Minggu, 23 Oktober 2011

Optimalisasi Sekolah Berbasis Masyarakat


Sesuatu yang pelik memang harus kita hadapi dalam urgensi pengentasan mutu pendidikan kita yang terpuruk ini. Tentunya  setelah kita menggenapi sistim pendidikan dengan berbagai instrumen yang menjadi faktor pendukung keberlangsunganya, seperti kurikulum yang representatif, guru yang professional sebagai media transfer bahan ajar san agen pembentuk jarajter peserta didik, sistim evaluasi yang komprehensif dan berstandardisasi, kita juga dihadapkan kompetensi peserta didik terhadap bahan ajar dan konsistensi karakter peserta didik yang paling essensi. Sekaligus specifikasi tersebut direkomendasikan mampu menjadi dasar akselerasi pengentasan di bidang pendidikan atau aspek lainnya.

Mengapa aspek karakter dalam urusan pendidikan menjadi demikian essensinya, pertanyaan ini tentunya bisa kita jawab dengan mencermati hubungan antara karakter sebagian besar anak bangsa dengan karakter suatu bangsa. Kita telah mengetahui bahwa karakter dasar yang membudaya kokoh dalam masing masing sanubari anak bangsa yang inovatif  dan  karakter lainya yang menjadi dambaan kita adalah justru sebuah modal utama sebuah bangsa untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di muka bumi ini. Wacana ini tentunya akan lebih kita terima, bila kita mencermati perbandingan karakter  dasar kita dengan bangsa lain. Kita mampu menyimpulkan bahwa terhadap hubungan korelasi positif antara kemajuan berbagai bidang suatu negara dengan karakter rakyatnya, misalnya tertibnya budaya antri, budaya santun di jalan, sportifitas , kejujuran,  anti korupsi dan lain sebagainya di negara negara maju tersebut.

Di lain pihak kita sering menjumpai sikap masyarakat kita yang “sok jagoan” di jalan raya tanpa punya satu  hatipun untuk memperdulikan kepentingan dan keselamatan orang lain atau anarkis saat antri bergiliran untuk mendapatkan sesuatu, holiganisme supporter sepakbola dibanyak even. Dengan latar belakang keprihatinan kita bersama tentunya menumbuhkan tekad di hati kita semua untuk mengakhiri ini selama lamanya. Dan lebih jauh lagi kita menekadi untuk realisasi Negara Indonesia yang ditopang oleh anak bangsa yang santun, piawai di bidangnya, memiliki nasionalisme yang “tak lekang ditengah panas dan tak lapuk dimakan hujan”, memiliki kepedulian yang tinggi,jujur dan lain sebagainya.

·        Minat Baca dan Urgensinya

Tinggalah kini kita bersandar pada ranah pendidikan yang mampu mengusuk pencetakan individu yang berkarakter dambaan, bahkan demi penyelamatan martabat bangsa kita dituntut untuk memberlangsungkan laju pembangunan pendidikan yang memadai, meski sebuah kepelikan akan kita jumpai dalam hal ini. Namun bila kita menilik sejarah sistim pendidikan kita yang terkoyak akaibat tekanan rezim Soeharto selama 32 tahun, kitapun menjadi tak memperdulikan lagi kompleksitas tersebut demi sebuah kontribusi rekonstruksi kejayaan Negara kita.

Minat baca masyarakat umum kita mestinya turut kita soroti, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), yang menukil laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ), dalam laporan tersebut,  di Asia Timur tingkat terendah minat baca  anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko (Kompas, 2/7/2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Namun kita juga tidak serta merta menyudutkan masyarakat kita yang memprihatinkan  minat bacanya,terutama untuk peserta didik yang ada di satuan pendidikan yang rata rata miskin ”khasanah pustaka” pada perpustakaan mereka. Bila pada satuan pendidikan tersebut telah langka akan pustaka yang up to date, maka bisa kita bayangkan betapa tertinggalnya anak didik kita lantaran njauh dari jendela dunia. Selain itu rendahnya daya beli kita semua menyebabkan sebagian dari kita cenderung menepiskan kebutuhan untuk membeli judul buku terbaru.

·        Pendidik Profesional

Percepatan pengentasan pendidikan diharapkan akan berhasil guna bila kita telisik peran vital seorang pendidik yang patut diperhatikan, apalagi bila pendidik tersebut telah mampu berperan secara profesional dan mampu menyodorkan pembelajaran secara inovatif, lantaran mereka telah mengalami peningkatan kesejahteraan hidup, setelah mendapat tunjangan profesi dari negara. Akselerasi akan lebih dapat kita harapkan bika terdapat kesamaan sikap dan kinerja dari 2.607.311 guru yang tersebar di seluruh Indonesia  dan ditambahkan  lagi suatu kiat  terobosan untuk meng-up grading satu juta pendidik yang belum berijazah S1 (dari berbagai sumber).

Jumat, 21 Oktober 2011

SINDROM INFERIOR KOMPLEKS


Amin Rais pada Seminar Nasional “Mempererat Potensi Lokal dalam Menghadapi Tantangan Global”, Senin (17/10/2011) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jateng, pada grand launching Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNSOED, menyatakan bahwa kita sekarang sedang menderita “Sindrom Inferior Kompleks”, yang menggejala dengan timbulnya sikap mendewakan bangsa lain di atas bangsa kita sendiri. Sehingga diantara kita sering kali bersikap bahwa  produk luar negeri apa saja, selalu lebih unggul mutunya dibanding pruduk dalam negeri. Apakah kita pernah berpikir, bahwa bola untuk sepakbola yang bermerek “beken”, sebenarnya adalah bola buatan dari Jawa Barat atau sepatu buatan Cibaduy, mejadi sepatu keren, karena diberi lebel merek Eropa ?.
Padahal tercatat dalam sejarah bahwa terdapat banyak kerajaan kerajaan besar yang wilayahnya hampir seluruhnya mencapai Asia Tenggara.Ditambah lagi bahwa pada decade 1945, kita dikenal sebagai macan oleh bangsa bangsa lain. Kita unggul dengan bangsa lain di Asia Tenggara, dalam hal pendidikan, militerm nasionalisme dan lain sebagainya.
Tentunya revitalisasi prestasi gemilang tersebut perlu diupayakan dengan serius, bukan hanya dengan kemampuan “segala hal” yang merambat maju, tetapi pencapaian dengan “loncatan prestasi”  perlu kita torehkan. Untuk itu kita perlu mencari “solusi yang paling mendasar”, yang dapat kita jadikan acuan dasar dalam pencapaian prestasi tersebut. 
·         Keprihatinan Tentang Minat Baca
Minimal kita bisa mengamati, karakter karakter dasar bangsa lain yang kini telah berada di atas kita. Disamping terkenal sebagai pekerja keras, masyarakat negara negara  tetangga (Singapira, Malaysia,  Thailand, Korea dan lain sebagainya) adalah masyarakat yang berkarakter kuat minat bacanya, mereka kuat membaca apa saja dan di mana saja. Khusus untuk minat baca, sebuah kiat yang serius  harus kita kukuhkan untuk pengentasan rendahnya minat baga peserta didik kita. Betapa tidak menurut  laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah minat baca  anak-anak didera anak anak  Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko, bahwa dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Sebenarnya minat baca tidak menjadi ancaman yang serius, apabila sekolah sekolah masih konsisten dalam melanggengkan minat baca peserta didik kita yang belajar pada era sebelum tahun 1980-an , yang memiliki minat baca tidak kalah dengan bangsa lain.
Oleh karena itu pada dekade tersebut, banyak buku buku karya sastra  yang menjadi ”best seller”, antara lain adalah Buku ”Salah Asuhan” karya Abdul Muis, ”Di Bawah Lindungan Kabah, karya HAMKA, ”Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar dan masih banyak buku buku sastra lainnya yang banyak peminat bacanya. 
Mengulang kegemilangan minat baca yang diterapkan pada peserta didik di era sekarang, adalah awal dari ”merekonstruksikan percaya diri bangsa sedini mungkin”, dengan sistim tagihan yang efektif dan berkelanjutan, dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi, dengan membawa konsekuensi logis pada fungsi perpustakaan yang memadai. Hingga terbentuklah satu generasi yang bisa kita harapkan mampu menyamai prestasi bangsa lain.
·         Optimalisasi Pendidikan  Berbasis Masyarakat

Menurut Sihombing U (2001) Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM), adalah pendidikan  dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Berawal dari pernyataan  Sihombing tersebut. maka PBM adalah salah satu bentuk pendidikan yang memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat. 
Pendidikan tanpa melibatkan peran aktif  masyarakat dalam mensukseskannya akan menyebabkan “salah cetak” atau pembentukan pribadi peserta didik yang terhambat, sebab fungsi lain dari sekolah adalah sebagai “Agent of Changing” anak anak kita. Selain itu sekolah hanya mengusung aspek ”cerdas” saja,  tanpa memperdulikan  ”pembelajaran sosial ” yang seharusnya digali dari masyarakat sosial dilingkunganya. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan .
Maka apabila kita tepiskan interaksi masyarakat dalam sistim pendidikan kita, maka akan timbulah dampak pendidikan yang serius, seperti yang dinyatakan oleh  DR. Arief sebagai berikut : a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,  c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar. 
Dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek tersebuy di atas, maka cukuplah kiranya sekolah mampu menepis ”Sindrom Inferior Komplek”, sehingga jadilah generasi kita sebagai generasi yang bermartabat,”smart”, inovatif sekaligus santun.Oleh karena itu marilah kita tidak setengah setengah dalam membentuk peserta didik kita untuk menggapai masa depanya dengan penuh pecaya diri (dari berbagai sumber).

Jumat, 07 Oktober 2011

OPTIMALISASI RPP BERKARAKTER


Banyak anggota masyarakat kita yang telah mulai jenuh dan khawatir saat menyaksikan tayangan semua stasiun TV swasta ataupun media lainnya tentang tindakan tak terpuji masyarakat kita yang berbentuk tawuran, korupsi, demo anarkis, bentrokan berbagai pihak baik perorangan ataupun antar lembaga strategis. Fenomena tersebut dikhawatirkan mampu menumbuhkan perasaan skeptis masyarakat kita, yang sebenarnya masih berhajat besar dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, bukan lagi hanya menerima informasi tersebut di atas sebagai hasrat autoritas untuk mengajak kebersamaan dalam memikul tanggung jawab bersama untuk menuju Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik.

Namun fenomena yang menyeruak dalam di tengah kita, bagi kalangan dan pemerhati pendidikan akan berpandangan lain lagi. Munculnya gejala tersebut di atas, adalah gejala penetrasi karakter yang gagal selama kita mengenyam pembelajaran dalam wadah pendidikan yang kurang memperhatikan pembentukan karakter (affektif) peserta didik pada semua jenjang. Selama satu kurun waktu kita hanya mengusung pembelajaran yang mengoptimalisasikan aspek kognitif belaka, tanpa menyelaraskan aspek affektif pada peserta didik. Sehingga usungan tersebut menuai hasil lahirnya generasi yang “miskin dalam sematan nilai dasar yang diwariskan nenek moyang kita sebagai bangsa yang santun”

Seharusnya setelah runtuhnya perang dingin antara blok barat dan timur, yang dicirikan dengan kekhawatiran kedua blok akan ekspansi ideology musuh mereka masing, saat persaingan antar bangsa diletakan pada landas pacu supremasi sains dan teknologi, kita tidak terpancing dengan perlombaan tersebut dengan mengesampingkan aspek pembentukan karakter bangsa melalui pembelajaan. Sebab dalam jalinan proses pembentukan karakter, peranan yang ikut menjadi faktor utama pembentukan karakter yang utuh, adalah satuan pendidikan yang mengusung pembelajaran berkarakter, sebagai agent of changing karakter social.

Dengan wacana tersebut di atas akan mencairlah kekhawatiran  semua pihak terhadap runtuhnya jati diri Masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang santun, murah senyum, gemar menolong, terbuka, seka bergotong royong dan seabreg karakter terpuji lainnya. Agar pencapaian tersebut bukan hanya menjadi isapan jempol belakan, maka setiap simpul pembelajaran di tanah air kita haruslah terintegrasikan dengan cermat, dimulai dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibumbui dengan “item” berkarakter.

Sehingga setiap Indikator (ukuran keberhasilan pembelajaran) dan Tujuan Pembelajaran dalam rencana pembelajaran bersendikan pada kejujuran, tanggung jawab, kepedulian sosial dan lingkungan, percaya diri, berkemauan kuat untuk maju, berbudi luhur dan tindakan terpuji lainnya yang melekat kuat pada masing masing sanubari peserta didik kita. Meski proses tersebut tidak mampu kita laksanakan hanya dengan tempo yang singkat. Namun apabila  “kasih sayang” setiap peserta didik dalam penyertaan “unsur karakter” tersebut, maka beberapa decade waktu mendatang kita akan mampu menemukan kembali mahkota sematan bangsa yang santun.

Kiat strategis pendidikan ini, tentunya harus diusung oleh salah satu diantaranya adalah pada pendidik yang berada pada garis terdepan. Oleh karena itu kapasitasi pendidik haruslah dalam kategori “bersertifikasi profesional” dalam cakupan tiga unsur utama, yaitu penguasaan sains, tehnik pembelajaran yang menggelitik dan menyenangkan serta peran social pendidik di tengah lingkungan sosialnya. Dengan peranan social pendidik  
                                                           2
yang bersertifikasi professional, maka dengan pengalaman berkehidupan social yang utuh, mereka mampu menularkan “ tindakan sosial, interaksi social dan komunikasi social” kepada setiap peserta didiknya. Tindakan untuk transfer dan pembudayaan karakter social tersebut harus terselip dalam “tiga pilar” utama Rencana Pembelajaran Pendidikan, yaitu kelihaian pendidik dalam Eksplorasi (penggalian potensi karakter anak didik), Ellborasi (penyampaian tujuan) dan Konfirmasi (tagihan)

Dengan percaya diri dan kemauan yang sungguh sungguh serta sistim perencanaan pembelajaran yang cermat dan sistimatis, maka cita cita luhur yang ditunggu capaianya oleh setiap masyarakat Indonesia, tentunya bisa kita harapkan keberhasilannya. Oleh karena itu setiap perkembangan karakter perorangan peserta didik harus mampu dimonitor pendidik. Monitoring ini sekaligus menjadi sebuah evaluasi, yang tidak hanya evaluasi aspek kognitif. Akan tetapi berujud suatu sistimatika perkembangan karakter perorangan mulai dari tahapan “Belum Tampak” perubahan karakter, “Mulai Tampak”, “Mulai Berkembang” perubahan karakter anak didik kita dan terakhir yang kita harapkan adalah “Mulai Konsisten”peserta didik dalam melekatkan karakter terpuji.

Lantaran tingginya urgensi pembelajaran berkarakter, maka Prof.M.Satuhu, M.Ed (2002) mengharapkan menjadi sebuah Sistim Pembelajaran Nasional Visioner yang memilihi roh “kukuh dalam aqidah, dinamis dalam syariah dan santun dalam kerja pendidikanya.