Minggu, 28 November 2010

Kompetisi Untuk Kompetensi

Pembelajaran dengan metoda yang attraktif tentunya dapat mengoptimalkan daya serap siswa terhadap bahan ajar. Nawun wacana ini bisa saja menyita energi kita, bila metoda tersebut masih belum menuai hasil seperti yang kita harapkan bersama. Metoda ini bisa saja gagal, karena terkendala minat baca siswa Indonesia yang memprihatinkan.

Namun meskipun telah hadir tehnologi informatika dalam bentuk internet, tetap saja minat baca siswa kita masih terpuruk. Minat membaca masyarakat untuk menggali informasi melalui internet bisa diukur secara kuantitatif dengan indeks yang disebut dengan NRI ( Network Readiness Inde), sistim indeks ini dikembangkan oleh Centre for International Development (CID) yang bermarkas di Harvard University, yang melaporkan bahwa untuk masyarakat Indonesia minat baca terhadap internet sungguh memprihatinkan, lantaran hanya memiliki nilai sebesar 3, 24 dan menempati urutan ke -59 dari 75 negara yang disurvey (2004).

Budi Hermana dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Negara-Negara Asia-Hubungannya dengan Variabel Ekonomi Makro dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Gunadarma, melaporkan bahwa kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet.

Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama)..

Oleh karena itu kita harus memaksa/mendisiplinkan siswa kita untuk membaca dengan arif dan dalam “kemasan pendidikan yang santun” dengan memberlangsungkan kompetisi bahan ajar secara berkesinambungan, dengan cermat, sungguh sungguh. Hal ini bertujuian untuk mempertajam mereka dalam hal dinamikan berpikir, seperti mencermati, menganalisis serta menarik kesimpulan atas semua yang disodorkanpendidik melalui kompetisi.

Kompetisi bisa dilakukan dengan membentuk kelompok belajar, yang dilibatkan dalam bentuk evaluasi lisan (cerdas cermat ), portofolio baik di sekolahan langsung atau tugas di rumah. Kiat seoerti ini sangat berhasil guna bila kita mencermati pernyataan Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), yang mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Selanjutnya Erickson menyatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

Dengan karakteristik remaja yang haus akan jati diri itu, maka ealuasi kompetisi ini justru mampu menyalukan kebutuhan psychologis siswa. Mereka berambisi untuk mengalahkan sainganya dan bahkan cenderung berjungkir balik demi sebuah jati diri.

Rabu, 17 November 2010

Pembelajaran Untuk Generasi Facebook

Pendidikan adalah sesuatu yang bersifat fitroh, karena pendidikan adalah kebutuhan essensi yang dibutuhkan oleh menusia di tengah peradaban dari jaman prasejarah hingga jaman modern ini. Sepanjang perkembangan peradaban itu, manusia mengenal pendidikan dengan metoda pembelajaran yang bervariasi, sesuai struktur sosial yang memusarinya. Sistim pendidikan kala itu semata untuk membekali mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi satu dengan lainnya untuk menggapai dinamika kehidupan masyarakat mereka.

Dengan bekal pembelajaran social yang akurat, cermat dan bersinergi tinggi, maka pada jaman apapun akan mampu membentuk masyarakat yang berfitur sosiologis yang baik. Lantas bagaimana dengan pendidikan modern, yang dilangsungan di tengah era tehnologi informasi dan komunikasi yang super canggih, seperti misalnya penggunaan aplikasi facebook untuk sebagian besar masyarakat kita, yang sudah terlanjur menggandrungi facebook tersebut sebagai alat komunikasi.

Khusus untuk penunjang sistim komunikasi ini, semakin canggih, efisien, cepat serta murah, semakin pula banyak “ekses negatip” yang ditimbulkan. . Sistim informasi dan komunikasi tersebut adalah “situs pertemanan facebook”. Sebagai sistim yang banyak menarik kegandrungan masyarakat dunia terlebih-lebih bagi facebooker remaja kita (sebesar 40,1 % dari seluruh facebooker).

Begitu kuatnya facebook berhasil menyihir hati kita semua, terbukti bahwa masyarakat pengguna sistim ini, menurut survey pada tahun 2009 berjumlah mencapai 235 juta penduduk dunia ( hampir menyamai penduduk USA). Bahkan lebih mengejutkan lagi, memasuki tahun 2010 ini,pengguna facebooker telah tembus hingga mencapai setengah milyar masyarakat dunia, dengan jumlah “log in” aktif sebesar 50 % dari keseluruhan facebooker dan 70 % diantaranya adalah facebnooker dari luar Amerika. Jumlah tersebur bervariasi lintas gender, remaja hingga orang dewasa dengan tidak memandang jenis profesi. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa facebook, bakal menjadi sistim komunikasi dan informasi yang membentang menembus tembok budaya, bahasa, geografis, kedaulatan negara serta perdaban social seantero bumi ini.

Dengan jumlah facebooker yang mencapai hamper 23 juta maka diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Memang perlu kita waspadai bahwa semenjak Masyarakat Indonesia mengenal telepon seluler, kemudian internet dan terakhir adalah facebooke, sedikit banyaknya sistim tersebut telah mengubah perilaku mereka. Betapa tidak, mereka ibaratnya telah menjadi bagian masyarakat yang tidak lagi interaktif dan komunikatif dengan lingkungan sosialnya dan pada gilirannya nanti bakalan menjadi masyarakat dengan fitur sosial yang
tanpa kepedulian sesama, pengaruh ini sudah barang tentu akan signifikan terhadap remaja. Karena mereka hanya bersedia berinteraksi dengan komunitasnya yang berada dalam satu sistim.

Masalah lain yang juga patut kita waspadai adalah semakin mudahnya remaja kita mengakses situs porno yang belum relevan dengan perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu kita menjadi prihatin dengan data yang disodorkan Okanegara dalam “Kehidupan Remaja Saat Ini” (2007) bahwa jumlah remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah? Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya?.

Lantas kitapun berpikir, apakah pengaruh aplikasi dunia maya tersebut sangat signifikan terhadap ambruknya moralitas remaja kita. Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan bijak , karena tehnologi aplikasi tersebut semata mata dirancang untuk kesejahteraan umat manusia, begiotu juga dengan tehnologi lainnya. Maka untuk menyematkan dunia remaja dari ekses negatif, maka kita perlu meningkatkan peran faktor pendukung sistim pendidikan, yaitu sekolah, orang tua wali dan masyaakat yang lebih ketat lagi.

Sabtu, 13 November 2010

Pendidik Masa Depan

Bangsa Indonesia yang telah berusia 65 tahun, dewasa ini sudah tidak mampu lagi memungkiri tentang tantangan yang dihadapinya di tengan peradaban dunia yang maju di semua bidang. Tantangan yang paling essensi yang harus dibenahi dalam menjawab tantangan ini, adalah penyiapan generasi muda “peserta didik yang duduk di bangku sekolah” yang penuh inovatif, informatif serta berakhlak baik. Raihan prestasi ini tentu saja melalui proses yang pelik, terencana dan terpadu serta berkesinambungan yang diusung oleh semua pihak yang berkecimpung dalam pendidikan di Indonesia. Terutama fungsi dan peran guru sebagai pendidik professional, tentunya yang paling terdepan dalam perjalanan panjang melahirkan generasi dambaan kita.

Berbicara mengenai pendidik tentu saja focus utama yang kita soroti adalah pembelajaran berbagai hal yang disodorkan kepada peserta didik. Karena aspek inilah yang dapat dijadikan penunjang utama kompetensi siswa dalam berbagai hal. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Lantas bagaimana sinergi pendidik yang handal dalam memberikan pembelajaran di era globalisasi ini. Pertanyaan ini tentunya menyangkut semua aspek yang melekat pada diri pendidik yang harus disiapkan secara matang, menyangkut bahan ajar, model pembelajaran dan pengetahuan umum yang luas yang harus dimilki sang pendidik. Ibarat seorang konsultan berbagai hal, yang siap memberi solusi kepada peserta didik yang dibimbingnya. Peran seperti itulah yang menjadi jawaban tentang peran ideal pendidik.

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah menengah atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat. Selain itu peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah atas sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saja meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu menguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Jumat, 12 November 2010

Guru Dan Konsultan Semua Bidang Ilmu

Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.

Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.

Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah lanjutan atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Mereka sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saka meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu ,enguatkan imajinasinya.

Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.

Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.

Kamis, 11 November 2010

Pembelajaran Sosial Menggapai Masyarakat Anti Miras

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambit Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras di Salatiga telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memilioki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “operasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras.

Jumat, 05 November 2010

Evaluasi Komprehensif Untuk Program Block Grant

Adalah tidak mungkin begitu saja setelah menjadi institusi pendidikan yang dimarginalkan selama 32 tahun oleh Orde Baru, sejumlah 40.848 madrasah yang menyodorkan pembelajaran untuk siswa sekitar 6 juta anak akan menuai prestasi yang memadai. Dengan jumlah siswa sebesar tersebut di atas sudah barang tentu akan mengakibatkan rendahnya kinerja pendidikan. Hal ini diakui oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang membeberkan sebuah kesan, bahwa selama ini madrasah telah dianak tirikan dalam sistim pendidikan nasional. Bila kondisi madrasah yang dianaktirikan tersebut tetap berlangsung dari waktu ke waktu, bukankah ini sama saja dengan praktek diskriminasi pendidikan yang diusung oleh sistem kolonial oleh kita terhadap bangsa kita sendiri.

Sebuah langkah sigap dari Kementrian Agama dalam memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan madrasah dengan pembelajaran yang dikemas sebagai program unggulan segera perlu dikedepankan, untuk menggapai azas berkeadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama untuk setiap warga Negara, termasuk peserta didik yang belajar pada sebuah madrasah. Langkah ini telah ditempuh oleh Depag dengan program pengucuran dana Block Grant untuk 500 madrasah yang tersebar di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah dana bervariasi dari Rp 100 juta hingga Rp 1 milyar, pada tahun pembelajaran 2009/2010 silam. Dana bantuan tersebut tentu saja harus memotivasi semua penyelenggara pendidikan di madrasah tersebut dalam bentuk kontrak prestasi, guna meraih prestasi madrasah unggulan.

Namun masalah lainyapun timbul bila inefisiensi dana tersebut terjadi di madrasah penerima dana tersebut, terutama dalam hal penentuan skala prioritas program pemacu kemauan madrasahnya. Lantaran dalam waktu yang relatif pendek, yaitu hanya satu tahun pembelajaran sebuah raihan madrasah berprestasi harus sudah diusung. Padahal kemajuan sebuah satuan pendidikan dapat diraih, bila semua komponen yang berperan dalam pembelajaran harus mampu secara stimultan mengusungnya, beberapa diantaranya adalah kompetensi pendidik terhadap bahan ajar, model pembelajaran, disiplin dan sikap mental pendidik lainnya yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didik.

Bahkan aktifitas peserta didikpun harus pula dibidik dengan jeli, termasuk kemauan belajar, motivasi belajar, kehadiran dan positif altitude lainnya yang harus dimiliki peserta didik guna memperoleh kompetensi yang memadai, disamping pengadaan fasilitas penunjang lainya (laboratorium multimedia, laboratorium IPA, peraga dan lain sebagainya).

Sebagian besar madrasah menyematkan majunya pembelajaran hanya dengan komputerisasi sebagai simbol modernisasi, yang penggunaanya belum menyentuh kebutuhan peserta didik yang mendasar. Sehingga penerapan TIK (tehnologi komputer dan informatika) hanyalah sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya apabila TIK difungsikan secara proposional dalam fungsinya sebagai media peraga, sumber bahan ajar (internet), maka tentu saja mutu kualitas peserta didik yang handal bakal diraih. Namun fungsi ini belum maksimal diberdayakan. Terbukti masih banyaknya tenaga pendidik yang belum memiliki lap top, masih enggan membuka internet untuk menggali bahan ajar. Dengan masih banyaknya kasus kasus tersebut, maka sebaiknya madrasah yang telah dikucuri dana Block Grant tersebut haruslah sigap dalam mendayakan fungsi TIK tersebut, sehingga mampu menyihir peserta didik untuik getol meraih kompetensi.

Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementrian Agama melakukan evaluasi yang mendasar dan komprehensif tentang efisiensi penggunaan dana tersebut, menyangkut penerapan skala prioritas, proporsi pelatihan antara peserta didik dan pendidik yang seringkali berat sebelah lebih mengutamakan pelatihan pendidik, serta penyelidikan mengenai penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga hasil evaluasi Kementrian Agama tersebut dapat dijadikan acuan bagi madrasah madrasah lainya yang belum menerima giliran terkucuri dana Block Grant. Secara praktis apabila peserta didik belum bergairah dalam menggapai kompetensi bahan ajar, tingkat ketidakhadiran peserta didik belum berubah secara signifikan, kedisiplinan semua penyelenggara pendidikan masih dibawah standar, maka dana Block Grant tersebut belum diberdayakan dengan baik.

Sabtu, 23 Oktober 2010

GERAKAN PRAMUKA Yang Terabaikan

Kedisiplinan, tanggung jawab, kokohnya budaya malu, sikap menghargai waktu dan diri sendiri, patuh terhadap orang tua, guru di sekolah dan orang lain serta rasa cinta tanah air dan sesama, adalah sikap yang harus terinternalisasikan kepada masing masing anak bangsa sedini mungkin bila kita mengharapkan terjadiya perubahan mendasar pada sebuah generasi di masa depan. Sehingga pergeseran nilai sosial yang diusung generasi sekarang tidak serta merta mengalami deviasi lebih parah lagi, yang justru menjadi stimulus negative generasi mendatang.

Apalagi dengan usungan lebih specifik lagi yang menjadi karakterisitk generasi reformasi ini dibanding generasi sebelumnya. Karakteristik ini memang lahir sebagai respon negatif dari peradaban modern yang bercirikan tampilan tehnologi informatika dan computer, dalam specifikasi konsumsi facebook, twitter dan Hp. Deviasi terhadap nilai dasar yang bakal melanda generasi muda memang diambang pintu, bila kita mencermati jumlah facebooker anak muda yang mencapai hampr 23 juta konsumen. Hal ini memang mengagetkan kita bahwa diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan Yovita Maria dari Universitas urabaya menyimpulkan bahwa 61,7 % pengguna facebook bersikap narsis. Meski tahapan narsisme ini masih dalam taraf yang wajar, namun setidak tidaknya sebuah kewaspadaanpun harus kita kokohkan sebelum generasi ini jatuh pada ketidakpedulian terhadap masyarakat dan negaranya. Sehingga munculah kelak generasi yang ego, terpingit dari lingkungannya, hilangnya budaya malu, tidak memiliki kepedulian terhadap Negara dan bangsanya dan tanda tanda itu telah mulai terjangkitkan dewasa ini.

Kita tentu saja banyak disuguhi tayangan semua media mengenai tindak amoralitas yang bertebaran dari waktu ke waktu. Kasus yang merefleksikan hilangnya budaya malu dari oknum para petinggi, sehingga dengan tidak memilik beban psikhologis mengeruk uang Negara demi perutnya sendiri. Oleh karena itu menurut Prof Djoko Suryo, gurubesar UGM Jogjakarta menyatakan bahwa budaya malu justru dapat menjadikan korupsi semakin berkembang biak. Hal ini disebabkan budaya malu lebih mendasarkan pada konvensi-konvensi sosial ketimbang tanggung jawab individual.

Budaya malu yang mengalami metamorfosis tersebut di atas tentunya bukan budaya malu yang primordial, karena mengalami pendangkalan funsi dan peran budaya itu sebagai nilaisosial. Dengan demikian rekonstruiksi budaya malu serta nilai nilai primordial lainnyapun perlu dilakukan melalui satuan pendidikan, sebagai suatu upaya penyelamatan nilai sosial yang tepat.

Salah satu kiat untuk mewujudkan tujuan seperti tersebut di atas adalah mengkurikulumkan kegiatan Pramuka yang selama ini hanya sebagai kegiatan ekstra-kurikuler saja di sekolah berdasarkan payung hokum sebuah undang-undang. Padahal Pramuka adalah sebuah kegiatan yang sarat dengan usungan tanggung jawab, disiplin, rela berkorban, pembentukan sikap diri, nasionalisme, mendahulukan demokrasi da lain sebagainya, yang sangat tepat untuk pembentukan karakter. Peran vital pramuka terbukti telah mampu mendasari pembentukan sikap mental ideal setiap generasi dan telah diakui dunia keberhasilanya.

Menurut sebuah laporan dari Wikipedia (2006) Gerakan Kepanduan/Pramuka adalah sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki pengaruh mendunia. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di lapangan. Saat ini, terdapat lebih dari 38 juta anggota kepanduan dari 217 negara dan teritori.

Indonesia seperti Negara lainnya di dunia juga ikut mencangkan gerakan kepanduan tersebut dan memiliki jumlah anggota terbanyak dengan jumlah 17 juta orang. Ironisnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pendidikan kepramukaan seperti dimiliki oleh banyak negara lain. Seperti diketahui bahwa Gerakan Pramuka di Indonesia selama 49 tahun praktis dilaksanakan hanya dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961. Sudah waktunya ditingkatkan jadi undang-undang,

Dewasa ini Rancangan Undang Undang Pramuka sedang digodog oleh DPR dan telah mencapai babak perumusan dan semua pihakpun apalagi kalangan pendidik sudah lama menantikan disahkan undang undan tersebut. Tentu saja bagi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia memandang kebutuh Undang-Undang Gerakan Pramuka saat ini sangat penting. Dengan adanya undang undang tersebut Kwarnas mampu mencanangkan model pengelolaan kepramukaan dan aspek aspek yang komprehensif mampu mereka dapatkan

Keterlambatan pengesahan undang undang tersebut banyak menuai protes akibat lambatnya kineja anggota dewan. Salah satu tokoh nasional yang turut prihatin, adalah Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukungan penyelesaian segera pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Gerakan Pramuka. Namun, ia berharap, kelahiran undang-undang tersebut nantinya tidak memicu polemik yang justru membuat gerakan pramuka semakin tidak diperhatikan. Padahal unit unit kegiatan pramuka (gugus depan ) telah merata di seantero Indonesia hingga ke pelosok-pelosok sehingga adanya fasilitas ini lebih mampu dihandalkan untuk pembinaan generasi mendatang. Hal ini terbukti dengan gerakan kepanduan yang digembelengkan pada banyak siswa sekolah jaman revolusi fisik, yang banyak menelorkan pahlawan pahlawan yang tidak diragukan sikap nasionalismenya.

Selasa, 12 Oktober 2010

Menepis Budaya Malas Belajar Siswa Kita

Seberapa besar upaya pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan dengan kiat yang handal, tetap saja faktor keterlibatan peserta didik tidak bisa kita kesampingkan, terutama keterlibatan mereka dalam upaya pencapaian ketuntasan bahan ajar yang diterima di sekolah mereka. Meski menapaki era reformasi ini, peserta didik di berbagai jenjang telah dipusari dengan berbagai faktor yang mampu menstimulir mereka untuk menggapai “The Smart Generation”, yang menjadi tumpuan kemajuan bangsa dan Negara ini di masa depan. Pendapat ini sesuai dengan filosofi dr. Wahidin. di “Seri Pahlawan Kemerdekaan Nasional”, DEPEN.RI., Jilid I, 1967, Halaman 11, yang menyatakan “Untuk memajukan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia yang baru, hanyalah dengan memajukan pendidikan. Khususnya pendidikan di kalangan para pemuda dan pemudinya. Pendidikan dan pengajaran adalah memegang peranan penting dalam pembangun bangsa dan kemajuan umat manusia.”

Pendidikan dan pengajaran menurut konsep dr. Wahidin tersebut di atas, tentunya harus diwujudkan untuk peserta didik di setiap jenjang yang berjumlah 46,5 juta siswa dan tersebar di sekitar 250 ribu sekolah di Indonesia. Bukankah peran aktif mereka dalam capaian bahan ajar yang handal akan berpengaruh sinifikan terhadap kemajuan bangsa. Potensi ini sungguh menjadi suatu faktor penentu yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja. Sebuah pelajaran berharga dari Bangsa Jepang patut kita tiru dalam hal kemauan belajar dan minat baca dari sejumlah 750.000 peserta didik yang bersekolah di 11.000 Terakoya ( sekolah rakyat ) dijaman Tokugawa Ieyasu ( Pendiri Kekaisar Edo) yang memimpin Rakyat Jepang mulai Tahun 1603 M. Sehingga kini kita mampu menyaksikan hasil dari sistim pendidikan Terakoya tersebut yang terefleksikan dengan penguasaan dan dominasi iptek oleh Bangsa Jepang.

Mencermati urgensi sistem pendidikan dalam kontribusinya terhadap kemajuan suatu bangsa, maka pemerintah telah menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 dengan alokasi Anggaran pendidikan yang memperoleh jatah sebesar Rp 200 triliun. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010 telah disebutkan perincian penggunaan anggaran tersebut. Ringkasannya telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, Jakarta pada Senin, 3 Agustus 2009.

Untuk sebuah Negara yang sedang terjebak dalam pusaran keterpurukan, anggaran sebesar itu adalah suatu refleksi niatan baik untuk menggulirkan sebuah pendidikan yang mampu menjemput jaman. Lantas bagaimana mekanisme dan pengaruh langsung anggaran tersebut terhadap peningkatan kemauan belajar peserta didik, yang selama ini telah mengakar kuat dalam bentuk generasi yang malas belajar dan rendahnya minat baca. Apalagi bila kita mencermati lebih teliti lagi, bahwa kemauan belajar dari generasi sekarang adalah lahir dari budaya yang terlanjur mendarah daging.

Oleh karena besarnya anggaran pendidikan tersebut, tidaklah mampu dengan serta merta menggeser budaya yang negatif tersebut, maka sebuah langkah taktis pedagogis perlu segera dikonsepkan. Tentu saja konsep tersebut di atas direkomendasikan diawali dengan kontribusi pendidik, sebab setiap individu peserta didik tentu saja mampu merubah sikap positif “rajin belajar” di bawah bimbingan pendidik professional dalam kelas melalui pengamatan, pemberian portofolio, evaluasi, pekerjaan rumah dan instrument lainya. Sehingga dengan pembiasaan yang berkesinambungan dalam jenjang waktu tertentu, lahirlah generasi penyambang era kebangkitan bagi Bangsa Indonesia di masa mendatang di bawah polesan yang pendidik tersebut.

Harapan ini tidak hanya sebuah wacana isapan jempo, lantaran apabila peserta didik yang aktif belajar dari sebuah pembelajaran dari sang pendidik maka jadilah mereka menjadi individu yang bererkapasitas menurut bidangnya. Hal ini sesuai dengan Teori Gagne (1968), yang mengemukakan bahwa belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.

Lebih lanjut Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari stimulus dan lingkungan serta proses kognitif

Kita tahu bahwa salah satu fungsi dan peran pendidik adalah berkompeten terhadap model pembelajaran tersebut di atas. Pembentukan kompetensi pendidik seperti yang diharapkan tersebut di atas juga perlu dibakukan dalam kinerja formal pedagogi. Sehingga mampu menumbuhkan sinergi pendidik yang membahana di seluruh satuan pendidikan di Indonesia Upaya tersebut memang sudah terrealisir denga adanya program sertifikasi guru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifkasi Guru dalam Jabatan, yang mengatur lebih lanjut tentang upaya profesionalisasi pendidik. Dengan modal professional inilah pendidik diharapkan mampu menepiskan budaya dekstruktif malas belajar menjadi budaya konstruktif rajin belajar tiap peserta didik. Agar kita mampu menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lain dalam prestasi multidimensional.

Kamis, 16 September 2010

WANITA SONGSONGLAH GLOBALISASI

Hingga kini belum diketahui secara pasti dalam sejarah, sejak kapan wanita mulai berperan dalam dinamika sebuah masyarakat dari jaman ke jaman. Yang jelas kita hanya mampu mengdiskripsikan peranan urgensi wanita dalam dinamika suatu masyarakat, yang mengalami pergesaran. Dalam tatanan social masyarakat klasik, wanita hanya disimbolkan sebagai pelayan suami, symbol social, symbol reproduksi belaka, yang dalam budaya jawa disebut sebagai “ tiang wingking” (peranan hanya didapur melayani kebutuhan suami). Sebelum abad ke 20 semua peradaban di bumi menempatkan wanita hanya dalam symbol seperti tersebut di atas.

Namun justru di balik kelemahan figure seorang wanita, ternyata banyak memiliki kelebihan ketimbang seoarang pria. Namun hal ini belum bisa dieksploitir oleh banyak peradaban. Apalagi pada abad sebelum memasuki abad ke-20, yang masih belum terjamahkan isu tentang gender, maka peran urgensi wanita belum mendapat tempat pada dinamika social. Hal ini wajar saja sebab sebagian besar masyarakat primordial masih belum menginternalisasikan ideologi pemersatunya dalam wadah sebuah bangsa dan kedaulatn negara. Terbukti pada masa itu masih sedikit wanita yang tampil menjadi sosok negarawan.

Dalam dinamika sosial seperti itulah, konflik sosial banyak dituangkan dalam bentuk senjata, yang mutlak didominasi kaum adam, sehingga di berbagai peradaban lahirlah legenda seperti Knight, Robinhood, Musketeer, Shogun, Satria, Jawara dan lain sebagainya. Meski di beberapa belahan bumi kala abad ke-19 mulai lahir pendidikan untuk kaum hawa. Tercatat dalam sejarah, pada Masa Restorasi Meiji, di pertengahan abad ke-19, dikota-kota besar kekaisaran Jepang telah tercatat sebanyak 70 % wanita sudah berstatus pelajar ( mampu membaca, menulkis dan aritmatika). Demikian juga di Eropa dan Amerika. Namun di kawasan Asia dan Afrika, yang sebagian besar masih hidu terjajah bangsa eropa, yang terjadi justru sebaliknya.

Kondisi semacam tersebut tidak mungkin bagi wanita untuk berperan penting dalam dinamika suatu masyarakat sosial. Mulai memasuki abad modern, tepatnya pada awal abad ke 20, semakin beragamnya sistim nilai pada suatu masyarakat social, atau mulailah bergulirnya perkembangan segala macam perkembangan berbagai disiplin ilmu, maka semakin beragam pula manusia mengejawantahkan karya, karsa dan cipta maka dominasi priapun mulai menurun. Sebab man behind the gun yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama sebuah masyarakat social, tidak harus figure seorang pria. Namun figure yang memliki seabreg karakter yang mampu mencakupi, seperti kesabaran, ketangguhan, kecerdasan, ketelitian dan lain sebaginya yang tidak mutlak hanya dimiliki seorang pria

Dari fenomena social seperti inilah lahir peluang bagi wanita untuk tampil menggantikan peran pria. Kondisi semacam itu pulalah yang mengkondusifkan di Indonesia lahir perjuangan Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Selang beberapa dekade sesudahnya tampilah nnegarawan-negarawan wanita yang cukup karismatik di dunia, seperti Anita Peron (Presiden Argentina), Elisabeth Domitien PM Afrika Tengah, Sylvie Kinigi PM Burundi, Ruth Perry Presiden Liberia ( 1996 – 1997), Ellen JS Presiden Liberia ( 2006 s/ d sekarang), Reneta Indzhova - Pejabat Perdana Menteri Bulgaria (17 Oktober 1994 - 25 Januari 1995), Margaret Thatcher - Perdana Menteri (4 Mei 1979 – 28 November 1990) dan Megawati Soekarnoputri - Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) serta masih banyak figure lainnya.

Hal ini membuktikan bahwa wanita dilahirkan di dunia bukan semata-mata hanya untuk dieksploitir oleh kaum pria saja. Justru semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia modern semakin pula membutuhkan spesialisasi di bidang yang menuntut kompetensi yang mengembanya. Dari wacana tersebut timbulah profesi-profesi yang direkomendasikan diemban oleh wanita, seperti pendidik, tenaga para medis, psikolog, public relation, kasir, dokter personal shopper. Profesi wanita yang belakangan ini tampak masih merupakan profesi baru untuk wanita Indonesia serta profesi lainnya yang pada decade sebelumnya hanya didominasi kaum adam. Bahkan di arena politikpun bukan halangan bagi wanita modern untuk berkiprah di dalamnya.

Ternyata di Indonesia kiprah wanita di politikpun mampu merefleksikan tiada lagi perbedaan hak pada wanita, terbukti jumlah anggota DPR periode 1999 – 2004 berjumlah 52 orang Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dan laki-laki sebanyak 459 orang (81,6 persen).
Namun demikian menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari mengakui bahwa peranan wanita di bidang eksekutif dan yudikatif belum begitu menggembirakan. Hal ini tentunya bukan hanya tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja , tetapi menjadi kewajiban kaum hawa sendiri yang menekadi peran urgebsinya di masyarakat, yang hingga kini masih memandang sebelah mata.

ADAKAH KEPRIHATINAN DI ANTARA KITA ?

Belum hilang betul dari ingatan kita tentang nyanyian Susno yang menyeret Gayus dan mengelindingkan Syrus Sinaga, Edmund Ilyas, Syarif Johan dan petinggi /pemimpin publik lainnya menjadi pesakitan hukum. Kita kembali tercengang dan menarik nafas dalam dalam setelah mendengar laporan Internationmal Coruption Watch tentang “Sang Dalang” pendoliman hutan negara yang ternyata juga oknum petinggi negara. Oleh karena itu hingga kinipun kita tak tahu kapan Indonesia terentaskan dari sematan Negara terkorup se Asia Pasifik.

Sebuah keprihatinan

Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa pekan yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita., seperti belum lama ini terjadi pertikaian antara Satpol PP dengan Masyarakat Koja Jakarta Utara. Perseteruan etnis di Batam yang berakhir dengan amuk masa. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, pada enam bulan pertama tahun 2008 lalu, Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai1.850 aksi.

Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang nonkompromis ( tidak menerima lagi nilai lama ) dari perubahan sosial masyarakat Indonesia, yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Sebuah generasi bertipe “life-style hedonisme “ dan menyingkirkan jauh jauh sebuah amanat luhur, karena sebuah konsekuensi logis menjadi pemimpin/pejabat/ tokoh sental figur salah kaprah. Atau mungkin sebuah generasi yang telah kehilangan etika moralnya.

Maka yang menjadi nyanyian sumbang pada segmen grassrote, adalah pada era reformasi ini mereka diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.

Makna sebuah moralitas

Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa. Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.

Moralitas itu sendiri adalah penyertaan secara bareng semua nilai essensial yang ada di masyarakat social, yang digunakan sebagai patokan manusia yang bermartabat. Dan dengan moralitas itulah seorang individu mampu mengejawantahkan semua pandangan ke depannya.

Moralitas juga bisa dinyatakan sebagai sistim aplikasi publik untuk pembentukan semua nalar manusia, Sehingga dengan perangkat moralitas ( morality ) individu mampu memilah baik dan buruknya sesuatu niatan. Apabila moralitas ini diemban dengan kuat maka jadilah individu tersebut sebagai insan mulia. Istilah moralitas pada akhirnya dapat digunakan sebagai faktor pembeda, perilaku bermoral atau tidak. Pada akhirnya moralitas dapat digunakan sebagai pengejawantahan nilai normatif. Jadilah moralitas sebagai sesuatu yang wajib diembang oleh para petinggi kita.

Bila kita hadapkan moralitas pada para oknum petinggi kita, tentunya kita akan merasakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, salah satu moralitas yang wajib diemban oleh mereka adalah kejujuran, rela berkorban, peduli terhadap orang kecil yang lagi kelimpungan, Namun sebuah realita menyatakan jauh panggang dari api. Justru perseteruanlah yang ditampilkan antar mereka. Sejak dari mencuatnya kasus Antasari di akhir tahun 2009, bailout Bank Century di awal tahun 2010. Disusul kemudian nyanyian Susno dan terus menggelinding tak berarah.

Dikhawatirkan apabila konflik interpersonal / institusi ini terus bergulir, maka keterpurukan kita menjadi tambah dalam dan tak satupun persepsi anak bangsa yang menilai mahalnya sebuah persatuan dan kesatuan. Dengan terkoyaknya moralitas ini maka terbenam pula nasionalisme yang secara fitroh telah kokoh bercokol di tiap dada anak bangsa ini. Bila stadium penyakit sosiologis kita telah sampai pada tahan ini, maka tidak ada resep yang mujarab, pakar yang piawai ataupun bentuk “miracle: lainnya. Yang ada hanyalah rekonstruksi moralitas di dada kita masing-masing.

PERANAN MEDIA ON-LINE DALAM PEMBELAJARAN SOSIAL

Adalah suatu hal yang tabu, bila kita memperhatikan suatu ketimpangan/ketidakserasian bahkan suatu penzoliman yang kita temui di masyarakat sekeliling, institusi tempat kita berperan, namun kita hanya diam berpangku tangan. Sementara memasuki era peradaban baru yang melinkungi masyarakat Indonesia, sejumlah oknum pejabat/pemimpin ataupun suatu figur yang disentralkan oleh publik, bertindak menurut koridor egonya masing-masing. Tanpa suatu jendela hatipun untuk menelisik derita si kecil yang separo bernafas.

Dalam sejarah pembentukan peradaban manusia yang humanis yang dijinjing oleh corak hidup modernis, telah tercatat banyak sudah negarawan yang mengabdikan diri guna membasmi ketidak adilan suatu masyarakat dengan gaya dan kemampuan masing-masing. Sebagian dari mererka adalah Mahatma Gandhi sang Ahimsa. Gandhi menitikberatkan perjuangan Bangsa India dengan nasionalisme sebagai suatu kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagian besar perjuangan Gandhi yang mengedepankan Ahimsa itupun ditulis dalam beberapa media yang eksis kala itu.

Bahkan Soekarno The Founding Father untuk Bangsa Indonesia banyak menyodorkankan ide gagasanya guna membangun struktur berpikir masyarakat, melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Gaungpun bersambut dengan ketajaman dan gaya tulisanya yang specific. Soekarno berhasil menghantarkan Rakyat Indonesia menuju penetrasi ideologi, politik, naluri kebersamaan, patriotisme dan nasionalisme yang mewujud dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.

Sebuah idealisme bukan hanya mutlak milik negarawan kondang saja, bukan pula milik figure kharismatik ataupun figure central lainnya. Namun yang jelas setiap suatu idealisme apapun yang bersemayam kuat di tiap benak manusia, tentunya memiliki naluri agar ide dan gagasannya dibaca/didengar/dipatuhi oleh public. Sehingga individu yang terselip di grassrote-pun berhak pula untuk menyampaikan ide gagasanya dalam suatu tulisan.

Namun ide gagasan yang merasuki jiwa seseorang terkadang hanya menjadi sebuah niatan basi saja, kala ia menemui kendala berupa tehnik penulisan yang jauh dari criteria editorial ditambah dengan senioritas yang belum memadai. Dengan kapasitas seperti ini, jelaslah bahwa tak jarang media cetak untuk mem-publish “spirit to changing” agen perubahan yang awam tadi, karena secara komersial tulisan tersebut bersifat unprofitable. Kendala seperti ini mulai bisa diatasi setelah hadirnya media “on-line”, yang menawarkan wadah citizen journalist.

Hingga decade Tahun 2010 ini, peranan media on-line masih menjadi media kelas dua dibanding dengan media cetak. Hal ini disebabkan karena factor pendukung utama belum seluruhnya mampu diadopsi setiap masyarakat, karena daya beli, minat baca, kultur dan factor lainya. Padahal meski sepintas lebih ribet, namun publikasi media on-line mampu menjangkau masyarakat dunia. Inilah salah satu kelebihan media on-line ketimbang media cetak.

Dengan keunggulan seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan di decade mendatang, Penyelenggaraan UN untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK menggunakan jasa media on-line untuk tampilan soal-soal ujian tersebut, agar lebih mampu menjamin masalah kejujuran UN, karena lebih pendeknya mata rantai pengadaan soalnya. Tidak menutup kemungkinan di decade mendatang Kementrian Pendidikan melibatkan media on-line guna kegiatan pembelajaran di sekolah.

Diharapkan bahwa media on-line ini akan lebih berkiprah dalam hal publikasi dinamika social. Sebagai suatu kiat manusia modern dalam menggapai pemenuhan informasi dalam ranah apa saja. Mengingat keunggulan aspek cakupanya baik dari substansi dan area-publishnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan peluang masyarakat modern Indonesia dalam pencapaian kompetensi yang tidak disodorkan pada satuan pendidikan atau perguruan tinggi atau institusi edukasi lainnya. Bukankah dengan demikian peranan media on-line akan lebih signifikan lagi dalam pencerahan public.

Betapa tidak media on-line yang sekarang bisa kita dapatkan di internet bisa langsung menyodorkan input public secara komprehensif yang mencakup aspek edukasi, featur, kriminal, opini, sosial dan politik, hokum, news and views, sastra, anak anak, remaja dsb.

Ke Mana MENCONGAKU

Telah menjadi kesepakatan kita bersama bahwa dewasa ini Depiknas dan seluruh jajaran institusi yang terkait dengan sistem pendidikan nasional telah berupaya seoptimal mungkin dalam menggulirkan perubahan besar – besar terhadap pendidikan yang terintegrasi, sis
tematis dan terarah. Terdapat urgensi yang terselip di balik itu semua, yaitu tentang masa depan generasi kita yang harus tangguh dalam menghadapi kompleksitas di tengah Masyarakat Indonesia yang pesat mengalami social changes, karena pengaruh globalisasi. Maka keterpurukan sistim pendidikan yang telah kita akui bersama dan bila dihadapkan pada coincide penyiapan kemajuan bangsa, maka perubahan sistim pendidikan nasional haruslah dalam naungan suatu revolusi.

Betapa tidak , sebuah negara yang pada Tahun 1975 masih mengalami konflik politik sehingga telah kehilangan segala-galanya. Namun diluar dugaan lantaran keseriusan dalam menggarap sistim pendidikan nasionalnya, maka prestasinya sekarang bread di atas kita. Sebut saja negara tersebut adalah Vietman. Menurut survey yang dilakukan oleh International Education Achievment ( I E A ), indeks pengembangan manusia ( Human Development Index ) kita masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108 (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bima, Th 2008 ).

Padahal pada kurun waktu Tahun 1970 - 1975 kita telah memulai pembangunan dengan menapaki PELITA I I. Bangsa Indonesia telah membenahi bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan ( Harian Online Damandari, 2003 ).

Melihat kenyataan tersebut maka wajar saja apabila kita bersikap prihatin, namun tindakan kita yang paling bijak sebagai pendidik adalah menaruh perhatian yang serius. Bukankah sitim pendidikan nasional adalah asset prestis kita semua. Sehingga apabila terjadi keterpurukan terhadapnya, maka kita sebagai pendidik adalah yang paling depan dalam memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bertindak skeptis dalam menyikapi fakta tersebut. Minimal harus terbesit dalam hati kita untuk memulai langkah moral dalam mengejar ketertinggalan kita. Kita harus sigap dalam memulai bergulirnya sebuah revolusi pendidikan. Hanya dengan semangat yang tinggilah semua tugas moral kita untuk mengentaskan sistim pendidikan nasional kita menjadi ringan. Salah satu cara untuk mempercepat laju perubahan prestasi pendidikan adalah menggali metoda pembelajaran dalam ranah evaluasi, yang malah dewasa ini banyak diabaikan oleh kalangan pendidik.

Suatu metoda evaluasi pembelajaran klasik yang pernah diterapkan di sekolah oleh Diknas adalah mencongak / dikte / imla. Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar generasi sekarang tercetak dari sistem evaluasi mencongak tiap bidang ajar, apakah hal ini mesti kita pungkiri bersama. Bila manfaat dari sistim evaluasi tersebut terbukti memang dapat dihandalkan.

Sebuah evaluasi baik yang formal maupun non formal bisa sah – sah saja dilakukan, asal saja melalui alat penilaian yang sesuai dengan indicator yang akan dinilai sebagai sarana untuk mengetahui sejauh mana kompetensi siswa dapat terpenuhi dan yang lebih penting bagi sang pendidik harus benar jitu dalam menerapkan model evaluasi sesuai karakter peserta didik masing-masing.

Mencongak adalah salah satu jenis penilaian kelas tertulis pada ranah kognitif yang mengkondusifkan peserta didik untuk betul – betul mempersiapkan diri, mengurangi peluang antar peserta didik yang salng bekerja sama, membiasakan peserta didik untuk lebih cermat dalam mengerjakan evaluasi. Karena mencongan termasuk evaluasi pembelajaran , bukan sebagai evaluasi proses maka selayaknya mencongak diberikan pada akhir satu kompetensi diberikan . Apalagi bila kompetensi yang diberikan kepada peserta didik tergolong kompetensi yang padat. Untuk yang satu ini, disarankan agar mencongak sebagai bentuk evaluasi non formal dipadukan dengan evaluasi tertulis ( pencil and paper )

Namun demikian akan berpengaruh baik bila mencongak diberikan kepada peserta didik yang meliputi semua indikator pada satu kompetensi. Dari tagihan yang diperoleh, sistim mencongak biasanya akan memberikan nilai prestasi yang lebih heterogen dibanding dengan bentuk evaluasi lainnya. Sehingga kita akan lebih mampu mengetahui potensi dasar peserta didik. Dengan jumlah soal evaluasi yang lebih sedikit dibanding evaluasi lainnya tentu saja kita dapat langsung mengetahui nilai tagihan yang didapat dari peserta didik. Walaupun demikian tidak disarankan bagi peserta didik untuk membandingkan satu peserta didik dengan lainnya, karena akan menyebabkan rasa rendah diri bagi peserta didik yangh bersangkutan.

Meskipun mencongak tidak dibakukan sebagai metoda evaluasi yang disarankan, namun tetap saja mencongak masih memenuhi prinsip – prinsip penilaian kelas, yaitu prinsip valditas, realibilitas, menyeluruh, berkesinambungan, obyektif dan mendidik ( Tim IKIP P GRI Semarang , 2009 ). Validitas dapat kita wujudkan apabila mencongak mampu mewujudkan unsur – unsur / indikator yang memang harus dinilai dan diujikan kepada peserta didik. Selain itu, mencongak adalah sebuah metoda evaluasi yang menyimpan aspek realibilitas dengan dicirikan dengan kemampuan mencongak, yang mampu memberikan hasil unjuk kerja siswa yang konsisten, meski dilakukan berulang asalkan evaluasi tersebut dikondisikan sama. Terlebih – lebih bila mencongak dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan cakupan kompetens i dasar. Selain aspek aspek – aspek tersebut mencongak juga bisa dikategorikan sebagai metoda evaluasi yang obyektif, yaitu dengan kejelasan pemberian skor . Dengan demikian tidak diragukan lagi bila mencongak kita harapkan untuk diterapkan kembali.

Sebuah fakta nyata barangkali mampu meyakinkan kita, bahwa pada era Tahun 70 – 80 banyak pendidik kita yang diminta Pemerintah Malaysia untuk ikut membangun sistim pendidikan mereka yang tertinggal jauh dengan kita. Karena saat itu keunggulan dan mutu pendidikan kita telah terdengar mereka. Meski bukan penyebab utama maju sistim pendidikan saat itu, namun mencongak saat itu telah diterapkan sebagai evaluasi pembelajaran

KE MANA SETELAH LULUS UN 2010

Sudah pasti dengan mengerahkan segenap upaya, sebagian besar siswa SMA / SMSLB / MA / SMK bisa berhasil lulus UN Th 2010. Mereka bisa berbangga diri, lantaran dengan penuh kejujuran ( harapan kita bersama ) mereka mampu menyelesaikan ujian tersebut hingga mencapai nilai rata-rata 5,50 untuk enam bidang ajar SMA./ MA/ SMK/ SMALB. Sebuah perjuangan berat untuk menggapai masa depan telah berhasil mereka lampaui.

Bagi perserta UN SMP ./ SMP/ MTS, SMPLB dan SD / MI di UUSBN Th 2010 yang telah lulus tidak banyak mengalami tantangan serumit kakak-kakanya, untuk men-handling tantangan sebuah realitas., antara melanjutkan studi ke jenjang perguruan tringgi atau berhenti dengan mengantongi ijazah SLTA untuk modal kerja.
Kerja atau Kuliah

Yang jelas mereka semua belum siap untuk memasuki dunia kerja meski mereka berasal dari sebuah SMK. Kita masih ingat betul pendapat mantan Mendiknas Fuad Hasan, yang mengemukakan sebuah teori pendidikan, yaitu bahwa pendidikan di Indonesia tidak seperti membuat kue roti, yang produknya siap dikonsumsi karena telah masak. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan dengan pencapaian 5,50 untuk lulus sebuah ujian nasional, belum merupaka jaminan bagi mereka untuk mengenyam jenjang pendidikan selanjutnya. Maka kiat Kementrian Pendidikan Nasionalpun harus setidak-tidaknya mengkonsep sebuah koridor baru bagi mereka yang telah lulus.

Apabila prestasi mereka masih belum mendapatkan prioritas lebih untuk jenjang berikutnya, maka ujian nasional di tahun tahun mendatangpun akan banyak menuai badai., Selain itu pula guna pencetakan generasi yang handal dan kompeten di bidangnya masing-masing, sebuah instrument barupun harus segera dikonsep. Semoga saja kalangan perguruan tinggi terlebih-lebih PTN segera mengantisipasi masalah ini. Sehingga tidak ada lagi kontradiktif antara kejujuran sebuah UN dengan hasil sebuah kejujuran.

Lepas dari permasalahan di atas, sebuah tantangan lain masih menghadang, justru merupakan tantangan yang lebih realistis untuk bisa dilewati. Kalau toh masih ada tindak kecurangan dalam UN Th 2010 ini, hingga membuat mereka mampu melewatinya dengan gampang. Namun siapa yang akan membantu mereka dalam berbuat kecurangan untuk menghadapi sebuah realitas hidup.

Betapa tidak, benang kusut masih menghadang mereka dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran di bangku perguruan tinggi. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Milik Negara untuk sebuah perguruan tinggi, sehingga PTN pun harus mendapatkan sumber dana, maka tidak ada jalan lain bagi mereka untuk merogoh kocek lebih dalam untuk mengenyam bangku kuliah. Kalau toh mereka memiliki dana yang cukup, merekapun harus lulus dalam SNMPTN yang memerlukan persiapan lebih cermat dibanding dengan hanya lulus sebuah ujian nasional.. Merekapun harus saling bersaing satu dengan lainnya untuk bisa kuliah di PTN, bila yang mengikuti SNMPTN dipredikisi sejumlah alumni SMA / MA/SMK kurang lebih 2.5 juta calon mahasiswa, tentunya hal inipun merupakan sebuah tantangan bagi mereka,

Kendala masuk PTN

Namun disisi lain maraknya jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di luar jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB)., sebagai konsekuensi semua PTN yang beralih status menjadi badan hukum milik negara (BHMN), memaksa PTN memasang pemberlakuan biaya masuk yang hampir sama dengan biaya PTS. Hal ini disebabkan kewajiban PTN sebagai BHMN yang harus menyetor dana ke kas negara, yang merupakan kebijakan pemerintah dalam menyedot penerimaan negara bukan pajak (PNBP ) pada sebagian besar perguruan tinggi negeri atau PTN.

Bukankah hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi siswa yang lulus UN tersebut. Kitapun menjadi prihatin lantaran perrmasalahan ini bukan lagi menyangkut kompetensi bahan ajar yang mereka tekuni selama di bangku sekolah. Namun hal ini sudah menyangkut kemampuan ekonomi orang tua mereka masing. Sehingga hak mereka untuk menempuh jenjang kuliah di PTN menjadi sirna. Sesuatu fenomena ironis bakal mereka temui karena terbentur sistim.

Alternatif lain dari para lulusan ini, adalah memasuki dunia kerja yang masih asing bagi mereka. Karena ketidak siapan mereka untuk mendapatkan skillfull, maka jadilah mereka pengangguran atau tuna karya. Tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya.

Sehingga mereka akhirnya bergabung dengan angkatan kerja usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Tentunya hal ini menimbulkan masalah yang serius. Terlebih lebih menjadi sebuah masalah dan tantangan bagi negara kita, yang belum mampu mengatasi pengangguran menapaki Tahun 2010 ini, Tercatan bahwa angkan pengangguran di negara kita telah mencapai 10 % pada Tahun 2010 ini. Jumlah pengangguran di Indonesia akan terus menjadi masalah dari tahun ke tahun, lantaran bertambahnya usia produktif per tahun, yang tidak tertampung di lapangan pekerjaan atau melanjutkan studi yang lebih tinggi.

Sebuah terobosan yang barangkali bisa menjadi jalan tengah bagi mereka yang berhak mendapatkan pendidikan di bangku perguruan tinggi setelah lulus ujian nasional, yaitu dengan memberi beasiswa kepada top skor 10 besar dari capaian nilai ujian nasional tiap satuan pendidikan. Sehingga janji manis “ Anak supir angkot bisa menjadi pilot”, akan mereka rasakan. Bukankah kampanye tersebut telah didengar oleh hampir semua Rakyat Indonesia. Sebab apabila hali ini tidak direalisir maka sebuah pembohongan publik telah ditorehkan oleh autoritas.
Program beasiswa negara

Bila jumlah seluruh peserta UN SMA/ MA / SMK / SMALB di Indonesia yang telah lulus adalah rata-rata sebanyak ± 2,5 juta per tahun ( Data BSNP , peserta UN Tahun 2008 / 2009 sebanyak 2.207.805 dan 2007 / 2008 sebanyak 3.357.457.472 siswa ). Maka Kementrian Pendidikan Nasional disarankan memberi beasiswa kepada 200 – 300 ribu siswa agar mampu mengenyam bangku kuliah PTN, hingga mereka mampu mengantongi gelar kesarjanaanya. Kiat ini pula bisa mencetak generasi mendatang yang lebih tangguh, inovatif dan adapif terhadap globalisasi.

Meski upaya pencerdasan tersebut memerlukan biaya yang tinggi, namun dengan alokasi 20 % dari APBN Th 2009, atau sebesar 224 trilyun Rupiah diharapkan mampu merealisasi program tanggung jawab kita terhadap masa depan bangsa. Dengan latar belakang keterpurukan sistim pendidikan kita dewasa ini, tentunya langkah ke arah inipun bukan hanya sebatas wacana saja. Karena genderang revolusi pendidikan telah bergema, maka tiap langkah autoritas untuk mengentaskan keterpurukan inipun harus dengan sepenuh hati.

Perjuangan mencerdaskan anak bangsa sepertinya akan putus di tengah jalan, apabila kita menghhadapi suatu kenyataan kinerja yang tidak tuntas.. Di lain pihak Kementrian Pendidikan Nasional dan BSNP telah bertindak tegas dalam mengantisipasi kecurangan pelaksanaan UN setiap tahun, namun output yang mereka perjuangkan tidak mereka benahi untuk pembelajaran selanjutnya.

INDONESIA DI TENGAH DINAMIKA POLITIK

Letak geografis indonesia yang berada persis di tengah - tengah dua samudra di sebelah Barat dan Timur serta dua benua di sebelah Tenggara dan Barat Laut, memberikan specifikasi tersendiri sebagai negara yang harus diperhitungkan oleh bangsa lain, terutama dalam aspek geostrategi dan geopolitik.
Disamping itu Indonesia memiliki kekayaan alam yang tiada bandingnnya yang tersimpan di 17. 504 pulau ( Wikipedia, 2004 ). Sebagian dari pulau yang kita miliki tersebut sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang tidak berpenghuni, dan sudah semestinya masih mengandung kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya Semua pulau-pulau tersebut terhampar menyebar di sekitar katulistiwa dan memberikan cuaca tropis. Tercatat pula bahwa disamping kekayaan alam yang tiada bandinmgnya, Indonesia juga memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif, sebagian dari gunung berapi tersebut terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan. Yang lebih memikat para cendikiawan dunia guna pengembangan sains dan teknologi bahwa Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif .
Sudah brang tentu kondisi daya dukung alamiah yang kaya tersebut, jelas-jelas menarik minat bangsa penjajah untuk mengeksploitir kekayaan alam milik kita. Terbukti sejak Tahun 1602 Bangsa Belanda, disusul kemudian Bangsa Inggris dan Portugis serta Bangsa Jepang telah berhasil menkmati kekayaan alam kita. Disamping merampas kekayaan alam kita yang tak ternilai harganya, khusus Bangsa Belanda juga telah mengeksploitir tenaga / kehidupan / hak azasi anak bangsa guna kemakmuran mereka, selama 3, 5 abad lamanya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dengan kondisi geografis alam yang melingkungi negara kita, menyebabkan terbentuknya ± 316 suku bangsa dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Wilayah Indonesia, masing –masing dengan corak budaya yang berbeda. Hal ini tentunya membawa berkah tersendiri bagi kita , yang secara dialektis menempatkan keberagaman ini bukan sebagai faktor penghalang dalam upaya pencapaian hidup bersama. Tetapi justru malah mampu melatarbelakangi upaya pencarian instrumen yang mampu menjembatani perbedaan tersebut . Hingga lahirlah suatu Instrurnen pemersatu yang mampu diterima semua komponen penyusun bangsa dan negara ini, yang tak lain adalah Idiologi Pancasila, yang telah terpenetrasi jauh ke kalbu setiap anak bangsa ini.
Namun demikian dalam perjalanan hidup bangsa ini yang terus bergulir menuruti roda waktu, silih bergantinya perseteruan / goncangan / perbedaan pendapat terhadap sesama anak bangsa turut memperkaya perjalanan Bangsa Indonesia di tengah pergaulan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Namun kita tetap berbangga diri lantaran kita berhasil membangun monumen politik Indonesia beruapa even politik bersejarah, yaitu berupa deklarasi bersama tentang itikad bernegara pada Tanggal 17 Agustus 1945 yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta.
Sebagai negara yang baru saja memperoleh prestis politik yang monumental, beragam langkahpun telah diderapkan oleh putra-putra bangsa guna membangun negara ini dalam kerangka ekonom, politik, pendidikan kesehatan dan semua sendi kehidupan Rakyat Indonesia . Dinamika inipun tak luput dari perbedaan politik / pandangan umum tentang negara, yang meliputi sistim politik, ideologi, arah pembangunan dan lain sebagainya. Tercatat dalam sejarah idelogi komunis , liberalisme, pendirian NII oleh kelompok agamis pernah aktif ,mewarnai wajah perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru lahir ini. Sudah barang tentu perbedaan pola pandang tentang berbangsa dan bernegara ini membuat Rakyat Indonesia menjadi terpolarisasi dan mengkristal ke dalam ranah politik masing – masing pada dekade sebelum Tahun 1965.
Selama dekade tersebut munculah Idiologi Komunis yang berkembang pesat melalui instrumen politik Partai Komunis Indonesia ( PKI ), yang merencanakan mengadopsi komunis di Indonesia dengan paksa. Rakyat Indonesiapun saat itu menyambut antusias terbentuknya partai ini yang menjanjikan kesejahteraan rakyat yang masih berada di strata terbawah karena kemiskinanya. Slogan untuk penghapusan kelas, yang dikenal dengan nama slogan sama rata sama rasa begitu bergaungnya. Sehingga pada Pemilu Tahun 1955 PKI berhasl mendapatkan 6 juta suara ( Saat itu jumlah Rakya Indonesia baru berjumlah ± 50 juta jiwa ). Hal ini meruapakan pertanda bahwa PKI kala itu banyak diterima di hati Rakyat Indonesia.
Namun sejarah mencatat sesuatu yang berbeda dengan yang diharapkan oleh hati rakyat, ketika pada Bulan September 1965, PKI berusaha mengambih alih negara ini dengan melakukan kudeta berdarah di bawah scenario DN Aidit, yang bertujuan hendak memaksakan kehendak rakyat banyak dalam menerapkan idiologi Komunis. Kenyataan itu berhasil membukakan mata dan hati Rakyat Indonesia yang sebelum itu menaruh simpatik., Kenyataan ini akhirnya menyebabkan air mata Ibu Pertiwi kembali menetes, karena di persadanya telah terjadi banjir darah karena perseteruan antara anggota partai komunis dan kontra komunis Pada Tahun 1966, yang berlangsung sebagian besar di P, Jawa dan Bali.
Bencana yang berujud tragedi kemanusiaan begitu memilukan hingga jatuh korban jiwa untuk para pendukung / simpatisan PKI, tercatat sebanyak 2 juta pendukung / simpatisan PKI dieksekusi dan 200,000 lainnya di penjara tanpa diadili menurut norma hukum. Kita sambut dengan tangan terbuka bila terdapat anasir baik dari dalam maupun luar negeri yang ingin melakukan pencerahan kepa Rakyat Indonesia yang seharusnya mendapatkan statement mengenai tragedi ini sebenarnya. Namun demikian alangkah lebih baiknya bila tragedy tersebut dijadikan pelajaran berhaga untuk masa – masa mendatang dalam naungan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Dengan aksi pembersihan massal terhadap setiap unsure yang berbau komunis / PKI, yang dilancarkan Soeharto maka berakhir sudah wajah politik Orde Lama dan tertancaplah tonggak kekuasaan Orde Baru.
Selama berlangsungnya rezim Orde Baru tercapailah pembangunan di segala bidang, dengan konsep pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang pada finalnya pemerintah era Orde Baru berniat membawa Rakyat Indonesia ke era tinggal landas menuju Masyarakat Adil Makmur berdasarkan Pancasila, setelah semua kerangka landasan dan setiap sendi kebutuhan Masyarakat Indonesia disiapkan terlebih dahulu pada Pelita sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada Tahun 1966 berada pada titik paling rendah. Setelah itu upaya pembangunan yang sistematis mulai dilaksanakan melalui serangkaian pembangunan lima tahunan dan berjangka dua puluh lima tahun berdasarkan arahan-arahan GBHN.
Repelita I dalam PJP I dimulai pada tahun 1969/70. Agar pencapaian sasaran pembangunan dapat terwujud secara optimal dan sesuai dengan yang digariskan, maka sasaran-sasaran pembangunandipilah dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan. Seluruh kebijaksanaan dirancang dandilaksanakan dalam kerangka Trilogi Pembangunan. Selama PJP I, laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di bawah 2 persen per tahun, pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali (dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800.
Dalam dua tahun Repelita VI, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dalam tahun1994 dan 8,1 persen dalam tahun 1995. Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran (baru) yangditargetkan dalam Repelita VI yaitu sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun.Dalam Repelita VII, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk ditargetkan di atas 7persen dan 1,4 persen rata-rata per tahun. Dengan kedua sasaran ini, pendapatan per kapita padaakhir Repelita VII diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 1.400 (berdasarkan US$ 1993), atau sekitar US$ 2.000 pada harga yang berlaku. Pada saat itu ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan kedalam negara industri baru ( Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Ketua Bapenas, 1996 ).
Kita akui bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada setiap sektor, seperti pendidikan, Keluarga Berencana, kesehatan , keamanan dan stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia.. Namun semakin lama Soeharto memerintah negeri ini, semakin banyak pula tokoh politik yang mengkritik , apalagi memasuki Tahun 1977 bertepatan dengan krisis yang melanda dunia ( Asia khususnya ). Indonesia hingga kini belum mampu untuk mengatasi krisis tersebut. Bahkan cebderung melebar menjadi krisis multidimensional. Terdapatnya kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang diidap oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian terperosoknya Indonesia dalam badai krisis .
Dan Soehartolah yang pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga pada Tahun 1977 terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Meski Soeharto mencoba mendirikan Komisi Reformasi untuk menyurutkan aksi demo, namun niatan ini sama sekali tidakmempengaruhi idealisme mahasiswa dan Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada jalan lainnya kecuali mengundurkan diri 21 Mei 1998.
Setelah pengunduran diri Soeharto, maka panggung politik Indonesia berganti dengan Sistim Politik Reformasi, yang bersendikan kebebasan berpolitik, mengeluarkan pendapat dan Supremasi Hukum. Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006 ( Wikisource, 2010 ).

Selama berkibarnya Sistim Politik Reformasi, kehidupan politik berjalan monoton meski telah tiga kali Bangsa Indonesia mengamanatkan empat putra bangsa menjadi Presiden RI, masing – masing adalah BJ Habibi, KH Abdurahman Wakhid, Megawati Soekarnoputri dan SBY. Selama kurun waktu dari Tahun 1977 – 2009, hanya kita temui padatnya aksi demo, manuver politik para elit poltik guna mendapatkan dukungan publik, kasus PHK dan dinamka politik lannya yang justru membosankan Rakyat Indonesia.
Dinamika politik kembali menggelora di akhir Tahun 2009 mengawali masa jabatan ke – II SBY sebagai Presiden RI hingga kini, lantaran telah terjadinya kemelut bercampur dengan carut- marut pengucuran bailout sebesar 6 ,7 trilyun rupiah kepada Bang Century yang dianggap sebagai bang kolaps yang akan menyipkan pengaruh sistemik perbangkan di Indonesia. Namu karena pengucuran tersebut tanpa melalui mekanisme yang telah baku. Maka publikpun berteriak dan yang paling banyak mendapat tudingan tersebut adalah Wapres Boediono Menkeu Sri Mulyani.
Gegap gempitanya publik dalam mengomentari hal tersebut akhirnya sampai ke telinga Anggota DPR, yang segera membentuk Pansus Bang Century. Hingga kini masalah inipun belum mampu memberi wacana yang terang benderang, yang sebenarnya dibutuhkan publik agar mendapat pencerahan.
Akankah kekisruhan tersebut terus akan berdampak menggoyang kursi keprisedenan. Nampaknya memang bakal mengarah ke sana, apalagi dengan dilakukannnya manuver politik dari komunitas elit politik nasional yang gerah dengan penyimpangan dana negara tersebut. Sayangnya rakyat sementara ini masih menyangsikan manuver tersebut meski dalam kemasan kemanusiawian dalam bentuk apapun, label untuk perjuangan demi pencerahan untuk rakyat akan sia-sia saja, apalagi bagi mereka para petinggi / mantan petinggi nasional yang berkiprah politik. Seperti even tanggal 1 Pebruari 2010 yang lalu, ketika sebuah Manifesto dibacakan oleh Anies Bawesdan Rektor Universitas Paramadina Jakarta., tentang penataan demokrasi.
Tidak tanggung – tanggung lagi manuver politik itu dihadiri oleh Jusuf Kalla, Surya Paloh, Wiranto, Megawati dan Taufik Kiemas, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi. Benarkah manuver politik itu mengatas namakan rakyat dan lebih jauh lagi hendak mensejahtarakan rakyat. Yang jelas mereka hanya memiliki niatan untuk meraih kursi kepresiden, saat SBY telah ditinggalkan pendukungnya, karena konspiracy Bang Century.
Sementara itu SBY yang memenangkan Pemilu 2009 dengan mendapat perolehan suara 60 %, pada awalnya membentuk koalisis besar, yang disusun dari dukungan koalisi yang terdiri atas Partai Demokrat, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) , PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Koalisi itu juga sudah menguasai mayoritas parlemen karena mereka sudah menguasai 56 persen kursi. Tolal, 314 kursi yang mereka kuasai, dengan rincian kionstituen Demokrat 148, PKS 59, PAN 42, PPP 39 dan PKB 26 ( lamade@jawapos. co.id ), Saat inipun mulai menapaki babak perpecahan internal dalam koalisi yang dibangunnya.
Golkar lebih memilih untuk konsisten dalam memberi pencerahan obyektif kepada Rakyat Indonesia tentang Bang Century demi eksistensi nama besarnya pada Pemilu Tahun 2014 nanti. Sementara PPP mulai menjauhi koalisi akibat kasus Petinggi PPP yang pada KIB I menjabat sebagai Mentri Sosial, yaitu Bachtiar Chamzah yang terjerat kasus korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit untuk keluarga pra sejahtera. Dengan demikian kekuatan koalisi akan melemah dan kedudukan SBY pun akan terancam.
Demikian Dinamika Politik Indonesia hingga awal Tahun 2010 ini. Tentunya dinamika ini terus mengalami pasang surut, sebagai sarat keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Bu Guruku Yang Cantik

sumber: SMA Al Irsyad Tegal
Tantangan dunia pendidikan kita sungguh berat dalam upaya untuk pengentasan dari keterpurukan selama ini. Namun demi kemajuan segala aspek yang melingkungi faktor-faktor penentu kemajuan suatu bangsa, maka kemajuan yang pesat terhadap pendidikan kita, haruslah suatu harga mati yang ditorehkan oleh kita bersama. Sebagai konsekuensi logis pemerintah dalam hal ini Depdiknas haruslah memulai megurrai benang yang mengusuti keterpurukan ini.

Peranan wanita sebagai tenaga pendidik adalah sungguh sesuatu yang tidak kita pungkiri, yang memiliki hubungan setali tiga uang. Hal ini kita ketahui sejak kiprahnya RA Kartini dan Dewi Sartika yang tel;ah mendahului menggulirkan pendidikan terhadap anak bangsa, ketimbang para tokoh lainnya. Kedua Pahlawan Wanita Putra Bangsa tersebut lebih mengedepankan perasaan kewanitaan terlebih dahulu ketimbang aspek nasionalisme dan aspek lainnya, maka lahirlah perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.

Wanita memilik karakter ynng secara specific mengungguli ketimbang karakter pria, terutama dalam koridor proses pembelajaran. Meski belum banyak penelitrian imiah yang meng-groundedkan specifikasi ini. Berdasarkan pengalaman empiris diketahui bahwa seorang wanita memiliki potensi yang lebih kuat ketimbang pria untuk berfigur sebagai seorang pendidik

Lebih Rajin dan Teliti

Figur pendidik di era profesionalisasi guru, ternyata lebih banyak menghabiskan
energi dan waktudalam penyiapan instrumen pembelajaran yang njlimet , yang meliputi pembuatan RPP, Analisis dan lain sebagainya, yang hanya bisa dipenuhi oleh figur yang teliti, rajin dan bertanggung jawab terhadap profesionalnya. Tentu saja hal ini lebih mampu di laksanakan oleh seorang wanita yang berdiri di depan peserta didiknya sebagai seoprang fasilitator..

Diakui oleh sejumlah pendidik bahwa untuk mengaplikasikan semua instrumen pembelajaran yang cermat adalah hal yang pelik. Sebagian dari pendidik memilih untuk memberikan pembelajaran menurut sistimatis yang ada di buku paket atau sarana lainnya. Hal ini tentunya membutuhkan ketelitian yang memadai yang harus dimiliki seorang pendidik. Dan sifat ini lebih tepat dimiliki oleh pendidk wanita secara kodrati dibanding pria.

Figur Penuh Kasih Sayang

Sering lihat di laporan berbagai media tentang tindakan fisik seorang pendidik terhadap peserta didiknya, yang tidak dibenarkan dalam etika pendidikan. Sebagian besar pendidik yang terlibat dalam masalah ini adalah pendidik pria. Hal ini adalah suatu bukti empiris bahwa pendidik wanita lebih mampu mencurahkan kasih sayang terhadap peserta didik ketimbang pria, Apalagi di era kehidupan modern, dimana peserta didik lebih banyak menerima budaya asing ketimbang budaya unggah-ungguh, sopan santun, budi pekerti ataupun nilai dan norma sosial ketimuran, yang minim diadopsinya.

Mungkin kita juga masih ingat perjuangan Mother Theresia yang melegenda di masyarakat India dan dunia, ketika beliau dengan tulus mengulkurkan tangan kemanusiaannya di tengam masyarakat India yang terserang penyakit lepra, tanpa memikirkan bahaya dirinya sendiri. Hal ini juga bisa dijadikan bukti empiris tewntang fighur seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada yang membutuhkannya.

Adalah hal yang sering dilupakan oleh pendidik bahwa memfasilitasi peserta didik degan materi pembelajaran pada prinsipnya adalah suatu tampilan kasih sayang kita kepada putra kita sendiri. Bukankah curahan kasih sayang seorang ibu lebih menginternal ketimbang seorang bapak. Bukankah pula seorang anak lebih merasa aman curhat kepada ibunya.

Figure Pemaaf

Kontroversi revolusi pendidikan hingga dewasa ini masih menghinggapi dunipendidikan. Di satu
pihak segala aspek pendidikan diupayakan berperan optimal, tapi di sisi lain tawuran antar pelajar masih saja kita lihat sehari-hari. Apakah ini pertanda telah terjadinya erosi moral remaja kita. Apabila seorang pendidik berada di tengah kenakalan mereka tentunya memerlukan kesabaran yang tinggi. Sebab penanganan yang mengedapankan hukuman fisik tentunya mengakibatkan peserta didik akan lebih skeptis dalam belajar. Oleh karena itu penanganan yang persuasif dan pedagogis merupakan tindakan yang paling bijaksana.

Dalam fenomena tersebut di atas tentu saja serang pendidik wanita lebih tepat untuk mengadakan persuasif pedagogis, yang memiliki sifat kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Namun demikian wanita bukan sesuatu figur yang tanpa kelemahan dalam peranannya sebagai pendidik. Kelemahan yang umum terdapat pada pendidik wanita adalah lemahnya sifat tegas terhadap siswa. Tetapi tentu saja sifaat ini tidak begitu dominan harus dilakukan bagi pendidik wanita, apabila telah mengenal sosok pribadi peserta didik secara cermat. Hingga jadlah Bu Guru yang mampu membimbing peserta didiknya menuju kompetensi mereka.

Minggu, 15 Agustus 2010

Mendambakan Lahirnya "THE SMART GENERATION"

Tidak ada jalan lain bagai kita dalam menempatkan bangsa yang sedang dalam buaian “social and political conflict”, untuk bersanding dengan bangsa lain kecuali dengan langkah sepenuh hati merehab sistim pendidikan yang terpuruk. Barangkali saja kita pernah menanyakan pada sanubari kita sendiri tentang keberlangsungan bangsa dan negara ini dalam koridor kompetisi aspek apapun dengan negara-negara lainnya, saat kita tahu bahwa kita telah terjerambab dalam keterpurukan berbagai aspek, Apalagi dari as[ek moralitas kita bertambah tahu kegamblangan ini,setelah mencuatnya “Gayus dengan pusaran anginya”,
Setiap bangsa di muka bumi ini selalu mampu meraih kemakmuran (wallfare) dan ketangguhan dalam aspek ekonomi dan aspek lainnya di abad ke-21 ini, adalah berkat keseriusannya membangun daya dukungnya selama bertahun-tahun. Daya dukung yang paling dominan sebagai modal dasar adalah “ Pendidikan” bagi rakyatnya (Public Education), yang mampu menjadi asset berharga kelak dikemudian hari. Secara gamblang asset yang berharga tersebut adalah sebuah generasi yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Sejarah telah mencatat bahwa pada pertengahan abad ke -20. Beberapa negara telah mengalami porak poranda akibat ambisi politik mereka melibatkan diri pada PD ke-II. Negara-negara tersebut adalah Jerman, Jepang, Italia AS dan masih banyak lainnya. Namun kenyataan apakah mereka kini terbelit dengan konflik multidimensional di ambang abad ke 21 ini?. Justru mereka sekarang telah menjadi negara yang terdepan dalam segala hal. Mengapa kita sebagai negara yang berlimpah sumber daya alam, posisi strategis yang vital dan budaya “humaniora” yang lebih lengkap, tidak mampu seperti mereka. Bukankah kita sama dengan mereka, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, memiliki anatomi, fisiologi dan fenomena biologis lainnya yang sama, Tetapi mengapa dalam berbagai bidang kita menjadi terbelakang.
Apalagi dengan munculnya indikasi hilangnya generasi yang berkompeten di masa mendatang dapat kita cermati dengan adanya refleksi prestasi yang memprihatinkan. Sering kita saksikan tindakan amoral yang banyak dilakukan oleh remaja, sebagai generasi penerus, contohnya demo anarkis, amuk bonek simpatisan klub bola, tawuran antar pelajar, timbulnya geng motor dan lain sebagainya. Bahkan tindakan kecurangan pada UN 2010 ini, yang justru diintriki oleh oknum pendidilkpun di berbagai tempat dan satuan pendidikanpun tambah membuat kita prihatin
Setelah kalah pada Perang Dunia ke II, tepatnya mulai Tahun 1952 Jepang mulai memodifikasii sistim pendidikan nasionalnya ke arah sistim yang dikonsep matang dan ideal. Modifikasi tersebut direalisasi secara bertahap dimulai dengan menggodog perundang-undangan guna keperluan kontrol terhadap perguruan tinggi, yang berperan sebagai puslitbang modernisasii masyarakatnya, Upaya tersebut ternyata membuahkan hasil hingga pada wal tahun 1970 mulailah terjadi reformasi pendidikan yang signifikan. Terbukti dengan peran lembaga pendidikan swasta yang menerima sistim pendidikan publik yang dicanangkan autoritas. Lebih jauh lagi ternyata langkah ini menghasilkan sistim standardisasi yang luwes, yang diterapkan pada sistim evaluasi tiap perguruan tinggi. Sistim yang kondusif tersebut mampu tercipta, lantaran telah terjadi jalinan mesra antara autoritas dengan organisasi guru yang eksis di Negara Sakura tersebut.
Garis besar perubahan sisdiknas di Jepang tersebut, terletak pada perubahan sistim edukasi yang dibungkus dengan pendekatan kultur dan nilai filosofi yang telah diubah haluannnya menjadi sistim yang dicanangkan dengan sistim pedagogis yang menyeluruh. Atau sistim meritokratic yang diciptakan pada perioda Meiji telah diubah menjadi pendekatan sistim moral dan pengembangan sikap mental menyeluruh secara pedagogis. Sehingga Jepang hingga kini telah dipoles oleh anak bangsanya sebagai generasi yang serba berkompeten.
Telah terjadi kondisi menyeluruh yang kontradiktif dengan ukiran prestasi kita dibanding dengan Jepang. Bukan hanya dalam penguasaan iptek saja kita kalah dengan mereka, namun dari aspek moralitas saja kita jauh di bawah mereka. Temuan ini berdasarkan pada survey beberapa LSM asing yang memposisikan kita sebagai bangsa yang terkorup di Asia. Kadang kita menjadi tidak percaya kepada kita sendiri, mengapa sebuah bangsa yang memiliki corak sosial agamis, santun, terbuka dan kondusif mampu terjerambab dala posisi seperti ini.
Jelaslah fakta yang menghadang kita adalah benang kusut dan rapuh yang membelit sikap mental yang jauh terinternal dalam benak setiap anak bangsa, untuk menggapai realitas suatu kemajuan kita bersama. Benang kusut tersebut mampu kita urai secara sistimatik dan terintegrasi bila kita menancapkan sistim pendidikan yang tepat, Namun lagi-lagi kita sendiri yang tidak terapresiasikan dengan upaya peluncuran roket penorehkan sistim pendidikan yaqng representatif.
Sehingga dengan demikian harapan kita untuk membentuk generasi yang siap menantang jaman telah sirna, atau kita akan kehilangan sebuah generasi pada dekade Tahun 2020-an [prediksi generasi sekarang yang masih dibangku SLTA / perguruan tinggi telah mulai terlibat dalam interasksi sosial setelah lulus). Pada tahun 2020 Indonesia sudah merdeka 75 tahun. Dalam usia itu bangsa Indonesia sudah kukuh kuat ketahanan nasionalnya. Penghayatan ideologi Pancasila sudah meresap, membudaya dan tidak tergoyahkan. Kehidupan nasional telah berjalan di atas landasan konstitusi dengan mantap. Persatuan dan kesatuan bangsa telah terjalin dengan kukuh sehingga kemajemukan telah sungguh-sungguh menjadi modal dan kekuatan bangsa, dan bukan menjadi penyebab perpecahan. Dengan demikian nilai-nilai yang dikandung dalam Wawasan Nusantara telah mewujud dalam budaya bangsa (Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Peluncuran Buku “Peran Pemuda Menuju Indonesia Sesuai Cita-cita Proklamasi 1945” Jakarta, 3 Maret 1997).
Jelas sudah generasi yang memanisi gerbong Masyarakat Indonesia yang madani adalah generasi yang kompeten, yang akan membawa negara kita menjadi The New Young Tiger akibat kesalahan kita sendiri. Akibat kita tidak membekali dalam penanaman sikap anak didik kita untuk mandiri. Harsyah Bachtiar (2003) dalam Zaenal Aqib ( 2009) menyatakann bahwa sebuah generasi mampu mengadaptasi jaman ultramodern, bila telah memiliki 13 karakter, salah satu diantara karakter tersebut adalah kemandirian. Dengan kemandirian dan moralitas inilah kita menaruh sebuah harapan besar, agar generasi ”Bergayus-gayus Ria” tidak lagi terulang.
Namun kita masih memiliki beribu alternatif guna penorehan generasi yang kita idamkan tersebut. Asalkan kita mampu mempondasiakan sebuah motivasi yang terefleksikan dari ketertinggalan tersebut sebagai garis start. Oleh karena itu kita hendaknya mampu terbuka untuk mengadopsi sistim yang diterapkan beberapa negara maju, meski konsep ini belum menjamin sebuah keberhasilan. Sebab faktor pendukung utama pencapaian sistim ini adalah motivasi yang menggelora pada tiap anak bangsa yang berkompeten terhadap pendidikan nasional.
Apalagi bila aspek moralitas mendapatkan imbangan yang proposional,maka pembentukan The Smart Generation bakal tidak lagi kedodoran, terutama dalam koridor pedagogis. Kita tahu bahwa pada prinsipnya muatan pedagogis adalah peletakan nilai moral yang mendasar pada peserta didik dan akan tertanam kuat dalam memori peserta didik. Sehingga apabila kita berlaku sembrono dalam hal ini, maka akan lenyaplah The Future Smart Generation