Selasa, 24 Mei 2011

Titian Benag Sutra Kesabaran


Kanko terhuyung kebelakang, saat “Maharaja Prabu Matswopati Raja Kerajaan Besar Wiroto” memukulkan alas permainan dadu yang terbuat dari kayu jati. Darah segarpun menetes dari keningya yang putih bersih. Melihat kejadian yang menyayat hati itu, “Emban Sarindri” yang cantik jelita, segera mengambil “Bokor Kencana” yang terletak disamping singasana agung Prabu Matswopati. Bokor kencana tersebut digunakan untuk menampung darah segar Kanko, agar tidak menodai permadani yang tergelar di “Pisowanan Agung” itu .

Kedua mata Prabu Matswopati, terbelalak matanya mencermati kejadian itu, betapa tidak Emban Sarindri, yang selama ini tidak memiliki sangkut paut hubungan antara dirinya dengan “Lurah Pasar” Kanko, sekarang menjadi penuh perhatian, dengan melakukan hal semacam itu.

“Hei..Sarindri, untuk apa kamu melakukan hal semacam ini ?”

“Ampun paduka, mohon maaf atas kelakuan “abdi dalemu” yang lancang ini”

“Aku belum mengerti, Sarindri ?. Mengapa kamu menampung darah segar Kanko dengan bokor ini. Jelaskan Sarindri ?”

“Ampun tuanku, “Sinuwun“ adalah “Senopati Agung” sekaligus Maharaja di Wiroto, yang memiliki pantangan meneteskan darah hamba Paduka, yang harus sinuwun “ayomi”, kecuali di tengah pertempuran bela Negara. Apabila darah ini menetes ke bumi Wiroto, akan menyebabkan murkanya para dewa, dan hancurlah Kerajaan Besar Wiroto”


“Sarindri, ternyata kamu adalah “embanku” yang berbeda jauh dengan emban lainya. Meski derajatmu hanya “sudra”, tetapi “kawruh lan kepinteranmu” luas. Meski aku selama ini belum tahu persis siapa dan dari mana kamu sebenarnya, tapi aku merasa mendapat “kawruh dan ilmu” darimu “

“Ampun tuanku “Sinuwun Wiroto”!, hamba memang emban yang “kabur kanginan”, lantaran bagi kami siapa aku sebenarnya tidaklah penting, yang penting adalah niatan kami untuk “Ngawula lahir batin” di Negara Wiroto”

“Sungguh luar biasa pengabdianmu, Sarindri !”

“Maturnuwun sinuwun, hanya saja bolehkah abdi dalem yang tiada berguna ini bertanya kepada paduka ?”

“Apa lagi Sarindri ?. Aku harap kamu tidak lancang kepadaku, seperti Lurah Pasar Kanko itu ”

“Mengapa sinuwun tega menganiaya abdi Kanko, apa salahnya ?”

“Sarindri, ketahuilah kelancangan Kanko sungguh terlalu. dia seenaknya memperolok kesaktian Seto putraku, yang dituduh tidak becus mengusir barisan kurawa. Kanko menganggap bahwa sang kusir putraku yang berhasil menghancurkan barisan kurawa. Seberapa kesaktian guru tari anaku itu?, yang bersikap seperti waria. Sekarang kalian berdua keluarlah, aku tidak mau melihat kalian berdua di bumi Wiroto ini. Keluarlah dan pergi jauh jauh dariku !!!!”

Sarindri dan Kanko hanya menundukan wajahnya, dengan tidak menunggu waktu lagi mereka berdua segera mengangkat tubuh mereka dan keluar dari pisowanan agung itu.

***

Sementara itu pisowanan menjadi geger, lantaran di luar semua abdi dan prajurit mengelu-elukan kedatangan Senotapi Wiroto Seto, putra Prabu Matswopati yang berhasil, mengusir ratusan ribu prajurit Hastinapura, yang hendak melibas Kerajaan
2
Wiroto dari arah Utara. Meski pasukan itu dipimpin langsung oleh “Prabu Duryudono”, dengan senopati pengapit “Dah Yang Durna”, “Adipati Awangga Sinuwun Karno”,:”Resi Krepo “ dan “Sang Resi Woro Bisma”.

Mencermati kekuatan besar bala prajurit Hastina tersebut, tidak mungkin bagi Putra Mahkota Wiroto Seto, mampu mengalahkan mereka semua, yang pada kenyataan lari tunggang langgang. Hal ini karena kesaktian Senopati Seto masih dalam tataran biasa –biasa saja. Lantas rahasia apa yang terselip di balik kemenangan gemilang itu. Rahasia itu terkuak, setelah beberapa prajurit yang menjadi saksi mengatakan bahwa kemenagan itu karena jasa kusir kereta perang sang senopati, yang bernama Wrihatnolo. Meski Wrihatnolo hanya “batur” sang senopati, tapi memiliki kesaktian yang luar biasa dan di atas para senopati Hastina, Wrihatnolo memiliki senjata sakti yaitu panah Pasopati pemberian Dewa Siwa. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama “Dewadatta”, yang berarti "anugerah Dewa".

Dengan semula hanya sebatang anak panah Pasopati yang menebas udara Wiroto, yang kemudian melipatgandakan jumlahnya hingga ribuan, “wadya bala” Prabu Duryudono yang beribu ribu jumlahnya menjadi terbelah leher mereka hingga tewas . Menyaksikan banyak rekan mereka yang “gemlundung mustakanya” prajurit yang selamat menjadi “miris” hatinya dan lari tunggang langgang. Disusul kemudian sekali tiupan sangkakala sakti Dewadratta, semua bala prajurit termasuk para senopati Hastinapura yang tersisa menjadi berterbangan ke angkasa terhempas daya sakti Dewadratta.

Prabu Duryudono menjadi kecut hatinya melihat kenyataan yang terjadi, lantaran beribu prajutitnya “segelar sepapan” lengkap dengan brigade panah, tombak, pedang dan kavaleri dibuat tak berdaya menghadapi kusir senopati, yang berpenampilan seperti waria. Namun apa daya, yang hanya bisa dilakukan oleh dia hanyalah menarik pasukanya , karena tiada satupun senopati pengapitnya yang pilih tanding, mampu mengalahkan Wrihatnolo. Hanya Dah Yang Durna saja yang memiliki keyakinan bahwa Wrihatnolo yang sakti itu tdak lain adalah Raden Arjuna murid kesayanganya, yang selama 12 tahun bersembunyi.

Rasa heran yang sangat kini memenuhi sanubari Sang Senopati Seto, melihat kenyataan yang ada di depanya. Mengapa Wrihatnolo hanya seorang kusir kereta, tapi memiliki “daya linuwih” yang demikian tingginya, diapun yakin kini bahwa Wrihatnolo adalah bukan “sudra” sembarangan, pasti dia adalah ksatria pilih tanding. Rasa heran itu tanpa ragu ragu dikemukakan pada kusirnya itu, dengan hati hati.

“Wrihatnolo !”

“Daulat, sinuwun !, saya “nyadong dawuh” tugas apa lagi yang akan diberikan kepada saya!”

“Ketahuilah !, baru kali ini aku menyaksikan kejadian yang luar biasa, siapa sebenarnya kamu Wrihatnolo ?”

“Ampun tuanku, saya adalah Wrihatnolo kusir kereta perang sinuwun”

“Tapi engkau memiliki kesaktian yang luar biasa, ksatria dari mana kamu ?”

“Mohon tuanku tidak mempermasalakan tentang hamba, sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengabdi Negara hamba, yang sedang genting diserang musuh”

“Aku tidak percaya, Wrihatnolo ?, mengaku saja siapa sebenarnya kamu. Akan aku “sowankan” dirimu kehadapan “kanjeng romo”. Akan engkau dapatkan hadiah apa saja yang kamu inginkan “.

“Mohon maaf sinuwun, hadiah yang saya harapkan adalah dari Yang Maha Kuasa, bukan hadiah dari Sinuwun Prabu Matswopati, Bagi kami ketentraman dan kedamaian Negara Wiroto adalah menjadi kewajiban hamba”
3

“Oh, Wrihatnolo, aku bertambah kagum terhadap kamu, semakin yakin pula aku, bahwa kamu adalah bukan sudra seperti batur lainnya. Mengakulah Wrihatnolo ?;

“Saya adalah manusia “titah sawantah”, yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa?”

“Ha…ha…ha..aku tahu memang bagi ksatria yang sudah tinggi tataran hidupnya, pantang untuk menonjolkan “bahu bektinya”. Oleh karena itu, bila engkau memang semata mengharapkan “idi pangestu” dari Yang Maha Kuasa, mengaku sajalah Wrihatnoloa Aku ini “pepundenmu”, menuruti perintah pepunden bagi seorang ksatria, adalah hal yang wajib “

“Baiklah, sinuwun. Aku akan mengaku sebenarnya siapa aku. Tetapi nohon sinuwun berkenan merahasiakan masalah ini”

“Baiklah Wrihatnolo, aku adalah Putra Mahkota Negera Wiroto, yang harus memiliki sifat “tan keno walak walik” di setiap kebijakan dan perkataan aku. Maka segeralah mengaku, siapa sebenarnya kamu ?”

“Perhatikan sinuwun, pusaja pusaka yang aku bawa ?”

“Ya, pusaka pusaka itu milik “Panengahing Pendawa, Raden Permadi.lantas apa
hubungan kamu dengan pusaka itu ?”

“Akulah pemilik pusaka itu, Sinuwun. Akulah Permadi “

“Aduuh, ngger putraku !, aku tidak percaya. Apa betul engkau putraku..ngger !”

“Duh paman, akulah arjuna yang telah menjalani pembuangan 12 tahun dan penyamaran selama satu tahun di negeri Wiroto ini, hingga sampai akhir waktu penyamaran ini, Pandawa akan memohon Kangmas Duryudono untuk mengembalikan Negeri Indraprasta sajajahanya dan Negeri Hastina “sigar semongko “

“Baiklah ngger Permadi !, sang paman hanya berdoa kepada Hyang Maha Kuasa agar Pandawa mampu meraih kemulyaan hidup, meski melewati tingkatan kesabaran yang bukan main tinggiya. Namun apabila engkau semua mampu mengendalikan nafsu nafsu yang hinggap di sekujur sanubarimu, kemuliaan itu akan dengan mudah kamu raih, Permadi !”

“Kasinggihan, paman Seto !, putra paduka Permadi ini, masih harus banyak belajar tentang nafsu yang paman maksudkan “

“Ngger Permadi, keempat nafsu yang harus kamu kendalikan dengan segala “Roso lan Rumongso” adalah :
1.Nafsu Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak sabar, welas asih tulus dan suci. 2.Nafsu Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan ‘panasten.’ 3,Nafsu Aluamah, berwarna hitam, mempunyai kesenangan makan yang berlebihan sehingga menjadi pelupa dan 4.Nafsu Supiyah, raja wanita, bercahaya kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak dapat menepati janji. Selanjutnya gunakanlah nafsu “Mutmainah” untuk menjaga ketiga nafsu tersebut, ibarat nafsu “sang mbarep” yang membimbing adik adiknya, terutama ” nafsu ragil” yang berujud nafsu “amarah.Jika kamu mengendalikan nafsu itu, maka telah sempurna tingkat kesabaranmu, ngger !, engkau akan merasakan “sworgaloka” yang turun di “mercopodo”.
“Seperti tersirahkan air embun pagi hari, yang mampu menyejukan hati kami, Paman Seto “
“Yo, ngger, “tak kanti” sekarang juga, ngger Permadi ikut sowan kehadapan Romo Prabu Matswopati”
4
“Ampun Paman, bila waktunya tiba kami semua “kadang” Pandawa pasti sowan kehadapan Romo Prabu”.
***
Wajah yang cerah dan berseri kini menghiasi semua “warongko projo Wirata” yang ikut dalam pisowanan hari itu, terlebih lebih wajah Maharaja Matswopati yang selalu dihiasi senyum kecerian. Apalagi mendengar kabar yang baru saja didapat tentang kemenangan gilang gemilang putranya dalam mengusir wadya bala Hastinapura tanpa menemui kesulitan.
Silih berganti gambaran tentang kemenangan putranya yang diluar nalar dan gambaran keperkasaan baturnya Jagal Abilawa yang baru saja menyelamatkan dirinya dari tindak pendzoliman dan penistaan yang dilakukan Raja Trigatra Susarman terhadap dirinya, kedua gambaran itu terus saja memenuhi seluruh beranda sanubarinya. Sang Prabu Matswopati menjadi bahagia sekaligus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa kesaktian Jagal Abilawa yang dengan mudah meringkus Prabu Susarman yang sombong itu baru kali ini dia temui.
Baru kali ini dia menjumpai, abdi seperti Bilawa. Karena hanya abdi jagal sapi, tetapi memiliki kesaktian pilih tanding. Meski penampilan Abilawa ini mengerikan mirip gendruwa, yang tinggi besar dengan rambut acak acakan sebatas pinggang dan sangat bau, dia juga tidak bisa bertutur kata dengan bahasa santun di hadapan “piyayi agung “ seperti Sinuwun Prabu Matswopati. Namun Abilawa lauaknuya seorang abdi yang telah mati hati nuraninya. Terbukti Bilawa menolak mentah\menth pemberian hadiah berupa emas, intan, mutiara, tanah lengkap dengan bangunan istananya,
“Angger, Seto putraku!, entah aku sendiri tidak tahu. Betapa banyak limpahan Rahmat dan Pertolongan dari Tuhan Yang Kuasa kepada kita hari ini. Bala tentara lengkap Hastinapura dari sisi Utara telah hancur berantakan.Sedangkan dari arah selatan, kesaktian Susarman belum berarti apa apa dibanding dengan Abilawa, yag selama ini hanya jagal sapi di dapur istana. Hampir saja aku berpisah denganmu, ngger !, tapi beruntunglah Tuhan yang Kuasa masih memberi pertolongan kepadaku, dengan menghadirkan Abilawa, yang dengan mudah memotong leher raja sombong itu “
“Abilawa, romo ?. Siapa Abilawa itu ?”
“Dia tidak mau mengaku darimana asalnya, tapi aku sangat bahagia sekali memiliki batur seperti Abilawa ini. Dia sangat rndah hati dan menolong “pepundenya” dengan ikhlas dan tanpa pamrih barang sesdkitpun”
“Lantas orangnya seperti apa, romo ?”
“Aku hingga kini masih merasa ngeri bila melihatnya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya dibiarkan menutupi pinggangnya tanpa disisir, dia berpakaian denga kulit macan dan ular, dia sama sekali tidak bisa bahasa “kromo inggil “ denganku. Tapi dibalik “praupan” yang mengerikan itu, tersembunyi jiwa ksatria yang halus, tak pernah merasa takut dengan sesama, halus kepedulian terhadap sesame dan berjuang tanpa pamrih”
Senopati Seto tak kaget barang sedikitpun, karena dia telah menduga bahwa Abilawa tidak lain adalah Bimaseno atau Raden Werkudoro Panegaking Pandawa, seorang ksatria putra Prabu Pandu Dewanata yang tersohor itu. Semua kehidupanya mulai dari kecih hingga sekarang telah bergrlimang dengan kebaikan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dia dan saudara saudaranya.
“Ada apa Seto ?, apa kamu kenal dengan Abilawa ?
“Ampun romo, baru kali ini Seto mendengarnya. …..Mohon maaf romo !,emban Pinto telah memberi tahu ananda, bahwa diluar ada Bibi Kunti dan Prabu Drupada yang berniat menghadap Romo Prabu “
5
“Kunti, anaku dan Ngger Prabu Drupada !, jangan biarkan mereka telalu lama di luar, segera mereka “diaturi sowan” di depanku. Oh, Tuhan Yang Kuasa, semoga kehadiran mereka membawa kebaikan untuk Wirata “
Kunti telah sembab matanya, demikian juga Prabu Drupada yang berkaca kaca matanya, diikuti para “kadang Pendawa”, yang kini duduk bersimpuh di depanya. Sebuah pelukan kasih sayang antara Kuni dan Pamanda Kanjeng Sinuwun Matswopati mengharu birukan pertemuan nesar di Pendopo Siti Hinggil Wiroto. Rasa haru kedua saudara yang berpuluih tahun tidak bertemu itu, berhasil membungkam hadirin “piaowanan agung” itu. Kecuali Pandawa yang hanya duduk dengan muka tertunduk.
“Kunti mengapa kehadiranmu bersama dengan Sarindri, Kanko, Abilalawa, Wrihatnolo, mereka itu baturmu yang mlarikan diri ?, lho mengapa mereka berpakaian seperti ksatria, Kunti mengapa ?”
“Sebelim dan sesudah limpahkan maaf yang sebesar besarnya padaku, karena mereka sebenarnya…..” Kunthi tak mampu meneruskan perkataanya, air matanya kini bertambah deras, air mata beribu makna dari mulai ketabahan putra putra pendawa dan air mata kebahagian karena pertemuan dia dengan putra putranya. Air mata yang berderai karena selama ini, putra putranya yang sudah kehilangan segala galanya, namun masih bisa “ngugemi dharma”.
“Kunti, tabahkan hati kamu, ceritakan dengan tenang. Aku tahu engkau putraku yang sudah kenyang dengan cobaan hidup. Maka tabahkan sebagaimana ketabahan suamimu atau keponakanku Pandu yang arif dan bijak”
“Paman Prabu, setelah 12 tahun anaku anaku bersembunyi di hutan. Tiba saatnya selama 1 tahun mereka harus menyamar. Agar tidak ketahuan “telik sandi” Kurawa, mereka cucu cucumu memilih melakukan penyamaran di Wirata, agar memperoleh pengayoman sang eyang “
“Jadi abdi abdiku itu, Kanko, Sarindri dan …adalah cucu cucuku Pandawa ?”
“Betul Paman Prabu !, mereka adalah cucu Pandawa. Kanko adalah putraku Yudistira, Abilawa tidak lain adalah Werkudoro, sedangkan Wrihatnolo guru tari dewi Utari adalah Arjuna. Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Drupadi menjadi Sarindri sebagai dayang istana”
“Oh Jagad Dewa Batara. Kunti aku harus bekata apa. ?. Sampaikan maaf saua kepada putra putramu, mengapa aku memperlakukan mereka demikian buruknya, padahal mereka adalah cucuku. Oh Tuhan, cabut saja nyawa aku, aku rela Tuhan. Aku punya kesalahan yang besar terhadap mereka.”
“Mohon maaf Eyang Prabu, kami memang sengaja menyembunyikan kami semua.Sehingga kami tidak pernah menganggap eyang bersalah terhadap kami”
“Oh cucuku Pandawa!, demikian besarnya cobaan yang kalian alami. Tapi demikian besar kesabaran yang kalian miliki. Ngger cucuku, kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan ksatria yang bisa memeangkan Bharatayudha kelak.
Pondok Sastra HASTI Semarang

Minggu, 15 Mei 2011

anerji(IPTEK): SEPUTAR ISSU KIAMAT 2012 (Nebula)

anerji(IPTEK): SEPUTAR ISSU KIAMAT 2012 (Nebula)

anerji(IPTEK): NEBULA

anerji(IPTEK): NEBULA

Pesan Untuk Tiap Anak Bangsa


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidupdi negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi

Pendidikan Dan Terorisme


Sekjen International Conference of Islamic Scolar (ICIS) KH Hasim Muzadi di depan segenap peserta dialog, yang dihadiri beberapa jurnalis media barat, Rabu 11 Mei 2011 silam menyatakan bahwa, meski Usamah telah ditembak mati oleh tentara elit AS, tapi terorisme international tidak mati, meski ketidak hadiran Usamah mampu memberi terapi mental bagi pengikut setianya.

Apalagi dengan lolosnya putra sulung Usamah, Hamza Bin Laden pada penyergapan yang dilakukan oleh pasukan elite 2 Mei 2011 di Kota Abbotabat, Pakistan. Putra sulung Usama ini saat Usama masih eksis, disebut sebagai “Putra Mahkota Terror”. Serangkaian tindak terror telah dilakukan oleh putra mahkota ini, antara lain adalah pembunuhan PM Benazir Bhutto Desember 2007, Pengeboman di London Inggris 7 Juli 2005. Setelah Usama meninggal sang putra mahkota ini menyerukan kepada semua pengikut Al Qaeda untuk melakukan penghancuan kepasa AS, Inggris, Perncis dan Denmark.

Berdasarkan wacana di atas, kita jangan terburu buru menyimpulkan, bahwa terrorisme di muka bumi ini dengan mudah bisa dipatahkan dengan teknologi secanggih apapun, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Karena bagi beberapa pihak terrorisme dianggap sebagai”The Real Terror” demi kemerdekaan negaranya, tujuan ideology kelompoknya atau tujuan berlatar belakang Sara semata. Oleh karena itu bagi jaringan garis keras tersebut akan berupaya dengan menebas nilai moralitas. Termasuk diantaranya rekruitmen anggota jaringan dari kalangan mahasiswa dan peserta didik jenjang SMA. Seperti yang dilansir beberapa media bahwa telah banyak mahasiswa dan peserta didik SMA yang menjadi korban cuci otak kelompok NII.

Bagi kalangan remaja yang mengaksenkan ajaran “jihad dengan gelap mata”, maka mereka akan dengan mudah mendapatkan “pembelajaran makna jihad” dari beberapa pihak yang akan menungganginya, meski pihak yang menungganginya telah sepihak dalam memaknai arti jihad. Ditambah lagi dengan tontonan yang setiap hari mereka dapatkan dari multimedia tentang “perilaku anarkis sebagian anak bangsa” atau “tindak menikmati uang Negara” demi kepentingan pribadi oknum petinggi bangsa ini.

Dengan menipisnya pembelajaran Pancasila dan Pendidikan Agama di setiap lini lembaga perguruan tinggi / satuan pendidikan, maka tontonan ini akan menginternalisasi menjadi salah satu “lifestyle” remaja kita tentang upaya mengambil jalan pintas demi pembenaran secara sepihak. Sikap mental negatif ini bukan berarti sesuatu yang dianggap tidak “urgent” lagi, bila kita kaitkan dengan semangat nasionalisme yang menghangus di semua komponen anak bangsa ini. Hal ini semua, harus kita waspadai karena konflik di lingkungan social peserta didik kita, terutama jengang SMA yang nota bone masih tergolong remaja, adalah pembelajaran informal yang terus saja saban hari mereka konsumsi. Apalagi dengan kontribusi dunia maya, berupa facebook yang sudah beralih fungsi sebagai media bebas tanpa sesuatu filter apapun. Sehingga stimulus apapun dengan gampang mampu dikonsumsi remaja tanpa tela’ah lebih lanjut. Padahal suatu pengalaman empiris bisa kita dapatkan apabila kita mengunjungi warnet yang bertebaran di semua kota di Indonesia. Sebagian besar pengunjung di warnet tersebut adalah dari kalangan peserta didik SMP dan SMA, meski di jam sekolah.

Dalam dunia maya ini banyak kita lihat situs situs dari lembaga yang sepihak “mimpi di siang bolong” dalam mewujudkan impian mereka mengganti sendi sendi berkehidupan berbangsa dan bernegara Negara tercinta ini. Stimulus negative ini jelas sangat mengkhawatirkan kita bersama.

• Terror Pendidikan

Sementara itu kita selama ini tidak menyadari dengan cermat adanya terorisme yang menggrogoti mental anak bangsa, meski terror tersebut bukan berujud pada terror senjata, bom atau tindak anarkis. Tetapi terror yang berupa pembelajaran ketidak jujuran atau lebih jauh lagi dekstruktif jati diri remaja kita, lantaran dalam pelaksanaan UN di berbagai jenjang, meski kiat sedemikian rupa telah diusung oleh BNSP untuk menanggulanginya dari tahun ke tahun. Tindak kecurangan ini membahana sejak dimulainya sistim evaluasi nasional pada tahun 2003, yang mulai diterapkanya standar minimal sebesar 3,01 sebagai syarat peserta didik untuk lulus, kemudian dilanjutkan tahun 2004 dengan nilai standar 4,01. Tahun 2005 sistim UAN diganti dengan UN, yang mencantumkan peryaratan standardisasi kelulusan sebesar 4,56 hingga sekarang UN 2011 dengan standardisasi 5,50, tetapi memiliki specifikasi 5 type soal.

Tindakan preventif memang perlu dilakukan secara dini, dengan upaya pembentukan sikap nasionalisme, pancasilais,patriotisme dan kepedulian bersama secara mendasar dari aspek pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Abdul Kadir Karding SPi, MSi, Jum’at 6 Mei 2011, yang menyatakan bahwa gerakan NII harus dibendung melalui lini paling dasaryakni sektor pendidikan, yaitu diawali dengan para pengelola sekolah yang harus merombak kurikulum dan membekali guru terkait dengan materi yang benar, sehingga tidak menyesatkan para peserta didik dalam kehidupan agama sehari hari.

Selasa, 03 Mei 2011

Kaji Ulang UN 2011


Prediksi Badan Nasional Standardisasi Pendidikan tentang keberhasilan kiatnya dalam memberlangsungkan UN 2010 – 2011, untuk jenjang SMP dan SMA ‘tanpa tindak kecurangan” hingga hari ini masih harus dikaji ulang. Meski kiat lembaga ini sudah cukup jitu dengan menyelenggarakan UN dalam variasi soal sebanyak 5 paket, yaitu Paket A, B, C , D dan E terhadap semua bahan ajar yang di-UN-kan, untuk kedua jenjang sekolah tersebut. Kiat tersebut memang mampu menjamin peserta didik tidak berkutik untuk bekerjasama dengan lainnya. Dengan demikian apakah kiat ini memamng telah mampu mengusung pemberlangsungan UN seperti yang kita harapkan.

Sembari menunggu hasil akhir capaian UN untuk anak anak kita, sebaiknya BNSP menggelar evaluasi serupa yang ditujukan semata mata untuk mengukur kemampuan mereka secara murni, bukan kemampuan yang dicampuri pihak pihak tertentu yang semata mata hanya ingin meluluskan peserta didik. Evaluasi kaji ulang ini tidak membutuhkan biaya yang relative besar, karena bisa dilakukan secara acak per sekolah, kota dan propinsi. Tentu saja soal evaluasi ini dijamin tidak bocor, karena pengadaan dan pendistribusianya tidak serumit soal UN. Dengan gelaran evaluasi kaji ulang ini, BNSP cukup mengumpulkan beberapa ratus peserta didik untuk beberapa kota tertentu yang dapat mewakili daya serap bahan ajar peserta didik secara nasional, tanpa mengurangi kecermatan dalam survey kejujuran UN tahun 2011.

Tentu saja waktu pemberlangsungan evaluasi kaji ulang ini berkisar antara waktu sebelum atau sesudah pengumuman UN dalam toleransi waktu yang tidak lama. Dari hasil evaluasi kaji ulang inilah BNSP mampu mencermati kemampuan rata rata peserta didik yang lulus UN. Apabila rataan nilai UN murni (tanpa dikontribusi rataan nilai rapot semester 3, 4 dan 5 serta nilai Ujian Akhir Sekolah/Madasah Berstandar Nasional) sangat jauh berbeda dengan nilai “evaluasi kaji ulang “ , tentu saja BNSP segera mengganti kiat 2011 ini dengan kiat yang lebih mampu menjamin kemurnian UN.

Langkah ini perlu dilakukan secara emergency, karena berdasarkan laporan banyak media penyelenggaraan UN 2010 silam masih banyak ditemukan kecurangan, yang dapat merusak moralitas generasi muda tanpa kita sadari bersama. Semua pihak yang berkecimpung di bidang pendidikan nampaknya telah dihipnotis pada tujuan tujuan jangka pendek (meluluskan peserta didik) tanpa memandang langkah jauh ke depan demi penyelamatan anak bangsa agar terhindar dari dekadensi moral. Apabila oknum generasi /pemimpin sekarang telah banyak bergelimang dengan korupsi, penyalahgunaan wewenang, membelakangkan nasionalisme dan patriotisme, apakah penyakit moral ini akan ditularkan lebih dalam lagi kepada anak anak kita sendiri.

Padahal telah banyak contoh bangsa dan Negara lain, yang dapat kita jadikan pembelajaran. Mereka dahulu mengalami keterpurukan multidimensional (Jerman yang kalah perang PD I dan PD II, Jepang yang terhempas juga dengan kekalahan di PD II ) tetapi mereka kini menjadi bangsa dan Negara yang terdepan dalam capaian segala bentuk teknologi, karena keseriusan dalam pembenahan pendidikan. Apa jadinya kita bila langkah peningkatan kompetensi peserta didik melalui UN banyak tindakan perusakan “jati diri bangsa” sejak UAN tahun 2003, yang mulai diterapkan standar minimal sebesar 3,01 sebagai syarat peserta didik untuk lulus, kemudian dilanjutkan tahun 2004 dengan nilai standar 4,01. Tahun 2005 sistim UAN diganti dengan UN, yang mencantumkan peryaratan standardisasi kelulusan sebesar 4,56 hingga sekarang UN 2011 dengan standardisasi 5,50, tetapi memiliki specifikasi 5 type soal.

Hal yang paling urgent untuk kita cermati, adalah menurut laporan multimedia yang menemukan kecurangan dalam pelaksanaan UAN sejak tahun 2003 hingga tahun 2010, sehingga praktis pencurangan ini telah berjalan 7 tahun, tanpa bisa dikikis hingga tuntas. Tentunya hal ini bisa menimbulkan krisis moral bagi generasi peserta UN bila mereka menapaki tongkat estafet dalam memimpin bangsa ini.

Oleh karena itu sudah saatnya BNSP. Disdikpora dan Kementrian Agama untuk meyingsingkan lengan dalam menghadapi pencurangan UN, minimal dengan kiat memberlangsungkan “evaluasi kaji ulang” secara acak seperti wacana di atas. Sehingga pencangan 5 type soal bagi peserta UN betul betuk berhasil guna, tetapi bila dengan 5 paket soal masih ditemukan kejanggalan, maka BNSP segera memprogramkan 20 type soal untuk 20 peserta didik dalam satu ruangan berserta dengan standar prosedur lainnnya yang perlu dikaji ulang lagi.