Senin, 28 Mei 2012

Menggapai Hari Esok


Dunia memang pengap, tak menentu dan menyimpan beribu misteri. Demikian artian hidup bagi insan yang tiap hari,  harus bermandi peluh untuk mendapatkan sebersit kehidupan. Ataukah memang, insan  itu senfiri  yang tidak tahu makna hidup yang sebenarnya. Seringkali yang namanya manusia selalu mengartikan hidup ini,  hanya dari sebelah kemewahan materi saja.  Namun demikian tidak bagi sebagian lainnya,  warna kehidupan ditorehkan melalui manfaat bagi manusia lainnya. Sehingga warna  kanvas kehidupan apapun tiada pernah mereka perdulikan.
Hamidun menapak kehidupanya langkah demi langkah, detik, menit, jam dan bergulir seterusnya,  dilalui dengan langkah gontai tak berpijak selembar keyakinan. Hanya kesulitan hidupnya sajalah yang mengokokohkan arti kehidupannya.Selain emak dan bapaknya  yang renta, miskin, diapun belum siap mematangkan diri di tengah masyarakat yang supermodern. Selembar ijazah aliyyah yang kumal dan kusut belum secuilpun ia manfaatkan. Sudah tiga tahun, hanya disimpan di lemari pribadinya.  Apakah tiada guna sama sekali ilmu yang digeluti selama 3 tahun ?,  pertanyaan demikian selalu saja hadir di dalam benaknya  yang paling dalam. Jangankan  masyarakat, dia sendiripun belum mampu menjawabnya..
Tapi berkat asuhan emak dan bapaknya, tentang tawakal dan  sabar,  Hamidun tiada  pernah sedikitpun memvonis kehidupan ini dari sisi keadilan . Yang ada hanya pembelajaran kehidupan yang tabah, karena Hamidun dibesarkan ditengah kemiskinan, ketabahan sekaligus ketangguhan menghadapi hidup ini.
Entah ada angin apa,  ditengah terik matahari yang menmbakar kulitnya yang legam. Dia tiba tiba saja, mencoba untuk menyongsong hidup ini dengan lebih percaya diri. Diambilnya tas gaul yang sudah kumuh, tas kesayangan sejak dia  masih di bangku aliyyah.  Kemudian dipasang  pada punggungnya, barangkali bisa menjadi saksi, niatan hatinya untuk bertualang mencari pekerjaan di Semarang yang gerah,
Sontak emak dan bapaknya menjadi terheran setengan senang, melihat anak lajangnya berniat mencari pekerjaan entah kemana letaknya keberuntungan anak yang diharapkan mereka. Kedua orang tuanya masih memandangi, walau jarak mereka sudah cukup jauh, setelah tadi putranya berpamitan
“Ya  Allah ……… semoga engkau berkenan membimbing anaku dan  selalu membesarkan hati anaku, Anaku maafkan emakmu yang tidak bias membantu apa-apa, hanya doa saja yang emak panjatkan “  demikain suara hati emaknya, setelah cukup lama berdiri di halaman mengawasi kepergian putranya, meski orang yang dicintai sudah tidak tampak lagi.
Matahari sudah mulai  menelan separo wajah bumi, pertanda sebentar lagi akan bersembunyi di balik malam. Bulanlah yang akan menggantikan tugas matahari. Namun harapan yang selalu hadir di kalbu Hamidun belum juga menjadi kenyataan.
Sudah sekian banyak pabrik,  bengkel,  toko hingga depo isi ulang air mineral ia datangi, untuk menawarkan jasa tenaganya. Namun semuanya  tidak memberikan jawaban yang ia harapkan.
“Ternyata  untuk mendapat secercah kehidupan, yang harus aku miliki tidak semudah yang kubayangkan,……entahlah aku tidak tahu, harus dengan cara bagaimana harus mendapatkan, biarlah penat sekujur tubuhku, namun yang mampui menolong diriku adalah hanya diriku sendiri “ guman Hamidun di tengah Kota Semarang, yang sudah mulai redup. Sementara lampu jalanan sudah mulai menyala, tatkala dia sudah mulai tiba di jalan kampong menuju rumahnya.
“ Cepatlah mandi dan sholat maghrib, anaku …! , emak sudah menyiapkan makanmu “ suara emak yang tulus  sempat ia dengarkan , ketika  ia mencium keriput tangan emaknya  yang sudah dari tadi menunungu kedatangannya di tengah regol pekarangan rumahnya. Kehangatan dan kasih sayang emaknya masih ia rasakan,  bukankah hal ini cukup bagi dia untuk terus tidak putus asa dalam mendapatkan Rammat dari Allah swt.
Maka Hamidunpun segera menunaikan Sholat Maghrib,  agar dirinya selalu mendapatkan kekuatan  di tengah keluarganya yang tidak memiliki pengharapan. Tapi apalah artinya modal duniawi, sesuatu yang ia yakini mampu ia dapatkan, dengan kedua bahunya sendiri. Waktu nantilah yang akan membuktikan. Semangat itu tiada hentinya menjadi lokomotif hidupnya.
Matahari masih setia menebarkan kehangatan di muka bumi ini, sehingga wajah bumi menjadi terang, pertanda Allah swt, masih berkenan menebarkan RahmatNYA kepada hambanya yang masih mwenyandarkan pengharapanya. Hamidun segera bergegas menyongsong hari-harintya dengan segenggam harapan.
Masih seperti hari-hari kemarin, tantangan dan kehidupan  yang tidak bersahabat masih saja menghadang Hamidun, anak lajang yang sedang belajar mengukir kehidupannya.   Terkadang terlintas di kalbunya, apakah masih ada hari indah yang dapat aku miliki, namun terkadang pula perasaan itu hilang,  berganti dengan ajaran para guru-guru yang dahuluIa dapatkan di bangku aliyyah,, bahwa manusia mesti akan mmendapatkan kemudahan dari Sang Pencipta, setelah manusia itu sendiri telah menyisakan kesabaran dan pasrah.
 “Sekarang, sampeyan mau ke mana, kang  ? “ seru Rosid teman melepas lelah Hamidun di tepi Jalan Pemuda Semarang, tempat biasa Hamidun dan teman-teman senasib mangkal melepas lelah, di siang udara panas kota Semarang.
“Entahlah, kang………….aku sendiri tidak tahu, biar kering dulu keringatku,  Wah belum lagi Sholat Duhur,  nanti saja setelah istirahat tak lanjutkan entah kemana aku akan berjalan mencari kerjaan “  jawab Hamidun dengan muka terbakar sinar matahari.
 “Baiklah kang, aku sendiri hari ini sedang kena sakit perut, setelah Sholat Duhur nanti aku mau pulang dulu, biar sampeyan yang lanjutin dagangan saya kang…! ”.
 “ Lho sampeyan piye to…kang, inikan hari baik, udara panas seperti ini kan baik untuk jualan es cendol to…?  Apa sampeyan nggak rugi…? “ sela Hamidun, setengah protes mendengar keluhan teman senasibnya.
  “Ah, kalaumasalah untung,  manusia ndak ada cukupnya, kang, entah tidak seperti biasanya hari ini aku merasa badan nggak enak, masalah rugi itu gampang, etung-etung  sampeyan bisa belajar mendapatkan uang halal, tapi ingat lho kang…hasilnya nggak seberapa “ jawab Rosyid dengan sorot mata meyakinkan, sehingga membuat sikap Hamidun menjadi tidak banyak protes lagi. Keduanya sejenak terdiam, karena Adzan Sholat Duhur memanggil mereka, untuk segera menunaikan kewajiban. 
“Kang ! , lantas bagaimana jadinya, dagangan sampeyan tak terusin, akau nggak mau kalau sampeyan rugi, kang !. “ kembali Hamidun menegaskan maksud baik temanya tadi.
“Sudahlah,..nggak usah kamu pikirkan, yang aku butuhkan hanya aku ingin istirahat dulu, nanti setelah dagangan ini habis, kembalikan gerobagku di pangkalan biasa.  Gitu saja Mid, aku tak pulang dulu. Assalamu΄alaikum “ . Rosid memberikan jawaban terakhir, seraya membalikan badannya, dan terus pulang.
Tinggalah Hamidun yang sedang menguatkan percaya dirinya, untuk mencoba menapak awal kehidupannya dengan berjualan es cendol. Toh untuk mendapatkan rejeki dari Sang Chalik  bisa didapatkan dengan beribu cara. Tinggal kita sendiri bagaimana menafsirkan makna hidup ini, demikian hati kecil Hamidun, yang selalu melekat kuat di hatinya.  Yang jelas bagi pemuda lajang ini, motivasi seperti ini telah terpatri jauh di hati yang paling dalam.
Masa lalu tinggalah masa lalu, kini secercah kehidupan mulai Hamidun miliki, apalagi ia baru saja mendapat kepercayaan dari juragannya Rosid,  untuk  bergabung bersama Rosid menjadi buruh penjaja jualan miliknya.  Hingga hari itu,  ia mampu pulang ke rumah bertemu emaknya dengan wajah berseri-seri,  sedikit ia memiliki pengharapan  untuk  mampu membantu emaknya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya..
Meski hanya penjaja es cendol, namun tiada mengapa bila ini yang dapat Hamidun lakukan, daripa menjadi penjaja kemaksiatan, toh  penjaja es cendol jauh lebih bermanfaat. Sebuah potret sosial, yang dapat mengharu-birukan bagi yang tidak kuasa melakukan. Namun bagi Hamidup selangkah lebih maju dalam mengarungi kehidupan ini.
 “Ya Allah semoga engkau selalu berkenan mencurahkan RahmatMU, pada hambaumu ini, berilah kesehatan dan kebaran pada bapak dan emak yang telah banyak menyayangiku,  walau selama ini diriku belum mampu membalas budi baik mereka “  doa Hamidun selalu ia ucapkan setelah tiap habis sholat.  Bukankah ini sebagai pertanda bahwa Hamidun, tidak lain adalah anak sholeh yang sabar, tabah dan bertanggung jawab pada dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar