Selasa, 02 Februari 2010

URGENSI ETIKA MORAL UNTUK MASYARAKAT KITA


      Belum hilang betul  dari ingatan kita  tentang ulah Bonek  pendukung   Persebaya  yang  merepotkan semua pihak  di atas Kereta Pasundan Jurusan Bandung – Surabaya  pp ,  di Bulan  Januari  tahun ini. Kini kembali potret  sosial yang berupa  sebuah erosi moral yang melanda  masyarakat umum  terjadi  di Semarang .
       Seperti diketahui bahwa  baru saja  beberapa hari yang lalu  sebuah tragedi  yang  memprihatinkan  kembali menggugah  hati  kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita.  Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita,  pertanda  munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak,  lantaran dendam kesumat Th 2005  lalu, ketika supporter  PSIS Semarang diserang oleh Suporter Persijap  Jepara  kini dendam  itu  dilampiaskan  dengan  brutal di Semarang  Sabtu  30 Januari 2010.
     Tak pelak lagi sebanyak  18 Suporter Laskar Kalinyamatpun  menjadi korban luka cukup serius,  lantaran bus yang mereka  tumpangi di cegat di  Jalan Siliwangi  oleh rausan Suporter PSIS,  bahkan pada kejadian tersebut banyak pula yang dirugikan secara material akibat penjarahan barang berharga.  Bukankah ini bisa dijadikan tolak ukur bahwa  konflik antara simpatisan tersebut  sudah bukan lagi sebuah fanatisme apalagi sebuah sportifitas.  Lantas  apa yang dapat kita perbuat, apabila konflik ini terus akan menimbulkan korban, atau lebih jauh lagi meresahkan masyarakat.
      Konflik  antar simpatisan tersebut sebaiknya secara  bijak   kita urai  mulai dari  struktur  suporter yang terlibat, guna mengetahui segmentasi mana yang paling mendominasi  perusuh tersebut.  Hal ini disebabkan karena  kita belum pernah melakukan penelitian mengenai komposisi para  bonek yang berada di setiap kota yang menjadi potensi konflik supporter  tersebut. Secara sepintas  berdasarkan pengamatan  dari berbagai media terlihat jelas bahwa  kelompok yang mendominasi   simpatisan klub bola, adalah  remaja.  Bahkan beberapa diantaranya atau bahkan  paling banyak adalah dari kalangan pelajar.
      Dengan  demikian  dapat  kita dapatkan solusi komprehensif  khusus untuk  segmen pelajar . Solusi  tersebut adalah  pembinaan  sikap mental yangh lebih intensif  di masing – masing satuan pendidikan (  sekolah ).  Sebab salah satu fungsi  satuan pendidikan  bagi peserta didik  adalah  penanaman sikap mental yang utuh.  Sikap mental tersebut tentu saja akan  terbina  dengan sendirinya ,  apabila peserta didik  aktif dalam bersosialisasi dengan teman, guru , orang  tua  serta  masyarakat di luar jam sekolah.
      Apabila  seorang pelajar  melakukan konflik yang  tak terpuji maka  penetrasi sikap mental, baik  penetrasi dari  sekolah,  orang tua maupun masyarakat  pergaulannya  tetal gagal. Namun alangkah baiknya  bila kita secara bijak tidak menyalahkan peran mereka satu persatu. Hanya saja  penanaman sikap mental peserta didik di lembaga sekolah, adalah yang  paling formal dengan kemasan pedogogik yang ilmiah.  Sehingga agar terjadi pembinaan yang menyeluruh terhadap perkembangan  jiwa seorang peserta didik, sekolahlah yang  paling dahulu   dituding.
      Namun masalah in menjadi lebih pelik lagi bila para supporter  yang  mengalami konflik ini  adalah berasal dari kalangan  umum,   tentulah harus dilakukan  pencerahan moralitas yang lebih kompleks.  Hal ini bisa dimengerti lantaran  apabila seorang suporter sejati yang menaruh simpatik  terhadap kesebelasannya tentulah  akan bersifat sportif. Karena  apapun alasannya, sehebat apaun sebuah kesebelasan pastilah  pernah mengalami kegagalan, dan sudah barang  tentu  bagi seorang suporter yang sejati sikap sportifitaslah yang harus dikedepankan.
     Dengan demikian tabiat  menyerang suporter  lawan tanding kesebelasan pujaannya, adalah bukan sikap seorang suporter yang sebenarnya. Sikap tersebut lebih kentara  dapat dilihat dari aspek pelampiasan  aspek-aspek  yang menjadi potensi laten  ketimbang sebuah sikap fanatisme. Dengan alasan seperti ini, maka sudah barang tentu bagi  instisitusi yang berkepentingan dengan  masalah tersebut  haruslah segera dengan sigap menentukan metodologi penyelesaian sosial untuk merampungkan masalah ini  agar tidak terulang lagi.
      Masalah  kenakalan remaja ataupun konflik seperti tersebut di atas adalah hal yang memang harus dituntaskan. Sebab masalah ini   bisa menjalar ke bentuk lainnya, yang bisa merusak  kererasian anak bangsa dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara,  karena sebenarnya masalah in adalah masalah yang sudah menyentuh moralitas sebuah  masyarakat. Apabila moralitas yang  dari jaman nenek moyang kita  telah dipelihara  dan disakralkan,   bisa mengalami  degradesi  menjadi sesuatu yang tidak berharga  dan pada gilirannya nanti akan hancurlah sebuah tatanan sosial.
     Ataukah memang  telah  terjadi  di tengah  kita  sebuah generasi yang tersisih dari  perubahan sosial masyarakat Indonesia  yang sangat  pesat di  era globalisasi  ini,  sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia.  Karena pada era  sekarang  tidak  ada satupun masyarakat   yang mampu  menghindar  dari  globalisasi  multidimentional,   Namun dengan mahalnya  pendidikan baik negeri maupun swasta,  maka  baringkali saja masih banyak  anak bangsa  ini  yang  tidak mampu mengenyam  pendidikan yang memadai,  atau  menjadi  generasi  yang  tidak memiliki ketrampilan  dan kesempatan kerja
     Apabila kondisi telah mencapai demikian maka  terjadilah pelapisan sosial   yang dilengkpi dengan menumpuknya  jumlah pemuda / remaja  yang  tidak memiliki strata pendidkan   memadai sekaligus  tidak memiliki keahlian khusus,  yang menumpuk di  lapisan  paling bawah.  Kelompok sosial  inilah  yang  rentan terhadap potensial konflik.
     Apalagi di  era reformasi  ini,   saat masyarakat banyak  diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin  nasional  yang banyak menyelewerngkan jabatan demi  kepuasan pribadi. Maka  secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa kita, bahkan  dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik  di  atas sana  menambah  penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.  Padahal  moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan  memberikan kontribusi nyata  dalam membentuk  jati diri bangsa.
     Bukankah jati diri inilah yang  berhasil menyatukan semua budaya , suku  bangsa dan etnis dalam satu  susunan  Negara Kesatuan  Republik Indonesia  yang  termasuk bangsa yang   multiculture   dan  terkenal sebagai bangsa  yang   santun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar