Minggu, 15 Agustus 2010

Mendambakan Lahirnya "THE SMART GENERATION"

Tidak ada jalan lain bagai kita dalam menempatkan bangsa yang sedang dalam buaian “social and political conflict”, untuk bersanding dengan bangsa lain kecuali dengan langkah sepenuh hati merehab sistim pendidikan yang terpuruk. Barangkali saja kita pernah menanyakan pada sanubari kita sendiri tentang keberlangsungan bangsa dan negara ini dalam koridor kompetisi aspek apapun dengan negara-negara lainnya, saat kita tahu bahwa kita telah terjerambab dalam keterpurukan berbagai aspek, Apalagi dari as[ek moralitas kita bertambah tahu kegamblangan ini,setelah mencuatnya “Gayus dengan pusaran anginya”,
Setiap bangsa di muka bumi ini selalu mampu meraih kemakmuran (wallfare) dan ketangguhan dalam aspek ekonomi dan aspek lainnya di abad ke-21 ini, adalah berkat keseriusannya membangun daya dukungnya selama bertahun-tahun. Daya dukung yang paling dominan sebagai modal dasar adalah “ Pendidikan” bagi rakyatnya (Public Education), yang mampu menjadi asset berharga kelak dikemudian hari. Secara gamblang asset yang berharga tersebut adalah sebuah generasi yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Sejarah telah mencatat bahwa pada pertengahan abad ke -20. Beberapa negara telah mengalami porak poranda akibat ambisi politik mereka melibatkan diri pada PD ke-II. Negara-negara tersebut adalah Jerman, Jepang, Italia AS dan masih banyak lainnya. Namun kenyataan apakah mereka kini terbelit dengan konflik multidimensional di ambang abad ke 21 ini?. Justru mereka sekarang telah menjadi negara yang terdepan dalam segala hal. Mengapa kita sebagai negara yang berlimpah sumber daya alam, posisi strategis yang vital dan budaya “humaniora” yang lebih lengkap, tidak mampu seperti mereka. Bukankah kita sama dengan mereka, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, memiliki anatomi, fisiologi dan fenomena biologis lainnya yang sama, Tetapi mengapa dalam berbagai bidang kita menjadi terbelakang.
Apalagi dengan munculnya indikasi hilangnya generasi yang berkompeten di masa mendatang dapat kita cermati dengan adanya refleksi prestasi yang memprihatinkan. Sering kita saksikan tindakan amoral yang banyak dilakukan oleh remaja, sebagai generasi penerus, contohnya demo anarkis, amuk bonek simpatisan klub bola, tawuran antar pelajar, timbulnya geng motor dan lain sebagainya. Bahkan tindakan kecurangan pada UN 2010 ini, yang justru diintriki oleh oknum pendidilkpun di berbagai tempat dan satuan pendidikanpun tambah membuat kita prihatin
Setelah kalah pada Perang Dunia ke II, tepatnya mulai Tahun 1952 Jepang mulai memodifikasii sistim pendidikan nasionalnya ke arah sistim yang dikonsep matang dan ideal. Modifikasi tersebut direalisasi secara bertahap dimulai dengan menggodog perundang-undangan guna keperluan kontrol terhadap perguruan tinggi, yang berperan sebagai puslitbang modernisasii masyarakatnya, Upaya tersebut ternyata membuahkan hasil hingga pada wal tahun 1970 mulailah terjadi reformasi pendidikan yang signifikan. Terbukti dengan peran lembaga pendidikan swasta yang menerima sistim pendidikan publik yang dicanangkan autoritas. Lebih jauh lagi ternyata langkah ini menghasilkan sistim standardisasi yang luwes, yang diterapkan pada sistim evaluasi tiap perguruan tinggi. Sistim yang kondusif tersebut mampu tercipta, lantaran telah terjadi jalinan mesra antara autoritas dengan organisasi guru yang eksis di Negara Sakura tersebut.
Garis besar perubahan sisdiknas di Jepang tersebut, terletak pada perubahan sistim edukasi yang dibungkus dengan pendekatan kultur dan nilai filosofi yang telah diubah haluannnya menjadi sistim yang dicanangkan dengan sistim pedagogis yang menyeluruh. Atau sistim meritokratic yang diciptakan pada perioda Meiji telah diubah menjadi pendekatan sistim moral dan pengembangan sikap mental menyeluruh secara pedagogis. Sehingga Jepang hingga kini telah dipoles oleh anak bangsanya sebagai generasi yang serba berkompeten.
Telah terjadi kondisi menyeluruh yang kontradiktif dengan ukiran prestasi kita dibanding dengan Jepang. Bukan hanya dalam penguasaan iptek saja kita kalah dengan mereka, namun dari aspek moralitas saja kita jauh di bawah mereka. Temuan ini berdasarkan pada survey beberapa LSM asing yang memposisikan kita sebagai bangsa yang terkorup di Asia. Kadang kita menjadi tidak percaya kepada kita sendiri, mengapa sebuah bangsa yang memiliki corak sosial agamis, santun, terbuka dan kondusif mampu terjerambab dala posisi seperti ini.
Jelaslah fakta yang menghadang kita adalah benang kusut dan rapuh yang membelit sikap mental yang jauh terinternal dalam benak setiap anak bangsa, untuk menggapai realitas suatu kemajuan kita bersama. Benang kusut tersebut mampu kita urai secara sistimatik dan terintegrasi bila kita menancapkan sistim pendidikan yang tepat, Namun lagi-lagi kita sendiri yang tidak terapresiasikan dengan upaya peluncuran roket penorehkan sistim pendidikan yaqng representatif.
Sehingga dengan demikian harapan kita untuk membentuk generasi yang siap menantang jaman telah sirna, atau kita akan kehilangan sebuah generasi pada dekade Tahun 2020-an [prediksi generasi sekarang yang masih dibangku SLTA / perguruan tinggi telah mulai terlibat dalam interasksi sosial setelah lulus). Pada tahun 2020 Indonesia sudah merdeka 75 tahun. Dalam usia itu bangsa Indonesia sudah kukuh kuat ketahanan nasionalnya. Penghayatan ideologi Pancasila sudah meresap, membudaya dan tidak tergoyahkan. Kehidupan nasional telah berjalan di atas landasan konstitusi dengan mantap. Persatuan dan kesatuan bangsa telah terjalin dengan kukuh sehingga kemajemukan telah sungguh-sungguh menjadi modal dan kekuatan bangsa, dan bukan menjadi penyebab perpecahan. Dengan demikian nilai-nilai yang dikandung dalam Wawasan Nusantara telah mewujud dalam budaya bangsa (Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Peluncuran Buku “Peran Pemuda Menuju Indonesia Sesuai Cita-cita Proklamasi 1945” Jakarta, 3 Maret 1997).
Jelas sudah generasi yang memanisi gerbong Masyarakat Indonesia yang madani adalah generasi yang kompeten, yang akan membawa negara kita menjadi The New Young Tiger akibat kesalahan kita sendiri. Akibat kita tidak membekali dalam penanaman sikap anak didik kita untuk mandiri. Harsyah Bachtiar (2003) dalam Zaenal Aqib ( 2009) menyatakann bahwa sebuah generasi mampu mengadaptasi jaman ultramodern, bila telah memiliki 13 karakter, salah satu diantara karakter tersebut adalah kemandirian. Dengan kemandirian dan moralitas inilah kita menaruh sebuah harapan besar, agar generasi ”Bergayus-gayus Ria” tidak lagi terulang.
Namun kita masih memiliki beribu alternatif guna penorehan generasi yang kita idamkan tersebut. Asalkan kita mampu mempondasiakan sebuah motivasi yang terefleksikan dari ketertinggalan tersebut sebagai garis start. Oleh karena itu kita hendaknya mampu terbuka untuk mengadopsi sistim yang diterapkan beberapa negara maju, meski konsep ini belum menjamin sebuah keberhasilan. Sebab faktor pendukung utama pencapaian sistim ini adalah motivasi yang menggelora pada tiap anak bangsa yang berkompeten terhadap pendidikan nasional.
Apalagi bila aspek moralitas mendapatkan imbangan yang proposional,maka pembentukan The Smart Generation bakal tidak lagi kedodoran, terutama dalam koridor pedagogis. Kita tahu bahwa pada prinsipnya muatan pedagogis adalah peletakan nilai moral yang mendasar pada peserta didik dan akan tertanam kuat dalam memori peserta didik. Sehingga apabila kita berlaku sembrono dalam hal ini, maka akan lenyaplah The Future Smart Generation

Kompetensi Yang KOMPETEN

Sering kita berpikir, betapa tersiksanya peserta didik yang belajar di sekolah Indonesia dari dulu hingga sekarang. Betapa tidak, kita sering terjebak dengan penerapan metoda klasikal yang pasif untuk memberlangsungkan sebuah pembelajaran. S
ehingga peserta didikpun seperti individu yang terpidana dan disekap mulai jam 7 pagi hingga jam 1 siang. Mereka setiap hari harus menerima informasi searah dari pendidik untuk 4 – 5 bahan ajar.

Sementara dengan alasan penanaman sikap mental , merekapun akan segera mendapat teguran keras bila mereka sedikit berulah. Peserta didik secara sepihak hanya mengandalkan indera pendengaran, penglihatan serta sering kali tidak menulis visualisasi informasi pada papan tulis atau dari lisan guru.

Mereka sama sekali tidak memiliki dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkan searah dari sang pendidik. Inilah gambaran sekolah dengan metode yang nonkontemporer.
Metoda kuno ini pernah diterapkan pada “Terakoya” , nama sebuah sekolah setingkat sekolah dasar di Jaman Kaisar Edo di Jepang, yang dilaksanakan di kuil-kuil, dengan pengajar para biksu dan Shogun. Kala itu tercatat lebih dari 10.000 terakoya yang tersebar di seluruh daratan Jepang. Bahan ajar yang diberikan hanya baca tulis Huruf Kanji, aritmatik, geografi, kaligrafi dan pengetahuan agama Shinto.

Meskipun bernaung di bawah metode yang klasik dan sederhana namun, karena dominasi dari kultur yang tajam dengan diinteraksikan dengan pendidikan religi. Ditambah lagi niatan semua komponen pendukung pendidikan yang “intent”. Fitur sekolah demikian berhasil membawa Rakyat Jepang menjadi masyarakat terpelajar, terbukti pada abad ke XVIII 70 % Rakyat Jepang sudah melek huruf dan pengetahuan. Dengan potensi seperti inilah mereka mampu mengabsorbsi teknologi dari negara barat hingga kini.

Fenomena pedagogis seperti di atas pernah juga di terapkan di Indonesia, tepatnya saat berdirinya Taman Siswa yang dibidani Ki Hajar Dewantara. Disamping mengutamakan pembelajaran publik yang sedang meradang terinjak kolonialisasi, Ki Hajar Dewantara berusaha semaksimal mungkin membangkitkan persepsi sosial masyarakat pribumi, tentang klas sosial. Merka yang disebut dengan ‘Inlander” pada struktur sosial koloni berada di lapisan terbawah. Oleh karena itu melalui pembelajaran di sekolah, Ki Hajar Dewantara mencoba untuk menanamkan pemikiran publik agar para Inlander ini bukanlah klas sosial yang hina, atau di bawah klas sosial penjajah.

Hal inilah yang menjadi dasar visi perjuangan Taman Siswa yang ikut berkonstribusi terhadap martabat bangsa, yang telah terkoyak oleh nafsu tamak bangsa penjajah. Dengan konsep pendidikan demikianlah meski setahap demi setahap Taman Siswa berhasil berhasil menciptakan generasi yang cerdas, trampil dan taqwa.
Setelah kemerdekaan dicapai Bangsa Indinesia, hinggi kini kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum, dari Kurikulum 1968 diganti Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA kemudian dilanjutkan lagi dengan Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 masih disempurnakan lagi menjadi Suplemen Kurikulum 1994. Pembenahan dan penyempurnaan kurikulum sistim pendidikan kita terus saja melaju tiada henti, hingga kita terperangah setelah melihat realitas bahwa kompetensi out-come kita sangat tertinggal dari Negara lain. Sehingga kita menjadi bosan mendengar laporan penelitian LSM dalam/luar negeri tentang keterpurukan ini.

Mulailah kita merangkak menuju pengentasa keterpurukan dengan memberlakukan KBK, yang mendasarkan sistim pendidikan pada kompetensi peserta didik. Kompetensi yang diharapkan diabsorbsi setiap peserta didik adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus akan memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. KBK merupakan pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education).

Dengan pendekatan standard kompetensi inilah seorang peserta didik mampu mewadahi semua bahan ajar secara tuntas hingga terefleksi pada triangulasi komponen pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dengan cara mengoptimalkan daya dukung yang dimilikinya. Hal ini karena peran sang pendidik bukan lagi sebagai sumber bahan ajar, tetapi lebih berhasil guna hanya sebagai fasilitator.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Menyematkan NILAI DASAR Pada PENDIDIK

Berapa banyak sudah pembinaan yang disodorkankepada pendidik di negara kita, baik pembinaan kompetensi bahan ajar, profesionalisasi, pedagogis dan konstituen lain yang dianggap berperan vital terhadap capaian pendidikan nasional kita. Semua upaya tersebut difokuskan untuk pemberdayaan pendidik dalam ruang lingkup menyongsong label sistim pendidikan modern, guna pencetakan generasi Indonesia yang mampu menyongsong jaman.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa karakter figur pendidikan sebenarnya banyak dicetak oleh unsur budaya, stimulan dan dorongan dari sistim yang melingkungi, termasuk sistim nilai dan norma sosial yang melekat kuat pada figur pendidik tersebut. Untuk memperoleh perangkat seperti tersebut, tidak cukup apabila pendidik di beri pembelajaran melalui forum ilmiah, pendidikan dan latihan formal atau sistim evaluasi melekat berkelanjutan dari institusi yang mengotorisasikan.
Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena menyangkut pembentukan karakter pendidik oleh budaya sosial. Namun sejarah telah mencatat keberhasilan Bangsa Jepang dalam menggapai pencerdasan rakyatnya, justru sebelum dicanangkan sistim pendidikan modern, pada masyarakat abad ke-20.telah dilangsungan sistim pendidikan dasar yang masih tradisional. Pendidikan tersebut dilangsukan di tiap kuil tempat ibadah masyaraka Shinto. Secara mencengangkan jumlah sekolah rakyat (TERAKOYA) kala itu mencapai jumlah 10.000 terakoya tersebar di seluruh daratan Jepang.
Terakoya diasuh oleh pendidik yang berstatus sosial cukup bervariasi, yaitu dari para Biksu, Shogun, Daimyo dan lain sebagainya, yang hanya bersemangat moralitas dan totalitas yang tinggi. Sehingga lahirlah Bangsa Jepang dan generasinya yang maju, pandai dan berdedikasi tinggi terhadap iptek, budaya, nasionalisme dan lain sebaginya.
Lantas bagaimana nilai sosial yang melekat pada pendidik kita. Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Selanjutnya Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Prof. Notonegoro mengemukakan bahwa Nilai vital, adalahnilai yang meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas,
Inilah urgensitas sebuah nilai sosial, yang patut melekat kuat di tengah sanubari pendidik di seantero Indonesia, yang sudah barang tentu adalah “sebuah dosa besar” bila pendidik tidak menyematkan kuat-kuat dalam membimbing peserta didik. Karena menurut Drs, Suprapto nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Seringkali seorang pendidik akan merasaan bersalah bila salah satu pokok bahasan dalam bahan ajarnya belum dibelajarkan kepada peserta didik, apalagi hanya memberikan catatan dari buku ajar, atau merasa sedih bila menjumpai beberapa peserta didik belum tuntas berkompetensi terhadap bahan ajar, inilah nilai sosial yang telah melekat kuat di moralitas pendidik.
Maka apabila komunitas pendidik di seantero Indonesia telah menggenapi dengan kekuatan moralitas seperti di atas, maka pencapaian standard pendidikan nasional sesuai yang diharapkan tinggal menunggu waktu saja, guna menggapai Indonesia milik generasi yang cerdas, kompetensi, taqwa dan siap menyongsong jaman.

Penerapan ROMADHON Terhadap MORALITAS KITA

Keterpurukan multidimensional yang melanda sebuah masyarakat di belahan bumi manapun tentunya akrab dengan “fitur masyarakat yang meradang”, lantaran sebuah kekecewaan yang menghinggapi kehidupan masyarakat tersebut. Dinamika fenomena tersebut memang wajar lantaran disebabkan fluktuasi berbagai sisi sosiologis suatu masyarakat dalam upaya mencapai tujuan hidup bersama. Sisi inilah yang meng-grassrote berbagai tindak amoralitas bangsa ini, seperti maraknya kasus bunuh diri, korupsi yang membudaya, pembunuhan dan penjualan bayi/anak-anak, miras oplosan yang membawa maut, serta pesta huru-hara kala tim kesebelasannya main baik kalah atau menang.

Apabila kita tidak sigap dalam membumikan penyebab utama pergeseran sikap mental masyarakat kita, tentu akan menggulirkan bentuk jadi diri baru yang berbeda dengan jati diri bangsa yang disematkan oleh leluhur kita selama berabad-abad.

Namun sebuah kontroversi telah merebak ke permukaan public tentang banyaknya oknum petinggi Negara, baik didaerah maupun di pusat telah sibuk membenahi diri sendiri dengan label “hedonisme” yang tak kunjung padam. Padahal harapan kita bahwa mereka mampui menjadi sentral figur dalam aspek pembinaan, tetapi kenyataan telah mengesan jauh panggang dari api. Bahkan perilaku mereka barangkali saja lebih jauh ,mampu merefleksikan merosotnya rasa nasionalisme lapisan grassrote.

Fenomena inilah yang direkomendasikan tidak membuat pergeseran karakter kita semua. Lantas apa yang mampu kita perbuat untuk memberikan kontribusi pada penyejukan masyarakat dan Negara. Bagi saudara kita yang beragama Islam tentu telah mengenal konsep aqidah, jauh sebelum masyarakat Indonesia meradang mengumbar angkara, tepatnya sejak 143i tahun lalu, yaitu turunya perintah wajib Ibadah Puasa, sebagai suatu bentuk “cooling sistym” ( sistim pendingin/penyejuk) bagi jiwa yang liar, tanpa air dingin pelepas dahaga.

Hal ini karena secara mendasar bahwa Puasa dalam agama Islam (ᚢaum) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan perilaku yang merupakan cerminan dari hasil kekotoran jiwa setiap insan termasuk hal yang membatalkan piuasa . Dengan demikian pasa adalah “training sistym” bagi jiwa sehingga mampu menahan berbagai bentuk nafsu .
Dalam keadaan yang menghamba lahir batin itu, kita diperintahkan untuk memberikan kepedulian yang lebih kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan, seperti kaum papa, anak yatim dan bentuk kepedulian social lainnya. Akankah kita biarkan saja bila menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun 2010 ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Diketahui pula bahwa sebanyak 155,965 anak kitya sekarang telah berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta anak kita menjadi pekerja di bawah umur yang menjadisasaran empuk perdagangan anak. Fenomena ini sangat menyayat hati bila kita mencermatikenyataan bahwa berdasarkan data Depdiknas tahun ajaran 2007 yang lalu, terdapat 1.039.067 anak usia sekolah harus meninggalkan bangku sekolah, ini sangat memprihatinkan. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah mengingat kita belum berhasil bangkit dari keterpurukan.



Kepeduilian kita bersama terhadap esama telah berfungsi sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat madani, yang hingga kini hanya merupakan cita-cita kita bersama tanpa mengetahui kapan akan terealisir. Bukankah perintah pusa turun di Kota Madinah., yang kala itu terkondisikan ummat islam baru saja hijrah dari Mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan”.. Dengan tempaan ibadah puasa terlihatlah sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah.

Dari contoh di atas kita telah menemukan suatu “prototype masyarakat” yang dahulunya bermoral biadab kemudian berangsur menjadi masyarakat yang bersosiologis indah, hingga kini kita belum mampu melihat prototype lainnya dari jaman ke jaman.

Dengan hikmah puasa inilah kita mampu menghindari dari berbagai konflik yang sekarang menjadi sarapan ke dua Masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan kesejukan jiwa yang terkipasi pengamalan puasa yang inten dalam benak hati setiap insane yang berpuasa, merefleksikan hasrat untuk menyelesaikan tiap konflik yang menggelora pada diri insane/masyarakat yang berpuasa, dengan penyelesaian yang sejuk, adil dan transparan.

Menurut Riri Satria dalam Tingkat Penyelesaian Konflik ( 2008 ) penyelesaian konflik yang paling rendah adalah dengan kekerasan. Siapa yang memiliki kekuatan akan memenangkan konflik. Ini terjadi di semua strata sosial masyarakat. Pihak yang kalah akan mundur dari gelanggang pusat konflik. Pada bentuk penyelesaian ini, hukum, peraturan, regulasi, atau apapun namanya, sudah tidak diperhatikan lagi, dan yang menjadi acuan utama adalah kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Pada strata sosial yang kelas bawah, misalnya, gerombolan preman yang memperebutkan lahan parkir. Strata sosial yang lebih tinggi adalah penggunaan kekerasan oleh debt collector untuk menagih hutang. Tingkatan yang paling tinggi untuk hal seperti ini tentu adalah konflik bersenjata yang melibatkan militer antar negara. Konflik seperti ini akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang sedikit lebih tinggi, sudah memperhatikan hukum, peraturan, atau regulasi (apapun lah namanya). Tetapi penyelesaian konflik dilakukan dengan “memperdebatkan” aturan main yang ada dalam hukum, peraturan, atau regulasi tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan melibatkan institusi formal, misalnya pengadilan, lembaga arbitrase, dan sejenisnya. Intinya adalah, hukum, peraturan, regulasi, menjadi acuan dan sangat diperhatikan, tetapi terjadi “perdebatan” dan mungkin bahkan “mensiasati”-nya. Nah, mereka yang memang dalam konflik tentu mereka yang “pintar mensiasati” hukum. Ini juga akan berakhir dengan situasi win-loose.
Penyelesaian konflik yang lebih tinggi adalah dengan musyawarah, negosiasi, atau apapun namanya, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara semua pihak. Kesepakatan itu bisa berbentuk perjanjian, dan pada tingkat yang lebih tinggi, kesepakatan itu bisa berupa suatu bentuk regulasi baru dalam suatu negara, atau perjanjian antar negara, atau resolusi PBB (pada tingkat internasional). Tetapi ini belum tentu membawa kepada situasi win-win solution. Kalau kesepakatan dibuat secara musyawarah mufakat dan disetujui oleh semua pihak, maka situasinya kemungkinan adalah win-win solution (dengan syarat semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam musyawarah tersebut, jika tidak bakal ada yang kena loose). Tetapi jika diputuskan melalui voting, maka situasinya pasti akan berakhir dengan win-loose.
Inilah salah satu hikmah Ibadah Puasa yang mampu mensyiratkan pembentukan karakter suatu ,masyarakat apabila kita melakukan ibdah tersebut dengan tuntutan yang baik menurut Aqidah Agama Islam ( Dari berbagai sumber).

Kamis, 12 Agustus 2010

PELIKNYA MEMBIDIK Sekolah Bermutu

Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 ini tentunya akan berbangga hati, sementara orang tua mereka bahkan bertambah pusing tujuh keliling, karena harus bersaing dengan ortu lainnya dalam membidik bangku sekolah yang ideal. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya yang diimpikan.
Tentunya pada bulan Juli tahun ini mereka akan disibukan dengan memilih sekolah SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA untuk meneruskan jenjang pendidikan. Betapa tidak mereka yang lulus UASBN harus memperebutkan sejumlah 43.666 SMP/MTS yang tersebar seluruh tanah air. Begitu juga bagi yang lulus jenjang pendidikan dasar (SMP/MTS) harus bersaing mendapatkan kursi di sejumlah 16.647 SMA/SMK/MA se-Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tidak ada ortu yang menghendaki putranya gagal dalam belajar, maka ortu tersebutpun berusaha semaksimal mungkin dalam mencarikan sekolah favourit untuk putranya, salah satu diantaranya membidik sekolah RSBI, yang sekarang marak berdiri di kota-kota seluruh Indonesia. Namun benarkah RSBI mampu menjamin kompetensi unuk peserta didiknya. Sebuah pertanyaan menyeruak di tengah keraguan publik akan kredibititas sekolah tersebut.
Pada dasarnya RSBI dicanangkan untuk menjemput bola mutu pendidikan yang maksimal, dengan penerapan “pengantar bahasa inggris”, meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Mencermati “nilai plus” sekolah RSBI tersebut, sebenarnya kita sering “salah kaprah”. Karena sekolah tersebut hanya menerapkan pengantar pembelajaran dalan bahasa inggris, namun kurikulum yang digunakan sama dengan sekolah lainnya. Maka dari itu, sebenarnya sekolah ini hanya cocok untuk peserta didik asing yang tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, sebenarnya sekolah-sekolah tertentu tidak perlu memasang label RSBI bila peserta didiknya sebagian besar dari kalangan lokal. Tetapi jauh lebih penting adalah kompetensi peserta didik dikedepankan. Karena dikhawatirkan label tersebut bisa dimanfaakan oleh oknum yang mengeruk pungli yang merugikan orang tua/wali peserta didik.
Wacana tersebut bukan hanya isapan jempol saja, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi A Shomad di Jambi, yang mengatakan bahwa sekolah berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga menjadi peluang bagi pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungli..
Jimly Asshiddiqie Mantan Ketua MA dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ikut berkomentar tentang RSBI yang dianggapnya hanya label berlebihan dari sekolah negeri tersebut, sehingga pada praktiknya menjadi ajang diskriminatif bagi peserta didik yang berduit dan tidak, bahkan yang lebih memprihatinkan terdapat sejumlah sekolah negeri RSBI yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Dengan demikian masihkah kita sebagai orang tua calon peserta didik masih menempatkan pilihan utama pada RSBI.
Adalah tindakan ortu yang bijaksana, bila membidik sekolah negeri selain RSBI untuk pendidikan putranya. Keputusan tersebut memang masuk akal, bila kita menyorot tentang fasilitas factor pendukung pembelajaran di sekolah negeri, tentunya lebih memadai di banding sekolah swasta, meski terdapat sejumlah sekolah swasta favourite yang mengimbangi sekolah negeri. Disamping itu juga jumlah kelas sekolah negeri masih ideal untuik menampung peserta didik baru.
Hingga akhir tahun 2009, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTS, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta.
Namun institusi sekolah negeripun bukan serta merta sebagai sekolah publik yang nota bene milik negara, karena berbeda dengan sekolah negeri pada dekade tahun 80-an, yang justru menjadi dambaan peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu. Karena rendahnya SPP dibanding dengan sekolah swasta, dan tanpa pungutan “uang gedung” atau Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) seperti sekolah negeri dewasa ini, yang terkadang tidak terjangkau oleh peserta didik yang kompeten tapi dari kalangan keluarga tidak mampu. Sehingga apa mau dikata bagi peserta didik yang tidak mampupun harus rela belajar di bangku sekolah swasta.
Namun tidak selama sekolah swasta dianggap sebagai institusi “underdog”, terbukti dari hasil prestasi kelulusan UN 2009 lalu, bahwa nilai rata-rata sekolah swasta lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri. Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo dalam acara jumpa pers 'Hasil Ujian nasional 2008/2009' di Jakarta, Senin (22/6). Untuk tingkat SMA jumlah peserta UN dari sekolah swasta mencapai 905.570 dengan jumlah peserta lulus mencapai 861.539 siswa. Sementara itu, peserta UN dari sekolah negeri mencapai 614.164 siswa, sedangkan yang lulus UN sebanyak 561.089 siswa. Di tingkat SMP peserta UN dari sekolah negeri berjumlah 1.224.661 siswa. Jumlah peserta yang lulus mencapai 1.159.260 siswa. Sebaliknya, dari sekolah swasta berjumlah 2.216.192 peserta, dan yang lulus UN mencapai 2.112.391 siswa.
Meskipun data yang teranalisa diatas hanya data untuk prestasi UN 2009, namun setidak-tidaknya bisa merefleksikan bahwa sistim pembelajaran yang memadai bukan hanya mutlak milik sekolah negeri. Hanya saja memang ortu calon peserta didikpun harus hati-hati dalam memilih sekolah swasta, terutama dari “status sekolah” swasta tersebut berdasar penilaian tim akreditasi Disdikpora atau Kementrian Agama yang membina sekolah tersebut, proses kontinyuitas Kegiatan Belajar Mengajar dan ketahanan sekolah. Sebab tidak menutup kemungkinan masih adanya sejumlah sekolah swasta yang mengabaikan masalah tersebut, seperti yang berlangsung di
sejumlah sekolah menengah atas (SMA) swasta di wilayah DKI yang terancam ditutup karena 100% siswanya tidak lulus ujian nasional (UN).
Sekolah yang bermasalah tersebut, terdiri dari 10 SMA, dan tiga SMK. Total peserta yang tidak lulus dalam sekolah tersebut adalah 138 orang.

PEMBELAJARAN BUDI PEKERTI Jangan Pernah Ditinggalkan

Tiap kali kita berbicara tentang sekolah, yang menopang berbagai pembelajaran, pastilah kita akan berpikir tentang nilai-nilai sosial, budaya dan pedagogis. Terutama bagi kalangan orang tua yang akan menelisik dan menyekolahkan di satuan pendidikan tersebut. Pandangan kitapun langsung menuju suatu pepatah “ Pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya bermula dari pendidikan”. Kitapun langsung memahami urgensi suatu lembaga sekolah.
Adalah suatu kemajuan bangsa yang sering kita cermati di dunia ini yang bermula dari sistim pendidikan yang mapan dan berkontinyuitas, tak lekang di makan zaman. Pandanglah Bangsa Jepang yang melekatkan nilai-nilai budaya yang luhur pada satuan pendidikan yang disebut dengan Terakoya, yang diberlangsungkan pada abad ke-18, pada jaman Kekaisaran Edu. Sistim pendidikan yang cukup sederhana namun sarat dengan nilai budi pekerti (Morale Force Dealectict ) yang hidup di tengah kultur masyarakat Jepang.
Lain halnya dengan sistim pendidikan yang dicanangkan Taman Siswa di bawah asuhan Ki Hajar Dewantara, yang hidup di tengah kultur Masyarakat Indonesia yang sedang didholomi Bangsa Belanda yang mengungkung kita semua. Dalam hal ini, Ki Hajar menyelipkan pemahaman bahwa “Persamaan Derajat antara Sesama Manusia”. Oleh karena itu derajat masyarakat “inlander” tidak berada di bahwa orang Belanda. Misi Ki Hajar tersebut terus didengungkan melului Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pandangan Ki Hajar tentang persamaan hak dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Artikel tersebut di tayangkan Koran de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Oleh karena itu aspek keteladanan yang direfleksikan melalui budi pekerti perlu dikedepankan oleh semua peserta didiknya. Salah satu nasehat Ki Hajar Dewantara melalui Pendidikan Taman Siswa kepada masyarakat Indonesia, adalah ungkapan “Milo Budi ingkang Utami” (Maka Budi Pekerti perlu diutamakan). Sehingga upaya pencapaian aspek kognitif untuk peserta didik kita bukanlah satu-satunya kebijakan pedagogis yang bijaksana, guna mengejar ketertinggalan sistim pendidikan kita dengan negara lain. Kadang dengan ketertinggalan tersebut kita menjadi kebakaran jenggot, lantas merancang upaya mengkonstruksikan kurikulum yang dianggapnya representative. Upaya tersebutpun menjadi hambar tanpa mengintensifkan pembentukan sikap menta (afektif) peserta didik.
Sebagai bukti akan hal ini , dewasa ini terjadilah ketimpangan pencetakan peserta didik yang kita harapkan bersama. Sebagai bukti adalah maraknya laku anarkis yang banyak dilakukan oleh generasi muda di berbagai perhelatan olahraga, konser, pesta narkoba dan miras serta perilaku sex-bebas diantara remaja. Bahkan fitur generasi muda kita adalah timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Suatu perangkat sosial perlu terus tersemat dalam diri manusia Indonesia dari mulai bangku sekolah hingga dewasa, lepas dari kapasitas yang melekatnya, baik sebagai figure publik, pemimpin institusi atau apa saja. Perangkat ini disebut dengan “Budi Pekerti” yang memenuhi ruang sanubara tiap individu melalui saluran pembelajaran di sekolah, agama, informasi dari berbagai media ataupun tata-pergaulan dalam masyarakat. Semua saluran tersebut jelaslah di jaman modern ini bukan suatu bentuk yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Asal kredibilitas saluran serta substansi pembelajaran harus kita cermati bersama.
Masa depan suatu bangsa, baik masa depan prestasi ekonomi, sosial, teknologi dan lain sebagainya sangatlah bergantung pada intensitas sistim pendidikan yang disematkan pada generasi muda pemikul kekayaan budaya para leluhurnya. Warisan budaya kita sungguh mampu membuat bangsa-bangsa lainnya berdecak kagum, Namun kadang kala kita menjadi bertanya mengapa mediasi untuk transfer ke generasi penerus mengalami kegagalan. Padahal pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Kita tidak usah menuduh siapa gerangan yang paling patut kita salahkan dalam hal kegagalan “Penyematan Generasi yang Berbudi Pekerti”. Lantaran budi pekerti adalah sesuatu yang hanya bisa terinternalisasi hanya dengan kinerja yang.mengambil andil bersama dari seluruh komponen bangsa ini. Sepintas memang pembelajaran agama di satuan pendidikan mendapat tudingan tajam. Namun hal inipun tidak serta merta dapat kita terima, karena pembelajaran agama di satuan pendidikan hanya berlangsung 3 jam per minggu. Padahal aktifitas setiap peserta didik di sekolah hanya berlangsung 6 jam, selebihnya mereka larut dalam kehidupan sosial di luar sekolah. Sebanyak 90, 7 % ahli pendidikan menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti didapatkan dari lingkungan keluarga.. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Ngalim Purwanto M.P (1987 :148)
Maka opinipun dewasa ini banyak memenuhi multi media yang isinya menghimbau agar kita segera mengformat kembali pembelajaran budi pekerti di sekolah dan mengarahkan amoralitas pemuda kita di tengah masyarakat, ke ranah binaan yang memadai. Sehingga akan lahirlah “The Smart Young Generation” dan masyarakat Indonesia yang bermoral dan berbudi pekerti yang baik.(Dari berbagai sumber).