pancasilais,patriotisme dan kepedulian bersama secara mendasar dari aspek pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Abdul Kadir Karding SPi, MSi, Jum’at 6 Mei 2011, yang menyatakan bahwa gerakan NII harus dibendung melalui lini paling dasaryakni sektor pendidikan, yaitu diawali dengan para pengelola sekolah yang harus merombak kurikulum dan membekali guru terkait dengan materi yang benar, sehingga tidak menyesatkan para peserta didik dalam kehidupan agama sehari hari.