Minggu, 28 November 2010

Kompetisi Untuk Kompetensi

Pembelajaran dengan metoda yang attraktif tentunya dapat mengoptimalkan daya serap siswa terhadap bahan ajar. Nawun wacana ini bisa saja menyita energi kita, bila metoda tersebut masih belum menuai hasil seperti yang kita harapkan bersama. Metoda ini bisa saja gagal, karena terkendala minat baca siswa Indonesia yang memprihatinkan.

Namun meskipun telah hadir tehnologi informatika dalam bentuk internet, tetap saja minat baca siswa kita masih terpuruk. Minat membaca masyarakat untuk menggali informasi melalui internet bisa diukur secara kuantitatif dengan indeks yang disebut dengan NRI ( Network Readiness Inde), sistim indeks ini dikembangkan oleh Centre for International Development (CID) yang bermarkas di Harvard University, yang melaporkan bahwa untuk masyarakat Indonesia minat baca terhadap internet sungguh memprihatinkan, lantaran hanya memiliki nilai sebesar 3, 24 dan menempati urutan ke -59 dari 75 negara yang disurvey (2004).

Budi Hermana dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Negara-Negara Asia-Hubungannya dengan Variabel Ekonomi Makro dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Gunadarma, melaporkan bahwa kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet.

Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama)..

Oleh karena itu kita harus memaksa/mendisiplinkan siswa kita untuk membaca dengan arif dan dalam “kemasan pendidikan yang santun” dengan memberlangsungkan kompetisi bahan ajar secara berkesinambungan, dengan cermat, sungguh sungguh. Hal ini bertujuian untuk mempertajam mereka dalam hal dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkanpendidik melalui kompetisi.

Kompetisi bisa dilakukan dengan membentuk kelompok belajar, yang dilibatkan dalam bentuk evaluasi lisan (cerdas cermat ), portofolio baik di sekolahan langsung atau tugas di rumah. Kiat seoerti ini sangat berhasil guna bila kita mencermati pernyataan Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), yang mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Selanjutnya Erickson menyatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

Dengan karakteristik remaja yang haus akan jati diri itu, maka ealuasi kompetisi ini justru mampu menyalukan kebutuhan psychologis siswa. Mereka berambisi untuk mengalahkan sainganya dan bahkan cenderung berjungkir balik demi sebuah jati diri.

Rabu, 17 November 2010

Pembelajaran Untuk Generasi Facebook

Pendidikan adalah sesuatu yang bersifat fitroh, karena pendidikan adalah kebutuhan essensi yang dibutuhkan oleh menusia di tengah peradaban dari jaman prasejarah hingga jaman modern ini. Sepanjang perkembangan peradaban itu, manusia mengenal pendidikan dengan metoda pembelajaran yang bervariasi, sesuai struktur sosial yang memusarinya. Sistim pendidikan kala itu semata untuk membekali mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi satu dengan lainnya untuk menggapai dinamika kehidupan masyarakat mereka.

Dengan bekal pembelajaran social yang akurat, cermat dan bersinergi tinggi, maka pada jaman apapun akan mampu membentuk masyarakat yang berfitur sosiologis yang baik. Lantas bagaimana dengan pendidikan modern, yang dilangsungan di tengah era tehnologi informasi dan komunikasi yang super canggih, seperti misalnya penggunaan aplikasi facebook untuk sebagian besar masyarakat kita, yang sudah terlanjur menggandrungi facebook tersebut sebagai alat komunikasi.

Khusus untuk penunjang sistim komunikasi ini, semakin canggih, efisien, cepat serta murah, semakin pula banyak “ekses negatip” yang ditimbulkan. . Sistim informasi dan komunikasi tersebut adalah “situs pertemanan facebook”. Sebagai sistim yang banyak menarik kegandrungan masyarakat dunia terlebih-lebih bagi facebooker remaja kita (sebesar 40,1 % dari seluruh facebooker).

Begitu kuatnya facebook berhasil menyihir hati kita semua, terbukti bahwa masyarakat pengguna sistim ini, menurut survey pada tahun 2009 berjumlah mencapai 235 juta penduduk dunia ( hampir menyamai penduduk USA). Bahkan lebih mengejutkan lagi, memasuki tahun 2010 ini,pengguna facebooker telah tembus hingga mencapai setengah milyar masyarakat dunia, dengan jumlah “log in” aktif sebesar 50 % dari keseluruhan facebooker dan 70 % diantaranya adalah facebnooker dari luar Amerika. Jumlah tersebur bervariasi lintas gender, remaja hingga orang dewasa dengan tidak memandang jenis profesi. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa facebook, bakal menjadi sistim komunikasi dan informasi yang membentang menembus tembok budaya, bahasa, geografis, kedaulatan negara serta perdaban social seantero bumi ini.

Dengan jumlah facebooker yang mencapai hamper 23 juta maka diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Memang perlu kita waspadai bahwa semenjak Masyarakat Indonesia mengenal telepon seluler, kemudian internet dan terakhir adalah facebooke, sedikit banyaknya sistim tersebut telah mengubah perilaku mereka. Betapa tidak, mereka ibaratnya telah menjadi bagian masyarakat yang tidak lagi interaktif dan komunikatif dengan lingkungan sosialnya dan pada gilirannya nanti bakalan menjadi masyarakat dengan fitur sosial yang
tanpa kepedulian sesama, pengaruh ini sudah barang tentu akan signifikan terhadap remaja. Karena mereka hanya bersedia berinteraksi dengan komunitasnya yang berada dalam satu sistim.

Masalah lain yang juga patut kita waspadai adalah semakin mudahnya remaja kita mengakses situs porno yang belum relevan dengan perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu kita menjadi prihatin dengan data yang disodorkan Okanegara dalam “Kehidupan Remaja Saat Ini” (2007) bahwa jumlah remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah? Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya?.

Lantas kitapun berpikir, apakah pengaruh aplikasi dunia maya tersebut sangat signifikan terhadap ambruknya moralitas remaja kita. Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan bijak , karena tehnologi aplikasi tersebut semata mata dirancang untuk kesejahteraan umat manusia, begiotu juga dengan tehnologi lainnya. Maka untuk menyematkan dunia remaja dari ekses negatif, maka kita perlu meningkatkan peran faktor pendukung sistim pendidikan, yaitu sekolah, orang tua wali dan masyaakat yang lebih ketat lagi.

Sabtu, 13 November 2010

Pendidik Masa Depan

Bangsa Indonesia yang telah berusia 65 tahun, dewasa ini sudah tidak mampu lagi memungkiri tentang tantangan yang dihadapinya di tengan peradaban dunia yang maju di semua bidang. Tantangan yang paling essensi yang harus dibenahi dalam menjawab tantangan ini, adalah penyiapan generasi muda “peserta didik yang duduk di bangku sekolah” yang penuh inovatif, informatif serta berakhlak baik. Raihan prestasi ini tentu saja melalui proses yang pelik, terencana dan terpadu serta berkesinambungan yang diusung oleh semua pihak yang berkecimpung dalam pendidikan di Indonesia. Terutama fungsi dan peran guru sebagai pendidik professional, tentunya yang paling terdepan dalam perjalanan panjang melahirkan generasi dambaan kita.

Berbicara mengenai pendidik tentu saja focus utama yang kita soroti adalah pembelajaran berbagai hal yang disodorkan kepada peserta didik. Karena aspek inilah yang dapat dijadikan penunjang utama kompetensi siswa dalam berbagai hal. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Lantas bagaimana sinergi pendidik yang handal dalam memberikan pembelajaran di era globalisasi ini. Pertanyaan ini tentunya menyangkut semua aspek yang melekat pada diri pendidik yang harus disiapkan secara matang, menyangkut bahan ajar, model pembelajaran dan pengetahuan umum yang luas yang harus dimilki sang pendidik. Ibarat seorang konsultan berbagai hal, yang siap memberi solusi kepada peserta didik yang dibimbingnya. Peran seperti itulah yang menjadi jawaban tentang peran ideal pendidik.

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah menengah atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat. Selain itu peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah atas sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saja meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu menguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Jumat, 12 November 2010

Guru Dan Konsultan Semua Bidang Ilmu

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah lanjutan atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Mereka sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saka meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu ,enguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Kamis, 11 November 2010

Pembelajaran Sosial Menggapai Masyarakat Anti Miras

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambit Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras di Salatiga telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memilioki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “operasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras.

Jumat, 05 November 2010

Evaluasi Komprehensif Untuk Program Block Grant

Adalah tidak mungkin begitu saja setelah menjadi institusi pendidikan yang dimarginalkan selama 32 tahun oleh Orde Baru, sejumlah 40.848 madrasah yang menyodorkan pembelajaran untuk siswa sekitar 6 juta anak akan menuai prestasi yang memadai. Dengan jumlah siswa sebesar tersebut di atas sudah barang tentu akan mengakibatkan rendahnya kinerja pendidikan. Hal ini diakui oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang membeberkan sebuah kesan, bahwa selama ini madrasah telah dianak tirikan dalam sistim pendidikan nasional. Bila kondisi madrasah yang dianaktirikan tersebut tetap berlangsung dari waktu ke waktu, bukankah ini sama saja dengan praktek diskriminasi pendidikan yang diusung oleh sistem kolonial oleh kita terhadap bangsa kita sendiri.

Sebuah langkah sigap dari Kementrian Agama dalam memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan madrasah dengan pembelajaran yang dikemas sebagai program unggulan segera perlu dikedepankan, untuk menggapai azas berkeadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama untuk setiap warga Negara, termasuk peserta didik yang belajar pada sebuah madrasah. Langkah ini telah ditempuh oleh Depag dengan program pengucuran dana Block Grant untuk 500 madrasah yang tersebar di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah dana bervariasi dari Rp 100 juta hingga Rp 1 milyar, pada tahun pembelajaran 2009/2010 silam. Dana bantuan tersebut tentu saja harus memotivasi semua penyelenggara pendidikan di madrasah tersebut dalam bentuk kontrak prestasi, guna meraih prestasi madrasah unggulan.

Namun masalah lainyapun timbul bila inefisiensi dana tersebut terjadi di madrasah penerima dana tersebut, terutama dalam hal penentuan skala prioritas program pemacu kemauan madrasahnya. Lantaran dalam waktu yang relatif pendek, yaitu hanya satu tahun pembelajaran sebuah raihan madrasah berprestasi harus sudah diusung. Padahal kemajuan sebuah satuan pendidikan dapat diraih, bila semua komponen yang berperan dalam pembelajaran harus mampu secara stimultan mengusungnya, beberapa diantaranya adalah kompetensi pendidik terhadap bahan ajar, model pembelajaran, disiplin dan sikap mental pendidik lainnya yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didik.

Bahkan aktifitas peserta didikpun harus pula dibidik dengan jeli, termasuk kemauan belajar, motivasi belajar, kehadiran dan positif altitude lainnya yang harus dimiliki peserta didik guna memperoleh kompetensi yang memadai, disamping pengadaan fasilitas penunjang lainya (laboratorium multimedia, laboratorium IPA, peraga dan lain sebagainya).

Sebagian besar madrasah menyematkan majunya pembelajaran hanya dengan komputerisasi sebagai simbol modernisasi, yang penggunaanya belum menyentuh kebutuhan peserta didik yang mendasar. Sehingga penerapan TIK (tehnologi komputer dan informatika) hanyalah sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya apabila TIK difungsikan secara proposional dalam fungsinya sebagai media peraga, sumber bahan ajar (internet), maka tentu saja mutu kualitas peserta didik yang handal bakal diraih. Namun fungsi ini belum maksimal diberdayakan. Terbukti masih banyaknya tenaga pendidik yang belum memiliki lap top, masih enggan membuka internet untuk menggali bahan ajar. Dengan masih banyaknya kasus kasus tersebut, maka sebaiknya madrasah yang telah dikucuri dana Block Grant tersebut haruslah sigap dalam mendayakan fungsi TIK tersebut, sehingga mampu menyihir peserta didik untuik getol meraih kompetensi.

Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementrian Agama melakukan evaluasi yang mendasar dan komprehensif tentang efisiensi penggunaan dana tersebut, menyangkut penerapan skala prioritas, proporsi pelatihan antara peserta didik dan pendidik yang seringkali berat sebelah lebih mengutamakan pelatihan pendidik, serta penyelidikan mengenai penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga hasil evaluasi Kementrian Agama tersebut dapat dijadikan acuan bagi madrasah madrasah lainya yang belum menerima giliran terkucuri dana Block Grant. Secara praktis apabila peserta didik belum bergairah dalam menggapai kompetensi bahan ajar, tingkat ketidakhadiran peserta didik belum berubah secara signifikan, kedisiplinan semua penyelenggara pendidikan masih dibawah standar, maka dana Block Grant tersebut belum diberdayakan dengan baik.