Sabtu, 23 Oktober 2010

GERAKAN PRAMUKA Yang Terabaikan

Kedisiplinan, tanggung jawab, kokohnya budaya malu, sikap menghargai waktu dan diri sendiri, patuh terhadap orang tua, guru di sekolah dan orang lain serta rasa cinta tanah air dan sesama, adalah sikap yang harus terinternalisasikan kepada masing masing anak bangsa sedini mungkin bila kita mengharapkan terjadiya perubahan mendasar pada sebuah generasi di masa depan. Sehingga pergeseran nilai sosial yang diusung generasi sekarang tidak serta merta mengalami deviasi lebih parah lagi, yang justru menjadi stimulus negative generasi mendatang.

Apalagi dengan usungan lebih specifik lagi yang menjadi karakterisitk generasi reformasi ini dibanding generasi sebelumnya. Karakteristik ini memang lahir sebagai respon negatif dari peradaban modern yang bercirikan tampilan tehnologi informatika dan computer, dalam specifikasi konsumsi facebook, twitter dan Hp. Deviasi terhadap nilai dasar yang bakal melanda generasi muda memang diambang pintu, bila kita mencermati jumlah facebooker anak muda yang mencapai hampr 23 juta konsumen. Hal ini memang mengagetkan kita bahwa diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan Yovita Maria dari Universitas urabaya menyimpulkan bahwa 61,7 % pengguna facebook bersikap narsis. Meski tahapan narsisme ini masih dalam taraf yang wajar, namun setidak tidaknya sebuah kewaspadaanpun harus kita kokohkan sebelum generasi ini jatuh pada ketidakpedulian terhadap masyarakat dan negaranya. Sehingga munculah kelak generasi yang ego, terpingit dari lingkungannya, hilangnya budaya malu, tidak memiliki kepedulian terhadap Negara dan bangsanya dan tanda tanda itu telah mulai terjangkitkan dewasa ini.

Kita tentu saja banyak disuguhi tayangan semua media mengenai tindak amoralitas yang bertebaran dari waktu ke waktu. Kasus yang merefleksikan hilangnya budaya malu dari oknum para petinggi, sehingga dengan tidak memilik beban psikhologis mengeruk uang Negara demi perutnya sendiri. Oleh karena itu menurut Prof Djoko Suryo, gurubesar UGM Jogjakarta menyatakan bahwa budaya malu justru dapat menjadikan korupsi semakin berkembang biak. Hal ini disebabkan budaya malu lebih mendasarkan pada konvensi-konvensi sosial ketimbang tanggung jawab individual.

Budaya malu yang mengalami metamorfosis tersebut di atas tentunya bukan budaya malu yang primordial, karena mengalami pendangkalan funsi dan peran budaya itu sebagai nilaisosial. Dengan demikian rekonstruiksi budaya malu serta nilai nilai primordial lainnyapun perlu dilakukan melalui satuan pendidikan, sebagai suatu upaya penyelamatan nilai sosial yang tepat.

Salah satu kiat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut di atas adalah mengkurikulumkan kegiatan Pramuka yang selama ini hanya sebagai kegiatan ekstra-kurikuler saja di sekolah berdasarkan payung hokum sebuah undang-undang. Padahal Pramuka adalah sebuah kegiatan yang sarat dengan usungan tanggung jawab, disiplin, rela berkorban, pembentukan sikap diri, nasionalisme, mendahulukan demokrasi da lain sebagainya, yang sangat tepat untuk pembentukan karakter. Peran vital pramuka terbukti telah mampu mendasari pembentukan sikap mental ideal setiap generasi dan telah diakui dunia keberhasilanya.

Menurut sebuah laporan dari Wikipedia (2006) Gerakan Kepanduan/Pramuka adalah sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki pengaruh mendunia. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di lapangan. Saat ini, terdapat lebih dari 38 juta anggota kepanduan dari 217 negara dan teritori.

Indonesia seperti Negara lainnya di dunia juga ikut mencangkan gerakan kepanduan tersebut dan memiliki jumlah anggota terbanyak dengan jumlah 17 juta orang. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pendidikan kepramukaan seperti dimiliki oleh banyak negara lain. Seperti diketahui bahwa Gerakan Pramuka di Indonesia selama 49 tahun praktis dilaksanakan hanya dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961. Sudah waktunya ditingkatkan jadi undang-undang,

Dewasa ini Rancangan Undang Undang Pramuka sedang digodog oleh DPR dan telah mencapai babak perumusan dan semua pihakpun apalagi kalangan pendidik sudah lama menantikan disahkan undang undan tersebut. Tentu saja bagi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia memandang kebutuh Undang-Undang Gerakan Pramuka saat ini sangat penting. Dengan adanya undang undang tersebut Kwarnas mampu mencanangkan model pengelolaan kepramukaan dan aspek aspek yang komprehensif mampu mereka dapatkan

Keterlambatan pengesahan undang undang tersebut banyak menuai protes akibat lambatnya kineja anggota dewan. Salah satu tokoh nasional yang turut prihatin, adalah Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukungan penyelesaian segera pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Gerakan Pramuka. Namun, ia berharap, kelahiran undang-undang tersebut nantinya tidak memicu polemik yang justru membuat gerakan pramuka semakin tidak diperhatikan. Padahal unit unit kegiatan pramuka (gugus depan ) telah merata di seantero Indonesia hingga ke pelosok-pelosok sehingga adanya fasilitas ini lebih mampu dihandalkan untuk pembinaan generasi mendatang. Hal ini terbukti dengan gerakan kepanduan yang digembelengkan pada banyak siswa sekolah jaman revolusi fisik, yang banyak menelorkan pahlawan pahlawan yang tidak diragukan sikap nasionalismenya.

Selasa, 12 Oktober 2010

Menepis Budaya Malas Belajar Siswa Kita

Seberapa besar upaya pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan dengan kiat yang handal, tetap saja faktor keterlibatan peserta didik tidak bisa kita kesampingkan, terutama keterlibatan mereka dalam upaya pencapaian ketuntasan bahan ajar yang diterima di sekolah mereka. Meski menapaki era reformasi ini, peserta didik di berbagai jenjang telah dipusari dengan berbagai faktor yang mampu menstimulir mereka untuk menggapai “The Smart Generation”, yang menjadi tumpuan kemajuan bangsa dan Negara ini di masa depan. Pendapat ini sesuai dengan filosofi dr. Wahidin. di “Seri Pahlawan Kemerdekaan Nasional”, DEPEN.RI., Jilid I, 1967, Halaman 11, yang menyatakan “Untuk memajukan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia yang baru, hanyalah dengan memajukan pendidikan. Khususnya pendidikan di kalangan para pemuda dan pemudinya. Pendidikan dan pengajaran adalah memegang peranan penting dalam pembangun bangsa dan kemajuan umat manusia.”

Pendidikan dan pengajaran menurut konsep dr. Wahidin tersebut di atas, tentunya harus diwujudkan untuk peserta didik di setiap jenjang yang berjumlah 46,5 juta siswa dan tersebar di sekitar 250 ribu sekolah di Indonesia. Bukankah peran aktif mereka dalam capaian bahan ajar yang handal akan berpengaruh sinifikan terhadap kemajuan bangsa. Potensi ini sungguh menjadi suatu faktor penentu yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja. Sebuah pelajaran berharga dari Bangsa Jepang patut kita tiru dalam hal kemauan belajar dan minat baca dari sejumlah 750.000 peserta didik yang bersekolah di 11.000 Terakoya ( sekolah rakyat ) dijaman Tokugawa Ieyasu ( Pendiri Kekaisar Edo) yang memimpin Rakyat Jepang mulai Tahun 1603 M. Sehingga kini kita mampu menyaksikan hasil dari sistim pendidikan Terakoya tersebut yang terefleksikan dengan penguasaan dan dominasi iptek oleh Bangsa Jepang.

Mencermati urgensi sistem pendidikan dalam kontribusinya terhadap kemajuan suatu bangsa, maka pemerintah telah menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 dengan alokasi Anggaran pendidikan yang memperoleh jatah sebesar Rp 200 triliun. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010 telah disebutkan perincian penggunaan anggaran tersebut. Ringkasannya telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, Jakarta pada Senin, 3 Agustus 2009.

Untuk sebuah Negara yang sedang terjebak dalam pusaran keterpurukan, anggaran sebesar itu adalah suatu refleksi niatan baik untuk menggulirkan sebuah pendidikan yang mampu menjemput jaman. Lantas bagaimana mekanisme dan pengaruh langsung anggaran tersebut terhadap peningkatan kemauan belajar peserta didik, yang selama ini telah mengakar kuat dalam bentuk generasi yang malas belajar dan rendahnya minat baca. Apalagi bila kita mencermati lebih teliti lagi, bahwa kemauan belajar dari generasi sekarang adalah lahir dari budaya yang terlanjur mendarah daging.

Oleh karena besarnya anggaran pendidikan tersebut, tidaklah mampu dengan serta merta menggeser budaya yang negatif tersebut, maka sebuah langkah taktis pedagogis perlu segera dikonsepkan. Tentu saja konsep tersebut di atas direkomendasikan diawali dengan kontribusi pendidik, sebab setiap individu peserta didik tentu saja mampu merubah sikap positif “rajin belajar” di bawah bimbingan pendidik professional dalam kelas melalui pengamatan, pemberian portofolio, evaluasi, pekerjaan rumah dan instrument lainya. Sehingga dengan pembiasaan yang berkesinambungan dalam jenjang waktu tertentu, lahirlah generasi penyambang era kebangkitan bagi Bangsa Indonesia di masa mendatang di bawah polesan yang pendidik tersebut.

Harapan ini tidak hanya sebuah wacana isapan jempo, lantaran apabila peserta didik yang aktif belajar dari sebuah pembelajaran dari sang pendidik maka jadilah mereka menjadi individu yang bererkapasitas menurut bidangnya. Hal ini sesuai dengan Teori Gagne (1968), yang mengemukakan bahwa belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.

Lebih lanjut Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari stimulus dan lingkungan serta proses kognitif

Kita tahu bahwa salah satu fungsi dan peran pendidik adalah berkompeten terhadap model pembelajaran tersebut di atas. Pembentukan kompetensi pendidik seperti yang diharapkan tersebut di atas juga perlu dibakukan dalam kinerja formal pedagogi. Sehingga mampu menumbuhkan sinergi pendidik yang membahana di seluruh satuan pendidikan di Indonesia Upaya tersebut memang sudah terrealisir denga adanya program sertifikasi guru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifkasi Guru dalam Jabatan, yang mengatur lebih lanjut tentang upaya profesionalisasi pendidik. Dengan modal professional inilah pendidik diharapkan mampu menepiskan budaya dekstruktif malas belajar menjadi budaya konstruktif rajin belajar tiap peserta didik. Agar kita mampu menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lain dalam prestasi multidimensional.